PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 1992
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PERASURANSIAN

UMUM
Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Pembangunan Nasional atas dasar kekuatan sendiri, diperlukan upaya menata lembaga-lembaga keuangan agar mampu melaksanakan fungsinya menyediakan jasa keuangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia usaha, serta dapat benar-benar memperoleh kepercayaan dari masyarakat atas ketangguhan dan keandalannya, sehingga semakin mampu berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, memperluas pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya termasuk memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja.
Dengan telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Peasuransian, maka telah terdapat salah satu perangkat hukum bagi industri perasuransian yang merupakan salah satu unsur lembaga keuangan, yang diharapkan dapat berperan dalam menanggulangi risiko yang dihadapi anggota masyarakat dan sekaligus merupakan salah satu lembaga penghimpun dana masyarakat. Dalam memperkuat pelaksanaan fungsi Perusahaan Perasuransian, perlu diberikan kesempatan yang luas kepada pihak-pihak yang ingin berusaha di bidang perasuransian, sekaligus dengan penegasan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha tersebut dilakukan secara sehat dan bertanggung jawab, dan tidak mengabaikan kepentingan masyarakat pada umumnya atau tertanggung khususnya.

Untuk itu, dalam melaksanakan kegiatan usahanya Perusahaan Perasuransian perlu tetap mempertahankan ketaatannya pada syarat-syarat penyelenggaraan usaha, termasuk mengenai tingkat kesehatan usaha, sebagaimana yang dipersyaratkan di dalam Peraturan Pemerintah ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Pada dasarnya, setiap obyek asuransi di Indonesia harus diasuransikan pada Perusahaan Asuransi di Indonesia. Namun demikian, apabila tidak ada satu pun Perusahaan Asuransi yang mampu atau bersedia melakukan penutupan asuransi atas obyek yang bersangkutan, penutupannya dimungkinkan dilakukan oleh Perusahaan Asuransi di luar negeri.

Pasal 3

Ayat (1)
Dalam anggaran dasar harus dinyatakan secara tegas jenis usaha perasuransian yang akan dijalankan.
Contoh peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam huruf c, adalah Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian beserta peraturan pelaksanaannya serta Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan modal disetor dalam Peraturan Pemerintah ini adalah modal disetor perseroan terbatas, atau simpanan pokok dan simpanan wajib koperasi, atau dana awal usaha bersama. Ketentuan permodalan tidak dikenakan pada Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria karena dalam kegiatan perusahaan-perusahaan dimaksud yang lebih dominan adalah unsur profesionalisme. Dengan demikian, unsur permodalan diharapkan dapat dipenuhi sendiri sesuai dengan kebutuhan perusahaan yang bersangkutan dalam menjalankan kegiatan usahanya tanpa perlu adanya pengaturan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Apabila terjadi perubahan pemegang saham, maka pemegang saham baru wajib tunduk dan mengikatkan diri pada perjanjian kerjasama yang telah dibuat oleh para pemegang saham pendiri, yang antara lain memuat tentang peningkatan kepemilikan saham pihak Indonesia. Peningkatan kepemilikan saham pihak Indonesia tersebut dapat ditempuh antara lain melalui penjualan saham dari pihak asing kepada pihak Indonesia, peningkatan penyertaan modal pihak Indonesia, dan atau penjualan saham melalui bursa efek di Indonesia.

Pasal 7

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bunga atau hasil deposito yang ditempatkan atas nama Menteri untuk kepentingan perusahaan adalah menjadi hak perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)
Pengembangan sumber daya manusia yang dimaksudkan dalam ayat (1) huruf a termasuk pula peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi para Agen Asuransi yang melakukan kegiatan pemasaran untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi yang diageni.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Sebelum berakhirnya jangka waktu 1 (satu) tahun, Perusahaan Perasuransian dapat mempersiapkan diri dan mengajukan izin usaha.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan retrosesi dalam huruf h adalah pertanggungan ulang atas penutupan reasuransi.
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan premi bruto dalam ayat ini adalah premi penutupan langsung ditambah premi penutupan tidak langsung, setelah masing-masing dikurangi komisi. Sedangkan premi neto adalah premi bruto dikurangi premi reasuransi dibayar, setelah premi reasuransi dibayar tersebut dikurangi komisinya. Contoh perhitungan : Seandainya perusahaan menerima premi penutupan langsung Rp. 1.000,- dengan komisi dibayar 20%. Dari penutupan langsung tersebut direasuransikan 50%-nya. Untuk itu perusahaan menerima komisi reasuransi sebesar 25% dari premi reasuransi yang dibayarnya. Di samping itu perusahaan menerima pula premi penutupan tidak langsung Rp. 300,- dengan komisi reasuransi dibayar sebesar 25% pula. Maka premi bruto dan premi neto sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah sebagai berikut :
PENUTUPAN LANGSUNG :
a. Premi diterima = Rp. 1.000,-
b. Komisi keperantaraan Dibayar (20% x a) =

