PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1995
TENTANG
K E P A B E A N A N
U M U M
| 1. | Republik Indonesia sebagai negara hukum menghendaki terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap dan mengabdi kepada kepentingan nasional, bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi, sejak kemerdekaan undang-undang kepabeanan nasional belum dapat dibentuk sehingga Indische Tarief Wet (Undang-undang Tarif Indonesia) Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35, Rechten Ordonnantie (Ordonansi Bea) Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240, dan Tarief Ordonnantie (Ordonansi Tarif) Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun terhadap ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah dilakukan perubahan dan penambahan untuk menjawab tuntutan pembangunan nasional, karena perubahan tersebut bersifat partial dan tidak mendasar serta berbeda falsafah yang melatarbelakanginya, perubahan dan penambahan tersebut belum dapat memenuhi tuntutan dimaksud sehingga perlu dilakukan pembaruan. | ||||||||
| 2. | Dalam mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya terkandung asas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat, dan menempatkan Kewajiban Pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran Bea Masuk, maka peraturan perundang-undangan kepabeanan ini sebagai bagian dari hukum fiskal harus dapat menjamin perlindungan kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dan dokumen, penerimaan Bea Masuk yang optimal, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud, aparatur kepabeanan dituntut untuk memberikan pelayanan yang semakin baik, efektif, dan efisien, sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya. | ||||||||
| 3. | Undang-undang Kepabeanan ini telah memperhatikan aspek-aspek: | ||||||||
| a. | keadilan, sehingga Kewajiban Pabean hanya dibebankan kepada anggota masyarakat yang melakukan kegiatan kepabeanan dan terhadap mereka diperlakukan sama dalam hal dan kondisi yang sama | ||||||||
| b. | pemberian insentif yang akan memberikan manfaat bagi pertumbuhan perekonomian nasional yang antara lain berupa fasilitas Tempat Penimbunan Berikat, pembebasan Bea Masuk atas impor mesin dan bahan baku dalam rangka ekspor, dan pemberian persetujuan impor barang sebelum pelunasan Bea Masuk dilakukan; | ||||||||
| c. | netralitas dalam pemungutan Bea Masuk, sehingga distorsi yang mengganggu perekonomian nasional dapat dihindari; | ||||||||
| d. | kelayakan administrasi, yaitu pelaksanaan administrasi kepabeanan dapat dilaksanakan lebih tertib, terkendali, sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat sehingga tidak terjadi duplikasi. Oleh karena itu biaya administrasi dapat ditekan serendah mungkin; | ||||||||
| e. | kepentingan penerimaan negara, dalam arti ketentuan dalam undang-undang ini telah memperhatikan segi-segi stabilitas, potensial, dan fleksibilitas dari penerimaan, sehingga dapat menjamin peningkatan penerimaan negara, dan dapat mengantisipasi kebutuhan peningkatan pembiayaan pembanganan nasional | ||||||||
| f. | penerapan pengawasan dan sanksi dalam upaya agar ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini ditaati; | ||||||||
| g. | Wawasan Nusantara, sehingga ketentuan dalam undang-undang ini diberlakukan di Daerah Pabean yang meliputi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, dimana Indonesia mempunyai kedaulatan dan hak berdaulat yaitu, di perairan pedalaman, perairan nusantara, laut wilayah, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional; | ||||||||
| h. | praktek kepabeanan internasional sebagaimana diatur dalam persetujuan perdagangan internasional. | ||||||||
| 4. | Undang-undang Kepabeanan ini juga mengatur hal-hal baru yang sebelumnya tidak diatur dalam ketiga peraturan perundang-undangan yang digantikannya, antara lain ketentuan tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, pembukuan, sanksi administrasi, penyidikan, dan lembaga banding | ||||||||
| 5. | Selain daripada itu untuk meningkatkan pelayanan kelancaran arus barang, orang, dan dokumen agar menjadi semakin baik, efektif, dan efisien, maka diatur pula antara lain: | ||||||||
