PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 1969

TENTANG

PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT.

U M U M

Peraturan Pemerintah ini merupakan penyempurnaan terhadap Kebijaksanaan Pemerintah dibidang angkutan laut yang ditujukan untuk mengsuseskan usaha mentjiptakan stabilisasi politik dan ekonomi sebagai syarat untuk berhasilnya pelaksanaan rentjana pembangunan.

Penyempurnaan tersebut terutama meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. menyesuaikan pembinaan penyelenggaraan dan pengusahaan angkutan laut dengan jiwa ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966;
b. menegaskan pentingnya pelayaran tetap dan teratur guna melayani dan mendorong perkembangan dan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi nasional;
c. menyesuaikan penggunaan kapal-kapal dalam menyelenggarakan pelayaran dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan nautis/tehnis;
d. menghidupkan kembali kegiatan per-veem-an sebagai salah satu unsur penunjang kegiatan angkutan laut;
e. menegaskan peranan pembinaan oleh Pemerintah yang ditujukan kepada pengarahan dan perlindungan seperlunya terhadap armada kapal-kapal niaga Indonesia.
Adapun pokok-pokok kebijaksanaan tersebut maliputi hal-hal sebagai berikut :
I. Azas pokok :

Penyelenggaraan angkutan laut ditujukan untuk membina kesatuan ekonomi negara kepulauan Indonesia serta melayani dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

II. Pelayaran dalam negeri :
1. Penyelenggaraan pelayaran dalam negeri diatur berdasarkan pola pembinaan wawasan Nusantara, dengan cara penyelenggaraan suatu pelayaran nusantara yang tetap dan teratur diseluruh Tanah Air Indonesia.
2. Penyelanggaraan pelayaran nusantara yang tetap dan teratur tersebut ditingkatkan selaras dengan tahap peningkatan pola perdagangan yang mempunyai pusat-pusat perdagangan (trade centre) yang tersebar diseluruh Nusantara dan yang merupakan pusat-pusat akumulasi hasil daerah dan pusat-pusat de-alokasi (distribusi) muatan kedaerah-daerah yang bersangkutan.
3. Pelayaran nusantara yang tetap dan teratur tersebut ditunjang oleh pengaturan secara terarah oleh penyelenggaran pelayaran lokal, pelayaran rakyat. pelayaran penundaan laut, pelayaran perairan pedalaman/terusan-terusan dan sungai.
4. Penyelenggaraan pelayaran nusantara yang tetap dan teratur dapat diarahkan kepda suatu cara penyelenggaraan pelayaran dalam bentuk gabungan atau kesatuan operasionil yang terorganisir secara efektif serta ifisien agar dapat terbina suatu liner-service yang mantap dan menyeluruh diseluruh Nusantara. Untuk sekaligus agar dapat diatasi dan ditertibkan secara efektif kondisi riil yang ada.
5. Untuk menunjang adanya pusat-pusat perdagangan (trade centre) tersebut sebagai pusat-pusat jaringan trayek-trayek yang tetap dan teratur dari pelayaran, maka perlu didorong kegiatan-kegiatan akumulasi dan transhipment dan perlu ditinjau kembali zee-haven-reglement dan kriteria penentuan pelabuhan serta klasifikasinya.
III. Pelayaran luar negeri :

Penyelenggaraan pelayaran luar negeri yang meliputi pelayran samudera dekat dan pelayaran samudera dibina agar dalam rangka usaha Pemerintah meningkatkan ekspor dan kegiatan ekonomi pada umumnya diperoleh saham (share) yang wajar oleh Indonesia dalam lalu-lintas muatan internasional ke dan dari Tanah Air. Dengan demikian hal tersebut dapat meningkatkan beban pada neraca perdagangan/pembayaran Indonesia, satu dan lain dengan tetap mengindahkan kemampuan-kemampuan yang riil serta effisiensi perusahaan dan service.

Pada prinsipnya penyelenggaraan pelayaran luar negeri di landaskan pada sistim pelayaran secara tetap dan teratur (liner system).

