DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1986

TENTANG

TATA CARA PEMERIKSAAN DI BIDANG PERPAJAKAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :





bahwa dalam rangka pelaksanaan wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak guna menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang dan untuk tujuan lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan perpajakan, dipandang perlu menetapakan peraturan tata cara pemeriksaaan di bidang perpajakan dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2.


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DI BIDANG PERPAJAKAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksud dengan:
1.




Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemeriksa terhadap Wajib Pajak untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan/atau keterangan lainnya guna penetapan besarnya pajak yang terhutang dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
2.


Pemeriksaan adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak yang melaksanakan pemeriksaan atas perintahnya;
3.
Menteri adalah Menteri Keuangan;
4.


Wajib Pajak adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 meliputi pula Pungutan Pajak, Pemotongan Pajak, dan Pengusaha Kena Pajak;
5.



Surat Ketetapan Pajak adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 1983 meliputi Surat Pemberitaan, Surat ketetapan Pajak Tambahan, Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran pajak, dan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;
6.


Suarat Pemberitahuan adalah sebagai dimaksud dalam Undang-undang Surat Nomor 6 Tahun 1983 meliputi Surat Pemberitahuan Masa, Surat Pemberitahuan Tahunan, dan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak.

BAB II
TUJUAN PEMERIKSAAN

Pasal 2

(1)
Tujuan Pemeriksaan adalah untuk :
a.
menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang;
b.

tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2)

Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dapat dilakukan dalam hal :
a.

Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sekalipun sudah ditegur secara tertulis;
b.

tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan selain yang tersebut pada huruf a;
c.
Surat Pemberitahuan menunjukan adanya kelebihan pembayaran pajak;
d.

penentuan besarnya jumlah angsuran pajak dalam suatu masa pajak, khusus bagi Wajib Pajak baru;
e.

Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak atau banding atas keputusan keberatan tersebut;
f.

terdapat petunjuk yang kuat tentang tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan.
(3)

Pemeriksaan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dapat dilakukan untuk:
a.

pengumpulan bahan guna pembuatan atau penyusunan Norma Perhitungan;
b.
pencocokan data dan/atau alat keterangan;
c.

mengetahui secara tepat keadaan usaha dan/atau kewajiban Wajib Pajak dari pihak ketiga yang ada hubungannya dengan Wajib Pajak;
d.

hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

BAB III
NORMA PEMERIKSAAN

Pasal 3

Permeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada Norma Pemeriksaan yang membuat batasan-batasan yang merupakan ketentuan yang menyangkut Pemeriksa, Pemeriksaan, dan Wajib Pajak.

Pasal 4

Norma Pemeriksaan yang menyangkut Pemeriksaan adalah sebagai berikut:
a.

Pemeriksaan harus memiliki Tanda Pengenal Pemeriksa serta dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan pada waktu melakukan pemeriksaan;
b.

Pemeriksaan dapat memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
c.

Pemeriksaan memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan menyerahkan tindasan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
d.

Pemeriksaan menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa;
e.
Pemeriksa wajib membuat laporan hasil pemeriksaan;
f.


Pemeriksa memberitahukan kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda antara Surat Pemberitahuan Wajib Pajak dengan hasil pemeriksaan;
g.


Pemeriksa dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan.

Pasal 5

Norma Pemeriksaan yang menyangkut pelaksanaan pemeriksaan adalah sebagai berikut:
a.

Pemeriksa dapat dilakukan oleh seorang Pemeriksa atau kelompok Pemeriksa;
b.



Pemeriksaan dilaksankan di kantor Pemeriksa, di kantor atau di pabrik atau di tempat usaha atau di tempat tinggal atau di tempet lain yang diduga ada kaitannya dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak atau di tempat yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
c.

Pemeriksaan dilaksanakan pada jam dan hari kerja dan dapat dilanjutkan di luar jam kerja, jika dipandang perlu;
d.
Hasil pemeriksaan diwujudkan dalam Laporan Pemeriksaan Pajak;
e.


Hasil pemeriksaan yang disetujui Wajib Pajak, dibuat surat pernyataan tentang persetujuannya dan ditandatangani oleh Wajib Pajak yang bersangkutan;
f.


Atas laporan pemeriksaan yang tujuannya menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak sepanjang tidak dilanjutkan dengan tidakan penyidikan.

Pasal 6

Norma Pemeriksaan yang menyangkut Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
a.


Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa tindasan Surat Pemerintah Pemeriksaan dan meminta untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa;
b.

Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksa;
c.


Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak melaksanakan ketentuan sebagaiman diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang peraturan pelaksanaannya;
d.


Wajib Pajak berhak untuk untuk meminta kepada Pemeriksa rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antar hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan;
e.

Wajib Pajak menandatangani surat pernyataan persetujuan tentang hasil pemeriksaan yang disepakatinya.

Pasal 7

Pelaksanaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, didasarkan pada Pedoman Pemeriksaan Pajak yang meliputi Pedoman Umum Pemeriksaan Pajak, Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak, dan Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak.

Pasal 8

Pedoman Umum Pemeriksaan Pajak mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.


Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan dapat menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama serta memiliki keterampilan sebagai pemeriksa;
2.



Pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengabdian dan bersifat terbuka, wajar, sesuai dengan keadaan sebenarnya serta wajib menghindarkan diri dari tindakan yang merugikan kebebasan bertindak selayaknya sebagai Pemeriksa yang baik;
3.



Laporan hasil pemeriksaan hasrus dibuat oleh Pemeriksa dengan menggunakan keahlian secara cermat dan sesakma serta memberikan gambaran yang sesuai dengan keadaan sebenarnya, kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak.

Pasal 9

Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.