| a. | pelaksanaan pemeriksaan secara selektif; | ||||||||
| b. | penyerahan Pemberitahuan Pabean melalui media elektronik (hubungan antarkomputer); | ||||||||
| c. | pengawasan dan pengamanan impor atau ekspor yang pelaksanaannya dititikberatkan pada audit di bidang Kepabeanan terhadap pembukuan perusahaan; | ||||||||
| d. | peran serta anggota masyarakat untuk bertanggung jawab atas Bea Masuk melalui sistem menghitung dan membayar sendiri Bea Masuk yang terutang (self assessment), dengan tetap memperhatikan pelaksanaan ketentuan larangan atau pembatasan yang berkaitan dengan impor atau ekspor barang, seperti barang pornografi, narkotika, uang palsu, dan senjata api. | ||||||||
| 6. | Berdasarkan hal-hal sebagaimana diuraikan di atas dan mengingat Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, serta memperhatikan amanat yang tersurat dan tersirat dalam garis-garis besar daripada haluan Negara, Undang-undang Kepabeanan ini merupakan produk nasional yang mampu menjawab tuntutan pembangunan. | ||||||||
| PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 |
|||||||||
| Pasal ini memuat rumusan mengenai pengertian istilah yang dipergunakan dalam undang-undang ini. Dengan adanya pengertian tentang istilah tersebut, dapat dicegah adanya salah pengertian atau salah penafsiran dalam melaksanakan pasal-pasal bersangkutan, sehingga masyarakat akan lebih mudah memahaminya. | |||||||||
| Pasal 2 | |||||||||
| Ayat (1) | |||||||||
| Ayat ini memberikan penegasan pengertian Impor secara yuridis, yaitu pada saat barang memasuki Daerah Pabean dan menetapkan saat barang tersebut wajib Bea Masuk serta merupakan dasar yuridis bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan | |||||||||
| Ayat (2) | |||||||||
| Ayat ini memberikan penegasan tentang pengertian Ekspor. Secara nyata Ekspor terjadi pada saat barang melintasi Daerah Pabean, namun mengingat dari segi pelayanan dan pengamanan tidak mungkin menempatkan Pejabat Bea dan Cukai di sepanjang garis perbatasan untuk memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan ekspor barang, maka secara yuridis ekspor dianggap telah terjadi pada saat barang tersebut sudah dimuat atau akan dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar Daerah Pabean. Yang dimaksud dengan sarana pengangkut adalah setiap kendaraan, pesawat udara, kapal laut, atau sarana lain yang digunakan untuk mengangkut barang atau orang. Akan dimuat dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa barang ekspor tersebut telah dapat diketahui untuk tujuan dikirim ke luar Daerah Pabean (ekspor), karena telah diserahkannya Pemberitahuan Pabean kepada Pejabat Bea dan Cukai. Dapat saja barang tersebut masih berada di Tempat Penimbunan Sementara atau di tempat-tempat yang disediakan khusus untuk itu, termasuk di gudang atau pabrik eksportir yang bersangkutan. | |||||||||
| Ayat (3) | |||||||||
| Ayat ini memberikan penegasan bahwa walaupun barang tersebut telah dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar Daerah Pabean, jika dapat dibuktikan barang tersebut akan dibongkar di dalam Daerah Pabean dengan menyerahkan suatu Pemberitahuan Pabean, barang tersebut tidak dianggap sebagai barang ekspor. | |||||||||
| Pasal 3 | |||||||||
| Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang diajukan, terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean dalam bentuk penelitian terhadap dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang. Dalam rangka memperlancar arus barang, pemeriksaan atas fisik barang dilakukan secara selektif dalam arti pemeriksaan barang hanya dilakukan terhadap importasi yang berisiko tinggi, antara lain barang yang bea masuknya tinggi, barang berbahaya bagi negara dan masyarakat, serta Impor yang dilakukan oleh importir yang mempunyai catatan kurang baik. | |||||||||
| Pasal 4 | |||||||||
| Dalam rangka mendorong Ekspor, terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia, diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi eksportir. Dengan demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan fisik atas barang ekspor harus diupayakan seminimal mungkin sehingga terhadap barang ekspor pada dasarnya hanya dilakukan penelitian terhadap dokumennya. Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang diajukan, pasal ini memberikan kewenangan kepada Menteri untuk dalam hal-hal tertentu dapat menetapkan ketentuan tentang pemeriksaan fisik atas barang ekspor. | |||||||||