IV. Ekspedisi muatan kapal laut dan per-veem-an :

Untuk kelancaran angkutan laut yang tertib dan teratur maka kegiatan-kegiatan ekspedisi muatan kapal laut dan per-veem-an dipelabuhan-pelabuhan itu sendiri harus ditingkatkan sebagai unsur-unsur penunjang yang utama,dimana dalam peraturan ini ditegaskan kembali fungsi dan kedudukan kegiatan per-veem-an dan ekspedisi muatan kapal laut.

V. Perananan Pemerintah dan Market Forces:

Kegiatan-kegiatan market forces secara wajar dan tertib akan terus dikembangkan dan dibina dalam bidang angkutan laut berdasarkan demokrasi ekonomi yang sehat dan tertib ekonomi yang mantap dengan pengarahan dan perlindungan seperlunya oleh Pemerintah.

Dalam Peraturan Pemarintah ini pokok-pokok kebijaksanaan tersebut diatur secara terperinci dan masih akan dilengkapi dengan peraturan-peraturan pelaksanaan lebih lanjut.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL :

Pasal 1

    Pasal ini merupakan penegasan tentang pengertian-pengertian pokok dibidang angkutan laut dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum dalam perundang-undangan serta kelaziman-kelaziman.

Pasal 2

    Pasal ini menegaskan fungsi angkutan laut bagi negara kepulauan Indonesia, bahwa angkutan laut merupakan untuk membina kesatuan ekonomi negara, dan oleh karena itu pada hakekatnya angkutan laut tidak saja malayani tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Fungsi yang demikian itu haruslah didasarkan pada tersedianya angkutanlaut secara tetap dan teratur yang dapat manjamin, terpenuhinya kebutuhan angkutan secara kontinu dan terjaminnya tingkat freight yang ekonomis dan stabil. Disamping itu harus pula dapat ditampung kebutuhan angkutan sewaktu-waktu dengan pelayaran tidak tetap.

Pasal 3

    Sudah sewajarnya tindakan-tindakan Pemerintah diarahkan untuk membina serta melindungi perkembangan armada kapal niaga nasional.

Oleh karena itu pembinaan pelayaran nasional harus diarahkan kepada pembangunan dan penyediaan armada yang sesuai dan mencukupi serta mengusahakan agar dapat menguasai muatan semaksimal mungkin.

Pasal ini pada hakekatnya merupakan landasan bagi kebijaksanaan Pemerintah selanjutnya dalam membina perkembangan armadanasional.

Pasal 4

    Terselenggaranya fungsi angkutan laut dengan sebaik-baiknya tidak terlepas pula dari adanya kegiatan usaha yang bersifat menunjang kegiatan angkutan laut, seperti per-veem-an, ekspedisi muatan kapal laut dan lain sebagainya.

Pasal 5

    Dalam pasal ini diadakan penggolongan usaha pelayaran yang meliputi pelayaran dalam negeri, pelayaran luar negeri dan pelyaran chusus.

Pelayaran dalam negeri adalah segala jenis usaha pelayaran yang diselenggarakan antar pelabuhan Indonesia.

Pelayaran nusantara dititik-beratkan pada usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh, sehingga misalnya pelayaran dari pelabuhan Indonesia kepelabuhan-peabuhan Indonesia lainnya denga menyinggahi Singapura dan pelabuhan-pelabuhan Malaysiatermasuk juga pelayaran nusantara.

Penyelenggaraan pelayaran lokal yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan angkutan daerah diarahkan untuk berfungsi sebagai kapal-kapal feeder guna menunjang terselenggaranya pelayaran tetap dan teratur dibidang pelayaran nusantara. Dengan memperhatikan aspek keseimbangan usaha dan aspek teknis perkapalan maka kapal-kapal yang dipergunakan bagi pelayaran lokal adalah kapal-kapal yang berukuran 500m3 isi kotor kebawah atau sama dengan 175 BRT kebawah.

Penyelenggaraan pelayaran lokal tersebut ditujukan terutama sebagai "feeders" bagi kapal-kapal pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang syrata-syarat nautis/teknis maka pada hakekatnya yang dapat malakukan pelayaran lokal seperti yang dimaksud adalah kapal-kapal yang berukuran 500 m3 isi kotor kebawah atau sama dengan 175 BRT kebawah.

Pelayaran rakyat yang sebagian besar terdiri dari perahu-perahu layar telah merupakan potensi yang nyata dan menjalankan peranan penting dalam bidang angkutan laut. Oleh karena sifat tradisionil yang dimilikinya maka perkembangannya perlu diselenggarakan pertama-tama oleh penguasa pelayaran yang bersangkutan.

