PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 1997
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 6 TAHUN 1989
TENTANG
PATEN
|
UMUM |
||
|
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara antara lain menegaskan bahwa perkembangan dunia yang mengandung peluang yang menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sesuai dengan arahan Garis-garis Besar Haluan Negara tersebut, maka segala perkembangan, perubahan, dan kecenderungan global yang diperkirakan akan dapat mempengaruhi Stabilitas Nasional serta pencapaian tujuan nasional perlu pula diikuti dengan seksama, sehingga dapat diambil langkah-langkah untuk mengantisipasinya. |
||
|
Salah satu perkembangan yang menonjol dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun terakhir dan kecenderungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Di bidang perdagangan, terutama karena perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor ini meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. Dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan seperti itu, maka menjadi hat yang dapat dipahami adanya tuntutan kebutuhan bagi pengaturan dalam rangka perlindungan hukum yang lebih memadai. Apalagi beberapa negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk-produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektualita manusia seperti penelitian yang menghasilkan penemuan di bidang teknologi. |
||
|
Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) yang merupakan perjanjian perdagangan multilateral pada dasarnya bertujuan menciptakan perdagangan bebas, perlakuan yang sama, dan membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan manusia. |
||
|
Dalam kerangka perjanjian multilateral tersebut, pada bulan April 1994 di Marakesh, Maroko, telah berhasil disepakati satu paket hasil perundingan perdagangan yang paling lengkap yang pernah dihasilkan oleh GATT. Perundingan yang telah dimulai sejak tahun 1986 di Punta del Este, Uruguay, yang dikenal dengan Putaran Uruguay (Uruguay Round) antara lain memuat Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs). |
||
|
Persetujuan TRIPs memuat norma-norma dan standar perlindungan bagi karya intelektualita manusia dan menempatkan perjanjian internasional di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual sebagai dasar. Disamping itu, persetujuan tersebut mengatur pula aturan pelaksanaan penegakan hukum di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual secara ketat. |
||
|
Sebagai negara pihak penandatangan persetujuan Putaran Uruguay, Indonesia telah meratifikasi paket persetujuan tersebut dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization). |
||
|
Sejalan dengan kebijakan tersebut, maka untuk dapat mendukung kegiatan pembangunan nasional, terutama dengan memperhatikan berbagai perkembangan dan perubahan, Indonesia yang sejak tahun 1989 telah memiliki Undang-undang tentang Paten nasional, perlu melakukan penyempurnan terhadap Undang-undang tersebut. |
||
|
Selain penyempurnaan terhadap berbagai ketentuan yang dirasakan kurang memberi perlindungan hukum bagi penemu, dirasakan perlu pula melakukan penyesuaian dengan Persetujuan TRIPs. Tujuannya, untuk menghapuskan berbagai hambatan dan terutama untuk memberikan fasilitas yang mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan baik nasional maupun internasional. |
||
|
Sebagai konsekuensi dari telah diratifikasinya Persetujuan Putaran Uruguay, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan atau penyempurnaan pada Undang-undang tentang Paten. Perubahan pada dasarnya diarahkan untuk menyesuaikan dengan Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) Tahun 1883 sebagaimana telah beberapa kali diubah, dan penyempurnaan terhadap kekurangan atas beberapa ketentuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan praktek-praktek internasional, termasuk penyesuaian dengan Persetujuan TRIPs. |
||
|
Dengan latar belakang dan pertimbangan di atas, maka selain perubahan yang menyangkut masalah teknis, secara umum arah penyempurnaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten meliputi antara lain : |
||
|
1. |
Penyempurnaan |
|
|
a. |
Persyaratan penentuan kebaruan penemuan. |
|
|
|
|
Berbeda dengan Undang-undang yang lama yang menentukan suatu penemuan dianggap tidak baru berdasarkan syarat belum diumumkannya penemuan tersebut, sedangkan dalam Undang-undang ini, sifat kebaruan ditentukan atas dasar penilaian bahwa pada saat penerimaan permintaan paten, penemuan tersebut tidak merupakan bagian dari penemuan terdahulu atau penemuan yang telah ada sebelumnya. |
|
b. |
Jangka waktu perlindungan. |
|
|
|
|
Selain untuk penyesuaian dengan Persetujuan TRIPs, perpanjangan jangka waktu perlindungan paten diarahkan untuk lebih memacu dan mendorong kegiatan penelitian yang menghasilkan penemuan. |
|
c. |
Penegasan hak Pemegang Paten untuk melarang impor. |
|
|
|
|
Perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan Persetujuan TRIPs yang menegaskan bahwa paten meliputi pula hak untuk melarang atau memberi izin kepada orang lain melakukan impor atas produk patennya. Perubahan ini dipertegas dengan penyempurnaan Pasal 21. |
|
d. |
Perluasan lingkup alasan bagi pengajuan permintaan banding. |
|
|
|
|
Selain terhadap keputusan penolakan permintaan paten berdasarkan pada alasan tidak dipenuhinya persyaratan substantif, dalam perubahan Undang-undang ini dimungkinkan pula pengajuan permintaan banding terhadap keputusan penolakan permintaan paten yang didasarkan pada alasan Pasal 39 dan Pasal 60, atau merupakan penemuan yang dikecualikan berdasarkan ketentuan Pasal 7. |
|
2. |
Penambahan |
|
|
a. |
Importasi atas produk yang dilindungi paten. |
|
|
|
|
Impor suatu produk atau padanannya yang dilindungi oleh Paten Proses, tetap dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dan tidak dianggap sebagai pelanggaran paten sejauh produk tersebut belum dibuat di Indonesia. |
|
|
|
