
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
|
UMUM |
||||
|
1. |
Undang-undang yang mengatur suatu perjanjian antara dua belah pihak, pada pokoknya mengakui adanya dan berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu untuk mendapat persetujuan tentang apa yang dikehendakinya. Dengan kata lain : adanya suatu keleluasaan bersepakat (contractvrijheid). |
|||
|
|
Suatu perjanjian-perburuhan tak ada gunanya dan tidak pada tempatnya, jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh Pemerintah saja. |
|||
|
2. |
Tetapi walaupun demikian, di dalam negara kita yang bukan kapitalistis ini, keleluasan itu harus dibatasi, yakni hanya di dalam lingkungan apa yang oleh Pemerintah dianggap layak. Sebab Pemerintah memegang teguh tujuannya untuk melindungi siapa yang lemah, agar tercapai sesuatu imbangan yang mendekatkan masyarakat kita kepada suatu tujuan negara kita menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk tiap-tiap warganegara. |
|||
|
|
Antara lain harus diperhatikan ketentuan-ketentuan yang dimuat di dalam Undang-undang Kerja (Undang-undang Nomor 1 tahun 1951). |
|||
|
3. |
Dipandang dari sudut perlindungan itu, maka undang-undang ini merupakan suatu lanjutan, karena dengan undang-undang ini buruh diberi hak untuk bersama-sama (collectief) dengan jalan perwakilan menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi. |
|||
|
|
Lain daripada itu, Undang-undang ini memberikan kepada serikat buruh yang terdaftar di Kementerian Perburuhan kemampuan untuk bertindak di dalam lingkungan lapangan hukum perjanjian-perburuhan. |
|||
|
|
Ketentuan ini perlu karena undang-undang yang memberikan kedudukan pendiri-hukum (rechtssubject) kepada serikat buruh belum ada. Untuk mem¬berikannya kedudukan ini dengan undang-undang ini agak sukar dilakukan karena:. pertama bukan tempatnya dan kedua belum menyelami dengan seksama bagaimana akibat-akibatnya bagi serikat buruh dalam pertumbuhan sekarang ini. |
|||
|
4. |
Perjanjian-perburuhan (collectieve arbeidsovereenkomst) yang telah diselenggarakan oleh serikat buruh itu tidak dapat diabaikan dengan begitu saja oleh seorang buruh yang mengadakan perjanjian-kerja (individueele arbeidsovereenkomst) (pasal 9 ayat 1). |
|||
|
|
Dan perjanjian-perburuhan yang sangat manfaat bagi buruh, oleh Menteri Perburuhan dapat dipaksakan kepada majikan-majikan lainnya untuk dilak¬sanakan di dalam perusahaannya masing-masing (pasal 11 ayat 1 dan 2). |
|||
|
5. |
Selanjutnya undang-undang ini mengatur akibat-akibat dari tindakan serikat buruh terhadap anggota-anggotanya, hubungan anggota-anggota itu dengan pihak lainnya pada perjanjian itu, hubungan suatu perjanjian-perbu¬ruhan dengan perjanjian-kerja hubungan suatu perjanjian-perburuhan dengan perburuhan lainnya dan sebagainya. |
|||
|
|
Semua itu mengenai soal-soal hukum (juridisch) yang dengan jelas dite¬rangkan di dalam penjelasan pasal demi pasal. |
|||
|
|
Sekedar sebagai pegangan perlu diterangkan apa yang dimaksudkan dengan beberapa istilah yang umum. |
|||
|
|
Dengan serikat buruh tidak hanya dimaksudkan suatu serikat buruh pada suatu perusahaan atau suatu lapang usaha, ataupun suatu serikat buruh dari suatu keahlian (vak), melainkan juga gabungan dari beberapa atau ber¬bagai-bagai serikat buruh. |
|||
|
|
Buruh ialah seorang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan ma¬jikan untuk sesuatu waktu dengan menerima upah, sedang majikan ialah seorang pada stapa buruh itu bekerja. |
|||
|
PASAL DEMI PASAL |
||||
|
Pasal 1 |
||||
|
(1) |
