PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1999
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
I. |
UMUM |
|||
|
1. |
Dasar Pemikiran |
||
|
|
a. |
NegaraRepublik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, antara lain, menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang. Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain, dikemukakan bahwa "oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai Daerah dalam lingkungan yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek en locale rechtgemeenschappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang". Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, di daerah pun, pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. |
|
|
|
b. |
Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
|
|
|
c. |
Undang-undang ini disebut "Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah" karena undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. |
|
|
|
d. |
Sesuai dengan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tersebut di atas, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu, penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman.Daerah. |
|
|
|
e. |
Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran-serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, undang-undang ini menempatkan Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya Daerah Tingkat II. Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebut berkedudukan sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. |
|
|
|
f. |
Propinsi Daerah Tingkat I menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam undang-undang ini dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki. |
|
|
g. |
Pemberian kedudukan Propinsi sebagai Daerah Otonom dan sekaligus sebagai Wilayah Administrasi dilakukan dengan pertimbangan : |
||
|
|
|
(1) |
untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; |
|
|
|
(2) |
untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota serta melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan |
|
|
|
(3) |
untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tertentu yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi. |
|
|
h. |
Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan dipertukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi untuk Daerah Propinsi diberikan secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas Kabupaten dan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. |
|
|
|
i. |
Atas dasar pemikiran di atas, prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut : |
|
|
|
|
(1) |
Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah. |
|
|
|
(2) |
Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. |
|
|
|
(3) |
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas. |
|
|
|
(4) |
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah. |
|
|
|
(5) |
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom. |
|
|
|
(6) |
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. |
|
|
|
(7) |
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. |
|
|
|
(8) |
Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. |
|
2. |
Pembagian Daerah |
||
|
|
Isi dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan undang-undang ini dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut : |
||
|
|
a. |
Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas dekonsentrasi adalah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
|
|
|
b. |
Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah Daerah Propinsi, sedangkan Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. |
|
|
|
c. |
Pembagian Daerah di luar Daerah Propinsi dibagi habis ke dalam Daerah Otonom. Dengan demikian, Wilayah Administrasi yang berada dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus. |
|
|
|
d. |
Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut undang-undang ini kedudukannya diubah menjadi perangkat Daerah Kabupaten atau Daerah Kota. |
|
|
3. |
Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah |
||
|
|
Prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah : |
||
|
|
a. |
digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan; |
|
|
|
b. |
penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan |
|
|
|
c. |
asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa. |
|
|
4. |
Susunan Pemerintahan Daerah dan Hak DPRD |
||
|
|
Susunan Pemerintahan Daerah Otonom meliputi DPRD dan Pemerintah Daerah. DPRD dipisahkan dari Pemerintah Daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada rakyat. Oleh karena itu hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kebijakan Daerah dan melakukan fungsi pengawasan. |
||
|
5. |
Kepala Daerah |
||
|
|
Untuk menjadi Kepala Daerah, seseorang diharuskan memenuhi persyaratan tertentu yang intinya agar Kepala Daerah selalu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki etika dan moral, berpengetahuan, dan berkemampuan sebagai pimpinan pemerintahan, berwawasan kebangsaan, serta mendapatkan kepercayaan rakyat. Kepala Daerah di samping sebagai pimpinan pemerintahan, sekaligus adalah Pimpinan Daerah dan pengayom masyarakat sehingga Kepala Daerah harus mampu berpikir, bertindak, dan bersikap dengan lebih mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat umum daripada kepentingan pribadi, golongan, dan aliran. Oleh karena itu, dari kelompok atau etnis, dan keyakinan manapun Kepala Daerah harus bersikap arif, bijaksana, jujur, adil, dan netral. |
||
|
6. |
Pertanggungjawaban Kepala Daerah |
||
|
|
Dalam menjalankan tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Propinsi, sedangkan dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara itu, dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, Bupati atau Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/DPRD Kota dan berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan. |
||
|
7. |
Kepegawaian |
||
|
|