Penambahan ketentuan ini dimaksudkan pula untuk penyesuaian dengan Persetujuan TRIPs, dan menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 5 quater Konvensi Paris. |
|
b. |
Beban pembuktian terbalik. |
|
|
|
|
Selain untuk menyesuaikan dengan Persetujuan TRIPs, ketentuan ini diperlukan terutama untuk memudahkan menyelesaikan persidangan pelanggaran Paten Proses yang pada dasarnya memang sulit pembuktiannya. |
|
3. |
Penghapusan. |
|
|
a. |
Pasal 7 huruf b |
|
|
|
|
Penghapusan Pasal 7 huruf b dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989, mengenai pengecualian pemberian Paten atas makanan dan minuman yang bukan menjadi kebutuhan pokok manusia dan atau hewan. Penghapusan ini dilakukan untuk memacu kegiatan penelitian yang menghasilkan penemuan serta untuk menyesuaikan dengan Persetujuan TRIPs yang antara lain menegaskan bahwa penemuan tentang proses atau hasil produksi makanan dan minuman, termasuk hasil produksi berupa bahan yang dibuat melalui proses kimia dengan tujuan untuk membuat makanan dan minuman guna dikonsumsi manusia atau hewan, dapat dimintakan paten. |
|
b. |
Pasal 7 huruf c |
|
|
|
|
Penghapusan Pasal 7 huruf c dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989, mengenai varietas baru tanaman atau hewan atau proses yang digunakan untuk pembiakan beserta hasilnya. Semula ayat ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas varietas unggul baik tanaman maupun hewan secara mudah dan murah. Penghapusan ini untuk menyesuaikan dengan Persetujuan TRIPs, serta untuk memacu penemuan varietas baru baik tanaman maupun hewan, sehingga penemuan tersebut dapat dimintakan paten. |
|
c. |
Badan hukum dalam pengertian penemu. |
|
|
|
|
Penghapusan badan hukum dalam pengertian penemu dimaksudkan untuk menyempurnakan pengertian penemu, karena pada hakekatnya hanya manusia yang dapat melakukan kegiatan penelitian yang menghasilkan penemuan. Sedangkan badan hukum hanya dapat memperoleh hak atau sebagai Pemegang Paten. |
|
PASAL DEMI PASAL |
||
|
Angka 1 |
||
|
|
|
Perubahan pada angka 3 pada dasarnya merupakan penyempurnaan untuk menegaskan pengertian bahwa yang dimaksud sebagai penemu adalah orang dan bukan badan hukum. |
|
|
|
Sedangkan perubahan pada angka 5 dimaksudkan untuk memberi landasan yang lebih luas bagi kemungkinan pemeriksaan permintaan paten oleh Kantor Paten yang berdasarkan persetujuan internasional disetujui untuk melaksanakan pemeriksaan permintaan paten. Berdasarkan Persetujuan tentang Kerjasama Paten (Patent Cooperation Treaty) permintaan paten secara internasional dimungkinkan melalui suatu Biro Internasional yang secara fungsional diselenggarakan oleh badan khusus PBB yang mengadministrasikan berbagai perjanjian internasional mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ini berarti, pemeriksaan terhadap permintaan paten tidak hanya dilakukan oleh para pejabat yang diangkat Menteri, melainkan dapat pula dilakukan oleh Pemeriksa Paten dari Kantor Paten di luar negeri. Dengan rumusan ini, maka dalam rangka permintaan paten sekaligus di beberapa negara, Kantor Paten dapat meminta bantuan atas dasar perjanjian internasional tadi untuk menyelesaikan pemeriksaan permintaan paten. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 1 lama. |
||
|
Angka 2 |
||
|
|
|
Menurut ketentuan Pasal 3 lama, penentuan kebaruan suatu penemuan pada dasarnya hanya dikaitkan dengan syarat belum diumumkannya penemuan yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun lisan. Ketentuan seperti ini mengandung kelemahan. Artinya, kalaupun benar-benar belum diumumkan, penemuan tersebut bisa tetap tidak dianggap baru kalau ternyata telah ada penemuan serupa yang telah diciptakan atau dibuat terlebih dahulu, atau penemuan tersebut ternyata merupakan bagian dari penemuan terdahulu. |
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penemuan terdahulu" adalah penemuan dan segala bentuk informasi yang terkait dengan penemuan tersebut yang telah ada sebelum penemuan yang bersangkutan diajukan permintaan paten atau sebelum tanggal pengajuan permintaan paten yang bersangkutan. |
|
|
|
Atas dasar alasan tersebut maka rumusan disesuaikan dengan prinsip yang lebih memadai dengan menggunakan pendekatan positif. Dengan perubahan ketentuan Pasal 3 ini maka sifat kebaruan ditentukan atas dasar penilaian bahwa pada saat dimintakan paten, penemuan tersebut tidak merupakan bagian dari penemuan yang telah ada atau tidak merupakan bagian dari penemuan terdahulu. Ini berarti, Pemeriksa Paten harus menggunakan penemuan yang telah ada tersebut sebagai pembanding. Pembanding tersebut antara lain berupa dokumen penemuan yang diuraikan secara tertulis atau yang diuraikan secara lisan, atau dengan penggunaan atau cara-cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan penemuan sesuai dengan yang diuraikan. Sesuai dengan prinsip ini, maka semua dokumen permintaan paten yang telah diajukan ke Kantor Paten, termasuk permintaan paten internasional yang juga mengajukan permintaan paten ke Indonesia, digunakan sebagai dokumen pembanding. |
|
Angka 3 |
||
|
|
|
Penambahan ayat (2) baru ini dimaksudkan untuk melengkapi ketentuan tentang kapan suatu penemuan dianggap telah diumumkan. Tujuannya, untuk menegaskan bahwa pengumuman suatu penemuan oleh orang yang tidak berhak yang dilakukan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan penemuan tadi, tidak dianggap sebagai telah diumumkan apabila dilakukan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum permintaan paten yang bersangkutan diajukan. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 4 lama. |
||
|
Angka 4 |
||
|
|
|
Perubahan dimaksudkan untuk lebih memberikan kejelasan mengenai lingkup perlindungan Paten Sederhana yang dapat mencakup produk maupun proses dan untuk memberi batasan mengenai penerapan persyaratan kebaruan bagi penemuan yang dapat memperoleh perlindungan Paten Sederhana tersebut. Dalam ketentuan Pasal 6 lama lingkup perlindungan hanya berlaku untuk penemuan yang berupa produk saja. Yaitu produk yang memiliki nilai ekonomis karena memiliki nilai kegunaan praktis. Penemuan seperti itu biasanya berupa peralatan yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti mesin pembuat bakso, alat pemarut kelapa, pemecah kulit kopi, pemipil jagung dan perontok gabah. Sedangkan Paten Sederhana untuk proses, diberikan misalnya untuk proses pembuatan makanan. |
