I. |
PENJELASAN UMUM :
1. |
Dasar pemikiran :
a. |
Undang-undang ini disebut "Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintah
di Daerah", oleh karena dalam Undang-undang ini diatur tentang pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan Daerah Otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah; yang berarti
bahwa dalam Undang-undang ini diatur pokok-pokok penyelenggaraan urusan
pemerintah berdasarkan azas desentralisasi, azas dekonsentrasi dan azas
tugas pembantuan di daerah. |
b. |
Sebagaimana telah diketahui, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara telah
ditugaskan untuk meninjau kembali Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintah Daerah Penugasan tersebut tercantum di dalam Ketentuan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian
Otonomi Seluas luasnya kepada Daerah.
Sebagai pelaksanaan dari penugasan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
tersebut, Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
telah berhasil mengeluarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan
tidak berlakunya berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang, antara lain Undang-undang Nomor 18 tahun 1965.
Di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 itu di tentukan bahwa Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1965 termasuk dalam Lampiran III, yaitu Undang-undang yang
dinyatakan tidak berlaku tetapi pernyataan tidak berlakunya Undang-undang
yang bersangkutan ditetapkan pada saat Undang-undang yang menggantikannya
mulai berlaku. |
c. |
Dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/1973 tentang
Peninjauan Produk-produk yang berupa Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas luasnya
kepada Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi karena materinya sudah tertampung
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. |
d. |
Didalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, telah digariskan prinsip-prinsip
pokok tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai berikut :
"Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar
di seluruh pelosok Negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan
Bangsa maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas
dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan Otonomi Daerah
yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan
Daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi."
Dari prinsip-prinsip pokok yang telah digariskan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat tersebut dapat ditarik beberapa intisari sebagai pedoman untuk penyusunan
Undang-undang ini, yaitu diantaranya ialah :
(1) |
prinsip Otonomi Daerah; |
(2) |
tujuan pemberian otonomi kepada Daerah; |
(3) |
pengarahan-pengarahan dalam pemberian otonomi kepada Daerah; |
(4) |
pelaksanaan pemberian otonomi bersama-sama dengan dekonsentrasi. |
|
e. |
Prinsip yang dipakai bukan lagi "Otonomi yang nyata dan bertanggungjawab".
Dengan demikian prinsip otonomi yang riil atau nyata tetap merupakan prinsip
yang harus melandasi pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah. Sedang
istilah "seluas-luasnya" tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan
pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan
pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi
dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan
prinsip-prinsip yang digariskan di dalam Garis-garis Haluan Negara. Istilah
"nyata" dan "bertanggung jawab" kiranya akan menjadi
lebih jelas di dalam penjelasan-penjelasan selanjutnya. |
f. |
Maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sudah ditegaskan
di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang berorientasi pada pembangunan.
Yang dimaksud dengan pembangunan disini adalah pembangunan dalam arti yang
luas, yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan. Jadi pada hakekatnya
Otonomi Daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban
Daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk
mencapai kesejahteraan Rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan
penuh tanggungjawab. |
g. |
Garis-garis Besar Haluan Negara dengan tegas telah memberikan pengarahan-pengarahan
yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan
bertanggungjawab. Pengarahan-pengarahan tersebut mencakup hal-hal sebagai
berikut :
(1) |
harus serasi dengan membina politik dan Kesatuan Bangsa; |
(2) |
harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan; |
(3) |
harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah. |
Dari pengarahan-pengarahan tersebut tampak dengan jelas perwujudan dari
prinsip Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab. Nyata, dalam arti
bahwa pemberian otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor,
perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang benar-benar dapat menjamin Daerah yang bersangkutan secara nyata mampu
mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggungjawab, dalam arti bahwa pemberian
otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan
yang tersebar di seluruh pelosok Negara dan serasi atau tidak bertentangan
dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan
politik dan kesatuan Bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah
Pusat dan Daerah serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah.
Kiranya dapat dimengerti bahwa istilah "Otonomi yang seluas-luasnya"
adalah tidak sesuai dengan jiwa pengarahan-pengarahan tersebut, terutama
ditinjau dari segi kesatuan Bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan.
|
h. |
Intisari keempat adalah bahwa pemberian otonomi kepada Daerah, dilaksanakan
bersama-sama dengan dekonsentrasi Rumusan ini adalah sangat tepat dan secara
prinsipiil berbeda dengan rumusan yang terkandung dalam penjelasan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXI/MPRS/1966, dimana dekonsentrasi
dinyatakan sebagai komplemen saja sekalipun dengan predikat "Vital".
Dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, azas dekonsentrasi
bukan sekedar komplemen atau pelengkap terhadap azas desentralisasi, akan
tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah.
Apakah sesuatu urusan pemerintah di daerah akan tetap diselenggarakan oleh
perangkat Pemerintah (atas dasar azas dekonsentrasi) ataukah diserahkan
kepada Daerah menjadi urusan otonomi (atas dasar azas desentralisasi) terutama
didasarkan pada hasilguna dan dayaguna penyelenggaraan urusan Pemerintahan
tersebut. Oleh karena menurut Undang-Undang Dasar 1945 Negara kita adalah
Negara Kesatuan, maka dalam penyusunan Undang-Undang tentang pokok-pokok
Pemerintah di Daerah dan dalam melaksanakan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan
apapun dalam rangka kenegaraan harus tetap dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. |
i. |
Dari uraian-uraian di atas jelaslah kiranya bahwa penyelenggaraan pemerintah
di daerah menurut Undang-undang ini dilaksanakan berdasarkan pada prinsip-prinsip
sebagai berikut :
(1) |
pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah harus menunjang aspirasi
perjoangan Rakyat, yakni memperkokoh Negara Kesatuan dan mempertinggi tingkat
kesejahteraan Rakyat Indonesia seluruhnya; |
(2) |
pemberian otonomi kepada Daerah harus merupakan otonomi yang nyata
dan bertanggungjawab; |
(3) |
azas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan azas dekonsentrasi,
dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan azas tugas pembantuan; |
(4) |
pemberian otonomi kepada Daerah mengutamakan aspek keserasian dengan
tujuan di samping aspek pendemokrasian; |
(5) |
tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk meningkatkan dayaguna
dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan
pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan
pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. |
|
|
2. |
Pembagian Wilayah.
a. |
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menentukan tentang pembangian wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 itu antara lain berbunyi :
"Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang".
Penjelasan Pasal 18 itu antara lain berbunyi :
"Oleh karena Negara Indonesia itu suatu "eenheidsstaat",
maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat
"staat" juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi
akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil, Daerah-daerah itu bersifat
autonoom (Streek dan localerechtsgemeenschappen) atau bersifat administrasi
belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang".
|
b. |
Dari isi dan jiwa Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya
sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan
untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Sebagai konsekwensi dari prinsip tegas dinyatakan adanya Daerah Otonom
dan Wilayah Administratip. |
c. |
Daerah yang dibentuk berdasarkan azas desentralisasi disebut Daerah
Otonom yang selanjutnya disebut "Daerah", yang dalam Undang-undang
ini dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedang Wilayah
yang dibentuk berdasarkan azas dekonsentrasi disebut Wilayah Administratip
yang dalam Undang-undang ini selanjutnya disebut "Wilayah". Wilayah-wilayah
di susun secara vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat Pemerintah
yang menyelenggarakan urusan pemerintah umum di daerah.
Pembentukan Wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah untuk meningkatkan
pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. |
|
3. |
Azas - azas penyelenggaraan pemerintahan.
a. |
Umum.
Di muka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekwensi dari Pasal 18 Undang-undang
Dasar 1945 yang kemudian diperjelas dalam Garis-garis Besar Haluan Negara,
Pemerintah diwajibkan melaksanakan azas desentralisasi dan dekonsentrasi
dalam menyelenggarakan pemerintah di daerah.
Tetapi disamping azas desentralisasi dan dekonsentrasi Undang-undang ini
juga memberikan dasar-dasar bagi penyelenggaraan berbagai urusan pemerintah
di daerah menurut azas tugas pembantuan.
|
b. |
Desentralisasi.
Urusan-urusan pemerintah yang telah diserahkan kepada Daerah dalam rangka
pelaksanaan azas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggungjawab
Daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada
Daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan,
maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya. Demikian pula perangkat
pelaksanaannya adalah perangkat Daerah itu sendiri, yaitu terutama Dinas-dinas
Daerah.
|
c. |
Dekonsentrasi.