Pelayaran penundaan laut telah menunjukkan perkembangan yang nyata, oleh karenanya perlu diadakan pengarahan yang lebih positif agar benar-benar dapat menunjang secara riil kegiatan pelayaran nusantara baik dalam fungsi akumulasi maupun distribusi ataupun untuk mengatasi kebutuhan angkutan sewaktu-waktu.

Pelayaran samudera dekat merupakan suatu usaha pelayaran luar negeri dengan pembatasan jarak tempuh tidak melebihi 3.000 mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia. Jarak tersebut ditetapkan dengan memperhitungkan persyaratan keamanan dan keselamatan pelayaran sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, serta diproyeksikan pula pada perkembangan perdagangan dan perekonomian Indonesia dengan negara-negara tetangga.

Dengan jarak 3.000 mil laut tersebut maka pelayaran samudera dekat dapat mencapai negara-negara : Muang Thai, kamboja, India, Pakistan, Hongkong, Philipina, Djepang dan Australia.

Selanjutnya disamping pelayaran samudera dekat sebagai suatu usaha tersendiri dikenal pula pelayaran samudera dengan kapal-kapal besar dan jarak tak terbatas sepanjang tetap memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan pelayaran sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Pelayaran khusus merupakan pelayaran dalam atau luar negeri dengan menggunakan kapal khusus untuk pengangkutan barang-barang bulk.

Pasal 6

    Pada prinsipnya penyelengaraan pelayaran baik dalam dan luar negeri oleh perusahaan-perusahaan pelayaran Indonesia harus diselenggarakan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia. Dalam hal terjadi kekurangan ruang kapal, dapat dilakukan penggunaan kapal-kapal bukan berbendera Indonesia atas dasar sewa (charter) ataupun perjanjian lainnya, satu dan lain dengan memperhatikan persyaratan teknis, keamanan dan keselamatan pelayaran sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7

    Cukup jelas

Pasal 8

    Pertimbangan tentang tersedia atau tidaknya ruangan kapal niaga Indonesia akan diperhatikan secara lebih khusus dalam hal izin-izin kepada kapal-kapal berbendera negara sahabat yang tidak melakukan pelayaran tetap.

Pasal 9

Pasal ini pada hakekatnya menegaskan berlakunya azas kabotase dalam pelayaran nusantara yang merupakan kelaziman di dunia internasional, hal mana berarti bahwa penyelenggaraan pelayaran nusantara hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal yang berbendera Indonesia.

Pasal 10

    Untuk menjamin terselenggaranya angkutan laut diseluruh kepulauan Indonesia sebagai suatu sistim jaring-jaring angkutan yang dapat melayani perdagangan dan mendorong perkembangan ekonomi nasional maka penyelenggaraan pelayaran nusantara harus didasarkan pada sistim pelayaran tetap dan teratur. Penyelenggaraan pelayaran tetap dan teratur tersebut perlu didasarkan pada suatu pola trayek angkutan laut yang mencerminkan pola perdagangan dan arah perkembangan ekonomi negara kepulauan Indonesia.

Sedangkan bagi penyelenggaraan angkutan ke/dari luar negeri oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya ditetapkan pedoman yang disesuaikan dengan prkembangan perdagangan luar negeri Indonesia.

Pola trayek angkutan laut nusantara seperti dimaksud diatas harus menunjukkan pula korelasinya yang jelas dan lancar dengan penyelenggaraan pelayaran lokal dimana kapal-kapal lokal tersebut berfungsi sebagai kapal-kapal feeder dan dengan penyelenggaraan pelayaran luar negeri dalam rangka kelancaran angkutan impor dan ekspor.

Untuk menjamin terlaksananya angkutan laut secara menyeluruh, terutama dalam mengatasi kebutuhan yang mendesak, kepada perusahaan-perusahaan pelayaran dapat diwajibkan untuk melayari suatu atau beberapa trayek pelayaran. Bahkan oleh Pemerintah cq. Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya dapat ditetapkan bahwa penyelenggaraan pelayaran dilakukan dalam bentuk gabungan atau kesatuan operasioneel.