Perjanjian-perburuhan ialah peraturan induk bagi perjanjian-kerja antara seorang anggota serikat buruh pada satu pihak dengan seorang majikan atau seorang anggota perkumpulan majikan pada pihak yang lain, baik yang sudah maupun yang belum diselenggarakan. Serikat-serikat buruh hanya dapat menyelenggarakan perjanjian-perburuhan jika telah didaftar di Kementerian Perburuhan. Dengan pernyataan ini undang-undang ini berkehendak memberikan kemampuan kepada serikat buruh untuk bertindak dalam hukum, yakni bertindak sebagai penyelenggara perjanjian-perburuhan ini dan di dalam hal-hal yang ditentukan di dalam undang-undang ini. |
|||
|
|
Kata "pada umumnya" memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk juga memuat hal-hal yang bukan semata-mata mengenai syarat-syarat perburuhan, umpamanya mengadakan panitia, terdiri dari anggota-anggota buruh dan majikan untuk mengawasi dijalankannya itu. Dengan demikian maka kedua pihak merdeka mengisi perjanjian itu. Cara yang lain, yakni menentukan satu hal demi satu hal apalah yang boleh diatur di dalam perjanjian-perburuhan tidak dapat dipergunakan, karena agak kaku, yang pada hari kemudian mungkin menghalang-halangi kemajuan perjanjian-perburuhan. Kemerdekaan kedua belah pihak tersebut hanya dibatasi dalam hal-hal tersebut dalam ayat 4. "Di dalam perjanjian-bekerja" berarti sebagai telah dikatakan di atas, bahwa perjanjian-perburuhan yang pada sesuatu waktu diselenggarakan itu tidak hanya berlaku untuk, perjanjian-kerja yang di kemudian hari akan diselenggarakan, melainkan juga untuk perjanjian kerja yang sudah diselenggarakan pada waktu itu. |
|||
|
|
Perjanjian-perburuhan adalah salah satu usaha untuk menjernihkan suasana di dalam perusahaan. |
|||
|
|
Apabila itu sudah tercapai maka tujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya harus segera dikejar. Oleh sebab itu majikan harus memenuhi kewajibannya dan buruh harus sedikit-dikitnya memberi minimum arbeids-prestatie. |
|||
|
(2) |
Di samping perjanjian-kerja, yang pada pokoknya mengenai pekerjaan yang dijalankan oleh buruh di bawah pimpinan majikan, untuk sesuatu waktu dengan menerima upah terdapat pula : pertama perjanjian-pekerjaan borongan yang menyatakan pihak yang kesatu, pemborong, berjanji, untuk pihak yang lain, yang memborongkan, dengan harga yang tertentu menghasilkan suatu buah pekerjaan yang telah ditetapkan, umpamanya membuat rumah, kursi, dan lain-lainnya dan kedua perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan yang menyatakan bahwa pihak pertama berjanji melakukan sesuatu pekerjaan dengan upah untuk pihak yang lain, umpamanya antara seorang dokter dengan yang berobat, dan dalam hal itu kedua macam pekerjaan itu tidak dilakukan di bawah pimpinan majikan, sehingga dalam ayat 3 ini perlu ditentukan bahwa perjanjian-perburuhan, dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan, sesuatunya semata-mata untuk menghilangkan keragu-raguan tentang dapat diselenggarakan atau tidaknya perjanjian-perburuhan bagi pekerjaan borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan. |
|||
|
(3) |
Bahwasanya aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan itu tidak sah, sudah selayaknya, karena itu tidak perlu di sini diterangkan panjang lebar. |
|||
|
|
Sebabnya ketentuan ini didapat pada ayat 4 itu hanyalah untuk menegaskan sekali lagi adanya azas (beginsel) itu dalam hukum perdata kita. |
|||
|
|
Larangan lainnya semata-mata ditujukan untuk menjaga timbulnya kedudukan yang bersifat monopolistisch dari : |
|||
|
|