Pelaksanaan pemeriksaan harus dilakukan dengan persiapan sebaik-baiknya, juga dengan memperhatikan tujuan pemeriksaan, serta harus ada pengawasan dan bimbingan yang seksama terhadap Pemeriksa;
2.


Ruang lingkup pemeriksaan ditentukan tingkat petunjuk yang diperoleh yang harusa dikembangkan dengan bukti yang kuat dan berkaitan melalui pencocokan, pengamatan, tanya jawab, dan data-data;
3.


Pendapat dan kesimpulan harus didasarkan pada bukti yang berkaitan dan berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Pasal 10

Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.


Dalam mengungkapkan penyimpangan-penyimpangan atas Surat Pemberitahuan Wajib Pajak, Pemeriksaan dalam menyusun Laporan Pemeriksaan Pajak perlu memperhatikan:
a.
Berbagai faktor perbandingan;
b.
Nilai absolut dari penyimpangan;
c.
Sifat dari Penyimpangan;
d.
Bukti/petujuk adanya penyimpangan;
e.
Pengaruh Penyimpangan;
f.
Hubungan dengan permasalahan lainnya.
2.






Laporan Pemeriksaan Pajak disusun secara jelas, terinci, dan ringkas serta memuat ruang lingkup yang sesuai dengan tujuan pemeriksaan. Uraian dan kesimpulan didukung oleh alasan dan bukti yang kuat tentang adanya penyimpangan atas peraturan perundang-undangan perpajakan yang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang terhutang dan/atau pengungkapan informasi yang lain yang diperlukan dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3.


Laporan Pemeriksaan Pajak yang berkaitan dengan pembetulan yang menyangkut masa lebih dari satu tahun pajak harus didukung oleh daftar lampiran yang lengkap dan terinci.

Pasal 11

Petunjuk lebih lanjut mengenai Pedoman Pemeriksaan Pajak ditetapakan oleh Direktur Jenderal Pajak.

BAB IV
RUANG LINGKUP DAN TATA CARA PEMERIKSA

Pasal 12

(1)
Dalam melakukan pemeriksaan, Pemeriksa berwenang:
a.

memeriksa buku-buku, catatan-catatan, bukti-bukti pembukuan, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya;
b.

meminjam buku-buku, catatan-catatan, bukti-bukti pembukuan, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya sepanjang diperlukan;
c.
meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;
d.




memasuki tempat atau ruangan tertentu yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, barang, yang dapat memberikan petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan/atau tempat-tempat lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan fisik di tempat-tempat tersebut;
e.



melakukan penyegelan tempat atau ruangan tersebut pada huruf d, apabila Wajib Pajak atau Wakil atau Kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan dimaksud, atau tidak ada di tempat pada saat pemeriksaan dilakukan;
f.

meminta keterangan dan/atau bukti-bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
(2)


Atas peminjaman buku-buku dan lain-lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan huruf f, diberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan secara jelas dan terinci serta jumlahnya.
(3)

Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e, diatur oleh Menteri.

Pasal 13

(1)





Apabila pada saat dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak atau Wakil atau Kuasanya tidak ada di tempat, maka pemeriksaan tetap dapat dilangsungkan sepanjang ada pihak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku yang mewakili Wajib Pajak, terbatas untuk hal yang wenang dilakukannya, dan selanjutnya pemeriksaan ditunda untuk diulangi pada kesempatan berikutnya.
(2)


Sebagai upaya pengamanan, maka sebelum pemeriksaan ditunda, Pemeriksa dapat melakukan penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e.
(3)




Apabila pada saat dilanjutkannya pemeriksaankembali setelah dilakukan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Wajib Pajak atau Wakil atau Kuasanya tidak juga ada di tempat, maka pemeriksaan tetap dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pegawai Wajib Pajak yang bersangkutan untuk mewakilinya guna membantu kelancaran pemeriksaan.
(4)



Dalam hal Wajib Pajak atau Wakil atau Kuasanya tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 tahun 1983, ia harus menandatangi Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan.
(5)



Dalam hal pegawai Wajib Pajak yang diminta mewakilinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) menolak untuk membantu kelancaran pemeriksaan, harus menandatangi Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan.
(6)


Dalam hal terjadi penolakan untuk menandatangani sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5), Pemeriksa membuat Berita Acara tentang penolakan tersebut yang ditandatangani oleh Pemeriksa.
(7)




Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan, Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan dan Berita Acara Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dapat dijadikan dasar untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak dengan penghitungan secara jabatan dan/atau dilakukan penyidikan.

Pasal 14

(1)


Pemeriksa membuat Laporan Pemeriksaan Pajak untuk digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau untuk tujuan lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2)




Penghitungan besarnya pajak yang terhutang menurut Laporan Pemeriksaan Pajak yang digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan Wajib Pajak, diberitahukan kepadanya.
(3)

Pemberitahuan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

Pasal 15

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan tenteng adanya tindakan pidana di bidang perpajakan, pemeriksaan tetap dilanjutkan dan Pemeriksaan membuat Laporan Pemeriksaan Pajak.

BAB V
PENELITIAN

Pasal 16

(1)

Untuk menilai kebenaran pengisian Surat Pemberitahuan dilakukan penelitian.
(2)
Tata cara pelaksanaan diatur oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 17

Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, dikenakan sanksi menurut ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 dan/atau peraturan perundang-undangan dibidang kepegawaian yang berlaku.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 18

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan mengenai tata cara pelaksanaan pemeriksaan di bidang perpajakan yang telah ada tetap berlaku, sepanjang tidak bertentengan atau belum diubah atau diganti dengan peraturan yang baru yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundang.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juli 1986
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


SUHARTO