DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Pasal 2
Ayat (1)
Pengaruh hubungan istimewa seperti yang dimaksud dalam undang-undang ini ialah adanya kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga pasar.
Dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak mempunyai Wewenangan melakukan penyesuaian Harga Jual atau penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dengan harga pasar wajar yang berlaku di pasaran bebas.
Ayat (2)
Huruf a

    Yang dimaksud dengan pemilikan dalam ayat ini, menyangkut bidang permodalan, sedangkan penguasaan berhubungan dengan bidang manajemen, termasuk hubungan kekeluargaan antara para pihak yang bersangkutan.
    Kata langsung disini diartikan bahwa seluruh atau sebagian modal atau manajemen dari dua perusahaan atau lebih yang terlibat dalam penyerahan Barang (penjual dan pembeli) dimiliki dan dilaksanakan oleh Pengusaha yang sama. Kata tidak langsung diartikan bila pemilikan dan penguasaan itu diperoleh karena adanya hubungan keluarga antara Pengusaha dengan pemilik modal atau pelaksana manajemen dari Perusahaan-perusahaan tersebut, misalnya bila
    seluruh atau sebagian modal atau manajemen berada di tangan istri, anak, atau keluarga lainnya dari Pengusaha ;



Huruf b

    Penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari modal saham atau modal ditempatkan atau modal disetor. Bila salah satu hasil hitungan itu menunjukkan penyertaan modal berjumlah 25% (dua puluh lima persen) atau lebih, maka dianggap telah ada hubungan istimewa.

Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Orang atau badan yang mengekspor Barang dan/atau menyerahkan Barang di daerah Pabean kepada pengusaha Kena Pajak, tidak wajib melaporkan usahanya akan tetapi bila berdasarkan beberapa pertimbangan, misalnya untuk dapat mengkreditkan atau meminta kembali masukan, orang atau badan tersebut dapat memilih meminta untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (3)
Surat Keputusan Pengukuhan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak tidak merupakan dasar untuk menentukan mulai saat terhutangnya pajak, tetapi merupakan sarana administrasi dan pengawasan bagi perpajakan, sebab saat pajak terhutang ditentukan oleh adanya obyak yang dikenakan pajak.
Ayat (4)
Bila Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan usahanya maka ia dianggap telah melanggar kewajibannya dengan itikad tidak baik dan melalaikan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.
Karena itu sudah sewajarnya atas pelanggaran tertentu selain harus menyetor pajak yang terhutang, Pengusaha Kena Pajak juga dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari seluruh Dasar pengenaan Pajak yang timbul sebelum Pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a

    Penyerahan Barang yang terhutang pajak harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :

    - Barang yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak
    - tindakan penyerahan adalah penyerahan kena pajak
    - penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha kena Pajak ;
    - penyerahan dilakukan dalam Daerah Pabean Republik Indonesia, termasuk penyerahan untuk ekspor, meskipun atas ekspor dikenakan tarif 0% (nol persen) ;
    - penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sebagai Pengusaha Kena Pajak, artinya dalam rangka kegiatannya sehari-hari sebagai Pengusaha Kena Pajak. Penyerahan Barang yang dilakukan tidak dalam rangka
    menjalankan perusahaan atau pekerjaannya, misal pengoperan aktiva yang tidak : dimaksudkan untuk dijual, tidak terhutang pajak.
    Golongan Pengusaha Kena Pajak yang terhutang pajak adalah sebagai berikut :
    1) pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena pajak. Golongan pengusaha ini disebut Pabrikan atau Produsen. Atas penyerahan Barang kena Pajak hasil produksi pabrikan itu kepada pihak manapun terhutang pajak;
    2) Pengusaha yang mengimpor Barang Kena Pajak. Atas penyerahan Barang kena Pajak oleh Importir kepada pihak manapun terhutang pajak ;
    3) pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pabrikan dan/atau dengan Importir. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan Pabrikan atau Importir kepada pihak manapun terhutang pajak ;
    4) Agen dan penyalur utama dari Pabrikan dan Importir.
    Ditetapkannya agen dan penyalur utama dari Pabrikan dan Importir sebagai Pengusaha Kena Pajak berdasarkan pertimbangan adanya hubungan khusus di antara mereka yang berpengaruh atas sistem perdagangan dan pemasaran barang. Pabrikan atau Importir adalah pihak yang menyuruh, atau meminta atau memberikan hak kepada penyalur atau agen utama untuk memasarkan Barang hasil produksinya atau Barang yang diimpornya berdasarkan jenis Barang dan/atau wilayah pemasaran tertentu menurut perjanjian yang disetujui bersama.
    Atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh agen atau penyalur utama kepada pihak mana pun terhutang pajak;
    5) Pengusaha yang menjadi pemegang atau pemegang hak menggunakan paten dan merek dagang dari Barang Kena Pajak.
    Ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak oleh karena Pengusaha tersebut telah mempunyai hak dan kekuasaan untuk menghasilkan, memasarkan atau menyuruh orang lain melakukan kegiatan itu menurut perjanjian yang disetujui bersama. Atas Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha tersebut kepada pihak mana pun terhutang pajak;

