PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 107 TAHUN 2000
TENTANG
PINJAMAN DAERAH
I. |
UMUM |
|||||
|
Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa Pinjaman Daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. |
|||||
|
Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber sumber penerimaan Daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana Daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu, Daerah dimungkinkan pula melakukan pinjaman dengan tujuan lain, seperti mengatasi masalah jangka pendek yang berkaitan dengan arus kas Daerah. |
|||||
|
Pinjaman Daerah perlu disesuaikan dengan kemampuan Daerah, karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun tahun berikutnya yang cukup berat sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat Daerah dalam mengelola Pinjaman Daerah. |
|||||
|
Untuk meningkatkan kemampuan objektif dan disiplin Pemerintah Daerah melaksanakan pengembalian pinjaman, maka diperlukan kecermatan dan kehati hatian dalam pengelolaan Pinjaman Daerah. Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengatur lebih lanjut hal hal yang menyangkut Pinjaman Daerah, dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinambungan perekonomian nasional. |
|||||
II. |
PASAL DEMI PASAL |
|||||
|
Pasal 1 |
|||||
|
|
Cukup jelas |
||||
|
Pasal 2 |
|||||
Ayat (1) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Ayat (2) |
||||||
Huruf a |
||||||
|
|
|
|
Ketentuan ketentuan mengenai pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat seperti jenis, jangka waktu pinjaman, masa tenggang, tingkat bunga, cara penghitungan dan cara pembayaran bunga, pengadministrasian dan penyaluran dana pinjaman, ditetapkan oleh Menteri Keuangan. |
||
Huruf b |
||||||
|
|
|
|
Pelaksanaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Lembaga Keuangan Bank mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. |
||
Huruf c |
||||||
|
|
|
|
Pelaksanaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Lembaga Keuangan Bukan Bank mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. |
||
Huruf d |
||||||
Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat antara lain melalui penerbitan Obligasi Daerah. |
||||||
|
|
|
|
Pelaksanaan penerbitan dan pembayaran kembali Obligasi Daerah mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. |
||
Huruf e |
||||||
|
|
|
|
Yang dimaksud "Sumber Lainnya" adalah Pinjaman Daerah selain sumber tersebut di atas, misalnya Pinjaman Daerah dari Pemerintah Daerah lain. |
||
Ayat (3) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Pasal 3 |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Pasal 4 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "menghasilkan penerimaan" adalah hasil penerimaan yang berkaitan dengan pembangunan prasarana yang dibiayai dari pinjaman jangka panjang tersebut, baik yang langsung dan atau yang tidak langsung. |
|||
Ayat (2) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Pasal 5 |
||||||
Pinjaman Jangka Pendek dapat digunakan untuk : |
||||||
a. |
membantu kelancaran arus kas untuk keperluan jangka pendek; |
|||||
|
|
b. |
dana talangan tahap awal suatu investasi yang akan dibiayai dengan Pinjaman Jangka Panjang, setelah ada kepastian tentang tersedianya Pinjaman Jangka Panjang yang bersangkutan. |
|||
Pasal 6 |
||||||
|
|
Ketentuan ini bertujuan memberikan pedoman kepada Daerah agar dalam menentukan jumlah Pinjaman Jangka Panjang perlu memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi semua kewajiban Daerah atas Pinjaman Daerah. |
||||
Huruf a |
||||||
|
|
|
|
Ketentuan ini merupakan batas paling tinggi jumlah Pinjaman Daerah yang dianggap layak menjadi beban APBD. |
||
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan jumlah kumulatif pokok Pinjaman Daerah yang wajib dibayar" adalah jumlah pokok pinjaman lama yang belum dibayar (termasuk akumulasi bunga yang sudah dikapitalisasi), ditambah dengan jumlah pokok pinjaman yang akan diterima dalam tahun tersebut. |
||
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "Penerimaan Umum APBD" adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu, atau : |
||
PU |
= |
PD (DAK+DD+DP+PL) |
||||
PU |
= |
Penerimaan Umum APBD; |
||||
PD |
= |
Jumlah Penerimaan Daerah; |
||||
DAK |
= |
Dana Alokasi Khusus; |
||||
DD |
= |
Dana Darurat; |
||||
DP |
= |
Dana Pinjaman; |
||||
PL |
= |
Penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu; |
||||
Huruf b |
||||||
|
|
|
|
Debt Service Coverage Ratio (DSCR) adalah perbandingan antara penjumlahan Pendapatan Asli Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan penerimaan sumber daya alam, dan bagian Daerah lainnya seperti Pajak Penghasilan perseorangan, serta Dana Alokasi Umum, setelah dikurangi Belanja Wajib, dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga, dan biaya pinjaman lainnya yang jatuh tempo. |
||
Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut : |
||||||
DSCR |
= |
(PAD + BD + DAU - BW) - 2,5 |
||||
P+B+BL |
||||||
DSCR |
= |
Debt Service Coverage Ratio; |
||||
PAD |
= |
Pendapatan Asli Daerah; |
||||
|
|
|
|
BD |
= |
Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan sumber daya alam, serta bagian Daerah lainnya seperti dari Pajak Penghasilan perseorangan; |
DAU |
= |
Dana Alokasi Umum; |
||||
|
|
|
|
BW |
= |
Belanja Wajib, yaitu belanja yang harus dipenuhi/tidak bisa dihindarkan dalam tahun anggaran yang bersangkutan oleh Pemerintah Daerah seperti belanja pegawai; |
P |
= |
angsuran pokok pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan; |
||||
B |
= |
bunga pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan; |
||||
BL |
= |
biaya lainnya (biaya komitmen, biaya bank, dan lain lain) yang jatuh tempo. |
||||
|
|
|
|
