|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Undang-undang ini memberi
wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk
keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan
tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal
(debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal
sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya perusahaan
tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan
Penghasilan Kena Pajak, Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Dengan semakin berkembangnya
ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat
terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri.
Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman
modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa
efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.
Contoh: PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2000 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp100.000.000,00. |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Maksud diadakannya ketentuan
ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi
karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan
dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan
biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal
Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau
biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut
tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan
dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data
pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya. |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Hubungan istimewa dianggap
ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal
sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun
tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Yang dimaksud dengan hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah,
ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
ke samping satu derajat adalah saudara.
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Ketentuan ini mengatur
tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Pihak yang
wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah pemberi
kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara
kegiatan.
|
|||||||||||||||
Pemberi kerja yang wajib
melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah orang pribadi
ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan,
yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran
lain dengan nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan.
Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang
tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.
Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran dengan nama apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan honorarium, dan pembayaran lain seperti bonus, gratifikasi, tantiem. |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Dana pensiun atau badan
lain seperti badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan
uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain
yang sejenis dengan nama apapun.
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Bagi pegawai tetap besarnya
penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan
biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian
iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari
tua yang dibayar oleh pegawai.
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Ketentuan dalam ayat ini
mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal,
pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e, yang dibayarkan
atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan antara penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan neto. Dasar pemotongan pajak untuk pembayaran penghasilan dalam bentuk dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan adalah jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah perkiraan penghasilan neto. Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Ketentuan ini mengatur
tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh
Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
|
|||||||||||||||
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2000 Rp 50.000.000,00 |
|||||||||||||||
|
Pajak Penghasilan yang
dipotong pemberi kerja
|
||||||||||||||
|
Pajak Penghasilan yang
dipungut oleh pihak lain
|
||||||||||||||
|
Pajak Penghasilan yang
dipotong oleh pihak lain
|
||||||||||||||
|
Kredit Pajak Penghasilan
luar negeri
|
||||||||||||||
Jumlah kredit pajak Rp
35.000.000.00 (-
)
Selisih Rp 15.000.000,00 Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2001 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12). Contoh 2: |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Mengingat batas waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah
tahun pajak berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu. Contoh: Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 2001, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 2001 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00. |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Apabila dalam tahun berjalan
diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu maka angsuran
pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran
pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya
surat ketetapan pajak.
Contoh: Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2000 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 2001, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 2001 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2000 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,00. |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Pada dasarnya besarnya
pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan
sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada
akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini, dalam hal-hal tertentu
Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan penghitungan
besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam
tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib Pajak menerima
atau memperoleh penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahan keadaan
usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1: Penghasilan PT X tahun 2000 Rp 120.000.000,00 Sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00 Sisa kerugian yang belum dikompensasikan tahun 2000 Rp 30.000.000,00 Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2001 adalah: Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00 = Rp 90.000.000,00. Pajak Penghasilan terutang: 10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 15% x Rp 40.000.000,00 = Rp 6.000.000,00 (+) Rp 11.000.000,00 Apabila pada tahun 2000 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2001 = 1/12 x Rp 11.000.000,00 = Rp 916.666,67 (dibulatkan Rp 916.666,00). Contoh 2: Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 2000 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaligus pada tahun 2000 sebesar Rp 72.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus diterima pada tahun 2000, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2001 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut. Contoh 3: Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2000 membayar angsuran bulanan sebesar Rp 15.000.000,00. Dalam bulan Juni 2000 pabrik milik PT B terbakar, oleh karena itu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2000 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00. |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Pada prinsipnya penghitungan
besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun berdasarkan ketentuan
ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan dasar penghitungan
besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan
agar lebih mendekati kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai untuk
menentukan besarnya pajak yang akan terutang pada akhir tahun serta sebagai
dasar penghitungan jumlah (besarnya) angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur untuk menentukan besarnya angsuran pajak, karena Wajib Pajak belum memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, terdapat kewajiban menyampaikan kepada Pemerintah laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan. |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-undang ini
menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban
perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dan pemotongan
oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. |
|||||||||||||||
Pemotongan pajak berdasarkan
ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dengan tarif sebesar 20% (dua puluh
persen) dari jumlah bruto.
|
|||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
Sesuai dengan ketentuan
ini, misalnya suatu badan Subjek Pajak dalam negeri membayarkan royalti
sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek Pajak
dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar
20% (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00.
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Ketentuan ini mengatur
tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan harta
dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut
dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan
neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan
besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam
rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.
|
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Atas Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak
sebesar 20% (dua puluh persen).
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia Rp 17.500.000.000,00 Pajak Penghasilan: 10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00 30% x Rp 17.400.000.000,00 = Rp 5.220.000.000,00 (+) Rp 5.232.500.000,00 (-) Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak Rp 12.267.500.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang 20% X 12.267.500.000 = Rp 2.453.500.000,00 |
|||||||||||||||
|
|||||||||||||||
Pada prinsipnya pemotongan
pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, namun atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas
penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah
status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan
pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh: A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001. Pada tanggal 20 April 2001 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2001. Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang maka status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2001. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2001 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B. |
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
Salah satu prinsip yang
perlu dipegang teguh di dalam undang-undang perpajakan adalah diberlakukan
dan diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakekatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Selain itu kemudahan pajak juga diberikan untuk mendorong pengembangan daerah terpencil, seperti yang banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dalam rangka pemerataan pembangunan. Fasilitas perangsang penanaman ini dapat dinikmati selama 6 (enam) tahun, sehingga setiap tahunnya Wajib Pajak berhak mengurangkan dari penghasilan neto sebesar 5% (lima persen) dari jumlah realisasi penanaman. |
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
Krisis ekonomi dan moneter
yang terjadi sejak tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif yang luas
terhadap sektor perbankan, usaha investasi, kesempatan kerja, dan makro
ekonomi. Hal tersebut terjadi terutama karena banyaknya utang luar negeri
dan dalam negeri (dalam valuta asing) yang mengalami kenaikan drastis sebagai
akibat terdepresiasinya secara signifikan nilai rupiah terhadap mata uang
dollar Amerika Serikat. Dalam rangka upaya pemulihan kegiatan perekonomian
nasional Pemerintah perlu menempuh kebijakan khusus restrukturisasi utang.
Restrukturisasi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pembebasan (sebagian
atau seluruh) utang, pengalihan harta untuk penyelesaian utang, dan perubahan
utang menjadi modal. Restrukturisasi utang yang diharapkan dapat mempercepat
pemulihan ekonomi tersebut, perlu didorong dengan pemberian fasilitas perpajakan.
Pemberian fasilitas dimaksud sifatnya terbatas baik jenis maupun jangka
waktunya. Agar fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan oleh mereka yang betul-betul
berhak, terarah dan terkendali sesuai dengan maksud dan tujuannya, fasilitas
hanya diberikan terhadap restrukturisasi utang yang dilakukan melalui lembaga
khusus yang dibentuk Pemerintah, yaitu Satuan Tugas Prakarsa Jakarta.
Ayat (1) |
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
Dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya mengacu pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan nasional masing-masing negara. | ||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3985