| Pasal 5 | |||||||||
| Ayat (1) | |||||||||
| Dilihat dari keadaan geografis negara Republik Indonesia yang demikian luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidaklah mungkin menempatkan Pejabat Bea dan Cukai di sepanjang pantai untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang dikeluarkan dari Daerah Pabean memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan Kewajiban Pabean hanya dapat dilakukan di Kantor Pabean. Penegasan bahwa pemenuhan Kewajiban Pabean dilakukan di Kantor Pabean maksudnya adalah kalau kedapatan barang dibongkar atau dimuat di suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai Kantor Pabean berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini. Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat untuk memenuhi Kewajiban Pabean seperti penyerahan Pemberitahuan Pabean atau pelunasan Bea Masuk telah dibatasi dengan penunjukan Kantor Pabean yang disesuaikan dengan kebutuhan perdagangan. Pemenuhan Kewajiban Pabean di tempat selain di Kantor Pabean dapat diizinkan dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan kepentingan perdagangan dan perekonomian; atau apabila dengan cara tersebut Kewajiban Pabean dapat dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah, pemberian kemudahan tersebut bersifat sementara. | |||||||||
| Ayat (2) | |||||||||
| Ayat ini menegaskan bahwa Pemberitahuan Pabean yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean dapat berupa tulisan di atas formulir atau melalui media elektronik berupa disket atau hubungan langsung antarkomputer. | |||||||||
| Ayat (3) | |||||||||
| Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu-lintas barang serta ketertiban bongkar muat barang, dan pengamanan keuangan negara, undang-undang ini menetapkan adanya suatu kawasan di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain sebagai Kawasan Pabean yang sepenuhnya berada dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Demikian pula penunjukan Pos Pengawasan Pabean dimaksudkan untuk tempat Pejabat Bea dan Cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut merupakan bagian dari Kantor Pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi Kewajiban Pabean | |||||||||
| Ayat (4)
Cukup jelas |
|||||||||
| Pasal 6 | |||||||||
| Pasal ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelesaian Kewajiban Pabean atas barang impor atau ekspor harus senantiasa didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang ini yang pelaksanaan penegakannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | |||||||||
| Ayat (1) | |||||||||
| Adanya kewajiban untuk melaporkan kedatangan barang impor di Kantor Pabean tujuan pertama melalui jalur yang ditetapkan dimaksudkan agar pembongkaran dilakukan dengan memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini. Dalam pengertian barang impor termasuk juga sarana pengangkut yang diimpor untuk dipakai atau diimpor sementara. Yang dimaksud dengan jalur yang ditetapkan adalah alur pelayaran, jalur udara, jalan perairan daratan, dan jalan darat yang ditetapkan, artinya sarana pengangkut harus melalui alur-alur yang dicantumkan dalam buku petunjuk pelayaran. Demikian pula untuk barang yang diangkut melalui udara harus melalui jalur (koridor) udara yang ditetapkan oleh Departemen Perhubungan, sedangkan jalan perairan daratan dan jalan darat di perbatasan darat ditetapkan oleh Menteri. Yang dimaksud dengan pengangkut adalah orang, kuasanya, atau yang bertanggung jawab atas pengoperasian sarana pengangkut yang nyata-nyata mengangkut barang atau orang. Pemberitahuan Pabean dibuat dan diserahkan oleh pengangkut dalam jangka waktu yang ditetapkan. | |||||||||
| Ayat (2) | |||||||||
| Pada dasarnya barang impor hanya dapat dibongkar setelah diajukan Pemberitahuan Pabean tentang kedatangan sarana pengangkut. Akan tetapi, dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat seperti kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat diperbaiki, cuaca buruk, atau hal-hal lain yang terjadi diluar kemampuan manusia dapat diadakan penyimpangan dengan melakukan pembongkaran tanpa memberitahukan terlebih dahulu tentang kedatangan sarana pengangkut. Yang dimaksud dengan Kantor Pabean terdekat adalah Kantor Pabean yang paling mudah dicapai. | |||||||||