|
|
|
Dengan membatasi bahwa syarat kebaruan pada penemuan tersebut hanya berlaku untuk wilayah Indonesia saja maka diharapkan permintaan paten oleh penemu Indonesia bagi jenis penemuan sederhana akan lebih banyak. Adapun pengertian "penemuan sederhana yang dilakukan di Indonesia" meliputi semua informasi tentang penemuan yang dapat diperoleh di Indonesia. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 6 lama. |
||
|
Angka 5 |
||
|
|
|
Pengecualian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 huruf b dan huruf c dahulu dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Sebab, masalah makanan dan minuman, termasuk varietas tanaman dan hewan yang penting bagi penyediaan pangan, merupakan masalah yang pokok sifatnya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. |
|
|
|
Penghapusan kedua ketentuan ini dilakukan berdasarkan penilaian bahwa untuk mencukupi kebutuhan pangan yang sangat penting artinya bagi rakyat justru sangat diperlukan dan perlunya didorong upaya penelitian dan pengembangan ke arah penemuan teknologi yang dapat menghasilkan bahan pangan, baik dalam ragam, jumlah dan kualitas yang sebanyak-banyaknya. Hal ini menjadi lebih penting karena justru kegiatan penelitian dan pengembangan itulah yang menghasilkan teknologi yang diperlukan. |
|
|
|
Dengan adanya perlindungan dalam sistem paten maka akan tercipta iklim yang lebih baik bagi berlangsungnya kegiatan yang menghasilkan penemuan tadi. Dengan perubahan ini bidang-bidang yang semula termasuk dikecualikan dari pemberian paten, dapat dimintakan paten. Perubahan dilakukan sekaligus untuk menyesuaikan dengan Persetujuan TRIPs. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 7 lama. |
||
|
Angka 6 |
||
|
|
|
Perubahan mengenai penentuan jangka waktu perlindungan paten selama 20 (dua puluh) tahun dari semula 14 (empat belas) tahun dan kemungkinan perpanjangannya untuk selama 2 (dua) tahun ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tingkat perlindungan yang dianggap memadai dan sesuai dengan standar yang ditentukan dalam Persetujuan TRIPs. |
|
|
|
Perpanjangan jangka waktu perlindungan paten ini sebenarnya dapat lebih merangsang dan mendorong para peneliti dan masyarakat pada umumnya untuk lebih giat melakukan penelitian yang menghasilkan penemuan. Kegiatan penelitian tersebut biasanya membutuhkan pengorbanan tenaga, waktu dan biaya yang dari segi ekonomi seringkali bernilai cukup besar. Dalam hal demikian maka sudah sepantasnya masa perlindungan paten juga diacukan pada pertimbangan perlunya memberikan kesempatan yang cukup untuk mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan. Dengan pertimbangan ini maka jangka waktu perlindungan yang lebih panjang akan memberi peluang kepada mereka untuk menikmati manfaat ekonomi secara lebih memadai dari hasil penemuannya. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 9 ayat (2) lama. |
||
|
Angka 7 |
||
|
|
|
Perpanjangan jangka waktu perlindungan paten sederhana dari semula 5 (lima) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun pada dasarnya merupakan optimasi perlindungan bagi jenis penemuan yang banyak dihasilkan oleh penemu-penemu Indonesia. Hal itu sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghalangi masyarakat untuk segera dapat menggunakan penemuan tersebut setelah menjadi publik domein. Perpanjangan tersebut ditetapkan dalam batas yang wajar dengan mempertimbangkan kepentingan para penemu Indonesia agar dapat lebih bergairah melakukan kegiatan untuk menghasilkan lebih banyak penemuan khususnya penemuan yang sederhana. |
|
Angka 8 |
||
|
|
|
Perubahan pokok pada Pasal ini adalah dimasukannya unsur baru yaitu hak untuk melarang impor. Karena adanya unsur baru tersebut, maka perumusan kalimat awal dalam Pasal tersebut juga disesuaikan. |
|
|
|
Sedangkan penambahan ketentuan baru yang dijadikan ayat (2), dimaksudkan untuk benar-benar membatasi pada produk yang dihasilkan dari penggunaan Paten Proses 11 yang bersangkutan secara langsung. Hal ini diperlukan karena sangat besarnya kemampuan dalam pengembangan teknologi di bidang proses dan dengan demikian juga merupakan langkah untuk mengurangi kemungkinan penyalahgunaan hak yang dapat merugikan perekonomian pada umumnya. |
|
Perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan Persetujuan TRIPs. |
||
|
|
|
Adapun penghapusan frasa "melaksanakan secara perusahaan atas patennya", dimaksudkan untuk menghindari rumusan yang duplikasi dengan rumusan Pasal 5 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989, yaitu untuk dapat diterapkan dalam industri bagi suatu penemuan. |
|
|
|
Sedangkan perubahan frasa "dengan memberikan persetujuan kepada orang lain" dan frasa "melarang orang lain yang tanpa persetujuannya" dimaksudkan untuk mempertegas adanya norma larangan terhadap paten. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 17 lama. |
||
|
Angka 9 |
||
|
|
|
Penambahan ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) yang baru ini dianggap perlu untuk mengakomodasi rasionalitas ekonomi dari pemanfaatan paten. Sebab, tidak semua jenis penemuan yang diberi paten dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan tidak seimbang dengan investasi yang dilakukan. Beberapa cabang industri menghadapi persoalan ini, seperti misalnya di bidang farmasi. Di cabang industri seperti ini skala kelayakan ekonominya seringkali meliputi pasar yang berskala regional misalnya kawasan Asia Tenggara. Untuk itu kelonggaran diberikan atas dasar penilaian yang obyektif. |
|
|
|