Dekonsentrasi. Oleh karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan
kepada Daerah menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai
urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah di
daerah berdasarkan azas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh
Pemerintah kepada pejabat-pejabatnya di daerah menurut azas dekonsentrasi
ini tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan,pelaksanaan
maupun pembiayaannya, Unsur pelaksa nanya adalah terutama instansi-instansi
Vertikal, yang dikordinasikan oleh kepala Daerah dalam kedudukannya selaku
perangkat Pemerintah Pusat,tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan
dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah pusat.
|
d. |
Tugas Pembantuan.
Tugas Pembantuan Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintahan
dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya,jadi beberapa
urusan pemerintahan masih tetap meru masih tetap merupakan urusan Pemerintah
Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi bagi Pemerintah Pusat untuk
menyelenggarakan seluruh urusan Pemerintah di daerah yang masih menjadi
wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar dekonsetrasi, mengingat terbatasnya
kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di daerah Dan juga ditinjau dari segi
dayaguna dan hasilguna adalah kurang dapat dipertanggung- jawabkan apabila
semua urusan Pemerintah Pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh
perangkatnya didaerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang
besar jumlahnya lagi,mengingat sifatnya, berbagai urusan sulit untuk dapat
dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya Pemerintah Daerah yang bersangkut
ngkutan.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut maka Undang-undang ini memberikan
kemungkinan untuk dilaksanakannya berbagai urusan pemerintah di daerah
menurut azas tugas pembantuan.
|
|
4. |
Daerah Otonom :
a. |
Otonomi Daerah :
(1) |
Tujuan pemberian otonimo kepada Daerah adalah untuk memungkinkan Daerah
yang bersangkutan mengetur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkat
kan dayaguna dan hasilguna penyelenggaan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan Untuk dapat melaksanakan
tujuan tersebut maka kepada Daerah perlu diberikan wewenang wewenang untuk
melaksanakan berbagai urusan pemerintah sebagai urusan rumah tangganya. |
(2) |
Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan, maka Undang-undang ini meletakan titik berat otonomi pada
Daerah tingkat II, dengan pertimbangan bahwa Daerah Tingkat II-lah yang
lebih langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan dapat
lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat tersebut. |
(3) |
Penyerahan urusan-urusan pemerintah kepada Daerah dilakukan secara
bertahap disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan Daerah yang bersangkutan.
Dengan demikian maka isi otonomi itu berbagai antara Daerah yang satu dengan
lainnya. |
(4) |
Meskipun berbagai urusan telah diserahkan kepada Daerah sebagai pelaksanaan
azas desentralisasi tetapi tanggungjawab berakhir terhadap urusan-urusan
ter- sebut tetap berada ditangan Pemerintah. Oleh karena itu maka urusan-urusan
yang telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah itu apabila diperlukan
dapat ditarik kembali menjadi urusan Pemerintah misalnya apabila urusan
tersebut telah berkembang sedemikian rupa sehingga menyangkut kepentingan
yang lebih luas dan lebih tepat diurus langsung oleh Pemerintah atau Daerah
Tingkat atasnya. |
(5) |
Sebagai Konsekwensi prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab,
Undang-undang undang ini membuka kemungkinan untuk penghapusan Daerah Otonom
Di muka telah diterangkan bahwa pemberian otonomi kepada Daerah dimaksudkan
untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna dalam penyelenggaraan pemerintahan,
terutama dalam pela- yanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.
Apabila setelah dibina dan dibimbing serta diberi kesempatan seluas-luasnya
ternyata sesuatu Daerah tidak mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri dan hanya menggantungkan hidupnya dari subsidi Pemerintah maka
adalah sewajarnya apabila Daerah yang sedemikian itu dihapuskan. |
(6) |
Sebagai konsekwensi dari Negara Kesatuan dan untuk memudahkan pengawasan
terhadap jalannya pemerintah Daerah maka Undang-undang ini mengusahakan
sejauh mungkin adanya keseragaman dalam hal pengaturan mengenai Pemerintah
Daerah. |
|
b. |
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah :
(1) |
Urusan Otonomi Daerah tidaklah statis, tetapi berkembang dan berubah.
Hal ini terutama adalah disebabkan oleh keadaan yang timbul dan berkembang
di dalam masyarakat itu sendiri.
Berhubung dengan itu, sebagaimana telah dikemukakan diatas, Undang-undang
ini memberikan kemungkinan untuk secara bertahap menambah penyerahan urusan-urusan
kepada Daerah, tetapi sebaliknya dimungkinkan pula penarikan kembali sesuatu
urusan yang semula telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah.