| Ayat (3) | |||||||||
| Pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut atas ketentuan pada ayat (1) merupakan kesalahan yang dapat terjadi lebih dari satu kali.Oleh karena itu, sanksi administrasi yang ditetapkan pada ayat ini berupa denda dari jumlah yang paling sedikit sampai dengan jumlah yang paling banyak. Dengan demikian, pengangkut yang melanggar ketentuan pada ayat (1) lebih dari satu kali akan dikenai denda yang lebih besar dari yang hanya satu kali. Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut atas ketentuan pada ayat (2) tidak akan terjadi setiap saat dan terjadi diluar kemampuannya. Oleh karena itu, sanksi administrasi atas kesalahan tersebut hanya berupa denda minimum yang diatur pada ayat ini. | |||||||||
| Ayat (4) | |||||||||
| Kewajiban yang harus dilakukan oleh pengangkut atau kuasanya adalah memberitahukan kedatangan sarana pengangkut dengan Pemberitahuan Pabean kepada Pejabat Bea dan Cukai dan dokumen tersebut harus memuat atau berisi semua barang impor yang diangkut di dalam sarana pengangkut tersebut, baik berupa barang dagangan maupun bekal kapal. Apabila jumlah barang yang dibongkar kurang dari jumlah yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean, pengangkut berdasarkan ketentuan pada ayat ini dianggap telah memasukkan barang impor tersebut ke peredaran bebas sehingga, selain wajib membayar Bea Masuk atas barang yang kurang dibongkar tersebut, juga dikenai sanksi administrasi, jika yang bersangkutan tidak dapat membuktikan bahwa kekurangan barang yang dibongkar tersebut bukan karena kesalahannya. | |||||||||
| Ayat (5)
Cukup jelas Ayat (6) |
|||||||||
| Penimbunan barang di Tempat Penimbunan Sementara bukan merupakan keharusan sehingga penimbunan di Tempat Penimbunan Sementara hanya dilakukan dalam hal barang tersebut tidak dapat dikeluarkan dengan segera. Yang dimaksud dengan pengeluaran adalah pengeluaran barang dari Kawasan Pabean, Tempat Penimbunan Sementara, Tempat Penimbunan Berikat, atau Tempat Penimbunan Pabean ke peredaran bebas dengan persetujuan Pejabat Bea dan Cukai setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean. | |||||||||
| Ayat (7) | |||||||||
| Yang dimaksud dengan barang diangkut terus adalah barang yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui Kantor Pabean tanpa dilakukan pembongkaran terlebih dulu. Yang dimaksud dengan barang diangkut lanjut adalah barang yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui Kantor Pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dulu. Yang dimaksud dengan diekspor kembali adalah pengiriman kembali barang impor keluar Daerah Pabean karena ternyata tidak sesuai dengan yang dipesan atau oleh karena suatu ketentuan baru dari pemerintah tidak boleh diimpor ke dalam Daerah Pabean. | |||||||||
| Ayat (8) | |||||||||
| Meskipun pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan dengan tanpa maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea Masuk, karena telah diajukan Pemberitahuan Pabean dan Bea Masuknya telah dilunasi, akan tetapi karena pengeluarannya tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai, maka atas pelanggaran tersebut si pelanggar dikenai sanksi administrasi. | |||||||||
| Ayat (9)
Cukup jelas |
|||||||||
| Pasal 8 | |||||||||
| Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2) |
|||||||||
| Ayat ini memungkinkan importir yang memenuhi persyaratan, untuk mengeluarkan barang impor untuk dipakai sebelum melunasi Bea Masuk yang terutang dengan menyerahkan jaminan. Namun, importir wajib menyelesaikan kewajibannya dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut undang-undang ini. Kemudahan ini diberikan dengan tujuan untuk memperlancar arus barang | |||||||||
| Ayat (3) | |||||||||
| Yang dimaksud dengan penumpang adalah setiap orang yang
melintasi perbatasan wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut,
tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas.
