
R A L A T
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 1954
TENTANG
PERJANJIAN PERBURUHAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN MAJIKAN
| UMUM | ||||
| 1. | Undang-undang yang mengatur suatu perjanjian antara dua belah pihak pada pokoknya mengakui adanya dan berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu untuk mendapat persetujuan tentang apa yang dikehendakinya. Dengan kata lain : adanya suatu keleluasaan bersepakat (contractvrijheid). Suatu perjanjian perburuhan tak ada gunanya dan tidak pada tempatnya, jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh Pemerintah saja. | |||
| 2. | Tetapi walaupun demikian keleluasaan itu harus dibatasi, yakni hanya di dalam lingkungan apa yang oleh Pemerintah dianggap layak. Sebab Pemerintah memegang teguh tujuannya untuk melindungi siapa yang lemah, agar tercapai sesuatu imbangan yang mendekatkan masyarakat kita kepada suatu tujuan negara kita menjamin penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk tiap-tiap warga negara. | |||
| Antara lain harus diperhatikan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam „Undang-undang Kerja Tahun 1948". | ||||
| 3. | Dipandang dari sudut perlindungan itu, maka Undang-undang ini merupakan suatu lanjutan, karena dengan Undang-undang ini buruh diberi hak untuk bersama-sama (collectief) dengan jalan perwakilan menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi. | |||
| 4. | Perjanjian perburuhan (collectieve arbeidsovereenkomst) yang telah diselenggarakaa oleh serikat buruh itu, tidak dapat diabaikan begitu saja oleh seorang buruh yang mengadakan perjanjian kerja (individueele arbeidsovereenkomst) (pasal 9 ayat 1). | |||
| Dan perjanjian perburuhan yang sangat manfaat bagi buruh, oleh Menteri Perburuhan dapat dipaksakan kepada majikan-majikan lainnya untuk dilaksanakan di dalam perusahaannya masing-masing (pasal 11 ayat 1 dan 2). | ||||
| 5. | Selanjutnya Undang-undang ini mengatur akibat-akibat dari tindakan serikat buruh terhadap anggauta-anggautanya, hubungan anggauta-anggauta itu dengan pihak lainnya pada perjanjian itu, hubungan suatu perjanjian perburuhan dengan perjanjian kerja, hubungan suatu perjanjian perburuhan dengan perjanjian perburuhan lainnya, dan sebagainya. Semua itu mengenai soal-soal hukum yang dengan jelas diterangkan di dalam penjelasan pasal demi pasal. | |||
| Sekedar sebagai pegangan perlu diterangkan apa yang dimaksudkan dengan beberapa istilah yang umum. Dengan serikat buruh tidak hanya dimaksudkan suatu serikat buruh pada suatu perusahaan atau suatu lapangan usaha, ataupun suatu serkat buruh dari suatu keahlian (vak), melainkan juga gabungsn dari beberapa atau berbagai-bagai serikat buruh. | ||||
| Buruh ialah seorang yang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan majikan untuk sesuatu waktu dengan menerima upah, sedang majikan ialah seorang pada siapa buruh itu bekerja. | ||||
| PASAL DEMI PASAL | ||||
| Pasal 1 | ||||
| (1) | Perjanjian perburuhan ialah peraturan induk bagi perjanjian kerja antara seorang anggauta serikat buruh pada satu pihak dengan seorang majikan atau seorang anggauta perkumpulan majikan pada pihak yang lain, baik yang sudah maupun yang belum diselenggarakan. Serikat-serikat buruh hanya dapat menyelenggarakan perjanjian perburuhan jika telah didaftar di Kementerian Perburuhan. | |||