Pasal 11

    Dalam rangka usaha peningkatan ekspor dan perkembangan ekonomi nasional pada umumnya, maka peranan angkutan laut ke dan dari luar negeri mempunyai arti yang penting.

Keterangan kepada kapal-kapal asing dalam pengangkutan barang-barang ekspor dan impor dirasakan memberatkan neraca perdagangan/pembayaran luar negeri Indonesia. Disamping itu ketergantungan tersebut terutama kepada kapal-kapal transpers dapat pula menimbulkan ketidak pastian dalam penyelenggaraan perdagangan luar negeri Indonesia. Oleh karena itu perlulah diadakan pembinaan yang bersifat mendorong pertumbuhan dan perkembangan armada pelayaran luar negeri Indonesia, dengan jalan kapal-kapal niaga Indonesia yang menyelenggarakan pelayaran luar negeri tersebut untuk memperoleh bagian yang wajar (fair share) dari volume muatan perdagangan luar negeri Indonesia, stu dan lain dengan tetap memperhatikan kemampuan yang riil serta effisiensi perusahaan dan service.

Penyelenggaraan pelayaran luar egeri pada dasarnya dilandaskan pada sistim pelayaran tetap dan teratur untuk menjamin tingkat freight yang layak dan stabil serta tersedianya ruangan angkutan secara tetap dan teratur.

Untuk mengatasi kebutuhan angkutan pelayaran luar negeri yang tidak dapat dipenuhi dengan kapal-kapal liner terutama angkutan barang-barang bulk, dapat dilakukan dengan kapal-kapal yang menyelenggarakan pelayaran tidak tetap.

Pasal 12

    Gudang laut yang berfungsi sebagai gudang transit pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari pada kegiatan operasionel perusahaan pelayaran sehubungan dengan pekerjaan bongkar muat dari dan keatas kapal. Diusahakannya gudang laut oleh perusahaan pelayaran adalah untuk dapat menjamin kelancaran bongkar muat yang dilakukan melalui gudang transit tersebut dan sehubungan dengan kebutuhan kecepatan keberangkatan kapal (quick dispatch).

Hal ini tidak mengurangi kemungkinan untuk adanya bongkar muat barang langsung dilambung kapal satu dan lain sesuai dengan syarat-syarat dalam perjanjian pengangkutan dan kebutuhan. Berhubung dengan kondisi dan situasi dalam pelabuhan setempat dan kegiatan sesuatu perusahaan pelayaran, Menteri atau pejabat yang ditunjuknya menentukan syarat-syarat yang berhubungan dengan penggunaan/pengusahaan gudang-gudang laut.

Walaupun pada dewasa ini gudang-gudang laut dimiliki oleh secara umum sesuai dengan kebutuhan dan kondisi dipelabuhan setempat terbuka kemungkinan bagi usaha pelayaran untuk membangun gudang laut.

Pasal 13

    Dalam melaksanakan perizinan terhadap usaha usaha angkutan laut dan segala aspeknya Menteri berpedoman pada azas-azas pertimbangan untuk kepentingan nasional dengan selalu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telag digariskan oleh pemerintah. Azas tersebut dilaksanakan pula dalam bentuk pengawasan terhadap jalannya usaha.

Selanjutnya dijadikan pula azas pertimbangan kemampuan investasi, kemampuan untuk mengembangkan usaha dan terjaminnya ketenteraman dan kesenangan kerja segenap tenaga manusia yang merupakan faktor produksi untuk mempertinggi effisiensi.

Pasal 14

    Penegasan dan penyesuaian tanggungjawab pengangkut kepada pemilik/penerima barang adalah didasarkan peda ketentuan perundang-undangan, perjanjian-perjanjian pengangkutan atau kelaziman-kelaziman internasional yang berlaku dibidang pelayaran. Penegasan ini diperlukan untuk menghindarkan keragu-raguan tentang tenggung-jawab atas barang yang diangkut. Pada pokoknya tanggung-jawab tersebut disesuaikan dengan pekerjaan yang secara nyata atau sesuai dengan dikuasainya barang tersebut secara nyat oleh pihak yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal terakhir maka dalam hal sesuatu perusahaan pelayaran mengusahakan gudang laut seperti yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) dan (3), maka ia bertanggung-jawab atas barang-barang yang berada dalam gudang laut yang dikuasainya itu.