Apabila paten tidak akan dilaksanakan di Indonesia, Pemegang Paten harus mengajukan permintaan kelonggaran yang disertai dengan alasan dan bukti-bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang. Misalnya, di bidang obat atau farmasi, bukti serupa itu diberikan oleh Departemen Kesehatan. Sedangkan di bidang elektronika diberikan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Apabila penemuan tersebut menyangkut teknologi untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, keterangan diberikan oleh Departemen Pertambangan dan Energi. |
|
|
|
Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai syarat pengecualian yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah diharapkan harus tetap memperhatikan upaya untuk menunjang alih teknologi yang efektif dan dapat meningkatkan devisa negara. |
|
Angka 10 |
||
|
|
|
Perubahan Pasal 21 dimaksudkan
untuk menyesuaikan dengan ketentuan Persetujuan TRIPs sebagaimana telah
diakomodasi melalui perubahan Pasal 17. |
|
|
|
Pertama, memanfaatkan kemungkinan yang masih terbuka berdasarkan Pasal 5 quater Konvensi Paris. Dengan ketentuan ini maka hak Pemegang Paten atas suatu proses untuk melarang kegiatan impor produk yang dihasilkan dengan proses tersebut tanpa persetujuannya, hanya dibatasi pada produk yang secara langsung dan semata-mata dihasilkan dari penggunaan proses yang bersangkutan. |
|
|
|
Kedua, memberikan kelonggaran tetapi sekaligus juga pembatasan bagi kemungkinan telah diimpornya produk tertentu yang berlangsung dan dimungkinkan atas dasar ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten. |
|
|
|
Ketentuan Pasal 21 dahulu disusun dengan pertimbangan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kepentingan, serta kebutuhan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Ketentuan tersebut bersifat sangat strategis terutama karena adanya latar belakang kepentingan nasional dalam pembinaan dan pengembangan industri di dalam negeri. Penegasan bahwa importasi tidak dianggap sebagai pelanggaran paten, pada dasarnya hanya ditujukan pada produk tertentu yang dilindungi paten. Adapun perubahan yang dilakukan pada dasarnya diarahkan untuk tetap memberikan perlindungan bagi kepentingan industri tertentu dan kepentingan nasional pada umumnya. Rumusan ketentuan baru ini pada dasarnya mengakui Hak Pemegang Paten untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya mengimpor produk patennya. Namun, hak serupa itu hanya dapat dilaksanakan apabila penemuan yang berupa proses untuk membuat produk yang diimpor tadi telah memperoleh paten, dan dilindungi berdasarkan Undang-undang ini serta telah digunakan untuk membuat produk di Indonesia. Dengan pengaturan ini maka impor suatu produk atau padanannya yang dilindungi oleh Paten Proses, tetap dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dan tidak dianggap sebagai pelanggaran paten sejauh produk tersebut belum dibuat di Indonesia. |
|
Angka 11 |
||
|
|
|
Penghapusan Pasal 22 didasarkan pada pertimbangan praktis, yaitu untuk menghindarkan benturan dengan ketentuan Pasal 66. Sebagai pengganti, terutama untuk memperkuat ketentuan Pasal 66, dilakukan penyempurnaan pada ketentuan yang berkenaan dengan tuntutan ganti rugi. Sebenarnya, ketentuan Pasal 22 tersebut mengandung pengertian yang bersifat netral. Tetapi dalam praktek ketentuan tersebut memberi kemungkinan timbulnya masalah. Artinya, meskipun benar bahwa tidak ada perlindungan paten sebelum paten diberikan, tetapi dalam praktek ketentuan tersebut dapat merugikan kepentingan orang yang mengajukan permintaan paten. Bagi pihak yang beritikad tidak baik, ketentuan tersebut memberi peluang untuk menggunakan atau memanfaatkan penemuan selama penemuan tersebut belum diberikan paten. Masyarakat dapat dengan bebas menggunakannya. Dengan perubahan ini maka pemakaian seperti itu dapat dihindarkan. |
|
Angka 12 |
||
|
|
|
Ketentuan Pasal 33 ayat (2) pada dasarnya mengatur penentuan mengenai tanggal penerimaan permintaan paten. Ketentuan seperti itu semestinya hanya memuat kewajiban pemenuhan persyaratan minimum dan bukannya persyaratan maksimum yang mencakup seluruh persyaratan administratif. |
|
|
|
Dari segi pelaksanaan, tidak dipenuhinya ketentuan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 tidak mengakibatkan ditangguhkannya penetapan tanggal penerimaan permintaan paten. Kekurangan tersebut hanya akan mengakibatkan tidak diakuinya pengajuan permintaan paten dengan hak prioritas. Dengan kata lain, tanggal prioritas pada permintaan paten tersebut tidak diakui. Tanggal penerimaan permintaan paten semata-mata ditentukan berdasarkan pemenuhan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 30. Hal ini berarti, tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 31 tidak dapat dijadikan alasan untuk menangguhkan tanggal penerimaan permintaan paten. Sebab, tenggang waktu pelaksanaan penelusuran dan pemeriksaan di setiap negara tidak selalu sama. |
|
Angka 13 |
||
|
|
|
Perubahan ini bersifat penyempurnaan. Tujuannya untuk menghindarkan kesalahpahaman yang dalam praktek sering terjadi karena kurang jelasnya arti kata "tidak memperluas lingkup perlindungan". Perubahan dilakukan dengan mengganti rumusan menjadi "tidak memperluas lingkup penemuan". Sedangkan yang dimaksud dengan "menambahkan hal yang baru" adalah menambahkan pokok penemuan atau "subject matter" yang tidak dinyatakan dalam permintaan paten yang telah diajukan sebelumnya. |
|
Angka 14 |
||
|
Perubahan ini juga bersifat penyempurnaan, untuk lebih memperjelas. |
||
|
Selanjutnya lihat pula penjelasan Pasal 40 lama. |
||
|
Angka 15 |
||
|
|
|
Ketentuan Pasal 42 dihapus sebagai konsekuensi dari perubahan ketentuan mengenai jangka waktu perlindungan paten yang ditetapkan menjadi 20 (dua puluh) tahun. Dengan perubahan tersebut maka ketentuan tentang perpanjangan jangka waktu paten tidak diperlukan lagi. |
|
Angka 16 |
||
|
|
|
Seperti halnya penghapusan Pasal 42, penghapusan ketentuan Pasal 43 ini juga merupakan konsekuensi dari perubahan jangka waktu perlindungan paten yang tidak menentukan adanya perpanjangan jangka waktu paten lagi. |