| Kata „pada umumnya" memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk juga memuat hal-hal yang bukan semata-mata mengenai syarat-syarat perburuhan, umpamanya mengadakan panitya, terdiri dari anggauta-anggauta buruh dan majikan untuk mengawasi dijalankannya itu. Dengan demikian maka kedua pihak merdeka mengisi perjanjian itu. Cara yang lain, yakni menentukan satu hal demi satu hal apa-apa yang boleh diatur di dalam perjanjian perburuhan tidak dapat dipergunakan, karena agak kaku, yang pada hari kemudian mungkin menghalang-halangi kemajuan perjanjian perburuhan. Kemerdekaan kedua belah pihak tersebut hanya dibatasi dalam hal-hal tersebut dalam ayat 3. „Di dalam perjanjian kerja" berarti sebagai telah dikatakan di atas, bahwa perjanjian perburuhan yang pada sesuatu waktu diselenggarakan itu tidak hanya berlaku untuk perjanjian kerja yang dikemudian hari akan diselenggarakan, melainkan juga untuk perjanjian kerja yang sudah diselenggarakan pada waktu itu. | ||||
| (2) | Disamping perjanjian kerja, yang pada pokoknya mengenai pekerjaan yang dijalankan oleh buruh di bawah pimpinan majikan, untuk sesuatu waktu dengan menerima upah, terdapat pula : pertama perjanjian pekerjaan borongan yang menyatakan pihak yang kesatu, pemborong, berjanji untuk pihak yang lain, yang memborongkan, dengan harga yang tertentu menghasilkan suatu buah pekerjaan yang telah ditetapkan, umpamanya membuat rumah, kursi, dan lain-lain dan kedua perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan tertentu yang menyatakan bahwa pihak pertama berjanji melakukan sesuatu pekerjaan dengan upah untuk pihak yang lain, umpamanya antara seorang dokter dengan yang berobat, dan dalam hal itu kedua macam pekerjaan itu tidak dilakukan di bawah pimpinan majikan, sehingga dalam ayat 2 ini perlu ditentukan bahwa perjanjian perburuhan, dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, sesuatu- nya semata-mata untuk menghilangkan keragu-raguan tentang dapat diselenggarakan atau tidaknya perjanjian perburuhan bagi pekerjaan borongan dan perjanjian melakukan sesuatu pekerjaan tertentu. | |||
|
(3)
|
Bahwasanya aturan-aturan yang bertentangan dengan hukum tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan itu tidak sah, sudah selayaknya, karena itu tidak perlu di sini diterangkan panjang lebar. Sebabnya ketentuan ini didapat pada ayat 4 itu hanyalah untuk menegaskan sekali lagi adanya azas (beginsel) itu dalam hukum perdata kita. | |||
| Larangan Iainnya semata-mata ditujukan untuk menjaga timbulnya kedudukan yang bersifat monopolistis dari : | ||||
| Serikat buruh yang memaksa seorang majikan untuk hanya menerima umpamanya buruh keristen, buruh-buruh warga negara Indonesia, buruh bangsa asing, buruh berhaluan sosialis atau buruh yang menjadi anggauta dari perkumpulan A atau menolak umpamanya buruh Islam, buruh warga negara Indonesia, buruh berhaluan Kominis atau buruh yang menjadi anggauta dari perkumpulan B; majikan yang memaksa buruh untuk hanya bekerja atau tidak boleh bekerja umpamanya pada majikan Keristen, majikan warganegara Indonesia, majikan bangsa asing, majikan berhaluan sosialis atau majikan yang menjadi anggauta dari perkumpulan A. | ||||
| Pasal 2 | ||||
| (1) | Karena pentingnya akibat perjanjian itu, maka dimintakan bentuk yang tertentu. | |||
| Yang dimaksud dengan surat resmi (authentiek) ialah surat yang dibuat oleh orang atau pegawai yang berhak membuatnya umpamanya notaris, sedang surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak (onderhandsche akte) ialah surat yang justru memuat perjanjian perburuhan. | ||||
| (2) | Cukup jelas | |||
| Pasal 3 | ||||
| Karena perjanjian yang diselenggarakan itu berlaku buat anggauta-anggauta maka perlu supaya isinya diberitahukan kepada mereka. Caranya terserah kepada perkumpulan yang bersangkutan apakah dengan lisan ataukah dengan memberikan turunan surat perjanjian kepada anggauta-anggautanya. | ||||
| Maksud pasal ini terutama ialah bahwa tidak tahunya seorang anggauta tidak dapat diajukan kepada pihak yang lain. | ||||