Rp. 200,-

PENUTUPAN REASURANSI :
c. Premi reasuransi dibayar (50% x a) = Rp. 500,-
d. Komisi reasuransi diterima (25% x c) = Rp. 125,-
PENUTUPAN TIDAK LANGSUNG :
e. Premi diterima = Rp. 300,-
f. Komisi dibayar (25% x e) =

Rp. 75,-

PREMI |

Premi Komisi

| |

Premi penu- Komisi penu-

|

BRUTO = | penutupan - penutupan

| + |

tupan tidak - tupan tidak

|

|

langsung - langsung

| |

langsung langsung

|

= [a - b] + [e - f}
= [Rp. 1.000,- - Rp. 200,-] + [Rp. 300,- - Rp.75,-]
= Rp. 1.025,-

| Premi Komisi |

PREMI NETO = PREMI BRUTO - |Reasuransi - Reasuransi |
| dibayar diterima |
= Rp 1.025,- - [Rp. 500,- - Rp. 125,-]
= Rp. 650,-
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)
Dana yang diinvestasikan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagian besar berasal dari masyarakat dan berkaitan dengan kewajiban perusahaan yang bersangkutan kepada para tertanggung. Oleh sebab itu, pengelolaan investasi harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek yuridis, tingkat rasio, tingkat keuntungan, dan tingkat likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk itu, Menteri menetapkan jenis-jenis investasi yang dapat dilakukan, misalnya deposito, serta saham dan obligasi yang diperjualbelikan di bursa efek di Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)
Cadangan teknis menggambarkan kewajiban Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi, yang timbul dalam rangka transaksi asuransi. Dengan ketentuan Pasal ini, Perusahaan Asuransi Kerugian harus membentuk cadangan teknis, yaitu :
- cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan (unearned premium reserve), yaitu bagian premi dari pertanggungan yang masih berjalan,
- cadangan klaim.
Perusahaan Asuransi Jiwa, dengan mempertimbangkan jenis program asuransi yang dipasarkan, harus membentuk cadangan teknis, yaitu :
- cadangan premi,
- cadangan premi anuitas,
- cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan,
- cadangan klaim.
Perusahaan Reasuransi, dengan mempertimbangkan jenis asuransi yang ditutup reasuransinya, harus membentuk cadangan teknis, yaitu :
- cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan,
- cadangan premi,
- cadangan klaim.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini melarang perjanjian reasuransi yang memungkinkan pihak penanggungan ulang memperoleh penerimaan yang sudah dipastikan tidak kurang dari jumlah tertentu, terlepas dari besarnya klaim yang dicakup dalam perjanjian reasuransi dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 17

Yang dimaksud dengan pemasaran program asuransi adalah setiap kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung dilakukan untuk menarik calon tertanggung, termasuk kegiatan promosi, iklan, brosur, dan prospektus.

Pasal 18

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 20

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)
Termasuk dalam pembayaran premi asuransi langsung dari tertanggung kepada Perusahaan Asuransi adalah setiap pembayaran baik dilakukan langsung kepada Perusahaan Asuransi maupun pembayaran melalui badan perantara yang ditunjuk oleh Perusahaan Asuransi, misalnya Agen Asuransi, bank, dan sebagainya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 30

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 32

Ayat (1)
Dalam ketentuan ini dikandung pengertian bahwa Program Asuransi Sosial tersebut didasarkan pada undang-undang tersendiri dan penyelenggaraannya bersifat wajib.

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 37

Sanksi pembatasan kegiatan usaha dapat dilakukan antara lain dalam bentuk :
a. Larangan melakukan penutupan pertanggungan baru bagi Perusahaan Asuransi;
b. Larangan melakukan penutupan pertanggungan ulang yang baru bagi Perusahaan Reasuransi;
c. Larangan melakukan jasa keperantaraan bagi Perusahaan Pialang Asuransi dan Perusahaan Pialang Reasuransi;
d. Larangan melakukan jasa konsultasi aktuaria bagi Perusahaan Konsultan Aktuaria;
e. Larangan melakukan jasa penilaian kerugian bagi Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi;
f. Larangan melakukan jasa pemasaran bagi Agen Asuransi.

Pasal 38

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1)
Dalam hal laporan disampaikan melalui usaha jasa pengiriman, batas waktu 2 (dua) hari kerja dihitung sejak tanggal pembayaran denda sampai dengan tanggal pengiriman melalui usaha jasa pengiriman. Untuk pemenuhan pengumuman neraca dan laporan laba rugi pada surat kabar harian, batas waktu 2 (dua) hari kerja dihitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemuatan pengumuman neraca dan laporan laba rugi dimaksud pada surat kabar harian.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3506