|
Angka 17 |
||
|
Lihat Penjelasan Angka 15 dan Angka 16. |
||
|
Angka 18 |
||
|
|
|
Perubahan Pasal 47 ayat (1) pada dasarnya dimaksudkan untuk memperjelas hal-hal yang menjadi persyaratan dalam pelaksanaan pengumuman permintaan paten. Pada ketentuan semula, pencantuman Pasal 31 sebagai persyaratan, dinilai berlebihan. Ketentuan pasal tersebut tidak bersifat mutlak. Penjelasan tentang penghapusan fungsi Pasal 31 pada Pasal ini, berlaku pula bagi penjelasan Pasal 55 ayat (2). Sedangkan perubahan mengenai waktu pelaksanaan pengumuman permintaan paten dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan jangka waktu pengumuman sebagaimama diatur dalam pengaturan internasional mengenai kerjasama paten atau Patent Cooperation Treaty (PCT). Perubahan ini juga memberi dampak yang bersifat menguntungkan bagi para penemu di dalam negeri apabila akan mengajukan permintaan paten di luar negeri. Sebab, sifat kebaruan penemuan akan tetap terpelihara. |
|
|
|
Mengenai pelaksanaan pengumuman, hal itu dilakukan secepatnya setelah bulan kedelapan belas terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan paten. |
|
|
|
Sedangkan yang dimaksud dengan "hak prioritas" adalah hak yang dimiliki oleh penemu (yang berhak atas penemuan) untuk mengajukan permintaan paten penemuan yang sama di negara-negara lain yang merupakan negara anggota Konvensi Paris dalam jangka waktu tertentu (dalam hal paten 12 (dua belas) bulan sejak pengajuannya yang pertama) dan mengklaim agar pengajuannya di negara-negara yang lain tersebut dapat dianggap seolah-olah dilakukan pada tanggal pengajuan yang pertama kali. |
|
|
|
Pengaturan ini adalah merujuk kepada Art. 4 huruf C butir 4 Konvensi Paris. Dengan demikian, permintaan paten dengan hak prioritas adalah permintaan paten yang diajukan ke Kantor Paten (Indonesia) dan mengklaim bahwa pengajuan permintaan paten yang bersangkutan dapat dianggap seolah-olah telah diajukan pada saat yang sama dengan permintaan paten yang sama di negara-negara lain yang merupakan anggota Konvensi Paris. |
|
Angka 19 |
||
|
|
|
Perubahan dilakukan dengan menghapuskan ketentuan mengenai jumlah permintaan paten dan menambahkan dua unsur penting yang perlu dicantumkan dalam pengumuman. Jumlah permintaan paten ditiadakan sebab Pasal 24 telah dengan tegas menyatakan bahwa satu permintaan paten hanya dapat diajukan untuk satu penemuan. Sedangkan pencantuman klasifikasi penemuan beserta gambar selain untuk menyesuaikan dengan pengaturan internasional dalam rangka kerjasama paten, juga memberi kemudahan untuk mengetahui dengan tepat klasifikasi penemuan yang dimintakan paten tersebut. Bagi masyarakat yang ingin mengetahui atau mendalami jenis teknologi tertentu, mereka akan sangat terbantu dalam menelusuri bahan-bahan yang diperlukannya. Klasifikasi dapat menjadi petunjuk untuk mendapatkan referensi yang berkaitan dengan jenis teknologi yang diinginkan. |
|
|
|
Adapun yang dimaksud dengan "klasifikasi" adalah pembagian teknis jenis teknologi yang dibagi dalam 8 (delapan) bidang utama yang dilambangkan dalam huruf balok mulai dari A, B, C, D, E, F, G, dan H. |
|
|
|
Masing-masing bidang teknologi ini dibagi dalam klas-klas, subklas-subklas, grup-grup utama (main groups), dan terakhir dalam subgrup. |
|
|
|
Jadi dengan mencantumkan klasifikasi lengkap dari suatu penemuan, maka akan mempermudah dan mempercepat seseorang untuk mendapatkan informasi atau referensi yang berkaitan dengan bidang teknologi dari penemuan yang dimintakan patennya atau yang telah diberikan paten secara tepat dan rinci. Klasifikasi paten ini sesuai dengan "International Patent Classification" (IPC) yang disusun dan diterbitkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO). |
|
|
|
Sedangkan yang dimaksud dengan "gambar" adalah gambar teknik dari suatu penemuan tentang produk atau alat produksi untuk proses yang digambarkan dalam bentuk diagram, dan khusus dalam bidang elektronika digambarkan dalam bentuk rangkaian. Gambar teknik ini dimaksudkan untuk memperjelas hal-hal yang diungkapkan dalam uraian penemuan tersebut. |
|
Selanjutnya lihat Penjelasan Pasal 49 lama. |
||
|
Angka 20 |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "tetapi tidak lebih awal dari tanggal berakhirnya pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48" adalah bahwa orang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan substantif sebelum berakhirnya masa pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, tetapi Kantor Paten baru akan memproses permintaan pemeriksaan substantif tersebut setelah berakhirnya masa pengumuman. |
|
Angka 21 |
||
|
|
|
Perubahan pada Pasal ini terutama dengan dimasukkannya unsur "Pemeriksa Paten pada Kantor Paten lain". Hal ini untuk memungkinkan pelaksanaan pemeriksaan permintaan paten berdasarkan pengaturan paten dalam rangka kerjasama paten internasional. |
|
Selanjutnya lihat Penjelasan Pasal 58 lama. |
||
|
Angka 22 |
||
|
|
|
Perubahan ketentuan Pasal 59 ayat (1) sebenarnya berkaitan dengan perubahan yang dilakukan pada ketentuan Pasal 1 angka 5. Sedangkan perubahan pada ayat (2) dan ayat (3) dimaksudkan untuk memperjelas status Pemeriksa Paten yang bekerja pada Kantor Paten atas dasar pengangkatan oleh Menteri yang secara administratif diberi kedudukan sebagai pejabat fungsional. Dengan penegasan itu maka menjadi jelas perbedaannya dengan status tenaga ahli atau Pemeriksa Paten dari Kantor Paten lain termasuk perbedaan dalam kaitan hak-hak yang dimilikinya. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 59 ayat (3) lama. |
||
|
Angka 23 |
||
|
|
|
Perubahan dilakukan terhadap ketentuan Pasal 60 ayat (2) dengan menghapuskan kalimat yang berkaitan dengan kewajiban Pemeriksa Paten menyampaikan "pendapat dan saran kepada orang yang mengajukan permintaan paten termasuk kemungkinan perubahan atau perbaikan yang perlu dilakukannya". Berdasarkan pengalaman, ketentuan tersebut ternyata cenderung tidak mendidik. Dengan perubahan ini maka apabila terdapat ketidakjelasan atau kekurangan lain yang dinilai penting, Kantor Paten cukup memberitahukan agar dapat diperbaiki atau dilengkapi oleh orang yang mengajukan permintaan paten. |