Bahkan dimungkinkan pula penghapusan sesuatu Daerah dan pembentukan Daerah-daerah
baru. |
(2) |
Untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dan saran-saran kepada Presiden
tentang hal-hal tersebut diatas, maka Undang-undang ini menentukan adanya
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, yang terdiri dari beberapa orang Menteri
dan ketuai oleh Menteri Dalam Negeri. |
(3) |
Dalam hal-hal yang menyangkut Pasal-pasal 4 dan 5 Undang-undang ini
kekuatan-kekuatan sosial politik di undang untuk didengar pendapatnya.
|
|
c. |
Keuangan Daerah :
Agar supaya Daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya,
maka kepadanya perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Tetapi
mengingat bahwa tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada Daerah
maka kepada Daerah diwajibkan untuk menggali segala sumber-sumber keuangannya
sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
d. |
Pemerintah Daerah :
(1) |
Dalam Undang-undang ini ditetapkan bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Konstruksi yang demikian ini
menjamin adanya kerjasama yang serasi antara Kepala Daerah dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencapai tertib pemerintahan di daerah. |
(2) |
Dengan demikian maka dalam menyelenggarakan pemerintahan Daerah, ada
pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara
Kepala Daerah, yaitu Kepala Daerah memimpin bidang eksekutip dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah bergerak dalam bidang legislatip.
Menurut Undang-undang ini pembuatan Peraturan Daerah dilakukan bersama-sama
oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah
yang telah dibuat bersama-sama dan telah mendapatkan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tersebut ditetapkan dan ditandatangani oleh Kepala
Daerah dan ditandatangani serta oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. |
(3) |
Kiranya perlu ditegaskan disini, bahwa walaupun Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah unsur Pemerintah Daerah, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
tidak boleh mencampuri bidang eksekutip, tanpa mengurangi hak-haknya sesuai
dengan Undang-undang ini.
Bidang eksekutip adalah wewenang dan tanggungjawab Kepala Daerah sepenuhnya. |
|
e. |
Kepala Daerah :
(1) |
Dalam diri Kepala Daerah terdapat dua fungsi, yaitu fungsi sebagai
Kepala Daerah Otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggungjawab
sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan Daerah dan fungsi sebagai Kepala
Wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi
tugas Pemerintah Pusat didaerah, Dari uraian ini jelaslah kiranya, betapa
penting dan luasnya tugas seorang Kepala Daerah. Dalam pengangkatan seorang
Kepala Daerah, haruslah dipertimbangkan dengan seksama, sehingga memenuhi
persyaratan untuk kedua fungsi itu. Sebagai Kepala Wilayah, maka ia harus
mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan dan dipercayai sepenuhnya oleh
Pemerintah. Dan sebagai Kepala Daerah Otonom, maka ia perlu mendapat dukungan
dari Rakyat yang dipimpinnya. |
(2) |
Tatacara pencalonan, pemilihan dan pengangkatan Kepala Daerah yang
ditetapkan dalam Pasal-pasal 15 dan 16 Undang-undang ini dimaksudkan untuk
memenuhi tuntutan dari kedua fungsi Kepala Daerah tersebut. |
(3) |
Sejalan dengan konstruksi yang demikian itu maka Undang-undang ini
menetapkan bahwa Kepala Daerah menurut hierarkhi bertanggungjawab kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Hal ini adalah sesuai dengan kedudukan
Presiden sebagai penanggungjawab tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintah
di seluruh wilayah Negara. Dan ditinjau dari segi prinsip-prinsip organisasi
dan ketatalaksanaan, adalah tepat sekali jika Kepala Daerah hanya mengenal
satu garis pertanggungjawaban, oleh karena itu Kepala Daerah tidak bertanggungjawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Namun demikian, Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang pelaksanaan pemerintahan
Daerah yang dipimpinnya, agar supaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai
salah satu unsur Pemerintah Daerah dapat selalu mengikuti dan mengawasi
jalannya Pemerintahan Daerah.