serikat buruh yang memaksa seorang majikan untuk hanya menerima umpamanya buruh Kristen, buruh-buruh warganegara Indonesia bukan asli, buruh bangsa asing, buruh berhaluan sosialis atau buruh yang menjadi anggota dari perkumpulan A atau menolak umpamanya buruh Islam, buruh warganegara Indonesia asli, buruh warganegara Indonesia, buruh berhaluan komunis atau buruh yang menjadi anggota dari perkumpulan B; majikan yang memaksa buruh untuk hanya bekerja atau tidak boleh bekerja umpamanya pada majikan Kristen, majikan warganegara Indonesia bukan asli, majikan bangsa asing, majikan berhaluan sosialis atau majikan yang menjadi anggota dari perkumpulan A. |
|||
|
Pasal 2 |
||||
|
|
Cukup jelas. |
|||
|
Pasal 3 |
||||
|
(1) |
Karena pentingnya akibat perjanjian itu, maka dimintakan bentuk yang tertentu. |
|||
|
|
Yang dimaksud dengan surat resmi (authentiek) ialah surat yang dibuat oleh orang atau pegawai yang berhak membuatnya umpamanya notaris, sedang surat yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (onderhandsche akte) ialah surat yang justru memuat perjanjian-perburuhan. |
|||
|
(2) |
Berhubung dengan penilikan umum dari Kementerian Perburuhan yang diserahi urusan terhadap perburuhan, maka Pemerintah harus mendapat bahan-bahan yang cukup untuk memungkinkan penilikan itu dilakukan dengan tepat dan cepat (effectief). Karena itu Pemerintah dapat memerintahkan kepada sesuatu pihak untuk mendaftarkan surat-perjanjian itu pada Pemerintah, memberi contoh surat perjanjian agar terdapat kesatuan dalam bentuknya (uniformiteit) dan sebagainya, misalnya memuat aturan-aturan tentang : |
|||
|
|
1. |
tingginya upah, |
||
|
|
2. |
uang lembur, |
||
|
|
3. |
upah pada waktu sakit, |
||
|
|
4. |
upah pada Hari Raya, |
||
|
|
5. |
pengawasan upah, |
||
|
|
6. |
buku-upah, |
||
|
|
7. |
waktu-kerja, |
||
|
|
8. |
pemeliharaan waktu sakit, |
||
|
|
9. |
waktu berlakunya perjanjian. |
||
|
Pasal 4 |
||||
|
|
Karena perjanjian yang diselenggarakan itu berlaku buat anggota-anggota maka perlu supaya isinya diberitahukan kepada mereka. Caranya terserah kepada perkumpulan yang bersangkutan apakah dengan lisan ataukah dengan memberikan turunan surat perjanjian kepada anggota-anggotanya. |
|||
|
|
Maksud pasal ini terutama ialah bahwa tidak tahunya seorang anggota tidak dapat diajukan kepada pihak yang lain. |
|||
|
|
Pemberitahuan itu sebetulnya tidak berat bagi perkumpulan yang bersangkutan karena pada umumnya anggota-anggota telah mengetahui pada waktu menyetujuinya di dalam rapat anggota. |
|||
|
|
Hukum pelanggaran ini adalah suatu soal antara anggota dengan perkumpulannya (intern) yang harus diatur dalam peraturan dasarnya. |
|||
|
Pasal 5 |
||||
|
|
Mengenai kewajiban dan tanggung jawab perkumpulan atas anggota-anggotanya yang harus memenuhi aturan-aturan dalam perjanjian-perburuhan, terdapat dua aliran yang sangat berlainan : |
|||
|
|
a. |
perkumpulan tersebut menanggung dengan sepenuhnya bahwa anggota-anggotanya akan memenuhi semua aturan-aturan itu, dan perkumpulanlah yang bertanggung jawab bilamana anggota-anggota itu melanggar perjanjian-perburuhan, |
||
|
|
b. |
perkumpulan tidak ikut campur dalam urusan aturan-aturan yang berlaku bagi anggota-anggotanya. Pelanggaran oleh anggota-anggotanya bukanlah tanggungannya. |
||
|
|
Pasal ini mengambil jalan tengah. |
|||
|
|
Aliran b yang menyatakan perkumpulan sedikitpun tidak bertanggungjawab, memungkinkan perkumpulan dengan secara diam-diam menghalang-halangi anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, tak dapat diturut, karena ayat I mewajibkan perkumpulan mengusahakan agar anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. |