| Pemberitahuan itu sebetulnya tidak berat bagi perkumpulan yang bersangkutan karena pada umumnya anggauta-anggauta telah mengetahui pada waktu menyetujuinya di dalam rapat anggauta. | ||||
| Hukuman pelanggaran ini adalah suatu soal antara anggauta dengan perkumpulannya (intern) yang harus diatur dalam peraturan dasarnya. | ||||
| Pasal 4 | ||||
| Mengenai kewajiban dan tanggung-jawab perkumpulan atas anggauta-anggautanya yang harus memenuhi aturan-aturan dalam perjanjian perburuhan, terdapat dua aliran yang sangat berlainan. | ||||
| a. | perkumpulan tersebut menanggung dengan sepenuhnya bahwa anggauta-anggautanya akan memenuhi semua aturan-aturan itu, dan perkumpulanlah yang bertanggung jawab bilamana anggauta-anggauta itu melanggar perjanjian perburuhan. | |||
| b. | perkumpulan tidak ikut campur dalam urusan aturan-aturan yang berlaku bagi anggauta-anggautanya. Pelanggaran oleh anggauta-anggautanya bukanlah tanggungannya. | |||
| Pasal ini mengambil jalan tengah. | ||||
| Aliran b yang menyatakan perkumpulan sedikitpun tidak bertanggung jawab, memungkinkan perkumpulan dengan secara diam-diam menghalang-halangi anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, tak dapat diturut karena ayat 1 mewajibkan perkumpulan mengusahakan agar anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. | ||||
| Dengan demikian tidak cukuplah bilamana perkumpulan itu hanya bersifat passief, tetapi harus juga bertindak actief ialah mengusahakan agar anggauta-anggautanya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka. | ||||
| Aliran a, bilamana dimuat dalam Undang-undang, dapat menghalang-halangi kemajuan perjanjian perburuhan karena mungkin banyak perkumpulan takut mengadakan perjanjian perburuhan. | ||||
| Karena itu dalam ayat 2 hanya ditetapkan bahwa perkumpulan hanya bertanggung jawab atas anggauta-anggautanya bilamana hal ini ditentukan di dalam perjanjian perburuhan itu sendiri. Jadi terserah kepada masing-masing pihak. | ||||
| Pasal 5 | ||||
| Perjanjian perburuhan adalah salah satu usaha untuk menjernihkan suasana dalam perusahaan. Apabila itu sudah tercapai, tujuan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya harus segera dikejar. Oleh sebab itu majikan harus memenuhi kewajibannya dan buruh harus sedikit-dikitnya memberi minimum arbeids-prestatie. | ||||
| Pasal 6, 7 dan 8 | ||||
| Setelah pasal 4 menentukan kewajiban yang ditanggung oleh perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, maka pasal 6, 7 dan 8 menetapkan kedudukan anggauta-anggauta terhadap perjanjian perburuhan itu yang diselenggarakan oleh perkumpulan mereka masing-masing. | ||||
| Sesuatu azas hukum yang pokok ialah bahwa sesuatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang menyelenggarakan perjanjian itu, dan tidak berlaku untuk orang ketiga. | ||||
| Karena itu harus ditentukan dengan tegas dalam Undang-undang bahwa : | ||||
| 1. | semua anggauta suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1); | |||
| 2. | mereka yang kemudian menjadi anggauta (anggauta baru) suatu perkumpulan yang menyelenggarakan perjanjian perburuhan, menjadi terikat oleh perjanjian itu (pasal 6 ayat 1); | |||
| 3. | mereka yang kehilangan keanggautaannya, baik karena dipecat maupun keluar atas permintaan sendiri, pada azasnya tetap terikat hingga waktu berlakunya perjanjian itu habis (pasal 7); | |||
| 4. | mereka tetap terikat juga bilamana perkumpulan mereka dibubarkan (pasal 8). | |||
| Ad 1 dan 2 Cukup jelas. | ||||
| Maksud perkataan „tersangkut dalam perjanjian itu" (pasal 6 ayat 1) umpamanya demikian : | ||||
| Serikat buruh paberik gula menyelenggarakan perjanjian perburuhan untuk anggauta-anggauta buruh tehnik. Perjanjian ini tidak berlaku bagi anggauta-anggauta buruh pengangkutan karena mereka ini tidak „tersangkut dalam perjanjian itu". Maksud pasal 6 ayat (2) ialah bahwa seorang anggauta yang melanggar, bertanggung jawab terhadap perkumpulannya sendiri dan terhadap perkumpulan yang menjadi pihak lainnya. | ||||
