| Pasal 2 |
|
| Ayat (1) |
|
Pengaruh hubungan istimewa seperti yang dimaksud dalam undang-undang
ini ialah adanya kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga
pasar.
Dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak mempunyai Wewenangan melakukan penyesuaian
Harga Jual atau penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dengan harga
pasar wajar yang berlaku di pasaran bebas. |
| Ayat (2) |
|
Huruf a
Yang dimaksud dengan pemilikan dalam ayat ini, menyangkut bidang
permodalan, sedangkan penguasaan berhubungan dengan bidang manajemen, termasuk
hubungan kekeluargaan antara para pihak yang bersangkutan.
Kata langsung disini diartikan bahwa seluruh atau sebagian modal atau manajemen
dari dua perusahaan atau lebih yang terlibat dalam penyerahan Barang (penjual
dan pembeli) dimiliki dan dilaksanakan oleh Pengusaha yang sama. Kata tidak
langsung diartikan bila pemilikan dan penguasaan itu diperoleh karena adanya
hubungan keluarga antara Pengusaha dengan pemilik modal atau pelaksana
manajemen dari Perusahaan-perusahaan tersebut, misalnya bila
seluruh atau sebagian modal atau manajemen berada di tangan istri, anak,
atau keluarga lainnya dari Pengusaha ;
Huruf b
Penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari
modal saham atau modal ditempatkan atau modal disetor. Bila salah satu
hasil hitungan itu menunjukkan penyertaan modal berjumlah 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih, maka dianggap telah ada hubungan istimewa.
|
|
| Pasal 3 |
|
| Ayat (1) |
|
Cukup jelas. |
| Ayat (2) |
|
Orang atau badan yang mengekspor Barang dan/atau menyerahkan Barang
di daerah Pabean kepada pengusaha Kena Pajak, tidak wajib melaporkan usahanya
akan tetapi bila berdasarkan beberapa pertimbangan, misalnya untuk dapat
mengkreditkan atau meminta kembali masukan, orang atau badan tersebut dapat
memilih meminta untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. |
| Ayat (3) |
|
Surat Keputusan Pengukuhan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal
Pajak tidak merupakan dasar untuk menentukan mulai saat terhutangnya pajak,
tetapi merupakan sarana administrasi dan pengawasan bagi perpajakan, sebab
saat pajak terhutang ditentukan oleh adanya obyak yang dikenakan pajak. |
| Ayat (4) |
|
Bila Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan usahanya maka ia dianggap
telah melanggar kewajibannya dengan itikad tidak baik dan melalaikan kepercayaan
yang telah diberikan kepadanya.
Karena itu sudah sewajarnya atas pelanggaran tertentu selain harus menyetor
pajak yang terhutang, Pengusaha Kena Pajak juga dikenakan sanksi berupa
denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari seluruh Dasar pengenaan
Pajak yang timbul sebelum Pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. |
|
| Pasal 4 |
|
| Ayat (1) |
|
Huruf a
Huruf b
Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
hanya terhutang pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan
kepada Pabrikkan atau Pengusaha Kena Pajak lainnya;
Huruf c
Pajak juga dipungut pada saat Impor Barang.Pemungutan dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Berbeda dengan Penyerahan Barang Kena Pajak tersebut pada huruf a dan b,
maka siapa pun yang memasukan Barang Kena Pajak kedalam daerah Pabean tampa
memperhatikan apakah dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya
atau tidak, tetap dikenakan pajak;
Huruf d
Pada dasarnya semua Jasa dikenakan Pajak. Meskipun demikian Jasa
di bidang pendidikan, sosial, agama, dan kesehatan yang di selenggarakan
untuk kepentingan umum dan tidak semata-mata mencari laba, tidak dimaksudkan
untuk dikenakan pajak dalam rangka melindungi kepentingan umum.
|
| Ayat (2) |
|
Huruf a
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan peningkatan kebutuhan
dana untuk pembangunan, pemerintah diberi wewenang untuk memperluas pengenaan
pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh pedagang
besar, agen atau penyalur, dan pedagang eceran besar umpamanya super market
;
Huruf b
|
|
| Pasal 5 |
|
| Ayat (1) |
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan di samping Pajak pertambahan
Nilai, artinya penyerahan atas Impor Barang Mewah di kenakan Pajak Pertambahan
Nilai dan sebagai tambahannya juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah.