|
Selanjutnya lihat Penjelasan Pasal 60 ayat (1) dan ayat (3) lama. |
||
|
Angka 24 |
||
|
|
|
Selain untuk lebih mendekati pengaturan internasional dalam rangka kerjasama paten, perpanjangan jangka waktu bagi Kantor Paten dalam memberikan keputusan terhadap permintaan paten ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang lebih wajar kepada para Pemeriksa Paten dalam melakukan pemeriksaan substantif agar dapat bekerja secara lebih teliti. Perpanjangan jangka waktu dari 24 (dua puluh empat) bulan menjadi 36 (tiga puluh enam) bulan ini setidaknya dapat mengurangi beban dan tekanan waktu sehingga dapat diperoleh hasil pemeriksaan yang lebih obyektif. |
|
Angka 25 |
||
|
|
|
Perubahan ini juga bersifat penyempurnaan. Sebelum diubah, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten menegaskan bahwa keputusan penolakan permintaan paten berlangsung hanya atas dasar alasan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5. Sementara itu, penolakan sebenarnya juga dapat berlangsung karena tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 39 dan Pasal 60 atau karena melanggar ketentuan mengenai pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 7. Dengan penyempurnaan ini, maka dasar hukum bagi penolakan permintaan paten menjadi lebih jelas dan tegas. |
|
Angka 26 |
||
|
|
|
Penghapusan Pasal 63 ini didasarkan pada pertimbangan bahwa isi ketentuan tersebut telah ditampung dalam Pasal 7 dan ditegaskan dalam perbaikan ketentuan Pasal 62. |
|
Angka 27 |
||
|
|
|
Perbaikan pada ayat (1) dimaksudkan untuk lebih memberikan kesempurnaan bagi tugas Komisi Banding Paten. Dalam ketentuan yang lama, yang ditetapkan adalah batas waktu penyelesaian pemeriksaan banding. Dengan ketentuan baru bukan saja ditentukan saat mulai dilakukannya pemeriksaan, tetapi juga dipertimbangkan adanya kelonggaran agar Komisi Banding Paten dapat menyelesaikan tugasnya secara lebih teliti dan tepat. |
|
|
|
Walaupun dalam Pasal ini tidak ditentukan batas waktu penyelesaian permintaan banding, namun dalam penyelesaian tetap memperhatikan asas peradilan yakni dilakukan secara cepat, sederhana, dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. |
|
Selanjutnya lihat Penjelasan Pasal 71 ayat (2), sampai dengan ayat (4) lama. |
||
|
Angka 28 |
||
|
|
|
Perubahan pada ayat (1) dan ayat (2) dimaksudkan untuk memperjelas ketentuan dalam kaitan perjanjian lisensi. Perjanjian serupa itu pada dasarnya wajib dicatatkan di Kantor Paten dan bukan didaftarkan. Sebab, dari segi administratif, keputusan dapat atau tidaknya perjanjian lisensi tersebut didaftar hanya dapat dilakukan atas dasar mekanisme pendaftaran yang mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Sedangkan kewajiban yang dimaksud dalam Pasal ini adalah mencatatkan perjanjian lisensi tersebut di Kantor Paten. Dengan tercatatnya perjanjian lisensi, maka Kantor Paten dapat melakukan penilaian apakah perjanjian lisensi tersebut memuat hal-hal yang dapat merugikan kepentingan ekonomi nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78. |
|
|
|
Khusus mengenai penambahan ketentuan yang dijadikan ayat (1a) ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan mengenai akibat hukum terhadap pihak ketiga apabila perjanjian lisensi tidak dicatatkan pada Kantor Paten. |
|
Angka 29 |
||
|
|
|
Penambahan ketentuan ayat (2a) baru ini dipandang penting sebab ketentuan Pasal 82 hanya mengatur kesempatan mengajukan permintaan Lisensi Wajib setelah lewatnya jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan. Dengan penyempurnaan ini maka selain tidak dibatasi jangka waktunya, dasar pengajuan permintaan Lisensi Wajib pun dipertegas. Arahnya untuk lebih menjamin prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban Pemegang Paten. Melalui mekanisme ini maka dapat dikurangi ciri negatif yang mungkin melekat pada sifat eksklusifitas paten. |
|
|
|
Adapun yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat diantaranya adalah penyediaan produk secara terbatas semata-mata untuk kepentingan pengendalian pasar atau penentuan harga, sedangkan kesempatan maupun kemampuan untuk memproduksi secara cukup sebenarnya memungkinkan. Walaupun dalam Pasal ini tidak ditentukan batas waktu penyelesaian permintaan banding, namun dalam penyelesaian tetap memperhatikan asas peradilan yakni dilakukan secara cepat, sederhana, dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) lama. |
||
|
Angka 30 |
||
|
|
|
Penambahan ketentuan baru ini dimaksudkan untuk melengkapi bukti bahwa selain kemampuan dan fasilitas yang harus dimiliki, orang yang mengajukan permintaan Lisensi Wajib harus telah melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan lisensi dari Pemegang Paten dan tidak berhasil. Dalam hal demikian hakim dapat memiliki pertimbangan yang cukup dari bukti yang diajukan mengenai dapat atau tidaknya Lisensi Wajib tersebut diberikan. |
|
|
|
Adapun yang dimaksud dengan "waktu yang cukup" adalah tenggang waktu yang memadai yang dapat dipergunakan pemohon dalam usaha untuk mendapatkan lisensi biasa. Sedangkan yang dimaksud dengan mengambil langkah-langkah antara lain mencari alamat Pemegang Paten, menghubungi untuk menyampaikan keinginannya meminta lisensi dan merundingkan syarat-syarat perjanjian lisensi. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 83 lama. |
||
|
Angka 31 |
||
|
|
|
Perubahan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perubahan yang dilakukan terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (2). |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 84 lama. |
||
|
Angka 32 |
||
|
|
|
Penambahan ini dimaksudkan untuk mempertegas prinsip Lisensi Wajib yang harus bersifat non-eksklusif dan penggunaannya bagi kepentingan pasar dalam negeri. Yang terakhir ini berarti tidak boleh diekspor. |
|
|
|