| Ad 3. Pasal 7 ini ialah untuk mencegah keluarnya seorang anggauta yang bermaksud menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban yang berlaku baginya. Umpamanya seorang majikan keluar dari perkumpulan majikan, hanyalah disebabkan untuk mencapai maksudnya mengadakan perjanjian-perjanjian kerja yang lebih menguntungkan baginya. | ||||
| Ad 4. Walaupun pasal 7 ayat 1 telah menentukan bahwa, bekas anggauta-anggauta tetap terikat oleh perjanjian perburuhan dan azas hukum perkumpulan menyatakan bahwa suatu perkumpulan yang dibubarkan masih harus bertanggung jawab atas penyelesaian kewajiban-kewajibannya, tetapi perlu hal itu ditentukan dengan tegas dalam pasal 8 dengan maksud untuk menghilangkan keragu-raguan. | ||||
| Pasal 9 | ||||
| (1) | Sebagai telah dikatakan pada penjelasan pasal 1 ayat 1, perjanjian perburuhan ialah peraturan induk atau peraturan dasar bagi perjanjian kerja antara seorang buruh dan seorang majikan yang terikat oleh perjanjian perburuhan itu. | |||
| Pasal 9 ini sekarang menentukan dengan tegas kedudukan kedua jenis perjanjian itu dan perhubungannya antara satu dengan lainnya. Karena kedudukan perjanjian perburuhan sebagai aturan dasar itu, maka aturan dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan sendirinya tidak berlaku. Karena aturan-aturan yang bertentangan itu tidak berlaku, maka perlulah dinyatakan dengan tegas manalah gantinya yang berlaku, karena jika tidak demikian maka dapatlah diartikan bahwa soal itu tidak diatur lagi dan bahwa yang dirugikan hanya dapat minta pengganti kerugian, tidak juga untuk memenuhi aturan yang dimuat dalam perjanjian perburuhan. | ||||
| Pasal 9 ini juga penting karena justru oleh ketentuan itu yang dirugikan (buruh) dapat memajukan sendiri perkaranya dimuka pengadilan. Jika ketentuan tersebut dalam pasal 9 itu tidak ada, maka yang dapat bertindak menurut pasal 13 hanyalah yang menjadi pihak dalam perjanjian perburuhan. | ||||
| (2) | Sesuatu hal yang tidak sah adalah mutlak (absoluut) tetapi tidak semua orang dapat memajukannya dimuka pengadilan karena sesuatu azas dari hukum acara menetapkan bahwa untuk dapat memajukan sesuatu hal dimuka pengadilan yang memajukannya itu harus mempunyai kepentingan. Untuk menetapkan bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian perburuhan dapat memajukannya dengan tidak usah menyatakan kepentingannya itulah maksud ayat (2) ini. | |||
| Pasal 10 | ||||
| Pasal 9 diantaranya menentukan bahwa bilamana aturan di dalam perjanjian kerja bertentangan dengan aturan di dalam perjanjian perburuhan, maka aturan perjanjian perburuhan yang berlaku. | ||||
| Pasal 10 inilah sekarang yang menentukan bahwa aturan-aturan di dalam perjanjian perburuhan itu jugalah yang akan berlaku, bilamana perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan itu. | ||||
| Pasal 11 | ||||
| (1) | Sebagai pihak yang kuat, majikan oleh Menteri Perburuhan dapat diwajibkan menepati aturan-aturan perjanjian perburuhan juga bilamana dia berhubungan dengan buruh yang tidak terikat oleh per¬janjian perburuhan. Hal itu perlu agar majikan itu tidak dapat menerima buruh misalnya dengan upah yang lebih rendah dan sebagainya. | |||
| Di dalam penjelasan pasal 6, 7 clan 8 dikatakan bahwa suatu azas hukum yang pokok ialah bahwa suatu perjanjian hanya berlaku an¬tara mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu clan tidak berlaku untu orang ketiga. Karena itu maka ketiga pasal ini menentukan bahwa perjanjian perburuhan yang diselenggarakan oleh pihak serikat buruh dengan majikan berlaku juga untuk anggauta-anggauta serikat itu. Ketentuan itu telah selayaknya, karena maksud perjanjian itu ialah justru menetapkan hal-hal yang berlaku untuk anggauta. Jadi keten¬tuan itu ialah akibat langsung dari sifat perjanjian perburuhan. | ||||