Huruf b

    Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak hanya terhutang pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan kepada Pabrikkan atau Pengusaha Kena Pajak lainnya;

Huruf c

    Pajak juga dipungut pada saat Impor Barang.Pemungutan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
    Berbeda dengan Penyerahan Barang Kena Pajak tersebut pada huruf a dan b, maka siapa pun yang memasukan Barang Kena Pajak kedalam daerah Pabean tampa memperhatikan apakah dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenakan pajak;

Huruf d

    Pada dasarnya semua Jasa dikenakan Pajak. Meskipun demikian Jasa di bidang pendidikan, sosial, agama, dan kesehatan yang di selenggarakan untuk kepentingan umum dan tidak semata-mata mencari laba, tidak dimaksudkan untuk dikenakan pajak dalam rangka melindungi kepentingan umum.

Ayat (2)
Huruf a

    Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, pemerintah diberi wewenang untuk memperluas pengenaan pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh pedagang besar, agen atau penyalur, dan pedagang eceran besar umpamanya super market ;

Huruf b

    Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan di samping Pajak pertambahan Nilai, artinya penyerahan atas Impor Barang Mewah di kenakan Pajak Pertambahan Nilai dan sebagai tambahannya juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Pajak Penjualan Atas Barang mewah tidak dikenakan terhadap semua penyerahan Barang Mewah melainkan hanya atas penyerahan yang dilakukan oleh :
a. Pabrikan atau Produsen Barang mewah ;
b. Siapa pun yang mengimpor Barang Mewah tampa memperhatikan apakah Impor tersebut dilakukan terus menerus atau dilakukan hanya sekali-kali saja.
Ayat (2)
Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai, dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. oleh karena itu Pajak penjualan Atas Barang mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terhutang. Dengan demikian prinsip pemungutannya hanya satu kali saja, yaitu pada waktu :
a. penyerahan oleh Pabrikan atau Produsen Barang Mewah, atau
b. Impor Barang Mewah ;

Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan pajak.