Kebijakan kepegawaian dalam undang-undang ini dianut kebijakan yang mendorong pengembangan Otonom Daerah sehingga kebijakan kepegawaian di Daerah yang dilaksanakan oleh Daerah Otonom sesuai dengan kebutuhannya, baik pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan mutasi maupun pemberhentian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mutasi antar-Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam Daerah Propinsi diatur oleh Gubernur, sedangkan mutasi antar-Daerah Propinsi diatur oleh Pemerintah. Mutasi antar-Daerah Propinsi dan/atau antar-Daerah Kabupaten dan Daerah Kota atau antara Daerah Propinsi dengan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada kesepakatan Daerah Otonom tenebut. |
||
|
8. |
Keuangan Daerah |
||
|
|
(1) |
Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antara Propinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan prasyarat dalam sistem Pemerintahan Daerah. |
|
|
|
(2) |
Dalam rangka menyelenggarakan Otonomi Daerah kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan Daerah. |
|
|
9. |
Pemerintahan Desa |
||
|
|
(1) |
Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal�usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. |
|
|
|
(2) |
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati. |
|
|
|
(3) |
Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu, Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan. |
|
|
|
(4) |
Sebagai perwujudan demokrasi, di Desa dibentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. |
|
|
|
(5) |
Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa. |
|
|
|
(6) |
Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan Desa, bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lain�lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman Desa. |
|
|
|
(7) |
Berdasarkan hak asal-usul Desa yang bersangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/ sengketa dari para warganya. |
|
|
|
(8) |
Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah Kelurahan yang berada di dalam Daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota. |
|
|
10. |
Pembinaan dan Pengawasan |
||
|
|
Yang dimaksud dengan pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan Daerah Otonom, sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan kepada Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena itu, Peraturan Daerah yang ditetapkan Daerah Otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. |
||
II |
PASAL DEMI PASAL |
|||
|
Pasal 1 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 2 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Yang dimaksud Wilayah Administrasi adalah daerah administrasi menurut Undang-Undang Dasar 1945. |
|
|
Pasal 3 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 4 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan tidak mempunyai huhungan hierarki satu sama lain adalah bahwa Daerah Propinsi tidak membawahkan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja sama, dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam kedudukan masing�masing sebagai Daerah Otonomi. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai Wilayah Administrasi, Gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. |
|
|
Pasal 5 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Untuk menentukan batas dimaksud, setiap Undang-Undang mengenai pembentukan Daerah dilengkapi dengan peta yang dapat menunjukkan dengan tepat letak geografis Daerah yang bersangkutan, demikian pula mengenai perubahan batas Daerah. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Yang dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan pada usul Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPRD. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 6 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 7 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan moneter dan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi. Khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam menumbuh kembangkan kehidupan beragama. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 8 |
|||
|
|
Dalam penyelenggaraan kewenangan Pemerintah yang diserahkan dan/atau dilimpahkan kepada Daerah/Gubernur, Daerah/Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengelolanya mulai dari pembiayaan, perijinan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sesuai dengan standar, norma, dan kebijakan Pemerintah. |
||
|
Pasal 9 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan. |
|
Yang dimaksud dengan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya adalah : |
||||
|
|
|
a. |
perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro; |
|
|
|
b. |
pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, dan penelitian yang mencakup wilayah Propinsi; |
|
|
|
c. |
pengelolaan pelabuhan regional; |
|
|
|
d. |
pengendalian lingkungan hidup; |
|
|
|
e. |
promosi dagang dan budaya/pariwisata; |
|
|
|
f. |
penanganan penyakit menular dan hama tanaman; dan |
|
|
|
g. |
perencanaan tata ruang propinsi. |
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan kewenangan ini adalah kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang ditangani oleh Propinsi setelah ada penyertaan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 10 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan sumber daya nasional adalah sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia yang tersedia di Daerah. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Khusus untuk penangkapan ikan secara tradisional tidak dibatasi wilayah laut. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 11 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak perlu di lakukan secara aktif, tetapi dilakukan melalui pengakuan oleh Pemerintah. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa Daerah dalam penyelenggaraan otonominya, untuk menghindarkan terjadinya kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu menurut pasal ini, sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing. |
|
|
|
|
Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak dapat dialihkan ke Daerah Propinsi. |
|
|
|
|