Pasal 15

    Pasal ini menetapkan syarat-syarat tentang izin pengusahaan pelayaran nusantara.

Penyelenggaraan pelayaran nusantara diselenggarakan dengan menggunakan satuan kapal lebih dari 1 (satu) unit dengan jumlah minimal 3.000 m3 isi kotor atau sama dengan kurang lebih 1.100 BRT.

Satu-satuan kapal yang digunakan dalam pelayaran nusantara hasrus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan nautis/teknis. Hal mana berarti bahwa kapal-kapal yang dapat digunakan untuk pelayaran nusantara adalah kapal-kapal yang berukuran diatas 500 m3 isi kotor atau sama dengan diatas 175 BRT.

Pasal 16

    Cukup jelas

Pasal 17

    Atas dasar kebutuhan mendesak akan keperluan pengangkutan yang tidak dapat dilayani oleh kapal-kapal pelayaran tetap misalnya adanya overflow barang, dapat diselenggarakan pengangkutan tidak tetap oleh perusahaan pelayarn nusantara.

Pasal 18

    Untuk menegakkan pembinaan yang sehat terhadap perkembangan Perusahaan-perusahaan Pelayaran Nasional maka kepada perusahaan pelayaran yang nyata-nyata tidak berhasil melakukan usahanya sebagaimana disyaratkan perlu segera diambil tindakan pencabutan izin.

Pasal 19

    Pada dasarnya penyelenggaraan pelayaran lokal, pelayaran rakyat, pelayaran penundaan laut, pelayaran pedalaman, terusan dan sungai diarahkan untuk menunjang terselenggaranya angkutan laut yang bersifat setempat/daerah dan angkutan laut bagi kepulauan nusantara dimana jenis-jenis pelayaran tersebut terutama berfungsi sebagai penunjang untuk terselenggaranya pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri secara tetap dan teratur dalam rangka perkembangan perdagangan antara pulau dan perkembangan ekonomi nasional pada umumnya.

Sifat dan bentuk pembinaan yang perlu diberikan bagi jenis pelayaran tersebut, perlu disesuaikan dengan keadaan setempat dan kebutuhan perkembangan usaha yang bersangkutan.

Pasal 20

    Penyelenggaraan pelayarn samudera dekat sebagai termaksud pasa 5 ayat (2a) pada hakekatnya merupakan pelayaran luar negeri. Berhubung dengan sifat perdagangan Indonesia dengan negara-negara tetangga yang karena kostelasi geografis terjalin erat dengan kegiatan perdagangan antar pulau Indonesia, misalnya Muang Thai, Philipina, Australia dan sebagianya, maka dalam kenyataannya tidak dapat diadakan pembatasan yang tadjam antara penyelenggaraan pelayaran nusantara dengan penyelenggaraan pelayaran luar negeri ke dan dari negara-negara tetangga tersebut. Oleh karena itu dipandang wajar apabila apabila terutama syarat-syarat nautis/teknis perkapalan dipenuhi, penyelenggaraan pelayaran samudera dekat dapat pula dilakukan oleh perusahaan pelayaran nusantara.

Disamping itu dimungkinkannya perusahaan pelayaran nusantara dapat menyelenggarakan pelayaran samudera dekta akan memudahkan perusahaan pelayaran nusantara untuk sewaktu-waktu menyesuaikan operasi mereka dan ruangan kapal yang ada dengan kebutuhan angkutan yang dapat bersifat berubah-ubah pada suatu ketika, umpamanya apabila pada suatu waktu kebutuhan angkutan pelayaran nusantara telah dapat terpenuhi maka ruangan kapal yang berlebih dapat dimanfaatkan dalam penyelenggaraan pelayaran samudera dekat. Demikian pula apabila terdapat kebutuhan ruangan angkutan pelayaran nusantara yang meningkat, dapat diadakan penyesuaian seperlunya. Pemerintah dapat menetapkan ketentuan tentang penyesuaian tersebut.

Dimungkinkannya penyelenggaraan usaha pelayaran samudera dekat oleh pelayaran semudera kiranya dapat difahami oleh karena kedua-duanya merupakan usaha pelayaran luar negeri.