Dalam memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut Kepala Daerah perlu
memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal-pasal 62,63 dan 64 Undang-undang
ini. Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan tanggapan-tanggapan
sesuai dengan hak-haknya sebagaimana tercantum dalam pasal 29 Undang-undang
ini. |
(4) |
Telah dijelaskan, bahwa Kepala Daerah menurut hierarkhi bertanggungjawab
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Istilah "melalui"
disini bukanlah berarti bahwa Menteri Dalam Negeri hanya meneruskan bahan-bahan
pertanggungjawabkan Kepala Daerah kepada Presiden, tetapi Menteri Dalam
Negeri sebagai pembantu Presiden mengolah bahan-bahan pertanggungjawaban
Kepala Daerah, mengambil tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu sesuai
dengan wewenangnya dan melaporkan kepada Presiden mengenai hal-hal yang
prinsipiil dan penting. |
|
f. |
Wakil Kepala Daerah :
Mengingat luasnya tugas-tugas yang dihadapi oleh Kepala Daerah baik
dalam fungsinya sebagai Kepala Wilayah Administratip maupun sebagai Kepala
Daerah Otonom, maka pada dasarnya dipandang perlu adanya jabatan Wakil
Kepala Daerah. Mengingat kondisi Daerah yang berbeda-beda maka pelaksanaan
pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah tersebut akan diadakan menurut kebutuhan.
Wakil Kepala Daerah diangkat dari Pegawai Negeri berdasarkan peraturan-peraturan
yang berlaku.
|
g. |
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah :
(1) |
Untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai wakil Rakyat maka kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diberikan hak-hak tertentu yaitu :
(a) |
anggaran; |
(b) |
mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; |
(c) |
meminta keterangan; |
(d) |
mengadakan perubahan; |
(e) |
mengajukan pernyataan pendapat; |
(f) |
prakarsa; |
(g) |
mengadakan penyelidikan. |
|
(2) |
Hak-hak yang dimaksud diatas adalah untuk memungkinkan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah melaksanakan fungsinya.Untuk menghindarkan kesimpang siuran
penafsiran, maka cara-cara penggunaan hak-hak tersebut diatas diatur dengan
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman
yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Khusus mengenai cara penggunaan hak mengadakan penyelidikan diatur dengan
Undang-undang. Hal ini dipandang perlu, karena penggunaan hak mengadakan
penyelidikan itu mempunyai konsekwensi-konsekwensi yang luas. Dengan diberikannya
hak prakarsa kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maka Rancangan-rancangan
Peraturan Daerah tidak hanya dibuat oleh Kepala Daerah tetapi dapat pula
dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. |
|
h. |
Sekretariat Daerah :
(1) |
Sekretariat Daeah Tingkat I diintegrasikan dengan Sekretariat Wilayah
Propinsi atau Ibukota Negara dan Sekretariat Daerah Tingkat II diintegrasikan
dengan Sekretariat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Dengan demikian, maka
Sekretariat Daerah adalah Sekretariat yang membantu Kepala Daerah dan Kepala
Wilayah. Dengan pengintegrasian Sekretariat ini, maka dapatlah diharapkan
dayaguna dan hasilguna dalam penyelenggaraan pekerjaan dan dapat pula dicegah
kesimpangsiuran yang tidak perlu. |
(2) |
Sekretariat Daerah adalah unsur staf. Sebagai unsur staf, maka Sekretariat
Daerah menyelenggarakan tugas-tugas umum staf.
Mengingat betapa luas dan banyaknya segi-segi tugas staf, maka untuk menyelenggarakannya
diperlukan kecakapan, keahlian, pengalaman, dan rasa pengabdian yang tinggi.
Jabatan staf adalah jabatan karier, oleh sebab itu pegawai yang ditempatkan
kapa jabatan staf haruslah pegawai yang benar-benar dapat diandalkan dan
memenuhi syarat-syarat serta mempunyai kwalifikasi-kwalifikasi tertentu
berdasarkan peraturan kepegawaian yang berlaku. Karena jabatan staf adalah
jabatan karier, maka Sekretaris Daerahpun adalah jabatan karier.
Dengan perkataan lain, Sekretaris Daerah tidak dipilih, tetapi diangkat
dari Pegawai Negeri yang memenuhi syarat-syarat setelah mendengar pertimbangan
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Yang dimaksud dengan "setelah
mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah" ialah
bahwa Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut menyampaikan pertimbangannya
kepada Kepala Daerah setelah mendengar/meminta pendapat Fraksi-fraksi. |
|
i. |
Dinas Daerah :
(1) |
Dinas-dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Urusan-urusan
yang diselenggarakan oleh Dinas-dinas Daerah adalah urusan-urusan yang
telah menjadi urusan rumah tangga Daerah.