Khusus kewenangan Daerah Kota disesuaikan dengan kebutuhan perkotaan, antara lain pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan, dan tata kota. |
|
|
Pasal 12 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 13 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 14 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 15 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 16 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Dalam kedudukannya sebagai Badan Legislatif Daerah, DPRD bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah. |
|
|
Pasal 17 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 18 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Huruf a |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf b |
|
|
|
|
|
Pemilihan anggota MPR dari Utusan Daerah hanya dilakukan oleh DPRD Propinsi. |
|
|
|
Huruf c |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf d |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf e |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf f |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf g |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf h |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 19 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 20 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan pejabat negara dan pejabat pemerintah adalah pejabat di lingkungan kerja DPRD bersangkutan. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 21 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 22 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 23 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 24 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 25 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 26 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 27 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 28 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 29 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 30 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 31 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 32 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 33 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 34 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara bersamaan adalah bahwa calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dipilih secara berpasangan. Pemilihan secara bersamaan ini dimaksudkan untuk menjamin kerja sama yang harmonis antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 35 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 36 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan rapat paripurna adalah rapat yang khusus diadakan untuk pemilihan Kepala Daerah. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 37 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 38 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur dikonsultasikan dengan Presiden, karena kedudukannya selaku wakil Pemerintah di Daerah. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota diberitahukan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. |
|
|
Pasal 39 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 40 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 41 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 42 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Pengucapan sumpah/janji dan pelantikan Kepala Daerah dapat dilakukan di Gedung DPRD atau di gedung lain, dan tidak dilaksanakan dalam rapat DPRD. Pengucapan sumpah/janji dilakukan menurut agama yang diakui Pemerintah, yakni : |
|
|
|
|
a. |
diawali dengan ucapan "Demi Allah" untuk penganut agama Islam; |
|
|
|
b. |
diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan menolong saya" untuk penganut agama Kristen Protestan/Katolik; |
|
|
|
c. |
diawali dengan ucapan "Om atah paramawisesa" untuk penganut agama Hindu; dan |
|
|
|
d. |
diawali dengan ucapan "Demi Sanghyang Adi Buddha" untuk penganut agama Buddha. |
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 43 |
|||
|
|
Huruf a |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf b |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf c |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf d |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf e |
||
|
|
|
Dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, Kepala Daerah berkewajiban mewujudkan demokrasi ekonomi dengan melaksanakan pembinaan dan pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah yang mencakup permodalan, pemasaran, pengembangan teknologi, produksi, dan pengolahan serta pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia. |
|
|
|
Huruf f |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf g |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 44 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 45 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 46 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 47 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 48 |
|||
|
|
Huruf a dan huruf e |
||
|
|
|
Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan bagi Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan pemerintahan dengan tidak membeda-bedakan warga masyarakat. |
|
|
|
Huruf b, huruf c, dan huruf d |
||
|
|
|
Larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, antara lain, yang berwujud korupsi, kolusi, dan nepotisme. |
|
|
Pasal 49 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 50 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 51 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 52 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 53 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Pemberitahuan secara tertulis tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur, tembusannya dikirimkan kepada Presiden, sedangkan berakhirnya masa jabatan Bupati/Walikota, tembusannya dikirimkan kepada Gubernur. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 54 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 55 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 56 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Pengucapan sumpah/janji dan pelantikan Wakil Kepala Daerah dapat dilakukan di gedung DPRD atau di gedung lain, dan tidak dilaksanakan dalam rapat DPRD, Pengucapan sumpah/janji dilakukan menurut agama yang diakui Pemerintah, yakni : |