|||
|
|
Dengan demikian tidak cukuplah bilamana perkumpulan itu hanya bersifat pasif, tetapi harus juga bertindak positif ialah mengusahakan agar anggota-anggotanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. |
|||
|
|
Aliran a, bilamana dimuat di dalam undang-undang, dapat menghalang-halangi kemajuan, perjanjian-perburuhan karena mungkin banyak perkumpulan takut mengadakan perjanjian-perburuhan. |
|||
|
|
Karena itu dalam pasal 4 ayat 2 hanya ditetapkan bahwa perkumpulan hanya bertanggung-jawab atas anggota-anggotanya, bilamana hal ini ditentukan di dalam perjanjian-perburuhan itu sendiri. Jadi terserah kepada masing-masing pihak. |
|||
|
Pasal 6, 7 dan 8 |
||||
|
|
Setelah pasal 5 menentukan kewajiban yang ditanggung oleh perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan, maka pasal 6, 7 dan 8 menetapkan kedudukan anggota-anggota terhadap perjanjian-perburuhan itu yang diselenggarakan oleh perkumpulan mereka masing-masing. |
|||
|
|
Sesuatu azas hukum yang pokok ialah bahwa sesuatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang menyelenggarakan perjanjian itu, sekali-kali tidak juga berlaku untuk orang ketiga. |
|||
|
|
Karena itu harus ditentukan dengan tegas dalam undang-undang bahwa : |
|||
|
|
1. |
semua anggota suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1); |
||
|
|
2. |
mereka yang kemudian menjadi anggota (anggota-baru) suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian-perburuhan, menjadi terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1); |
||
|
|
3. |
mereka yang kehilangan keanggotaannya, baik karena dipecat maupun keluar atas permintaan sendiri, tetap terikat hingga waktu berlakunya perjanjian itu habis, sungguhpun apabila waktu itu diperpanjang, atau sampai perjanjian itu diubah (pasal 7); |
||
|
|
4. |
mereka tetap terikat juga bilamana perkumpulan mereka dibubarkan (pasal 8). |
||
|
|
Ad. I dan 2. Telah terang. |
|||
|
|
Perkataan "tersangkut dalam perjanjian itu" umpamanya demikian : |
|||
|
|
Serikat buruh pabrik gula menyelenggarakan perjanjian-perburuhan untuk anggota-anggota buruh teknik. Perjanjian ini tidak berlaku bagi anggota-anggota buruh pengangkutan karena mereka ini tidak "tersangkut dalam perjanjian itu". Maksud ayat 2 pasal 6 ialah bahwa seorang anggota yang melanggar, bertanggung jawab terhadap perkumpulannya sendiri dan terhadap perkumpulan yang menjadi pihak lainnya. |
|||
|
|
Ad. 3. Pasal 7 ini ialah untuk mencegah keluarnya seorang anggota yang bermaksud menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban yang berlaku baginya. Umpamanya seorang majikan keluar dari perkumpulan majikan, hanyalah disebabkan untuk mencapai maksudnya mengadakan perjanjian-perjanjian-kerja yang lebih menguntungkan baginya. |
|||
|
|
Ad. 4. Walaupun pasal 7 ayat 1 telah menentukan bahwa, bekas anggota-anggota tetap terikat oleh perjanjian-perburuhan dan azas hukum perkumpulan menyatakan bahwa sesuatu perkumpulan yang dibubarkan masih harus bertanggung jawab atas penyelesaian kewajiban-kewajibannya, tetapi perlu hal itu ditentukan dengan tegas dalam pasal 8, dengan maksud untuk menghilangkan keragu-raguan. |
|||
|
Pasal 9 |
||||
|
(1) |