Pembentukan Dinas Daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang masih menjadi
wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada Daerah dengan sesuatu
Undang-undang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah tangganya,
tidak dibenarkan. |
(2) |
Dalam menjalankan tugasnya, Dinas-dinas Daerah itu berada sepenuhnya
di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Daerah. |
|
j. |
Perusahaan Daerah :
Perusahaan Daerah adalah suatu badan usaha yang dibentuk oleh Daerah
untuk memperkembangkan perekonomian Daerah dan untuk menambah penghasilan
Daerah. Berhubung dengan itu, maka Perusahaan Daerah harus didasarkan atas
azas-azas ekonomi perusahaan yang sehat, atau dengan perkataan lain, Perusahaan
Daerah harus melakukan kegiatannya secara berdayaguna dan berhasilguna.
Dalam hal ini perlu dicegah adanya kecenderungan-kecenderungan kearah sistim
serba negara (statisme) dan monopoli sebagaimana telah digariskan dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara.
|
|
5. |
Wilayah Administratip :
a. |
U m u m :
Untuk merealisasikan ketentuan tentang "daerah administrasi belaka"
yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, maka
Undang-undang ini mengatur secara jelas hal-hal yang berhubungan dengan
Wilayah Administratip.
|
b. |
Kepala Wilayah :
(1) |
Kepala Wilayah dalam semua tingkat sebagai wakil Pemerintah Pusat adalah
Penguasa Tunggal di bidang Pemerintahan di Daerah, kecuali bidang pertahanan
dan keamanan, bidang peradilan, bidang luar negeri, dan bidang moneter
dalam arti mencetak uang, menentukan nilai mata uang dan sebagainya.
Ia berkewajiban untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan, mengkoordinasikan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta membina kehidupan masyarakat
dalam segala bidang. Dengan perkataan lain, Penguasa Tunggal adalah Administrator
Pemerintah, Administrator Pembangunan, dan Administrator Kemasyarakatan.
Sebagai wakil Pemerintah dan Penguasa Tunggal, maka Kepala Wilayah adalah
pejabat tertinggi di Wilayahnya di bidang pemerintahan, lepas dari persoalan
pangkat.
|
(2) |
Wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah adalah :
(a) |
Pembinaan ketentraman dan ketertiban Wilayah :
i. |
Ketentraman dan ketertiban adalah suatu keadaan di mana Pemerintah
dan Rakyat dapat melakukan kegiatan secara aman, tertib dan teratur. Ketentraman
dan ketertiban ini dapat terganggu oleh pelbagai sebab dan keadaan, diantaranya
ialah :
- |
pelanggaran hukum yang menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban
masyarakat. |
- |
bencana-bencana, baik bencana alam maupun bencana yang ditimbulkan
oleh manusia; |
- |
faktor-faktor yang terletak di bidang ekonomi dan keuangan. |
|
ii. |
Pembinaan serta pemeliharaan ketentraman dan ketertiban ini menuju
kearah ketertiban masyarakat adalah tugas kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah.
Oleh sebab itu Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pembinaan serta pemeliharaan
ketentraman dan ketertiban yang berlaku di dalam seluruh wilayah Negara,
termasuk didalamnya pengerahan alat-alat keamanan. |
iii. |
Berhubung dengan luasnya wilayah Negara dan untuk menjamin tindakan
yang cepat serta tepat pada waktunya, maka dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan
pembinaan serta pemeliharaan ketentraman dan ketertiban itu, dalam keadaan
biasa, kepada Kepala Wilayah perlu diberikan beberapa wewenang pembinaan
ketentraman dan ketertiban di wilayahnya yang meliputi :
- |
wewenang pengaturan untuk dapat mendorong terciptanya ketentraman dan
ketertiban masyarakat; |
- |
wewenang pengaturan kegiatan-kegiatan penanggulangan bencana-bencana; |
- |
wewenang pengaturan kegiatan-kegiatan di bidang politik, ekonomi, dan
sosial-budaya. |
|
iv. |
Apabila terjadi atau diperkirakan akan terjadi gangguan ketentraman
dan ketertiban di wilayahnya, maka sesuai dengan sifat, hakekat, dan bentuk
gangguan tersebut Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaan untuk meniadakan
atau mencegah gangguan itu.
Kebijaksanaan ini dapat bersifat propentip dan dapat pula bersifat represip.
