MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
NOMOR 51/PMK.02/2005
TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN
SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) TAHUN
ANGGARAN 2005
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
Menimbang |
: |
a. |
bahwa
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005, dianggarkan
subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang bertujuan untuk meringankan beban
masyarakat; |
|||
|
|
b. |
bahwa untuk memperlancar penyaluran
subsidi BBM, diperlukan tata cara penghitungan dan pembayarannya; |
|||
|
|
c. |
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM) Tahun Anggaran 2005; |
|||
Mengingat |
: |
1. |
Undang
- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4152); |
|||
|
|
2. |
Undang
- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286); |
|||
|
|
3. |
Undang
- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4355); |
|||
|
|
4. |
Undang
- Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Republik Indonesia Tahun Anggaran 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 130; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4442); |
|||
|
|
5. |
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002
tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4214) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418); |
|||
|
|
6. |
Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004; |
|||
|
|
7. |
Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2005
tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri; |
|||
|
|
8. |
Keputusan Bersama Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral dan Menteri Keuangan Nomor 31K/20/MEM/2003 dan 31/KMK.01/2003 Tentang Pedoman Penetapan Harga Jual Eceran
Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri oleh Pertamina; |
|||
|
|
|
|
|||
|
|
9. |
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
153/KMK.012/1982 tentang Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika Yang
Berlaku Bagi Perusahaan – Perusahaan Minyak Dan Gas Bumi ; |
|||
|
|
10. |
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan,
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
426/KMK.01/2004; |
|||
|
|
11. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
606/PMK.06/2004 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2005; |
|||
|
|
12. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2005
tentang Pengelolaan Bagian Anggaran
Pembiayaan dan Perhitungan; |
|||
|
|
13. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan Standar; |
|||
Memperhatikan |
: |
Surat Anggota/Pembina Auditama Keuangan
Negara II Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor
01/S/IV-XII/01/2004 tanggal 14 Januari 2004 tentang Penempatan Sisa Dana
Subsidi dan PSO di Escrow Account. |
||||
|
|
MEMUTUSKAN : |
||||
Menetapkan |
: |
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMBAYARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) TAHUN ANGGARAN 2005. |
||||
|
|
Pasal 1 |
||||
|
|
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan : |
||||
|
|
1. |
Bahan
Bakar Minyak yang selanjutnya disebut BBM adalah bahan bakar yang berasal
dan/atau diolah dari minyak bumi yang meliputi Premium, Minyak Tanah, Minyak
Solar, Minyak Diesel dan Minyak Bakar. |
|||
|
|
2. |
Harga Jual Eceran BBM adalah harga jual
eceran BBM dalam negeri yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. |
|||
|
|
3. |
Hasil
penjualan bersih BBM adalah hasil perkalian volume penjualan BBM dalam negeri
dengan harga jual dikurangi dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dan Margin Pemegang Pompa Stasiun Pengisian
Bahan Bakar untuk Umum (SPBU). |
|||
|
|
4. |
Biaya pengadaan BBM adalah biaya
penyediaan minyak mentah dan produk BBM dikurangi dengan nilai produk Non BBM
ditambah biaya operasi. |
|||
|
|
5. |
Nilai
produk Non BBM adalah hasil penjualan produk non BBM (produk sampingan)
antara lain berupa hasil penjualan Avigas, Avtur, Pertamax, Pertamax Plus,
LPG, Naptha, LSWR, HOMC, LOMC,Lube Base, Lilin, Asphalt, Pertasol, Minasol,
Polytham, Green Cokes, Parafinic, Residu yang berasal dari hasil kilang BBM. |
|||
|
|
6. |
Biaya
Operasi adalah biaya pengolahan, distribusi, angkutan laut, bunga, penyusutan
dan biaya umum kantor pusat. |
|||
|
|
7. |
Subsidi
BBM adalah pengeluaran Negara yang dihitung dari selisih kurang antara hasil
penjualan bersih BBM dengan biaya pengadaan BBM. |
|||
|
|
8. |
Laba Bersih Minyak (LBM) adalah penerimaan
Negara yang dihitung dari selisih lebih antara hasil penjualan bersih BBM
dengan biaya pengadaan BBM. |
|||
|
|
|
Pasal 2 |
|||
|
|
(1) |
Subsidi
BBM diberikan kepada konsumen BBM sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. |
|||
|
|
(2) |
Pemberian subsidi BBM kepada konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan Pemerintah melalui PT.