Dari penjelasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa penyelenggaraan pelayaran samudera dekat bukan merupakan usaha pelayaran yang berdiri sendiri.

Pasal 21

    Persyaratan tehnis bagi penyelenggaraan pelayaran samudera ditingkatkan dengan cara menetapkan pemilihan satuan kapal sekurang-kurangnya 2 buah kapl dengan jumlah minimal 28.000 isi kotor, atau sama dengan kurang lebih 10.000 BRT.

Satuan kapal yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayaran samudera harus disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan nautis/teknis.

Sebagai contoh kapal-kapal yang berukuran tertentu atas dasr ketentuan perundang-undangan yang dimaksud mungkin tidak dapat digunakan untuk pelayaran samudera untuk jurusan tertentu. Disamping itu diperlukan persyaratan yang didasarkan pada perhitungan ekonomi perusahaan.

Pasal 22

    Cukup jelas

Pasal 23

    Sesuai penjelasan Pasal 18.

Pasal 24

    Kerjasama dengan fihak luar negeri guna membantu pertumbuhan dan perkembangan pelayaran luar negeri Indonesia, dapat bersifat kerjasama dibidang permodalan, tenaga ahli atau dapat pula merupakan pelbagai bentuk bantuan kredit jangka panjang.

Pasal 25

    Mengingat besarnya volume perdagangan barang-barang bulk yang mmerlukan kapal-kapal pengangkut khusus terutama sekali dalam perdagangan luar negeri, dalam rangka ketentuan pasal 11, maka perlulah pembinaan penyelenggaraan pelayaran khusus diarahkan kepada sasaran untuk dapat dikuasainya angkutan barang-barang bulk tersebut oleh armada kapal-kapal niaga Indonesia.

Penyelenggaraan pelayaran khusus seperti pengangkutan minyak dan hasil-hasil minyak serta hasil-hasil pertambangan lainnya dan barang-barang khusus seperti logs dan lain-lain sebagian terbesar masih diangkut oleh kapal-kapal asing.

Pembinaan penyelenggaraan angkutan khusus ini perlu diarahkan pemilikan kapal-kapal/kapal pengangkut khusus sesuai dengan kebutuhan angkutan oleh perusahaan pelayaran nasional.

Pasal 26

    Mengingat aspek-aspek tehnik pelayaran yang perlu diperhatikan dan diselenggarakan sebaik-baiknya dalam rangka pengembangan usaha pelayaran nasional Indonesia, maka kapal-kapal asing yang berlayar ke Indonesia harus menunjuk perusahaan pelayaran Nusantara atau Samudera sebagai agen umum (general agent).

Untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan bagi pengembangan perdagangan dan pelayaran, agen umum kapal-kapal asing sebagaimana pula perusahaan-perusahaan pelayaran nasional diwajibkan menyampaikan laporanmengenai tarif pengangkutan, manifest, keanggotaan conference atau bentuk kerjasama lainnya.

Pasal 27

    Pemilik perusahaan pelayaran asing dapat pula menunjuk perorangan atau suatu badan hukum lain untuk bertindak sebagai wakilnya di Indonesia (owner's representative).

Selanjutnya pasal ini menentukan pula bahwa perwakilan perusahaan pelayaran asing tersebut harus mengerahkan pekerjaan bongkar muat dan pekerjaan-pekerjaan pelayaran kapal kepada perusahaan pelayaran nusantara dan samudera nasional sebagai handling agent, satu dan lainkarena kegiatan-kegiatan terminal pelayaran sesuai pasal 12 dan pasal 14 berada di tangan perusahaan pelayaran nasional.

Pasal 28

    Kegiatan per-veem-an pda hakekatnya merupakan usaha penampungan dan penumpukan barang-barang yang ditujukan bagi kepentingan perdagangan dimana didalamnya dimungkinkan pula pekerjaan seperti sorting, coating, packing and repacking, up-grading, marking and remarking dan sebagainya.

Oleh karena itu persyaratan-persyaratan kegiatan usaha dan prosedur memperoleh izin per-veem-an perlu ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.