Yang bersifat propentip misalnya kalau ada atau akan ada kegiatan tertentu
(pasar malam, perselisihan golongan dan lain-lain) yang diperkirakan akan
menimbulkan gangguan terhadap ketentraman dan ketertiban masyarakat, Kepala
Wilayah menentukan kebijaksanaan untuk meniadakan sebab-sebab yang mungkin
menimbulkan gangguan itu.
Yang bersifat represip, misalnya kalau terjadi bencana alam, bagaimana
memberikan perlindungan serta penyelamatan penduduk yang tertimpa bencana
itu (apakah penduduk itu perlu dipindahkan atau tidak dan sebagainya),
bagaimana penyelamatan harta bendanya, pemberian perawatan dan lain-lain. |
v. |
Sebelum Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaannya, ia diwajibkan untuk
mengadakan musyawarah dengan Pimpinan Badan-badan/alat-alat Keamanan yang
ada di Wilayahnya untuk bersama-sama menilai keadaan.
Untuk keperluan tersebut dibentuk Badan tersendiri, yang diketuai oleh
Kepala Wilayah dan beranggotakan Panglima/Komandan/Kepala ABRI yang bertugas
di Wilayah itu. |
vi. |
Kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Kepala Wilayah wajib diamankan
pelaksanaannya oleh alat-alat Negara. Pelaksanaan pengamanan kebijaksanaan
tersebut harus berdasarkan ketentuan/peraturan dan Doktrin Pelaksanaan
Tugas yang berlaku baginya dan yang bersangkutan menyampaikan laporan kepaga
Kepala Wilayah selaku pemegang kebijaksanaan pembinaan ketentraman dan
ketertiban di Wilayahnya. |
|
(b) |
Pembinaan ideologi Negara, politik dalam negeri dan kesatuan Bangsa.
i. |
Bangsa Indonesia telah mempunyai falsafah dan ideologi PANCASILA, tetapi
pengalaman kita selama ini telah membuktikan, bahwa ada golongan yang selalu
berusaha merongrong atau menyelewengkan PANCASILA dan Undang-Undang Dasar
1945 itu. Walaupun demikian, berkat kebenaran dan keampuhan falsafah dan
ideologi PANCASILA itu, segala rongrongan dan penyelewengan terhadap PANCASILA
itu akhirnya dapat dipatahkan. Berhubung dengan itu maka adalah menjadi
tugas dan kewajiban seluruh perangkat Negara dalam semua tingkat untuk
mengamankan dan mengamalkan PANCASILA dan Undang-Undang Dasar 1945. |
ii. |
Masyarakat adil dan makmur berdasarkan PANCASILA sebagai tersebut dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, hanyalah dapat dicapai dengan melaksanakan
pembangunan secara berencana dalam segala bidang, sedang pembangunan baru
dapat dilaksanakan dengan baik apabila sudah tercipta politik dalam negeri
yang stabil dan mantap. Menciptakan kestabilan dan kemantapan politik adalah
salah satu tugas Pemerintah yang penting. |
iii. |
Berhubung dengan keadaan Bangsa Indonesia yang bersifat Bhineka Tunggal
Ika, maka usaha-usaha pembinaan kesatuan Bangsa mutlak perlu direncanakan
dengan sebaik-baiknya dan dilaksanakan secara bertahap dan terus menerus. |
iv. |
Pelaksanaan pembinaan ideologi Negara, politik dalam negeri dan kesatuan
Bangsa di daerah-daerah adalah menjadi tugas, kewajiban dan tanggung jawab
Kepala Wilayah, sesuai dengan kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah. |
|
(c) |
Penyelenggaraan kordinasi terhadap Instansi-instansi Vertikal.
i. |
Instansi-instansi Vertikan adalah perangkat Departemen-departemen atau
Lembaga-lembaga Pemerintah non Departemen yang ditempatkan didaerah untuk
melaksanakan sebagian urusan Departemen-departemen atau Lembaga-lembaga
Pemerintah non Departemen yang bersangkutan. |
ii. |
Dalam prakteknya antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh masing-masing
Instansi Vertikal, begitu juga antara urusan-urusan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah dan Instansi-instansi Vertikal, sangat erat hubungannya
satu dan yang lain. Maka untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar-besarnya,
sangat perlu penyelenggaraan urusan-urusan itu dikoordasikan dengan sebaik-baiknya.