| Lain halnya dengan kepastian dalam pasal 11 ini. Berlakunya per¬janjian perburuhan bagi orang ketiga yang bukan anggauta serikat buruh, ialah bukan akibat yang langsung timbul karena perjanjian itu. Karena itu agak tidak selayaknya kepastian du ditetapkan di sini. | ||||
| Tetapi justru untuk melindungi buruh yang bukan anggauta perlu kepastian itu diadakan. Kepastian itu sifatnya tidak lagi semata-mata mengatur (regelend) tetapi memaksa (dwingend). | ||||
| Di atas telah diterangkan bahwa perintah ini berdasarkan atas maksud melindungi buruh bukan anggauta, supaya dia juga merasakan kemajuan yang akan dicapai oleh serikat buruh. | ||||
| Mungkin perlindungan ini menimbulkan pikiran kurang setuju di pihak pergerakan buruh, karena mungkin melemahkan pergerakan. Tetapi mengingat rasa perikemanusiaan dan rasa solidariteit kaum buruh pada umumnya, perlindungan itu akan mendapat sambutan gembira. | ||||
| (2) | Karena ayat 2 ini Menteri dapat memaksakan suatu perjanjian perburuhan kepada buruh-buruh clan majikan-majikan yang tidak terikat oleh perjanjian itu. Perjanjian itu harus dipenuhi oleh kedua golongan itu. Tetapi lapang usahanya harus sama. | |||
| Misalnya perjanjian perburuhan antara serikat buruh perusahaan batik dengan perusahaan batik, dapat dipaksakan kepada buruh dan majikan dari perusahaan batik lainnya. | ||||
| Bilamana Menteri itu akan mempergunakan haknya tergantung pada keadaan, misalnya perjanjian perburuhan perusahaan batik di Jakarta, sukar untuk dipaksakan pada perusahaan batik di desa di pegunungan. | ||||
| (3) | Cukup jelas | |||
| Pasal 12 | ||||
| Pasal 11 pokoknya melarang seorang majikan menyelenggarakan perjanjian kerja dengan buruh yang tidak terikat yang bertentangan dengan aturan perjanjian perburuhan, sedangkan maksud pasal 12 ini ialah menyempurnakan pasal itu dengan menyatakan, bahwa seorang majikan atau perkumpulan majikan yang telah mengadakan perjanjian perburuhan dengan sesuatu serikat buruh dilarang mengadakan perjanjian perburuhan baru dengan serikat buruh lain yang memuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang termuat syarat-syarat kerja yang kurang dari pada yang termuat dalam perjanjian perburuhan yang telah diselenggarakan itu. | ||||
| Pasal 13 | ||||
| Pasal 13 ini mengatur akibat dari pelanggaran-palanggaran yang dilakukan oleh sesuatu pihak pada perjanjian perburuhan atau anggauta-anggautanya seperti juga pasal 9. | ||||
| Pasal 9 menetapkan, bahwa buruh dapat bertindak sendiri hanya bilamana perjanjian kerjanya memuat aturan yang bertentangan dengan aturan dari perjanjian perburuhan. Hak ini adalah akibat dari pelanggaran perjanjian kerjanya sendiri yang harus sesuai dengan aturan-aturan dari perjanjian perburuhan, sekali-kali bukan akibat dari perjanjian perburuhan. | ||||
| Pelanggaran-pelanggaran yang langsung mengenai perjanjian perburuhan tidak dapat dituntut oleh buruh sendiri, melainkan harus dituntut oleh serikat buruhnya. Ketentuan ini adalah penting karena kedudukan serikat buruh itu baik psychologisch, maupun ekonomis tidak begitu lemah terhadap majikan dari pada kedudukan buruh masing-masing, yang pada umumnya kurang cakap dan kurang berani berhadapan dengan majikan. | ||||
| Untuk mencegah jangan sampai serikat buruh atau buruh perseorangan segaja berbuat bertentangan dengan maksud perjanjian perburuhan maka majikan berhak menuntut serikat buruh atau buruh sendiri. | ||||
| Pasal 14 | ||||