Sebagai telah dikatakan pada penjelasan pasal 1 ayat 1, perjanjian-perburuhan ialah peraturan induk atau peraturan dasar bagi perjanjian-kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang terikat oleh perianjian-perburuhan itu. Pasal 9 ini sekarang menentukan dengan tegas kedudukan kedua jenis perjanjian itu dan perhubungannya antara satu dengan lainnya. Karena kedudukan perjanjian-perburuhan sebagai aturan dasar itu, maka aturan dalam perjanjian-kerja yang bertentangan dengan sendirinya tidak berlaku. Karena aturan-aturan yang bertentangan itu tidak berlaku, maka perlulah dinyatakan dengan tegas manalah gantinya yang berlaku, karena jika tidak demikian maka dapatlah diartikan bahwa soal itu tidak diatur lagi dan bahwa yang dirugikan hanya dapat minta pengganti kerugian, tidak juga untuk memenuhi aturan yang dimuat dalam perjanjian-perburuhan. |
|||
|
|
Pasal 9 ini juga penting karena justru oleh ketentuan itu yang dirugikan (buruh) dapat memajukan sendiri perkaranya di muka pengadilan. Jika ketentuan tersebut dalam pasal 9 itu tidak ada, maka yang dapat bertindak menurut pasal 13 hanyalah yang menjadi pihak dalam perjanjian-perburuhan. |
|||
|
(2) |
Sesuatu hal yang tidak sah adalah mutlak (absoluut) tetapi tidak semua orang dapat memajukannya di muka pengadilan karena sesuatu azas hukum acara menetapkan bahwa untuk dapat memajukan sesuatu hal di muka pengadilan, yang memajukannya itu harus mempunyai kepentingan. Untuk menetapkan bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian-perburuhan dapat mengajukannya dengan tidak usah menyatakan kepentingannya itulah maksud ayat 2 ini. |
|||
|
Pasal 10 |
||||
|
|
Pasal 9 di antaranya menentukan bahwa bilamana aturan di dalam perjanjian-kerja bertentangan dengan aturan di dalam perjanjian-perburuhan maka aturan perjanjian-perburuhan yang berlaku. |
|||
|
|
Pasal 10 inilah sekarang yang menentukan bahwa aturan-aturan di dalam perjanjian-perburuhan itu jugalah yang akan berlaku, bilamana perjanjian-kerja tidak memuat aturan-aturan itu. |
|||
|
Pasal 11 |
||||
|
(1) |
Sebagai pihak yang kuat, majikan oleh Menteri yang diserahi urusan perburuhan dapat diwajibkan menetapi aturan-aturan perjanjian-perburuhan juga bilamana dia berhubungan dengan buruh yang tidak terikat oleh perjanjian-perburuhan. Hal itu perlu agar majikan itu tidak dapat menerima buruh misalnya dengan upah yang lebih rendah dan sebagainya. |
|||
|
|
Di dalam penjelasan pasal 6, 7 dan 8 dikatakan bahwa suatu azas hukum yang pokok ialah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu, sekali-kali tidak juga berlaku untuk orang ketiga. Karena itu maka ketiga pasal ini menentukan bahwa perjanjian-perburuhan yang diselenggarakan oleh pihak serikat buruh dengan majikan berlaku juga untuk anggota-anggota serikat itu. Ketentuan itu telah selayaknya, karena maksud perjanjian itu ialah justru menetapkan hal-hal yang berlaku untuk anggota. Jadi ketentuan itu ialah akibat langsung dari sifat perjanjian-perburuhan. |
|||
|
|
Lain halnya dengan kepastian dalam pasal 11 ini. Berlakunya perjanjian-perburuhan bagi orang ketiga yang bukan anggota serikat buruh, ialah akibat yang langsung timbul karena perjanjian itu. Karena itu agak tidak selayaknya kepastian itu ditetapkan di sini. |
|||
|
|
Tetapi justru untuk melindungi buruh yang belum menjadi anggota perlu kepastian itu diadakan. Di dalam praktek buruh barulah menjadi anggota suatu serikat buruh bilamana dia sudah bekerja pada perusahaan yang berhubungan dengan serikat buruh itu. Kepastian itu sifatnya tidak lagi semata-mata mengatur (regelend) tetapi perintah (dwingend). |
|||
|
|
Di atas tidak diterangkan bahwa perintah ini berdasarkan atas maksud melindungi buruh yang belum menjadi anggota, supaya dia juga merasakan kemajuan yang akan dicapai oleh serikat buruh, yang dia belum menjadi anggotanya. |
|||