Pejabat yang berwenang dan berkewajiban untuk menyelenggarakan koordinasi
tersebut adalah Kepala Wilayah. Berhubung dengan itu, maka dalam melaksanakan
tugasnya Instansi-instansi Vertikal berada dibawah koordinasi Kepala Wilayah
sebagai wakil Pemerintah. Berhubung dengan itu, maka Instansi-instansi
Vertikal wajib melaporkan segara rencana dan kegiatan, memberikan keterangan-keterangan
yang diminta dan mematuhi petunjuk-petunjuk umum yang diberikan oleh Kepala
Wilayah. |
iii. |
Dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan instansi-instansi Vertikal,
begitu juga antara Instansi-instansi Vertikal, dengan Pemerintah Daerah,
Kepala Wilayah harus selalu memperhatikan dan tidal boleh bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
|
(d) |
Bimbingan dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah.
i. |
Bimbingan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah Daerah
disamping menjadi tugas Pemerintah adalah juga menjadi tugas Kepala Wilayah. |
ii. |
Bimbingan dan pengawasan itu harus selalu dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku |
|
(e) |
Pembinaan tertib Pemerintah.
Peraturan perundang-undangan dan Peraturan Daerah harus selalu diusahakan
agar ditaati bukan saja oleh Rakyat tetapi juga oleh Instansi-instansi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pejabat-pejabat yang bersangkutan.
Tugas ini adalah tugas Kepala Wilayah dalam semua tingkat. Dalam hubungan
ini Kepala Wilayah dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu
sesuai dengan wewenang yang ada padanya.
|
(f) |
Pelaksanaan tugas-tugas lain.
Selain tugas-tugas sebagai tersebut diatas, maka Kepala Wilayah melaksanakan
tugas-tugas pemerintah yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
ditugaskan kepadanya dan juga tugas-tugas lain yang tidak menjadi tugas
sesuatu Instansi Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah.
|
|
(3) |
Tindakan Kepolisian.
Berhubung dengan pentingnya kedudukan Kepala Wilayah Propinsi/Ibukota
Negara maka untuk menjamin kewibawaannya, tatacara tindakan Kepolisian
terhadap Kepala Wilayah Propinsi/Ibukota Negara tersebut diatur secara
khusus.
|
|
c. |
Sekretariat Wilayah :
(1) |
Mengenai Sekretariat Wilayah Propinsi, Ibukota Negara, Kabupaten dan
Kotamadya, lihat penjelasan Sekretariat Daerah. |
(2) |
Sekretariat Wilayah Kecamatan dan Kota Administratip diatur oleh Menteri
Dalam Negeri. |
|
|
6. |
Pengawasan :
a. |
U m u m.
Dalam setiap organisasi, terutama dalam organisasi pemerintahan, fungsi
pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan itu adalah suatu usaha
untuk menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintah
oleh Daerah-daerah dan oleh Pemerintah dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna.
|
b. |
Pengawasan Umum.
Pengawasan Umum adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah
terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah untuk menjamin penyelenggaraan
pemerintah Daerah dengan baik. Pengawasan Umum terhadap pemerintah Daerah
dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah sebagai wakil Pemerintah di daerah yang bersangkutan.
|
c. |
Pengawasan Prepentif.
(1) |
Pengawasan Prepentip mengandung prinsip bahwa Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku sesudah ada
pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu :
(a) |
Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
Tingkat I; |
(b) |
Gubernur Kepala Daerah bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
Tingkat II; |
|
(2) |
Pada pokoknya Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang untuk
berlakunya memerlukan pengesahan adalah yang :
(a) |
menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengikat Rakyat, ketentuan-ketentuan
yang mengandung perintah, larangan, keharusan untuk berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu dan lain-lain yang ditujukan langsung kepada Rakyat; |
(b) |
mengadakan ancaman pidana berupa denda atau kurungan atas pelanggaran
ketentuan tertentu yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah; |
(c) |
memberikan beban kepada Rakyat, misalnya pajak atau retribusi Daerah; |
(d) |
menentukan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh umum, karena menyangkut
kepentingan Rakyat, misalnya: mengadakan hutang piutang, menanggung pinjaman,
mengadakan Perusahaan Daerah, menetapkan dan mengubah Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, menetapkan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, mengatur gaji pegawai dan lain-lain. |
|
|
d. |
Pengawasan Represip.
(1) |
Pengawasan Represip dilakukan terhadap semua Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah. |
(2) |
Pengawasan Represip berwujud penangguhan atau pembatalan Peraturan
Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Penangguhan
atau pembatalan itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang. |
|
|
|