Dengan sifat "non eksklusif berarti Pemegang Paten dapat pula memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan "non eksklusif" adalah Lisensi Wajib dapat diberikan atau diminta secara tidak terbatas. Pemberian Lisensi Wajib kepada seseorang tidak menutup kemungkinan diberikannya Lisensi Wajib yang sama pada pihak lain. |
|
Angka 33 |
||
|
|
|
Penambahan ketentuan ayat (2a) ini dimaksudkan untuk memperjelas adanya kemungkinan bagi Pemegang Paten untuk dapat saling memberikan lisensi dengan Pemegang Paten lainnya guna menghindarkan kemungkinan saling menuntut. Mereka dapat saling memberi lisensi berdasarkan persyaratan yang wajar. |
|
|
|
Sedangkan yang dimaksud dengan "persyaratan yang wajar" antara lain tidak bertentangan dengan kepentingan umum, harga yang terjangkau dan dapat menunjang terlaksananya alih teknologi yang efektif. |
|
|
|
Apabila paten serupa itu dilisensikan, maka Pemegang Lisensi tidak dapat mengalihkan paten yang bersangkutan kecuali bila hal itu dilakukan bersama-sama dengan paten lainnya yang telah ada tadi. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 88 lama. |
||
|
Angka 34 |
||
|
|
|
Penambahan kata "putusan" pada Pasal 89 ayat (3) ini dimaksudkan untuk memperjelas maksud sebenarnya dari ketentuan ini. Artinya, yang diberitahukan oleh Kantor Paten adalah putusan yang telah dicatat dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 89 lama. |
||
|
Angka 35 |
||
|
|
|
Perubahan dalam ayat (1) tersebut dimaksudkan untuk menampung kenyataan yang berlangsung dalam dunia usaha. Masalahnya, ketentuan yang lama yang hanya membatasi pada pewarisan dinilai kurang menjamin terwujudnya tujuan pemberian Lisensi Wajib. Atas dasar itu maka ketentuan pada ayat (1) diperluas. |
|
|
|
Ini berarti, sejauh alasan-alasan untuk minta Lisensi Wajib masih ada, maka adanya kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh Pemegang Lisensi Wajib dalam melaksanakan lisensi yang bersangkutan perlu juga mendapat pertimbangan. Hal ini sering terjadi dalam kegiatan perekonomian. Namun begitu, untuk mencegah adanya penyalahgunaan, pengalihan tersebut disertai syarat bahwa kegiatan usaha atau bagian kegiatan usaha yang menggunakan paten yang diperoleh dengan Lisensi Wajib juga harus dialihkan. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 92 lama. |
||
|
Angka 36 |
||
|
|
|
Perubahan terhadap ketentuan Pasal 94 ini dimaksudkan untuk menata pengaturan mengenai pembatalan paten agar lebih efektif. Sebab, hal yang sebenarnya jelas-jelas diketahui oleh Kantor Paten, ---dan dengan demikian dapat menyatakan batal demi hukum ---, adalah hanya dalam hal yang berkaitan dengan pembayaran biaya tahunan. Selanjutnya, ketentuan persyaratan yang semula diatur dalam ayat (1) huruf a dipindahkan ke Pasal 97 dengan penyempurnaan. Pelaksanaan kewajiban untuk melaksanakan Paten dilakukan dengan tetap memperhatikan Pasal 18. |
|
Angka 37 |
||
|
|
|
Penambahan ketentuan ayat (1) huruf c ini merupakan pemindahan dengan perubahan atas materi ketentuan Pasal 94 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten. |
|
|
|
Pertimbangannya karena pada prinsipnya paten yang tidak dipakai selama jangka
waktu 36 (tiga puluh enam) bulan sejak tanggal pemberiannya sudah terbuka untuk
dimintakan Lisensi Wajib. Jadi, pembatasan selama dua tahun pada ketentuan ini
sudah memadai. Secara prinsip, langkah ini tidak mengubah pemikiran dasar
tentang pertimbangan antara hak dan kewajiban yang melandasi pengaturan dalam
Undang-undang Paten selama ini. |
|
|
|
Adapun yang dimaksud dengan frasa "ternyata tidak mampu mencegah terus berlangsungnya pelaksanaan paten dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat " adalah bahwa walaupun telah diberikan Lisensi Wajib, tetapi pemberian Lisensi Wajib tersebut tidak diikuti pelaksanaannya, sehingga produk tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak terpenuhi dan maksud pemberian Lisensi Wajib tersebut tidak terlaksana. |
|
|
|
Misalnya produk obat, sehingga harga obat tetap mahal karena tetap sedikit yang diproduksi. Selain pertimbangan tersebut di atas, dalam prakteknya Kantor Paten tidak akan dapat memantau dilaksanakan atau tidaknya paten dalam jangka waktu tertentu. Oleh karenanya pembatalan paten karena tidak dilaksanakannya dalam jangka waktu tertentu tersebut mekanismenya dilakukan melalui gugatan ke pengadilan. |
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 97 lama. |
||
|
Angka 38 |
||
|
|
|
Perubahan pada ayat (1) dimaksudkan untuk memperjelas bahwa keadaan yang digambarkan dalam ketentuan yang baru hanya berlangsung apabila paten itu sendiri masih ada. Artinya pada saat dibatalkan, masih ada orang lain yang sebenarnya berhak atas paten yang bersangkutan. Keadaan seperti itu mungkin terjadi apabila terdapat dua Pemegang Paten dimana salah satu diantaranya kemudian secara hukum dinyatakan sebagai yang lebih berhak. Seiring dengan kejelasan yang diberikan dalam ayat (1) maka kelanjutan pembayaran royalti dilakukan dengan Pemegang Paten yang lebih berhak. Demikian pula dalam hal Pemegang Paten yang telah menerima pembayaran royalti secara sekaligus diatur ketentuan baru bagi penyelesaiannya dengan Pemegang Paten yang sebenarnya berhak. |
|
Angka 39 |
||
|
Dalam menilai kebaruan penemuan sederhana ini, Kantor Paten hanya menggunakan referensi dari penemuan-penemuan sederhana yang dilakukan di Indonesia. Unsur kebaruan yang dinilai mencakup pula adanya kemajuan teknologi yang ada pada penemuan yang dimintakan Paten Sederhana tersebut. |
||
|
Penilaian seperti ini harus dibedakan dari penilaian yang dilakukan untuk pemeriksaan adanya langkah penemuan (inventive steps) yang mutlak disyaratkan pada permintaan paten biasa. |
||
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 110 lama. |
||
|
Angka 40 |
||
|
Perubahan pada ayat (2) pada pokoknya menghapus ketentuan tidak dikenakannya biaya tahunan bagi Paten Sederhana. Dengan penghapusan itu maka terhadap Paten Sederhana juga dikenakan kewajiban membayar biaya tahunan. |