Pasal 6
Ayat (1)
Terselenggaranya pencatatan semua jumlah harga perolehan dan Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak serta segala hal ihwal berhubungan dengannya, merupakan pencerminan teraturnya pembukuan sehingga Dasar Pengenaan Pajak dapat ditentukan dengan mudah dan benar.
Ayat (2)
Hal-hal yang diwajibkan untuk dicatat ditentukan pada ayat ini, antara lain :
- jumlah harga perolehan atau Nilai Impor ;
- jumlah Harga Jual atau nilai Penggantian ;
- jumlah Harga Jual dari bukan Barang Kena Pajak (hasil agraria, perikanan, kehutanan, dan sebagainya) ;
- jumlah nilai Ekspor ;
- jumlah Harga jual yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Ayat (3)
Yang harus dicatat oleh Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang tentang Pajak Penghasilan dikenakan Pajak dengan pedoman Norma Penghitungan, hanyalah nilai peredaran bruto setiap bulan yang menjadi Dasar Pengenaan pajak.
Pasal 7
Ayat (1)
Secara umum tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku adalah 10% (sepuluh persen). Pada saat berlakunya undang-undang ini pengenaan pajak masih pada tingkat Penyerahan Barang oleh Pabrikan atau Importir, sehingga tarif efektif yang menjadi beban konsumen tidak akan mencapai 10% (sepuluh persen) dari harga eceran, sebab Pertambahan Nilai yang terjadi dalam sektor perdagangan belum dikenakan pajak ini.
Ayat (2)
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang di dalam negeri, maka Barang yang diekspor atau dikonsumsi di luar negeri tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Oleh karenanya Barang yang diekspor dikenakan tarif 0% (nol persen).
Dengan tarif 0% (nol persen) ini Pajak Masukan yang telah dibayar Eksportir pada waktu perolehan Barang yang diekspor tersebut dapat diminta pengembaliannya. Dengan demikian dalam harga Barang yang diekspor tersebut tidak ada lagi unsur pajak Pertambahan Nilai.
Ayat (3)
berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang untuk mengubah tarif pajak menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen). Perubahan tarif ini tidak boleh meninggalkan prinsip tarif tunggal, artinya harus diberlakukan tarif yang sama untuk semua Penyerahan Barang kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.
Pasal 8
Ayat (1)
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terdiri dari dua macam, yaitu 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen).
Pajak Penjualan tersebut dikenakan sebagai tambahan dari Pajak Pertambahan Nilai, dan bukan sebagai pengganti dari pajak tersebut.
Oleh karena itu Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dipungut bersama - sama dengan Pajak Pertambahan Nilai.
Perbedaan tarif 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen) diberlakukan berdasarkan kenyataan adanya perbedaan pada tingkat kemewahan dari Barang - barang yang bersangkutan.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 7 ayat (2).
Ayat (3)
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan peningkatan kebutuhan dana pembangunan, pemerataan beban pajak dan pengendalian pola konsumsi mewah, pemerintah diberi wewenang untuk mengubah tarif pajak menjadi setinggi - tingginya 35% (tiga puluh lima persen).
Ayat (4)
pemerintah diberi wewenang untuk menetapkan kelompok barang-barang tertentu yang dikenakan Pajak Penjualan Atas barang mewah dengan tarif 10%(sepuluh persen) atau 20% (dua puluh persen).
Ayat (5)
Macam dan jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang pengelompokannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan ketentuan pada ayat (4), akan diatur lebih lanjut oleh Menteri keuangan.
Pasal 9
Ayat (1)
cara menghitung pajak yang terhutang adalah dengan mengalikan jumlah Harga jual, Penggantian atau Nilai Impor dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1). Pajak yang terhutang ini merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu
perolehan atau Impor Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut pengusaha kena Pajak pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak.
Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak keluaran tersebut diatas dilakukan dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (3)
Selisih yang dimaksud dalam ayat ini harus disetor ke kas Negara menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang ketentuan Umum Dan Tata Cara perpajakan.
Ayat (4)
Selisih yang dimaksud dalam ayat ini adalah hak Pengusaha Kena Pajak
yang dapat dikompensasikan atau diminta kembali.
Ayat (5)
pengusaha Kena Pajak dalam satu Masa Pajak dapat melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu penyerahan kena pajak dan penyerahan tidak kena pajak.
Dalam hal demikian, pajak Masukan yang dapat dikreditkan hanya Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan kena pajak, yang harus dapat diketahui dengan pasti dari catatan dalam pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (6)
Dalam hal pencatatan Pajak Masukan di dalam pembukuan pengusaha Kena Pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri keangan. Pedoman tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha kena Pajak.
Ayat (7)
Bagi Pengusaha Kena Pajak dimaksud dalam ayat ini, cara pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, ditentukan dengan suatu pedoman penghitungan kredit Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, Pedoman ini selain diperlukan karena golongan Pengusaha Kena Pajak ini hanya diwajibkan membuat catatan peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3), juga dimaksudkan untuk membantu golongan Pengusaha Kena Pajak tersebut, agar dapat mengkreditkan Pajak Masukannya meskipun golongan Pengusaha Kena Pajak ini tidak mempunyai bukti pungutan Pajak Masukan.
Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak keluaran, akan tetapi khusus untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.


    Huruf a

      Pajak Masukan hanya dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang telah dikukuhkan menurut ketentuan dalam
      Pasal 3 ;


    Huruf b

      Cukup Jelas.