Pertamina (Persero). |
|||
|
|
|
Pasal 3 |
|||
|
|
(1) |
Direktur
Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan menerbitkan Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atas belanja subsidi BBM yang besarnya mengacu
pada jumlah pagu subsidi BBM yang tersedia dalam APBN Tahun Anggaran 2005
atau APBN-P Tahun Anggaran 2005. |
|||
|
|
(2) |
DIPA atas belanja subsidi BBM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur Jenderal Anggaran dan
Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan dan selanjutnya disampaikan
untuk mendapat pengesahan dari Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama
Menteri Keuangan. |
|||
|
|
(3) |
DIPA yang telah mendapat pengesahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan pagu tertinggi dan sebagai dasar
pelaksanaan pembayaran subsidi BBM. |
|||
|
|
(4) |
Dalam
hal pagu DIPA atas belanja subsidi BBM dalam Tahun Anggaran 2005 atau APBN-P
Tahun Anggaran 2005 tidak mencukupi dari yang ditetapkan dalam APBN Tahun
Anggaran 2005 atau APBN-PTahun Anggaran 2005, DIPA atas belanja subsidi BBM
tersebut dapat direvisi setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. |
|||
|
|
Pasal 4 |
||||
|
|
Berdasarkan
DIPA sebagaimana dimaksud pada Pasal 3, Direktur Jenderal Anggaran dan
Perimbangan Keuangan selaku Kuasa Pengguna Anggaran menunjuk: |
||||
|
|
a. |
Pejabat yang diberi kewenangan untuk
melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja; |
|||
|
|
b. |
Pejabat yang diberi kewenangan untuk
menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM); |
|||
|
|
|
Pasal 5 |
|||
|
|
(1) |
Berdasarkan DIPA sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Direksi PT Pertamina (Persero) setiap bulan mengajukan permintaan
pembayaran subsidi BBM kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Anggaran
dan Perimbangan Keuangan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal
Perbendaharaan. |
|||
|
|
(2) |
Permintaan pembayaran subsidi BBM untuk
suatu bulan dapat disampaikan pada tanggal 1 (satu) bulan berikutnya. |
|||
|
|
|
Pasal 6 |
|||
|
|
(1) |
Pengajuan permintaan pembayaran subsidi
BBM bulan Desember, disampaikan paling lambat pada tanggal 15 (limabelas)
Desember. |
|||
|
|
(2) |
Dalam hal tanggal 15 (limabelas) Desember
adalah hari libur, pengajuan permintaan pembayaran subsidi BBM disampaikan
pada hari kerja berikutnya. |
|||
|
|
|
Pasal 7 |
|||
|
|
(1) |
Berdasarkan permintaan pembayaran subsidi
BBM sebagaimana dimaksud pada Pasal 5, Direktorat Jenderal Anggaran dan
Perimbangan Keuangan cq. Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dan badan
Layanan Umum melakukan penelitian dan verifikasi. |
|||
|
|
(2) |
Dalam
melakukan penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan cq. Direktorat
Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum dapat membentuk tim. |
|||
|
|
|
Pasal 8 |
|||
|
|
(1) |
Dalam rangka penelitian dan verifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, PT Pertamina (Persero) dan Badan
Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) wajib menyampaikan data
pendukung secara lengkap kepada Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan
Keuangan cq.Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum. |
|||
|
|
(2) |
Data pendukung yang wajib disampaikan oleh
PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sekurang-kurangnya terdiri dari : |
|||
|
|
|
a. |
Data pembelian minyak mentah dari dalam
negeri dan luar negeri (impor); |
||
|
|
|
b. |
Data pembelian produk BBM dari dalam
negeri dan luar negeri (impor); |
||
|
|
|
c. |
Data minyak mentah yang diolah kilang BBM
Unit Pengolahan I (satu) sampai dengan Unit Pengolahan V ( |
||
|
|
|
d. |
Data biaya operasi berdasarkan Rencana
Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) PT. Pertamina (Persero) yang terdiri dari
biaya pengolahan, distribusi, angkutan laut, bunga, penyusutan dan biaya umum
kantor pusat; |
||
|
|
|
e. |
Dalam hal pada data biaya operasi terdapat
komponen biaya yang menggunakan valuta asing, data biaya operasi terlebih
dahulu disesuaikan dengan nilai tukar pada bulan yang bersangkutan; |
||
|
|
|
f. |
Data Nilai produk non BBM (produk
sampingan) yang berasal dari hasil kilang BBM UP I sampai dengan UP V; |
||
|
|
|
g. |
Data hasil penjualan BBM di dalam negeri
dan ke luar negeri (ekspor); dan |
||
|
|
|
h. |
Data pendukung lainnya yang berkaitan
dengan penghitungan subsidi BBM. |
||
|
|
(3) |
Data pendukung yang wajib disampaikan oleh
BP Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah data pengiriman minyak
mentah dan gas bagian Pemerintah dan bagian Kontraktor untuk diolah di kilang
BBM. |
|||
|
|
(4) |
Nilai tukar sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf e, adalah nilai tukar yang didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 153/KMK.012/1982 tentang Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar
Amerika Yang Berlaku Bagi Perusahaan –Perusahaan Minyak Dan Gas Bumi. |
|||
|
|
|
Pasal 9 |
|||
|
|
(1) |
Dalam
rangka mempercepat proses penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, data sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 disampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran
dan Perimbangan Keuangan cq. Direktur Penerimaan Negara dan Bukan Pajak dan
Badan Layanan Umum paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal permintaan
pembayaran subsidi BBM yang diajukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5 ayat (2). |
|||
|
|
(2) |
Dalam hal data yang disampaikan oleh PT.