Yang dimaksud dengan pelintas batas adalah penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui pos pengawas lintas batas. Yang dimaksud dengan awak sarana pengangkut adalah setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkutnya. |
|||||||||
| Ayat (4) | |||||||||
| Yang dimaksud dengan persetujuan Pejabat Bea dan Cukai adalah penetapan Pejabat Bea dan Cukai yang menyatakan bahwa barang tersebut telah dipenuhi Kewajiban Pabeannya berdasarkan undang-undang ini. | |||||||||
| Ayat (5)
Cukup jelas Ayat (6) |
|||||||||
| Ketentuan dalam ayat ini mengenakan sanksi kepada importir yang memperoleh kemudahan berdasarkan ketentuan pada ayat (2) huruf b atau huruf c, yaitu mengimpor barang untuk dipakai sebelum melunasi Bea Masuknya dengan penyerahan jaminan, tetapi tidak menyelesaikan kewajiban untuk membayar Bea Masuk menurut jangka waktu yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini. Yang dimaksud dengan importir adalah orang yang mengimpor | |||||||||
| Pasal 9 | |||||||||
| Ayat (1) | |||||||||
| Tujuan pengaturan impor sementara adalah untuk memberikan kemudahan atas pemasukan barang dengan tujuan tertentu seperti barang pameran, barang perlombaan, kendaraan yang dibawa oleh wisatawan, peralatan penelitian yang digunakan untuk penelitian sains dan teknologi serta pendidikan, peralatan yang digunakan oleh teknisi, wartawan, dan tenaga ahli untuk digunakan sementara waktu dan pada waktu pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. | |||||||||
| Ayat (2) | |||||||||
| Yang dimaksud dengan pengawasan pabean adalah pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | |||||||||
| Ayat (3)
Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas |
|||||||||
| Pasal 10 | |||||||||
| Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) |
|||||||||
| Penimbunan barang di Tempat Penimbunan Sementara bukan merupakan keharusan sehingga penimbunan di Tempat Penimbunan Sementara hanya dilakukan dalam hal barang tersebut tidak dapat dimuat dengan segera. | |||||||||
| Ayat (4) | |||||||||
| Pemberitahuan pembatalan tersebut diwajibkan dalam rangka penyelesaian dan tertib administrasi serta pengawasan terhadap pemberian fasilitas. | |||||||||
| Ayat (5) | |||||||||
| Yang dimaksud dengan eksportir adalah orang yang mengekspor. | |||||||||
| Ayat (6)
Cukup jelas |
|||||||||
| Pasal 11 | |||||||||
| Ayat (1) | |||||||||
| Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang akan dikeluarkan ke luar Daerah Pabean. | |||||||||
| Ayat (2) | |||||||||
| Ketentuan yang diatur pada huruf a dan b bertujuan untuk pengamanan hak-hak negara yang masih melekat pada barang-barang tersebut mengingat barang yang bersangkutan masih terutang Bea Masuk. Sedangkan ketentuan pada huruf c dimaksudkan untuk pengawasan terhadap barang ekspor dan ketentuan pada huruf d dimaksudkan agar barang yang diangkut tersebut dapat dibedakan dari barang impor yang dimuat di pelabuhan di luar Daerah Pabean. | |||||||||
| Ayat (3)
Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup Jelas. Ayat (6) Cukup jelas |
|||||||||
| Pasal 12 | |||||||||
| Ayat (1) | |||||||||
| Dengan memperhatikan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), besarnya tarif maksimum dalam ayat ini ditetapkan setinggi-tingginya empat puluh persen termasuk Bea Masuk Tambahan (BMT) yang pada waktu diundangkannya undang-undang ini masih dikenakan terhadap barang-barang tertentu. Namun, dengan tetap memperhatikan kemampuan daya saing industri dalam negeri, kebijaksanaan umum di bidang tarif harus senantiasa ditujukan untuk menurunkan tingkat tarif yang ada dengan tujuan: | |||||||||
| a. | meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasaran internasional; | ||||||||
| b. | melindungi konsumen dalam negeri; dan | ||||||||
| c. | mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional dalam rangka mendukung terciptanya perdagangan bebas. | ||||||||
| Ayat (2) | |||||||||
| Sesuai dengan Notifikasi Indonesia pada Persetujuan Umum
Mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT)
Huruf a.: |
|||||||||
| untuk produk pertanian tertentu sebagaimana tercantum dalam Skedul XXI-Indonesia, tarif Bea Masuknya diikat pada tingkat yang lebih tinggi dari empat puluh persen, dengan tujuan untuk menghapus penggunaan hambatan nontarif sehingga menjadi tarifikasi; | |||||||||
| Huruf b. | |||||||||
| demi kepentingan nasional, produk tertentu yang termasuk dalam daftar eksklusif Skedul XXI-Indonesia, tarif Bea Masuknya tidak diikat pada tingkat tarif tertentu sehingga dikecualikan dari ketentuan pengenaan tarif maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Namun, dalam jangka waktu tertentu tarif atas produk tersebut akan diturunkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | |||||||||
| Huruf c.
Cukup jelas |
|||||||||
| Ayat (3) | |||||||||
| Untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan internasional yang demikian cepat dan dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, perlu diberikan pendelegasian wewenang kepada Menteri untuk menetapkan besarnya tarif Bea Masuk setiap jenis barang dan melakukan perubahan terhadap besarnya tarif tersebut. | |||||||||