    Huruf c

      Cukup Jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Cara menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terhutang adalah dengan mengalihkan Harga Jual atau Nilai Impor dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 8
Ayat (2)
Berbeda dengan Pajak pertambahan Nilai yang dipungut beberapa kali, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan satu kali saja pada tingkat Pabrikan atau pada waktu Impor. Karenanya Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai pada waktu penyerahan berikutnya.
Ayat (3)
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu perolehan, dapat diminta kembali apabila Barang Mewah itu diekspor. Selanjutnya lihat penjelasan Pasal 7 ayat (2).
Pasal 11
Ayat (1)
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip dasar akrual, artinya pajak terhutang pada saat Penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan Jasa kena Pajak atau Impor Barang Kena Pajak, meskipun atas penyerahan tersebut belum sepenuhnya diterima pembayarannya.
Ayat (2)
Berbeda dengan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), maka dalam hal pembayaran diterima sebelum Penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pajak terhutang pada saat penerimaan pembayaran tersebut.
Pasal 12
Ayat (1)
Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai tempat pajak terhutang yang akan menentukan pula wilayah pemungutan pajak.
Ayat (2)
Bila Pengusaha Kena Pajak terhutang pajak pada lebih dari satu tempat,
sedangkan administrasi penjualan dan keuangan dipusatkan pada satu tempat, maka untuk memudahkan Pengusaha Kena Pajak tersebut memenuhi kewajiban perpajakan. Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan tertulis untuk memilih tempat pajak terhutang.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian seperlunya memberikan keputusan atas permohonan ini. Apabila permohonan tersebut ditolak, berlaku ketentuan seperti diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Pembuatan Faktur Pajak bersifat wajib bagi setiap Pengusaha kena Pajak, karena Faktur Pajak adalah bukti yang menjadi sarana pelaksanaan cara kerja (mekanisme) pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2)
Ayat (3)
Untuk setiap Penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak harus dibuat satu Faktur Pajak. Pembuatan satu Faktur pajak yang meliputi semua Penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yang sama (langganan tetap) dimaksudkan untuk meringankan beban administrasi pengusaha tersebut. Pembuatan satu Faktur Pajak tersebut baru boleh dilakukan atas izin Direktur jenderal Pajak.
Ayat (4)
Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukannya kepada bukan pengusaha Kena Pajak.
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Ayat (7)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk meyeragamkan bentuk ukuran, pengadaan, dan tata cara penyampaian Faktur Pajak.
Ayat (8)
Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak tetapi tidak melaksanakannya atau tidak selengkapnya mengisi Faktur Pajak, dianggap telah melakukan pelanggaran dan dikenakan sanksi berupa denda administrasi.
Pasal (14)
Ayat (1)
Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya.
Ayat (2)
Bila Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak melanggar ketentuan ayat (1) maka Pengusaha Kena Pajak tersebut dikenakan sanksi administrasi dan diwajibkan pula menyetorkan jumlah pajak yang telah dibuat Faktur Pajaknya itu ke Kas Negara.
Pasal 15
Ayat (1)
Laporan penghitungan pajak harus disampaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, Dalam hal hari kedua puluh adalah hari libur, maka laporan harus dimasukkan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Ayat (2)
Catatan dan dokumen yang berkenaan dengan Impor, Penyerahan Barang Kena Pajak dan Penyerahan Jasa Kena Pajak, misalnya Faktur Pajak, daftar rekapitulasi Faktur Pajak, Dokumen Ekspor, dan lain-lain yang harus dicantumkan atau dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa ditetapkan oleh Menteri keuangan.
Ayat (3)
Laporan ini bersifat wajib. dalam hal ketentuan ayat (1) dan ayat (2)
dilanggar, maka laporan dianggap tidak dimasukkan dan dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum Dan Tata
Cara Perpajakan.
Pasal 16
Ayat (1)
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Di samping ketentuan tersebut diatas, oleh menteri Keuangan ditetapkan jangka waktu lain, misalnya pengembalian pajak atas perolehan barang modal.
Ayat (2)
Permohonan pengembalian pajak diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
mengekspor Barang Kena Pajak (eksportir) harus dilengkapi dengan bukti-bukti/dokumen Ekspor yang bersangkutan.
Pasal 17
hal-hal yang menyangkut ketentuan mengenai pengertian tata cara pemungutan dan sanksi, misalnya wewenang melakukan pemeriksaan, penetapan, penagihan, pembayaran, keberatan, banding, dan sanksi baik administrai maupun Pidana, diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketentuan lain mengenai sanksi dalam Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah diatur dalam pasal 3 ayat (4), Pasal 13 ayat (8), dan Pasal 14 ayat (2).
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a

    Cukup Jelas.


Huruf b

    Semua peraturan pelaksanaan yang ada, yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Pajak Penjualan 1951, yang tidak bertentangan dengan isi dan maksud undang-undang ini, masih tetap berlaku selama belum dicabut dan diganti dengan peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan berdasarkan undang-undang ini.

Ayat (2)
ketentuan ayat (2) ini dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan yang timbul dalam masa peralihan sebagai akibat berlakunya Undang-undang tentang Pajak Penjualan Atas barang Mewah dan tidak diberlakukannya lagi Undang-undang pajak Penjualan 1951, terhadap obyak pengenaan yang sama, seperti :
- kontrak jangka panjang atau kontrak yang masa berlakunya meliputi dua masa undang-undang seperti tersebut di atas ;
- sisa Harga Jual atau Penggantian yang belum dibayar ;
- persediaan Barang yang belum ada Pajak Masukannya.

Dalam hal ini Menteri keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan
pelaksanaan yang lain dari ketentuan tersebut pada ayat (1), untuk
mengurangi ketidak adilan dalam pembebanan pajak dan memperlancar pelaksanaan undang-undang ini

Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3264