| Ketentuan dalam pasal ini perlu dimuat karena kerugian dari perkumpulan sebagai akibat pelanggaran acapkali tidak dapat dinyatakan dengan uang. | ||||
| Tidak ditentukan di sini, bahwa pengadilan yang menetapkan pengganti kerugian itu, maksudnya memberi kelonggaran kepada kedua belah pihak mengatur di dalam perjanjian perburuhan supaya hal itu umpamanya ditetapkan oleh sebuah panitya. | ||||
| Pasal 15 | ||||
| Pasal ini memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menetapkan sesuatu denda yang tertentu (boete-beding) di dalam perjanjian mereka, sedangkan denda itu dapat diubah oleh pengadilan bilamana kewajiban yang dikenakan denda itu sebagian telah dipenuhi. Ketentuan dalam ayat-ayat ini diperlukan untuk menjaga keadilan. | ||||
| Pasal 16 dan 17 | ||||
| Maksud perjanjian perburuhan ialah untuk mencapai stabiliteit di dalam syarat-syarat bekerja (arbeidsvoorwaarden). Makin lama stabiliteit ini dapat dipertahankan makin baik akibatnya bagi dunia perburuhan. Dipandang dari sudut itu, maka tidak pada tempatnyalah menentukan batas waktu berlakunya pernjanjian perburuhan. | ||||
| Tetapi disamping itu harus juga diperhatikan, bahwa mereka yang menyelenggarakan perjanjian itu tidak selalu dapat menduga hal-hal yang akan terjadi dikemudian hari. Aturan-aturan yang sekarang kelihatannya sempurna, mungkin akan ternyata kelak ada kekurangan atau memuat sesuatu yang menjirat mereka, disebabkan oleh perubahan-perubahan keadaan. | ||||
| Lebih-lebih pada jaman sekarang ini, pada waktu harga barang-barang dan tingginya upah sangat goncang jauh dari pada tetap, mudah dimaklumi bahwa perjanjian perburuhan yang diselenggarakan untuk waktu lebih dari dua tahun, sukar dapat dipertahankan. Justru karena itu disamping pasal 16 ditetapkan dalam pasal 17 bahwa masing-masing pihak sewaktu-waktu dapat minta kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian mereka. | ||||
| Alasan yang memaksa adalah keadaan-keadaan yang bilamana tidak diperhatikan menimbulkan rasa tidak adil. Walaupun bagi pengadilan agak sukar untuk menentukan keadaan apakah yang memaksa itu, hal ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membiarkan mereka terjirat oleh sesuatu perjanjian yang oleh mereka sendiri dirasakan sebagai tidak adil lagi. | ||||
| Pasal 18 | ||||
| Walaupun di dalam perjanjian itu telah ditetapkan waktu berlakunya perjanjian itu, di dalam perjanjian masih harus dimuat juga ketentuan bahwa perjanjian itu akan habis apabila waktu itu telah berakhir. Jika hal ini tidak ditentukan dan pernyataan pengakhiran tidak diberikan, maka perjanjian itu dianggap diperpanjang. Ketentuan ini perlu agar yang berkepentingan mengetahui benar-benar bilaman perjanjian mereka berakhir berlaku, jangan sampai mereka nanti dengan sekonyong-konyong menjumpai kenyataan bahwa antara mereka perjanjian itu tidak lagi berlaku. | ||||
| Pasal 19 | ||||
| Cara menyatakan pengakhiran ini perlu ditetapkan untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul berhubung dengan pernyataan itu. | ||||
| Pasal 20 | ||||
| Kepada semua pihak pada perjanjian perburuhan itu diberikan kesempatan untuk menentukan bahwa pernyataan itu hanya berlaku untuk pihak yang menyatakannya dan bahwa perjanjian masih tetap berlaku bagi pihak lain-lainnya. | ||||
| Pasal 21 | ||||
| Aturan ini ialah aturan peralihan. Jika perjanjian perburuhan yang telah ada pada hari Undang-undang ini berlaku diubah, maka selanjutnya harus diturut aturan-aturan dari Undang-undang ini. | ||||
| Perjanjian perburuhan itu tidak dapat diperpanjang atau dianggap diperpanjang. Yang berkepentingan harus menjelenggarakan perjanjian perburuhan baru menurut Undang-undang ini. | ||||
| Diketahui : | ||||
| Sekretariat Kementerian | ||||
| Kehakiman, | ||||
| Mr. SOEDARJO | ||||