|
|
|
|
a. |
diawali dengan ucapan "Demi Allah" untuk penganut agama Islam; |
|
|
|
b. |
diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan menolong saya" untuk penganut agama Kristen Protestan/Katolik; |
|
|
|
c. |
diawali dengan ucapan "Om atah paramawisesa" untuk penganut agama Hindu; dan |
|
|
|
d. |
diawali dengan ucapan "Demi Sanghyang Adi Buddha" untuk penganut agama Buddha. |
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (6) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 57 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 58 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 59 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 60 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 61 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 62 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 63 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 64 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 65 |
|||
|
|
Yang dimaksud dengan lembaga teknis adalah Badan Penelitian dan Pengembangan, Badan Perencanaan, Lembaga Pengawasan, Badan Pendidikan dan Pelatihan, dan lain-lain. |
||
|
Pasal 66 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 67 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Sekretaris Daerah Kota/Kabupaten memberi pertimbangan kepada Walikota/Bupati dalam proses pengangkatan Lurah. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Camat dapat melimpahkan sebagian kewenangan kepada Lurah. |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (6) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 68 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 69 |
|||
|
|
Peraturan Daerah hanya ditandatangani oleh Kepala Daerah dan tidak ditandatangani serta Pimpinan DPRD karena DPRD bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah. |
||
|
Pasal 70 |
|||
|
|
Yang dimaksud dengan Peraturan Daerah lain adalah Peraturan Daerah yang sejenis dan sama kecuali untuk perubahan. |
||
|
Pasal 71 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Paksaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menegakkan hukum dengan Undang-undang ini disebut "paksaan penegakan hukum" atau "paksaan pemeliharaan hukum". Paksaan penegakan hukum itu pada umumnya berwujud mengambil atau meniadakan, mencegah, melakukan, atau memperbaiki segala sesuatu yang telah dibuat, diadakan, dijalankan, dialpakan, atau ditiadakan yang bertentangan dengan hukum. Paksaan itu harus didahului oleh suatu perintah tertulis oleh penguasa eksekutif kepada pelanggar. Apabila pelanggar tidak mengindahkannya, diambil suatu tindakan paksaan. Pejabat yang menjalankan tindakan paksaan penegakan hukum terhadap pelanggar harus dengan tegas diserahi tugas tersebut. Paksaan penegakan hukum itu hendaknya hanya dilakukan dalam hal yang sangat perlu saja dengan cara seimbang sesuai dengan berat pelanggaran, karena paksaan tersebut pada umumnya dapat menimbulkan kerugian atau penderitaan. Jumlah denda dapat disesuaikan dengan perkembangan tingkat kemahalan hidup. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 72 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 73 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Pengundangan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat mengatur dilakukan menurut cara yang sah, yang merupakan keharusan agar Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah tersebut mempunyai kekuatan hukum dan mengikat. Pengundangan dimaksud kecuali untuk memenuhi formalitas hukum juga dalam rangka keterbukaan pemerintahan. Cara pengundangan yang sah adalah dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah oleh Sekretaris Daerah. Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, peraturan dan keputusan tersebut perlu dimasyarakatkan. |
|
Ayat (2) | ||||
Cukup jelas | ||||
Pasal 74 | ||||
Cukup jelas | ||||
Pasal 75 | ||||
Cukup jelas | ||||
|
Pasal 76 |
|||
|
|
Pemindahan pegawai dalam Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Bupati/Walikota, pemindahan pegawai antar-Daerah Kabupaten/Kota dan/atau Antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah Propinsi dilakukan oleh Gubernur setelah berkonsultasi dengan Bupati/Walikota, dan pemindahan pegawai antar-Daerah Propinsi atau antara Daerah Propinsi dan Pusat serta pemindahan pegawai Daerah antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah Kabupaten/Kota di Daerah Propinsi lainnya ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Kepala Daerah. |
||
|
Pasal 77 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 78 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 79 |
|||
|
|
Huruf a |
||
|
|
|
Angka i) |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Angka 2) |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Angka 3) |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Angka 4) |
|
|
|
|
|
Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah antara lain hasil penjualan asset Daerah dan jasa giro. |
|
|
Huruf b |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf c |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf d |
||
|
|
|
Lain-lain pendapatan Daerah yang sah adalah antara lain hibah atau penerimaan dari Daerah Propinsi atau Daerah Kabupaten/ Kota lainnya, dan penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
|
|
Pasal 80 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Huruf a |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan penerimaan sumber daya alam adalah penerimaan negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam antara lain di bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas bumi, kehutanan, dan perikanan. |
|
|
|