Pertamina (Persero) dan BP Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum
lengkap, Pejabat Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan cq.
Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan Layanan Umum dapat melakukan
penelitian langsung ke unit sumber data. |
|||
|
|
|
Pasal 10 |
|||
|
|
(1) |
Jumlah Subsidi BBM yang dapat dibayarkan
untuk setiap bulannya sampai dengan bulan Nopember kepada PT. Pertamina
(Persero) adalah : |
|||
|
|
|
a. |
Paling tinggi 95% (sembilan puluh
|
||
b. |
Paling tinggi 90% (sembilan puluh persen)
dari hasil perhitungan verifikasi apabila harga rata-rata minyak mentah |
|||||
|
|
(2) |
Jumlah subsidi BBM bulan Desember yang
dapat dibayarkan kepada PT. Pertamina (Persero) di bulan Desember adalah
jumlah terendah dari estimasi kewajiban Nilai Lawan bulan Nopember atau
sebesar persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari estimasi subsidi
BBM bulan Desember yang telah diverifikasi. |
|||
|
|
(3) |
Nilai Lawan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), merupakan nilai minyak mentah bagian Pemerintah yang digunakan oleh PT.
Pertamina (Persero) dalam rangka pengadaan BBM dalam negeri. |
|||
|
|
|
Pasal 11 |
|||
|
|
(1) |
Berdasarkan hasil penelitian dan verifikasi atas permintaan pembayaran subsidi BBM PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan jumlah subsidi BBM yang dapat dibayarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan menerbitkan SPM kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang jumlahnya secara keseluruhan tidak melebihi DIPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. |
|||
|
|
(2) |
Berdasarkan SPM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktorat Jenderal Perbendaharaan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). |
|||
|
|
|
Pasal 12 |
|||
|
|
(1) |
Apabila terdapat koreksi terhadap jumlah
subsidi BBM yang telah dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, PT.
Pertamina (Persero) secara triwulanan wajib menyampaikan permintaan
pembayaran subsidi BBM kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Anggaran
dan Perimbangn Keuangan. |
|||
|
|
(2) |
Permintaan pembayaran subsidi BBM
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi data pendukung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8. |
|||
|
|
(3) |
Berdasarkan permintaan pembayaran subsidi
BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Anggaran dan
Perimbangan Keuangan cq. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Badan
Layanan Umum melakukan penelitian dan verifikasi. |
|||
|
|
(4) |
Hasil penelitian dan verifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), digunakan sebagai dasar koreksi
pembayaran subsidi BBM. |
|||
|
|
(5) |
Koreksi pembayaran subsidi BBM sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari
Menteri Keuangan. |
|||
|
|
(6) |
Koreksi pembayaran subsidi BBM sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), diperhitungkan pada pembayaran subsidi BBM
berikutnya. |
|||
|
|
(7) |
Pembayaran subsidi BBM berdasarkan
perhitungan subsidi BBM yang telah dikoreksi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5), merupakan pembayaran 100% (seratus persen). |
|||
|
|
(8) |
Pembayaran koreksi subsidi BBM yang
diperhitungkan dengan pembayaran subsidi BBM berikutnya. sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6), dilakukan dengan mekanisme pembayaran subsidi BBM
sebagaimana diatur dalam Pasal 11. |
|||
|
|
|
Pasal 13 |
|||
|
|
(1) |
Pembayaran subsidi BBM sebagaimana
dimaksud pada Pasal 10 ayat (1) dan (2) serta Pasal 12 ayat (7) bersifat
sementara. |
|||
|
|
(2) |
Besarnya subsidi BBM dalam satu tahun
anggaran secara final ditetapkan berdasarkan laporan hasil audit yang
disampaikan oleh auditor kepada Menteri Keuangan. |
|||
|
|
(3) |
Auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah instansi yang berwenang melakukan audit sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. |
|||
|
|
|
Pasal 14 |
|||
|
|
(1) |
Pada akhir tahun anggaran, sisa subsidi BBM
antara jumlah subsidi BBM yang dianggarkan dalam APBN-P dengan jumlah subsidi
BBM yang dibayar, ditempatkan ke dalam rekening sementara (escrow account) PT. Pertamina
(Persero). |
|||
|
|
(2) |
Untuk penempatan sisa subsidi BBM
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direksi PT. Pertamina (Persero) wajib
mengajukan surat permintaan tertulis kepada Menteri Keuangan dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan dan Direktur
Jenderal Perbendaharaan. |
|||
|
|
(3) |
Penempatan sisa subsidi BBM dalam rekening
sementara (escrow account) PT.
Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan
mekanisme pembayaran subsidi BBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. |
|||
|
|
(4) |
Pencairan sisa subsidi BBM dalam rekening
sementara (escrow account) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilakukan berdasarkan hasil audit. |
|||
|
|
(5) |
Pelaksanaan pencairan sisa subsidi BBM
dalam rekening sementara (escrow
account) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan oleh Direktur
Jenderal Perbendaharaan atas permintaan Direktur Jenderal Anggaran dan
Perimbangan Keuangan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari
Menteri Keuangan. |
|||
|
|
(6) |
Dalam hal hasil audit subsidi BBM yang
harus dibayar lebih kecil dari sisa subsidi BBM yang tersedia di rekening
sementara (escrow account), sisa
kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan
Pajak. |
|||
|
|
(7) |
Dalam hal hasil audit subsidi BBM yang
harus dibayar lebih besar dari sisa subsidi BBM yang tersedia di rekening
sementara (escrow account), sisa
kekurangan pembayaran subsidi BBM akan dibayarkan setelah dianggarkan. |
|||
|
|
(8) |
Pembayaran sisa kekurangan pembayaran
subsidi BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dilakukan dengan mekanisme
pembayaran subsidi BBM sebagaimana diatur dalam Pasal 11. |
|||
|
|
|
Pasal 15 |
|||
|
|
(1) |
Dalam hal terdapat penerimaan Negara yang
berasal dari Laba Bersih Minyak (LBM), PT. Pertamina (Persero) wajib menyetor
LBM tersebut ke Kas Negara secara periodik (bulanan). |
|||
|
|
(2) |
Penyetoran LBM ke Kas Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). |
|||
|
|
Pasal 16 |
||||
|
|
Apabila dalam Tahun Anggaran 2006 masih
dianggarkan subsidi BBM, Peraturan Menteri Keuangan ini masih berlaku sebagai
acuan dalam pembayaran subsidi BBM Tahun Anggaran 2006 sampai dengan
ditetapkannya pengganti Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara
Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Tahun Anggaran
2005. |
||||
|
|
Pasal 17 |
||||
|
|
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 2005 sampai dengan tanggal 31 Desember 2005. |
||||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik |
||||
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta Pada
tanggal 22 Juni 2005 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK JUSUF ANWAR |
|||
|
|
|
|
|||
LAMPIRAN
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PMK.03/2005 TENTANG PERSYARATAN SUMBANGAN SERTA TATA
CARA PENDAFTARAN DAN PELAPORAN OLEH PENAMPUNG, PENYALUR DAN/ATAU PENGELOLA
SUMBANGAN DALAM RANGKA BANTUAN KEMANUSIAAN BENCANA ALAM DI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN SUMATERA UTARA
LAPORAN PENAMPUNGAN, PENYALURAN DAN/ ATAU PENGELOLAAN SUMBANGAN DALAM RANGKA BANTUAN KEMANUSIAAN BENCANA ALAM DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN SUMATERA UTARA
Nama Penampung/Penyalur/pengelola |
: |
|
Alamat Penampung/Penyalur/Pengelola |
: |
|
Kota/Kode Pos |
: |
|
Nomor Telepon dan Fax |
: |
|
Nama Penanggung Jawab |
: |
|
Alamat Penanggung Jawab |
: |
|
Kota/Kode Pos |
: |
|
Nomor Telepon dan Fax |
: |
|
Nomor Rekening Bank |
: |
|
I. Penampungan Sumbangan
No. |
Nama dan NPWP Pemberi Sumbangan |
Jumlah (Rp.) |
|
Saldo awal |
|
|
|
|
|
|
|
|
Jumlah |
|
B. Barang
No. |
Nama dan NPWP Pemberi Sumbangan |
Jenis barang |
Unit |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
II. Penyaluran dan/atau Pengelolaan Sumbangan
A. Uang
No. |
Penerima Sumbangan |
Jumlah (Rp.) |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Jumlah |
|
B. Barang
No. |
Penerima Sumbangan |
Jenis barang |
Unit |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
KP/SJ.55/2005/C:Hans/RKMK Informasi Peruuan12