|
|
Mungkin perlindungan ini menimbulkan pikiran kurang setuju di pihak pergerakan buruh, karena mungkin melemahkan pergerakan. |
|||
|
|
Tetapi mengingat rasa peri-kemanusiaan dan rasa solidaritet kaum buruh pada umumnya, perlindungan itu akan mendapat sambutan gembira, lagi pula sebagai telah dikatakan di atas di dalam prakteknya buruh baru masuk menjadi anggota kalau sudah bekerja. Hal ini sebagian besar terletak pada kebijaksanaan pemimpin pergerakan. |
|||
|
(2) |
Karena ayat 2 ini Menteri dapat memaksakan suatu perjanjian-perburuhan kepada buruh-buruh dan majikan-majikan yang tidak terikat oleh perjanjian itu. Perjanjian itu harus dipenuhi oleh kedua golongan itu. Tetapi lapang usahanya harus sama. Misalnya perjanjian-perburuhan antara serikat buruh perusahaan batik dengan perusahaan batik, dapat dipaksakan kepada buruh dan majikan dari perusahaan batik lainnya. |
|||
|
|
Bilamana Menteri itu akan mempergunakan haknya tergantung pada keadaan, misalnya perjanjian-perburuhan perusahaan batik di Jakarta, sukar untuk dipaksakan pada perusahaan batik di desa di pegunungan. |
|||
|
(3) |
Di dalam Peraturan Pemerintah nanti dapat dimuat ketentuan bahwa inisiatif untuk memaksakan suatu perjanjian-perburuhan itu dapat dimajukan pula oleh majikan-majikan yang menyelenggarakan perjanjian itu atau oleh majikan-majikan yang bersangkutan dan akhirnya oleh serikat buruh yang menyelenggarakan perjanjian itu atau serikat buruh dari perusahaan itu sendiri. |
|||
|
Pasal 12 |
||||
|
|
Pasal 11 pokoknya melarang seorang majikan menyelenggarakan perjanjian-kerja dengan buruh yang tidak terikat yang bertentangan dengan aturan perjanjian-perburuhan, sedangkan maksud pasal 12 ini ialah menyempurnakan pasal itu dengan menyatakan bahwa seorang majikan atau perkumpulan majikan yang telah mengadakan perjanjian-perburuhan dengan sesuatu serikat buruh dilarang mengadakan perjanjian-perburuhan baru dengan serikat buruh yang lain yang bertentangan dengan perjanjian-perburuhan yang telah diselenggarakan itu. |
|||
|
Pasal 13 |
||||
|
|
Pasal 13 ini mengatur akibat dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sesuatu pihak pada perjanjian-perburuhan atau anggota-anggotanya seperti juga pasal 9. |
|||
|
|
Pasal 9 menetapkan bahwa buruh dapat bertindak sendiri hanya bilamana perjanjian-kerjanya memuat aturan yang bertentangan dengan aturan dari perjanjian-perburuhan. Hak ini adalah akibat dari pelanggaran-perjanjian-kerjanya sendiri yang harus sesuai dengan aturan-aturan dari perjanjian-perburuhan, sekali-kali bukan akibat dari perjanjian-perburuhan. |
|||
|
|
Pelanggaran-pelanggaran yang langsung mengenai perjanjian-perburuhan tidak dapat dituntut oleh buruh sendiri, melainkan harus dituntut oleh serikat buruhnya. Ketentuan ini adalah penting karena kedudukan serikat itu baik psychologis, maupun ekonomis tidak begitu lemah terhadap majikan daripada kedudukan buruh masing-masing, yang pada umumnya kurang cakap dan kurang berani berhadapan dengan majikan. |
|||
|
|
Untuk mencegah jangan sampai serikat buruh atau buruh perseorangan sengaja berbuat bertentangan dengan maksud perjanjian-perburuhan maka majikan berhak menuntut serikat buruh atau buruh sendiri. |
|||
|
Pasal 14 |
||||
|
|
Ketentuan dalam pasal ini perlu dimuat karena kerugian dari perkumpulan sebagai akibat pelanggaran acapkali tidak dapat dinyatakan dengan uang. |
|||
|
|
Tidak ditentukan di sini bahwa pengadilan yang menetapkan pengganti kerugian itu, maksudnya memberi kelonggaran kepada kedua belah pihak mengatur di dalam perjanjian-perburuhan supaya hal itu umpamanya ditetapkan oleh sebuah panitia. |