Huruf b |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf c |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Tidak termasuk bagian Pemerintah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang dikembalikan kepada Daerah. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 81 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Pinjaman dalam negeri bersumber dari Pemerintah, lembaga komersial, dan/atau penerbitan obligasi Daerah dengan diberitahukan kepada Pemerintah sebelum peminjaman tersebut dilaksanakan. Yang berwenang mengadakan dan menanggung pinjaman Daerah adalah Kepala Daerah, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah atas persetujuan DPRD. Di dalam Keputusan Kepala Daerah harus dicantumkan jumlah pinjaman dan sumber dana untuk memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Mekanisme pinjaman dari sumber luar negeri harus mendapat persetujuan Pemerintah mengandung pengertian bahwa Pemerintah akan melakukan evaluasi dari berbagai aspek mengenai dapat tidaknya usulan pinjaman Daerah untuk diproses lebih lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih lanjut usulan pinjaman Daerah secara tidak langsung sudah mencerminkan persetujuan Pemerintah atas usulan dimaksud. |
|
Ayat (4) | ||||
Cukup jelas | ||||
|
Pasal 82 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Daerah dapat menetapkan pajak dan retribusi dengan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan Undang-undang. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Penentuan tata cara pemungutan pajak dan retribusi Daerah termasuk pengembalian atau pembebasan pajak dan/atau retribusi Daerah yang dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
|
|
Pasal 83 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan insentif nonfiskal adalah bantuan Pemerintah berupa kemudahan pembangunan prasarana, penyebaran lokasi industri strategis, penyebaran lokasi pusat�pusat perbankan nasional, dan lain-lain. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 84 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 85 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Huruf a |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf b |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf c |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan tindakan hukum lain adalah menjual, menggadaikan, menghibahkan, tukar guling, dan/atau memindahtangankan. |
|
Pasal 86 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 87 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 88 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 89 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 90 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 91 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan lembaga bersama adalah lembaga yang dibentuk secara bersama oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang berbatasan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 92 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi pembentukan forum perkotaan untuk menciptakan sinergi Pemerintah Daerah, masyarakat, dan pihak swasta. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah pengikutsertaan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemilikan. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 93 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Istilah Desa disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat seperti nagari, kampung, huta, bori, dan marga. Yang dimaksud dengan asal-usul adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Dalam pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa perlu dipertimbangkan luas wilayah, jumlah penduduk, sosial budaya, potensi Desa, dan lain-lain. |
|
|
Pasal 94 |
|||
|
|
Istilah Badan Perwakilan Desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa setempat. Pembentukan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dilakukan oleh masyarakat Desa. |
||
|
Pasal 95 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Istilah Kepala Desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya Desa setempat. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 96 |
|||
|
|
Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai dengan sosial budaya setempat. |
||
|
Pasal 97 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 98 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Pengucapan sumpah/janji Kepala Desa dilakukan menurut agama yang diakui Pemerintah, yakni : |
|
|
|
|
a. |
diawali dengan ucapan "Demi Allah" untuk penganut agama Islam; |
|
|
|
b. |
diakhiri dengan ucapan "Semoga Tuhan menolong saya" untuk penganut agama Kristen Protestan/Katolik; |
|
|
|
c. |
diawali dengan ucapan "Om atah paramawisesa" untuk penganut agama Hindu; dan |
|
|
|
d. |
diawali dengan ucapan "Demi Sanghyang Adi Buddha" untuk penganut agama Buddha. |
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 99 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 100 |
|||
|
|
Pemerintah Desa berhak menolak pelaksanaan Tugas Pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia. |
||
|
Pasal 101 |
|||
Huruf a |
||||
Cukup jelas |
||||
Huruf b |
||||
Cukup jelas |
||||
Huruf c |
||||
Cukup jelas |
||||
Huruf d |
||||
Cukup jelas |
||||
Huruf e |
||||
Untuk mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa, Kepala Desa dapat dibantu oleh lembaga adat Desa. Segala perselisihan yang telah didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih. |
||||
|
|
Huruf f |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 102 |
|||
|
|
Huruf a |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf b |
||
|
|
|
Laporan Kepala Desa disampaikan kepada Bupati dengan tembusan kepada Camat. |
|
|
Pasal 103 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Huruf a |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf b |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf c |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Huruf d |
|
|
|
|
|
Untuk menghindari kekosongan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala Desa yang telah berakhir masa jabatannya tetap melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Desa sampai dengan dilantiknya Kepala Desa yang baru. |
