PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 1995

TENTANG

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

TAHUN ANGGARAN 1995/96

UMUM
Pembangunan nasional untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yang arah kebijaksanaannya ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), merupakan rangkaian proses yang berkesinambungan. Arah kebijaksanaan pembangunan tersebut dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), sedangkan pelaksanaan operasional tahunannya dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian hal-hal yang dituangkan dalam APBN senantiasa sejalan dengan arah kebijaksanaan GBHN maupun Repelita.
Dalam hubungan itu, sejak dimulainya pembangunan secara berencana pada tahun 1969, pembangunan berbagai sarana dan prasarana serta pembangunan bidang-bidang lainnya telah dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, dan secara bertahap berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hasil-hasil pembangunan tersebut, dalam Repelita VI, selanjutnya diperbarui, diperdalam, dan diperluas dengan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Adapun pelaksanaannya didasarkan pada nilai luhur dan pengamalan semua sila Pancasila sebagai kesatuan yang utuh.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1995/96, yang merupakan APBN tahun kedua Repelita VI, memiliki komitmen untuk melakukan pembaruan, pendalaman, dan perluasan pembangunan, yang mencerminkan tekad untuk mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta makin berkualitas, dengan memberikan prioritas kepada pembangunan ekonomi, dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya sebagaimana yang tertuang dalam Repelita VI.
APBN Tahun Anggaran 1995/96 tetap menganut prinsip anggaran berimbang yang dinamis, yang memungkinkan dibentuknya dana cadangan apabila penerimaan negara melebihi yang direncanakan, dan dimanfaatkannya dana tersebut pada masa penerimaan kurang dari yang direncanakan atau tidak cukup mendukung program yang telah direncanakan dan atau yang sangat mendesak sehingga terjamin kesinambungan pembiayaan yang diiringi oleh stabilitas ekonomi yang mantap. Dalam prinsip itu, pembentukan tabungan pemerintah, yang merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, sangat penting terutama dalam kaitannya dengan pemupukan investasi dari sektor pemerintah, yang bersama-sama dengan investasi dari sektor swasta, mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Sedangkan bantuan luar negeri, sepanjang tidak memiliki ikatan politik dan tidak memberatkan perekonomian nasional, masih dapat dipergunakan sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan.
Dalam kaitan dengan kemandirian, berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri, terutama penerimaan di luar migas terus dilakukan. Peningkatannya senantiasa diselaraskan dengan perkembangan dunia usaha dan investasi nasional. Untuk itu, telah dilakukan penyempurnaan atas empat undang-undang di bidang perpajakan. Penyempurnaan tersebut diperlukan terutama untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan serta menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif bagi masyarakat dalam memberikan kontribusinya bagi pembiayaan pembangunan. Hal ini mengingat pertumbuhan yang cepat dari pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat pula di bidang ekonomi, sehingga berkembang bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam undang-undang yang lama.
Di bidang pengeluaran negara, penghematan dan efisiensi di bidang pengeluaran rutin makin dipertajam, namun masih dalam batas-batas yang aman guna mendukung terselenggaranya pemerintahan dan pembangunan, pemeliharaan aset negara, dan pembayaran kewajiban hutang luar negeri. Dalam kaitan itu, upaya meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri tetap mendapatkan perhatian sebatas kemampuan keuangan negara memungkinkan. Kebijaksanaan di bidang pengeluaran pembangunan pada prinsipnya tetap diarahkan pada pemanfaatan dana pembangunan yang terbatas untuk pembiayaan proyek-proyek produktif di berbagai sektor dan subsektor yang dapat menunjang pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam hubungan ini, prioritas alokasi pembiayaan pembangunan diarahkan terutama pada pengembangan sektor-sektor yang berkaitan dengan pembangunan daerah dan transmigrasi, pembangunan sarana dan prasarana dasar, penyediaan berbagai fasilitas pelayanan dasar, serta pengembangan sumber daya manusia, dengan tetap memberi perhatian yang cukup pada pemeliharaan lingkungan hidup dan pengembangan berbagai sektor terkait lainnya. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan pemerataan pembangunan di berbagai daerah di seluruh wilayah tanah air, sebagai upaya untuk memperkecil kesenjangan pembangunan antar daerah, maka pembangunan daerah yang relatif tertinggal seperti yang terdapat di kawasan timur Indonesia, daerah pedalaman, daerah terpencil dan daerah perbatasan tetap ditingkatkan. Guna mendorong pengembangan kemampuan keuangan daerah dan mewujudkan pelaksanaan secara nyata otonomi daerah, beberapa bentuk program bantuan pembangunan daerah berupa proyek khusus Inpres yang sejak tahun anggaran 1994/95 telah diserahkan pengelolaannya kepada daerah dalam bentuk "block grant" tetap dipertahankan. Demikian pula pelaksanaan program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang telah nyata sangat membantu daerah-daerah tertinggal tetap diteruskan pelaksanaannya.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, penyusunan APBN tahun anggaran 1995/96 didasarkan pada asumsi sebagai berikut:
a.
bahwa meskipun perekonomian Indonesia diperkirakan cukup mantap dan stabil, namun khususnya yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan negara masih menghadapi tantangan, terutama perkembangan harga minyak bumi di pasar internasional yang tidak menentu;
b.
bahwa demi mempertahankan kesinambungan pembangunan, pengerahan sumber-sumber dana di luar minyak bumi dan gas alam perlu terus ditingkatkan, sehingga peranan penerimaan dalam negeri nonmigas dalam pembiayaan pembangunan senantiasa makin meningkat ;
c.
bahwa perubahan atas beberapa ketentuan di bidang perpajakan yang mulai diberlakukan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1995, dalam jangka pendek akan mengakibatkan kenaikan penerimaan pajak penghasilan yang tidak setinggi pertumbuhan lima tahun terakhir, walaupun dalam jangka menengah dan panjang diharapkan dapat memacu perkembangan perekonomian serta penerimaan negara dari sektor pajak yang lebih tinggi;
d.
bahwa kestabilan moneter dan tersedianya barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari yang cukup tersebar merata dengan harga yang stabil dan terjangkau oleh rakyat banyak, dapat terus dipertahankan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal ini memuat rumusan mengenai pengertian umum yang digunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam Undang-undang ini. Dengan adanya pengertian tentang istilah-istilah tersebut dapat dicegah adanya salah pengertian atau salah penafsiran dalam pasal-pasal yang bersangkutan, sehingga dapat dicapai kesatuan cara pandang dan kelancaran dalam pelaksanaan. Pengertian ini diperlukan karena bersifat teknis dan baku, khususnya dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 2
Ayat(1)                                        
Cukup jelas                                  
Ayat(2)
Cukup jelas
Ayat(3)
Cukup jelas
Ayat(4)
Cukup jelas
Pasal 3 s/d 9
Cukup jelas
Pasal 10
Apabila pada akhir tahun anggaran 1995/96 terdapat sisa anggaran lebih, maka sisa tersebut merupakan tambahan saldo kas negara, yang dipergunakan untuk membiayai anggaran belanja tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Pasal-pasal ICW yang dinyatakan tidak berlaku adalah :
1. Pasal 2 ayat (1) tentang susunan anggaran yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal;
2. Pasal 2 ayat (3) tentang Kewenangan Gubernur Jenderal menetapkan perincian lebih lanjut pos; dan
3. Pasal 72 yang mengatur bahwa pengajuan Perhitungan Anggaran Negara (PAN) kepada DPR paling lambat tiga tahun setelah tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Pasal 14
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3588