|||
|
Pasal 15 |
||||
|
|
Pasal ini memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menetapkan sesuatu denda yang tertentu (boete-beding) di dalam perjanjian mereka, sedangkan denda itu dapat diubah oleh pengadilan bilamana kewajiban yang dikenakan denda itu sebagian telah dipenuhi. Ketentuan dalam ayat-ayat ini diperlukan untuk menjaga keadilan. |
|||
|
Pasal 16 dan 17 |
||||
|
|
Maksud perjanjian-perburuhan ialah untuk mencapai stabilitet di dalam syarat-syarat bekerja (arbeidsvoorwaarden). Makin lama stabilitet ini dapat dipertahankan makin baik akibatnya bagi dunia perburuhan. Dipandang dari sudut itu, maka tidak pada tempatnyalah menentukan batas waktu berlakunya perjanjian-perburuhan. |
|||
|
|
Tetapi di samping itu harus juga diperhatikan bahwa mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu tidak selalu dapat menduga hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari. Aturan-aturan yang sekarang kelihatannya sempurna, mungkin akan ternyata kelak ada kekurangan-kekurangan atau memuat sesuatu yang menjerat mereka, disebabkan oleh perubahan-perubahan keadaan. |
|||
|
|
Lebih-lebih pada zaman sekarang ini, pada waktu harga barang-barang dan tingginya upah sangat goncang, jauh daripada tetap, mudah dimaklumi bahwa perjanjian-perburuhan yang diselenggarakan untuk waktu lebih dari satu tahun, sukar dapat dipertahankan. Justru karena itu di samping pasal 16 ditetapkan dalam pasal 17 bahwa masing-masing pihak sewaktu-waktu dapat minta kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian mereka. |
|||
|
|
Alasan yang agak memaksa (gewichtige redenen) adalah keadaan-keadaan yang bilamana tidak diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil. Walaupun bagi pengadilan agak sukar untuk menentukan keadaan apakah yang agak memaksa itu, hal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membiarkan mereka yang terjerat oleh sesuatu perjanjian yang oleh mereka sendiri dirasakan sebagai tidak adil lagi. |
|||
|
Pasal 18 |
||||
|
|
Walaupun di dalam perjanjian itu telah ditetapkan waktu berlakunya perjanjian itu, di dalam perjanjian masih harus dimuat juga ketentuan bahwa perjanjian itu akan habis apabila waktu itu telah berakhir. |
|||
|
|
Jika hal ini tidak ditentukan dan pernyataan pengakhiran tidak diberikan, maka perjanjian itu dianggap diperpanjang. Ketentuan ini perlu agar yang berkepentingan mengetahui benar-benar bilamana perjanjian mereka berakhir berlaku, jangan sampai mereka nanti dengan sekonyong-konyong menjumpai kenyataan bahwa antara mereka perjanjian itu tidak lagi berlaku. |
|||
|
Pasal 19 |
||||
|
|
Cara menyatakan pengakhiran ini perlu ditetapkan untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul berhubung dengan pernyataan itu. |
|||
|
Pasal 20 |
||||
|
|
Kepada semua pihak pada perjanjian-perburuhan itu diberikan kesempatan untuk menentukan bahwa pernyataan itu hanya berlaku untuk pihak yang mengatakannya dan bahwa perjanjian masih tetap berlaku bagi pihak lain-lainnya. |
|||
|
Pasal 21 |
||||
|
|
Aturan ini ialah aturan peralihan. Jika perjanjian-perburuhan yang telah ada pada hari undang-undang ini berlaku diubah, maka selanjutnya harus diturut aturan-aturan dari undang-undang ini. |
|||
|
|
Perjanjian-perburuhan itu tidak dapat diperpanjang atau dianggap diperpanjang. Yang berkepentingan harus menyelenggarakan perjanjian-perburuhan baru menurut undang-undang ini. |
|||
|
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 598 |
||||