Pajak Penjualan Atas Barang mewah tidak dikenakan terhadap semua penyerahan
Barang Mewah melainkan hanya atas penyerahan yang dilakukan oleh :
| a. |
Pabrikan atau Produsen Barang mewah ; |
| b. |
Siapa pun yang mengimpor Barang Mewah tampa memperhatikan apakah
Impor tersebut dilakukan terus menerus atau dilakukan hanya sekali-kali
saja. |
|
| Ayat (2) |
|
Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan
Nilai, dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. oleh karena
itu Pajak penjualan Atas Barang mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan
dengan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terhutang. Dengan demikian
prinsip pemungutannya hanya satu kali saja, yaitu pada waktu :
| a. |
penyerahan oleh Pabrikan atau Produsen Barang Mewah, atau |
| b. |
Impor Barang Mewah ; |
Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan pajak.
|
|
| Pasal 6 |
|
| Ayat (1) |
|
Terselenggaranya pencatatan semua jumlah harga perolehan dan Penyerahan
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak serta segala hal ihwal berhubungan
dengannya, merupakan pencerminan teraturnya pembukuan sehingga Dasar Pengenaan
Pajak dapat ditentukan dengan mudah dan benar. |
| Ayat (2) |
|
Hal-hal yang diwajibkan untuk dicatat ditentukan pada ayat ini,
antara lain :
| - |
jumlah harga perolehan atau Nilai Impor ; |
| - |
jumlah Harga Jual atau nilai Penggantian ; |
| - |
jumlah Harga Jual dari bukan Barang Kena Pajak (hasil agraria,
perikanan, kehutanan, dan sebagainya) ; |
| - |
jumlah nilai Ekspor ; |
| - |
jumlah Harga jual yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. |
|
| Ayat (3) |
|
Yang harus dicatat oleh Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang
tentang Pajak Penghasilan dikenakan Pajak dengan pedoman Norma Penghitungan,
hanyalah nilai peredaran bruto setiap bulan yang menjadi Dasar Pengenaan
pajak. |
|
| Pasal 7 |
|
| Ayat (1) |
|
Secara umum tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku adalah 10%
(sepuluh persen). Pada saat berlakunya undang-undang ini pengenaan pajak
masih pada tingkat Penyerahan Barang oleh Pabrikan atau Importir, sehingga
tarif efektif yang menjadi beban konsumen tidak akan mencapai 10% (sepuluh
persen) dari harga eceran, sebab Pertambahan Nilai yang terjadi dalam sektor
perdagangan belum dikenakan pajak ini. |
| Ayat (2) |
|
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang di dalam negeri, maka Barang yang diekspor atau dikonsumsi di luar
negeri tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Oleh karenanya Barang yang diekspor dikenakan tarif 0% (nol persen).
Dengan tarif 0% (nol persen) ini Pajak Masukan yang telah dibayar Eksportir
pada waktu perolehan Barang yang diekspor tersebut dapat diminta pengembaliannya.
Dengan demikian dalam harga Barang yang diekspor tersebut tidak ada lagi
unsur pajak Pertambahan Nilai. |
| Ayat (3) |
|
berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan
kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang untuk mengubah
tarif pajak menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen). Perubahan tarif
ini tidak boleh meninggalkan prinsip tarif tunggal, artinya harus diberlakukan
tarif yang sama untuk semua Penyerahan Barang kena Pajak dan Jasa Kena
Pajak. |
|
| Pasal 8 |
|
| Ayat (1) |
|
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terdiri dari dua macam,
yaitu 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen).
Pajak Penjualan tersebut dikenakan sebagai tambahan dari Pajak Pertambahan
Nilai, dan bukan sebagai pengganti dari pajak tersebut.
Oleh karena itu Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dipungut bersama - sama
dengan Pajak Pertambahan Nilai.
Perbedaan tarif 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen) diberlakukan
berdasarkan kenyataan adanya perbedaan pada tingkat kemewahan dari Barang
- barang yang bersangkutan. |
| Ayat (2) |
|
Lihat penjelasan Pasal 7 ayat (2). |
| Ayat (3) |
|
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan peningkatan kebutuhan
dana pembangunan, pemerataan beban pajak dan pengendalian pola konsumsi
mewah, pemerintah diberi wewenang untuk mengubah tarif pajak menjadi setinggi
- tingginya 35% (tiga puluh lima persen). |
| Ayat (4) |
|
pemerintah diberi wewenang untuk menetapkan kelompok barang-barang
tertentu yang dikenakan Pajak Penjualan Atas barang mewah dengan tarif
10%(sepuluh persen) atau 20% (dua puluh persen). |
| Ayat (5) |
|
Macam dan jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang pengelompokannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan
ketentuan pada ayat (4), akan diatur lebih lanjut oleh Menteri keuangan. |
|
| Pasal 9 |
|
| Ayat (1) |
|
cara menghitung pajak yang terhutang adalah dengan mengalikan jumlah
Harga jual, Penggantian atau Nilai Impor dengan tarif pajak sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1). Pajak yang terhutang ini merupakan Pajak
Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak. |
| Ayat (2) |
|
Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada
waktu
perolehan atau Impor Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut pengusaha kena Pajak
pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa kena Pajak.
Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak keluaran tersebut diatas dilakukan
dalam Masa Pajak yang sama. |
| Ayat (3) |
|
Selisih yang dimaksud dalam ayat ini harus disetor ke kas Negara
menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang ketentuan
Umum Dan Tata Cara perpajakan. |
| Ayat (4) |
|
Selisih yang dimaksud dalam ayat ini adalah hak Pengusaha Kena
Pajak
yang dapat dikompensasikan atau diminta kembali. |
| Ayat (5) |
|
pengusaha Kena Pajak dalam satu Masa Pajak dapat melakukan 2 (dua)
macam penyerahan, yaitu penyerahan kena pajak dan penyerahan tidak kena
pajak.
Dalam hal demikian, pajak Masukan yang dapat dikreditkan hanya Pajak Masukan
yang berkenaan dengan penyerahan kena pajak, yang harus dapat diketahui
dengan pasti dari catatan dalam pembukuan Pengusaha Kena Pajak. |
| Ayat (6) |
|
Dalam hal pencatatan Pajak Masukan di dalam pembukuan pengusaha
Kena Pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka cara pengkreditan Pajak
Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri keangan.
Pedoman tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada
Pengusaha kena Pajak. |
| Ayat (7) |
|
Bagi Pengusaha Kena Pajak dimaksud dalam ayat ini, cara pengkreditan
Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, ditentukan dengan suatu pedoman
penghitungan kredit Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
Pedoman ini selain diperlukan karena golongan Pengusaha Kena Pajak ini
hanya diwajibkan membuat catatan peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6 ayat (3), juga dimaksudkan untuk membantu golongan Pengusaha Kena
Pajak tersebut, agar dapat mengkreditkan Pajak Masukannya meskipun golongan
Pengusaha Kena Pajak ini tidak mempunyai bukti pungutan Pajak Masukan. |
| Ayat (8) |
|
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak keluaran,
akan tetapi khusus untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan.
|
|
| Pasal 10 |
|
| Ayat (1) |
|
Cara menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terhutang
adalah dengan mengalihkan Harga Jual atau Nilai Impor dengan tarif pajak
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 8 |
| Ayat (2) |
|
Berbeda dengan Pajak pertambahan Nilai yang dipungut beberapa kali,
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan satu kali saja pada tingkat
Pabrikan atau pada waktu Impor. Karenanya Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
yang telah dibayar, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai
pada waktu penyerahan berikutnya. |
| Ayat (3) |
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu
perolehan, dapat diminta kembali apabila Barang Mewah itu diekspor. Selanjutnya
lihat penjelasan Pasal 7 ayat (2). |
|
| Pasal 11 |
|
| Ayat (1) |
|
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip dasar akrual,
artinya pajak terhutang pada saat Penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan
Jasa kena Pajak atau Impor Barang Kena Pajak, meskipun atas penyerahan
tersebut belum sepenuhnya diterima pembayarannya. |
| Ayat (2) |
|
Berbeda dengan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), maka
dalam hal pembayaran diterima sebelum Penyerahan Barang Kena Pajak atau
Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pajak terhutang pada saat penerimaan pembayaran
tersebut. |
|
| Pasal 12 |
|
| Ayat (1) |
|
Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai tempat pajak terhutang
yang akan menentukan pula wilayah pemungutan pajak. |
| Ayat (2) |
|
Bila Pengusaha Kena Pajak terhutang pajak pada lebih dari satu
tempat,
sedangkan administrasi penjualan dan keuangan dipusatkan pada satu tempat,
maka untuk memudahkan Pengusaha Kena Pajak tersebut memenuhi kewajiban
perpajakan. Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan
tertulis untuk memilih tempat pajak terhutang.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian seperlunya memberikan
keputusan atas permohonan ini. Apabila permohonan tersebut ditolak, berlaku
ketentuan seperti diatur pada ayat (1). |
| Ayat (3) |
|
Cukup Jelas. |
|
| Pasal 13 |
|
| Ayat (1) |
|
Pembuatan Faktur Pajak bersifat wajib bagi setiap Pengusaha kena
Pajak, karena Faktur Pajak adalah bukti yang menjadi sarana pelaksanaan
cara kerja (mekanisme) pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai. |
| Ayat (2) |
|
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2) |
| Ayat (3) |
|
Untuk setiap Penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa
Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak harus dibuat satu Faktur Pajak. Pembuatan
satu Faktur pajak yang meliputi semua Penyerahan Barang Kena Pajak atau
Penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan takwim kepada
pembeli yang sama (langganan tetap) dimaksudkan untuk meringankan beban
administrasi pengusaha tersebut. Pembuatan satu Faktur Pajak tersebut baru
boleh dilakukan atas izin Direktur jenderal Pajak. |
| Ayat (4) |
|
Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi pengusaha Kena
Pajak tidak membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
dilakukannya kepada bukan pengusaha Kena Pajak. |
| Ayat (5) |
|
Cukup Jelas |
| Ayat (6) |
|
Cukup Jelas |
| Ayat (7) |
|
Ketentuan ini dimaksudkan untuk meyeragamkan bentuk ukuran, pengadaan,
dan tata cara penyampaian Faktur Pajak. |
| Ayat (8) |
|
Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak tetapi tidak
melaksanakannya atau tidak selengkapnya mengisi Faktur Pajak, dianggap
telah melakukan pelanggaran dan dikenakan sanksi berupa denda administrasi. |
|
| Pasal (14) |
|
| Ayat (1) |
|
Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan
membuat Faktur Pajak oleh bukan pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk
melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya. |
| Ayat (2) |
|
Bila Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
melanggar ketentuan ayat (1) maka Pengusaha Kena Pajak tersebut dikenakan
sanksi administrasi dan diwajibkan pula menyetorkan jumlah pajak yang telah
dibuat Faktur Pajaknya itu ke Kas Negara. |
|
| Pasal 15 |
|
| Ayat (1) |
|
Laporan penghitungan pajak harus disampaikan selambat-lambatnya
20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan
Masa sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan, Dalam hal hari kedua puluh adalah hari libur, maka
laporan harus dimasukkan paling lambat pada hari kerja berikutnya. |
| Ayat (2) |
|
Catatan dan dokumen yang berkenaan dengan Impor, Penyerahan Barang
Kena Pajak dan Penyerahan Jasa Kena Pajak, misalnya Faktur Pajak, daftar
rekapitulasi Faktur Pajak, Dokumen Ekspor, dan lain-lain yang harus dicantumkan
atau dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa ditetapkan oleh Menteri
keuangan. |
| Ayat (3) |
|
Laporan ini bersifat wajib. dalam hal ketentuan ayat (1) dan ayat
(2)
dilanggar, maka laporan dianggap tidak dimasukkan dan dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum Dan Tata
Cara Perpajakan. |
|
| Pasal 16 |
|
| Ayat (1) |
|
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Di samping ketentuan tersebut
diatas, oleh menteri Keuangan ditetapkan jangka waktu lain, misalnya pengembalian
pajak atas perolehan barang modal. |
| Ayat (2) |
|
Permohonan pengembalian pajak diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak
yang
mengekspor Barang Kena Pajak (eksportir) harus dilengkapi dengan bukti-bukti/dokumen
Ekspor yang bersangkutan. |
|
| Pasal 17 |
|
hal-hal yang menyangkut ketentuan mengenai pengertian tata cara
pemungutan dan sanksi, misalnya wewenang melakukan pemeriksaan, penetapan,
penagihan, pembayaran, keberatan, banding, dan sanksi baik administrai
maupun Pidana, diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum Dan Tata
Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketentuan lain mengenai sanksi dalam Undang-undang tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah diatur dalam
pasal 3 ayat (4), Pasal 13 ayat (8), dan Pasal 14 ayat (2). |
| Pasal 18 |
|
| Ayat (1) |
|
Huruf a
Huruf b
Semua peraturan pelaksanaan yang ada, yang dikeluarkan dalam rangka
pelaksanaan Undang-undang Pajak Penjualan 1951, yang tidak bertentangan
dengan isi dan maksud undang-undang ini, masih tetap berlaku selama belum
dicabut dan diganti dengan peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan berdasarkan
undang-undang ini.
|
| Ayat (2) |
|
ketentuan ayat (2) ini dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan yang
timbul dalam masa peralihan sebagai akibat berlakunya Undang-undang tentang
Pajak Penjualan Atas barang Mewah dan tidak diberlakukannya lagi Undang-undang
pajak Penjualan 1951, terhadap obyak pengenaan yang sama, seperti :
| - |
kontrak jangka panjang atau kontrak yang masa berlakunya meliputi
dua masa undang-undang seperti tersebut di atas ; |
| - |
sisa Harga Jual atau Penggantian yang belum dibayar ; |
| - |
persediaan Barang yang belum ada Pajak Masukannya.
|
Dalam hal ini Menteri keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan
pelaksanaan yang lain dari ketentuan tersebut pada ayat (1), untuk
mengurangi ketidak adilan dalam pembebanan pajak dan memperlancar pelaksanaan
undang-undang ini
|
|
| Pasal 19 |
|
Cukup jelas. |
| Pasal 20 |
|
Cukup jelas. |
| Pasal 21 |
|
Cukup jelas. |
|
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3264 |