||
|
Angka 41 |
||
|
Perubahan dalam ayat (1) adalah berupa penghapusan kalimat "perpanjangan jangka waktu paten". Hal ini merupakan konsekuensi dari ditiadakannya ketentuan mengenai perpanjangan jangka waktu perlindungan yang semula diatur dalam Pasal 42 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten. |
||
|
Selanjutnya lihat pula Penjelasan Pasal 114 lama. |
||
|
Angka 42 |
||
|
Perubahan pada ketentuan ayat (1) dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 94, yaitu dinyatakan batal demi hukum. Sedangkan perubahan ketentuan ayat (2) dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perubahan jangka waktu paten menjadi 20 (dua puluh) tahun. |
||
|
Angka 43 |
||
|
Penambahan ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa Pemegang Paten dapat menggugat terhadap penggunaan penemuan secara tanpa hak yang berlangsung selama proses permintaan paten. |
||
|
Angka 44 |
||
|
Ditambahkannya ketentuan baru ini dimaksudkan untuk mempertegas dasar dan arah bagi pengadilan negeri memutuskan pemberian ganti kerugian atau menolaknya atas dasar bukti-bukti yang terungkap di pengadilan. Apabila orang yang digugat melakukan pelanggaran tidak mengetahui atau memiliki alasan yang kuat untuk tidak mengetahui bahwa ia telah melanggar paten yang dilindungi di Indonesia, maka hakim diberi wewenang untuk menolak tuntutan ganti kerugian tersebut. |
||
|
Ketentuan ini secara terbatas dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada orang yang benar-benar dengan tidak sengaja telah melakukan perbuatan yang sesungguhnya merupakan pelanggaran paten. |
||
|
Angka 45 |
||
|
Ketentuan ini ditambahkan sebagai pemenuhan terhadap Persetujuan TRIPs. Dalam persetujuan tersebut diatur kewajiban mengenai pembuktian terbalik dalam perkara pelanggaran paten untuk proses. |
||
|
Pembuktian terbalik tadi diterapkan mengingat sulitnya penanganan perkara pelanggaran paten untuk proses. Sekalipun demikian, untuk menjaga keseimbangan kepentingan yang wajar di antara para pihak, hakim tetap diberi kewenangan memerintahkan pemilik paten untuk terlebih dahulu menyampaikan bukti salinan surat paten bagi proses yang bersangkutan serta bukti awal yang memperkuat dugaannya tadi. Selain itu hakim juga wajib mempertimbangkan kepentingan pihak yang diduga melakukan pelanggaran untuk memperoleh perlindungan terhadap kerahasiaan proses yang telah diuraikannya dalam rangka pembuktian yang harus dilakukannya di persidangan. |
||
|
Ayat (1) |
||
|
Pengertian proses yang dipatenkan atau paten bagi proses pada dasarnya mengacu pada istilah yang sama yaitu "Paten Proses" atau Process Patent".Yang dimaksud dengan "produk baru" adalah produk yang benar-benar baru dan produk yang sama sebelumnya belum pernah ada. |
||
|
Ayat (2) |
||
|
Cukup jelas |
||
|
Ayat (3) |
||
|
Perlindungan terhadap kerahasiaan tersebut sangat penting mengingat sifat suatu proses yang pada umumnya sangat mudah dimanipulasi atau disempurnakan oleh orang yang memiliki pengetahuan yang umum sifatnya di bidang teknik atau teknologi. |
||
|
Angka 46 |
||
|
Kewenangan hakim untuk memutuskan perampasan barang-barang hasil pelanggaran paten guna dimusnahkan, pada dasarnya dimaksudkan untuk mencegah beredarnya barang-barang tersebut dalam masyarakat. Hal ini penting untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar pada Pemegang Paten. Sesuai dengan ketentuan ini, perampasan dan pemusnahan tersebut dilakukan terhadap barang hasil pelanggaran paten baik yang berada di tangan pelanggar maupun yang ada di bawah kekuasaannya. |
||
|
Angka 47 |
||
|
Perubahan ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan tata cara pelaksanaan tugas serta hubungannya dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, dan Penuntut Umum. Kejelasan ketentuan mengenai penyidikan ini penting bagi aparat penyidik dalam melaksanakan tugas penyidikannya. Untuk itu perlu penegasan bahwa sekalipun Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pembinaan di bidang Paten, diberi wewenang khusus sebagai Penyidik, tetapi hal itu tidak meniadakan fungsi Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sebagai Penyidik Utama. Dalam melaksanakan tugasnya, Penyidik PPNS berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Karenanya selama penyidikan berlangsung Penyidik PPNS perlu berkonsultasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dalam tahapan inilah Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia memberikan petunjuk yang bersifat teknis mengenai bentuk dan isi berita acara dan sekaligus meneliti kebenaran materiil isi berita acara penyidikan tersebut. Setelah penyidikan selesai, hasil penyidikan tersebut diserahkan Penyidik PPNS kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang selanjutnya wajib segera menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum. Hal ini sesuai dengan prinsip yang ditegaskan dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam rangka pemikiran ini, kata "melalui" pada ayat (4) tidak harus diartikan bahwa Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dapat atau perlu melakukan penyidikan ulang. Sebab, secara teknis bimbingan penyidikan ataupun pemberkasan hasil penyidikan pada dasarnya telah diberikan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia pada saat atau selama Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil melaksanakan Penyidikan. Dengan demikian, prinsip kecepatan dan efektifitas seperti yang dikehendaki KUHAP dapat benar-benar terwujud. |
||
|
Pasal II |
||
|
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya jangka waktu perlindungan paten yang berbeda-beda karena adanya perubahan dengan ditetapkannya jangka waktu perlindungan paten menjadi 20 (dua puluh) tahun. Pelaksanaan penyesuaian jangka waktu perlindungan dilakukan pada saat pembayaran biaya tahunan untuk tahun berikutnya setelah tahun berlakunya Undang-undang ini. |
||
|
Pasal III |
||
|
Cukup jelas. |
||
|
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3680 |
||