|
|
|
Huruf e |
|
|
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 104 |
|||
|
|
Fungsi pengawasan Badan Perwakilan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. |
||
|
Pasal 105 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati, tetapi wajib disampaikan kepadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah ditetapkan dengan tembusan kepada Camat. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 106 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 107 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh Desa tidak dibenarkan diambil alih oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pemberdayaan potensi Desa dalam meningkatkan pendapatan Desa dilakukan, antara lain, dengan pendirian Badan Usaha Milik Desa, kerja sama dengan pihak ketiga, dan kewenangan melakukan pinjaman. Sumber Pendapatan Daerah yang berada di Desa, baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Daerah Kabupaten, tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa. Pendapatan Daerah dari sumber tersebut harus diberikan kepada Desa yang bersangkutan dengan pembagian secara proporsional dan adil. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan beban biaya ekonomi tinggi dan dampak lainnya. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Kegiatan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang ditetapkan setiap tahun meliputi penyusunan anggaran, pelaksanaan tata usaha keuangan, dan perubahan serta perhitungan anggaran. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 108 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 109 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Kerja sama antar-Desa yang memberi beban kepada masyarakat harus mendapat persetujuan Badan Perwakilan Desa. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 110 |
|||
|
|
Pemerintah Desa yang tidak diikutsertakan dalam kegiatan dimaksud berhak menolak pembangunan tersebut. |
||
|
Pasal 111 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan asal-usul adalah asal-usul terbentuknya Desa yang bersangkutan. |
|
|
Pasal 112 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan memfasilitasi adalah upaya memberdayakan Daerah Otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 113 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 114 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagai upaya hukum terakhir dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari setelah adanya keputusan pembatalan dari Pemerintah. |
|
|
Pasal 115 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Mekanisme pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/ atau pemekaran Daerah dilakukan dengan cara sebagai berikut
|
|
|
|
|
a. |
Daerah yang akan dibentuk, dihapus, digabung, dan/atau dimekarkan diusulkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD kepada Pemerintah. |
|
|
|
b. |
Pemerintah menugaskan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk melakukan penelitian dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain. |
|
|
|
c. |
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyampaikan pertimbangan untuk penyusunan rancangan undang-undang yang mengatur pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran Daerah Otonom. |
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan Asosiasi Pemerintah Daerah adalah organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dalam rangka kerja sama antar-Pemerintah Propinsi, antar-Pemerintah Kabupaten, dan/atau antar-Pemerintah Kota berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Wakil-wakil Daerah dipilih oleh DPRD dari berbagai keahlian, terutama di bidang keuangan dan pemerintahan, serta bersikap independen sebanyak 6 orang, yang terdiri atas 2 orang wakil Daerah Propinsi, 2 orang wakil Daerah Kabupaten, dan 2 orang wakil Daerah Kota dengan masa tugas selama dua tahun. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
|
Ayat (6) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
Pasal 116 | ||||
Cukup jelas | ||||
Pasal 117 | ||||
Cukup jelas | ||||
|
Pasal 118 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Pemberian otonomi khusus kepada Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur didasarkan pada perjanjian bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal di bawah supervisi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Yang dimaksud dengan ditetapkan lain adalah Ketetapan MPR RI yang mengatur status Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur lebih lanjut. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas |
|
|
Pasal 119 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 120 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 121 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 122 |
|||
|
|
Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Aceh pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaannya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat, dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini. |
||
|
Pasal 123 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 124 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 125 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 126 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 127 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 128 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 129 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 130 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 131 |
|||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 132 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan undang-undang ini sudah harus selesai selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Pelaksanaan penetapan dimulai sejak ditetapkannya undang�undang ini dan sudah selesai dalam waktu dua tahun. |
|
|
Pasal 133 |
|||
Cukup jelas | ||||
Pasal 134 | ||||
|
|
Cukup jelas |
||
|
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3839 |