Selanjutnya mengingat bahwa kegiatan per-veem-an tidak pula bersifat penumpukan/penyimpanan barang semata-mata tetapi meliputi pola kegiatan dalam rangka persiapan barang-barang untuk dikapalkan serta mengingat kegiatan per-veem-an tersebut berada dalam lingkungan kerja pelabuhan maka izin usaha per-veem-an diberikan oleh Menteri Perhubungan, atau pejabat yang ditunjuknya dengan mengindahkan syarat usaha per-veem-an dan prosedur memperoleh izin yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.

Pasal 29

    Cukup jelas

Pasal 30

    Untuk menegakkan pembinaan yang sehat terhadap perkembangan perusahaan per-veem-an maka kepada perusahaan per-veem-an yang secara nyata tidak berhasil melakukan usahanya sebagaimana disyaratkan perlu segera diambil tindakan pencabutan izin.

Pasal 31

    Kerjasama dengan fihak luar negeri guna membantu pertumbuhan dan perkembangan usaha per-veem-an, dapat bersifat kerjasama dibidang permodalan, tenaga ahli atau dapat pula merupakan pelbagai bentuk bantuan kredit jangka panjang.

Pasal 32

    Pada hakekatnya kegiatan ekspedisi muatan kapal laut merupakan kegiatan antara dalam mengurus kepentingan shipers/consignee. Berhubung dengan dihidupkannya kembali usaha per-veem-an tersebut dalam pasal 28 yang menyelenggarakan usaha-usaha seperti tercantum dalam pasal 1 mengenai penegertian Veem, maka kegiatan ekspedisi muatan kapal laut perlu disesuaikan sehingga meliputi kegiatan pengurusan dokumen dan pekerjaan yang menyangkut penerimaan/penyerahan muatan yang diangkut melalui lautan untuk diserahkan kepada / diterima dari perusahaan pelayaran untuk kepentingan pemilikbarang. Pada hakekatnya pekerjaan pengurusan dokumen dan lain sebagainya itu dari segi pertimbangan ekonomis tertentu dapat pula dilakukan oleh yang berkepentingan sendiri atau oleh badan usaha lainnya yang sanggup dan berkeahlian untuk melakukannya. Ini berarti, bahwa suatu perusahaan perdagangan, sepanjang berkenaan dengan barang-barang perusahaannya sendiri dapat langsung menyelenggarakan kegiatan ekspedisi muatan kapal laut, jika memnuhi syarat-syarat tehnis yang diperlukan. Untuk itu diperlukan laporan dan registrasi spenuhnya.

Sungguhpun demikian tidak menutup kemungkinan untuk mendirikan usaha ekspedisi muatan kapal secara spesialisasi dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan tehnis ekonomis dari yang bersangkutan.

Dengan demikian penyelenggaraan dan pengusahaan ekspedisi muatan kapal laut dapat dilakukan oleh setiap badan usaha Indonesia yang bonafide.

Sehubungan dengan itu usaha pelayaran dan per-veem-an atas dasar pertimbangan ekonomis dapat pula menyelenggarakan kegiatan ekspedisi muatan kapal laut.

Untuk menjamin penyelenggaraan jasa-jasa ekspedisi muatan kapal laut sebaik-baiknya pada masyarakat, maka usaha tersebut harus pula memenuhi syarat-syarat tehnis yang ditentukan.

Selanjutnya sehubungan dengan kegiatan per-veem-an yang mengharuskan adanya kewajiban investasi dibidang keahlian dan materiil, maka untuk lebih mendorong kegiatan ekspor dan perdagangan secara riil pembinaan kegiatan usaha ekspedisi muatan kapal laut perlu diarahkan kepada peningkatannya menjadi usaha per-veem-an.

Pasal 33

    Cukup jelas

Pasal 34

    Untuk menegakkan pembinaan yang sehat terhadap perkembangan penyelenggaraan dan pengusahaan ekspedisi muatan maka kepada perusahaan-perusahaan yang secara nyata tidak berhasil melakukan usahanya sebagaimana disyaratkan perlu segera diambil tindakan pencabutan izin.

Pasal 35

    Cukup jelas

Pasal 36

     Untuk memungkinkan terselenggaranya pengaturan kembali serta penyesuaian-penyesuaian dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dengan sebaik-baiknya tanpa perlu menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat, dianggap perlu menentukan suatu ketentuan peralihan.

Pasal 37

    Cukup jelas

Pasal 38

    Cukup jelas

Pasal 39

    Cukup jelas