Untuk dapat memperoleh Pinjaman Jangka Panjang, kedua persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b harus dipenuhi oleh Daerah. |
||
Pasal 7 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Ayat (2) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Ayat (3) |
||||||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "tahun anggaran yang berjalan" adalah tahun anggaran saat Daerah melakukan Pinjaman Jangka Pendek. |
|||
|
|
|
Ketentuan ayat ini juga mengandung arti bahwa Pinjaman Jangka Pendek tidak diperkenankan dilakukan untuk membiayai defisit kas pada akhir tahun anggaran. |
|||
Pasal 8 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
|
|
|
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga agar kumulatif jumlah pinjaman semua Daerah tidak melampaui batas batas yang dianggap masih aman bagi perekonomian nasional. Batas batas tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan. |
|||
Ayat (2) |
||||||
|
|
|
Pertimbangan kepentingan nasional antara lain bila terjadi keadaan moneter nasional yang menunjukkan perlunya melakukan pengendalian yang lebih ketat atas jumlah Pinjaman Daerah. |
|||
Pasal 9 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
|
|
|
Batas jangka waktu pinjaman disesuaikan dengan umur ekonomis aset yang bersangkutan, dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. |
|||
Ayat (2) |
||||||
|
|
|
Masa Tenggang adalah suatu masa pada awal jangka waktu pinjaman, yang dapat ditetapkan dalam perjanjian pinjaman sehingga dalam masa tersebut peminjam tidak membayar angsuran pengembalian pokok pinjaman. |
|||
|
|
|
Penentuan Masa Tenggang hanya ditetapkan jika benar benar diperlukan dan masa tersebut tidak melebihi masa pengadaan harta atau masa konstruksi proyek yang bersangkutan, paling lama 5 (lima) tahun. |
|||
Hal ini dimaksudkan antara lain untuk menghindarkan beban biaya pinjaman yang lebih besar. |
||||||
Ayat (3) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Ayat (4) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Ayat (5) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Pasal 10 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penjaminan terhadap pinjaman pihak lain" adalah penjaminan Daerah terhadap antara lain pinjaman Badan Usaha Milik Daerah dan atau pinjaman pihak swasta dalam rangka pelaksanaan proyek Daerah. |
|||
Ayat (2) |
||||||
|
|
|
Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum antara lain rumah sakit, sekolah dan pasar. |
|||
Ayat (3) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Pasal 11 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
Pinjaman Jangka Pendek untuk membantu kelancaran arus kas dikecualikan dari ketentuan ayat ini. |
||||||
|
|
|
Persetujuan DPRD terhadap usulan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan pinjaman dilakukan secara seksama dengan mempertimbangkan, antara lain kemampuan Daerah untuk membayar, batas maksimum pinjaman, penggunaan dana pinjaman, angsuran pokok pinjaman, jangka waktu pinjaman, Masa Tenggang pengembalian pokok pinjaman, dan tingkat bunga. |
|||
Ayat (2) |
||||||
|
|
|
Dalam hal pinjaman bersumber dari luar negeri, yang dimaksud dengan "pemberi pinjaman" adalah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
|||
Ayat (3) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Ayat (4) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Ayat (5) |
||||||
|
|
|
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan dan pertanggungjawaban yang jelas kepada masyarakat tentang kewajiban pinjaman tersebut. |
|||
Pasal 12 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "dokumen dokumen lain" adalah dokumen dokumen yang antara lain mencantumkan perhitungan tentang kemampuan Daerah dalam memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman. |
|||
Ayat (2) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Pasal 13 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "dilakukan melalui Pemerintah Pusat" adalah Menteri Keuangan memberikan persetujuan atas sumber, penggunaan, jumlah dana, dan persyaratan tiap tiap Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri yang bersangkutan serta mengatur tentang tata cara penyediaan, penyaluran, dan pengembalian dana pinjaman tersebut. |
|||
Ayat (2) |
||||||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "dokumen dokumen lain" adalah dokumen dokumen yang antara lain mencanturnkan perhitungan tentang kemampuan daerah dalam memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman. |
|||
Ayat (3) |
||||||
|
|
|
Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dan instansi terkait melakukan evaluasi atas usulan tiap tiap pinjaman yang diajukan Daerah. |
|||
|
|
|
Evaluasi tersebut antara lain meliputi kesesuaian jenis proyek yang akan dibiayai dengan penggunaan dana pinjaman, dan kemampuan keuangan Daerah dalam melakukan pinjaman serta kemampuan keuangan Daerah untuk membayar kembali pinjaman tersebut. |
|||
|
|
|
Selanjutnya, Menteri Keuangan menyampaikan hasil evaluasi mengenai pengajuan tiap tiap pinjaman luar negeri kepada Daerah yang bersangkutan. Penyampaian hasil evaluasi tersebut dapat berisi memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan terhadap usul pinjaman tersebut. |
|||
Ayat (4) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Ayat (5) |
||||||
|
|
|
Dengan ketentuan ini, maka Daerah tidak dapat melakukan Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri apabila tidak memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah Pusat. |
|||
Ayat (6) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Pasal 14 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
|
|
|
Kewajiban atas pinjaman yang jatuh tempo meliputi seluruh angsuran pokok pinjaman ditambah dengan biaya pinjaman seperti bunga pinjaman, biaya bank, dan biaya komitmen. |
|||
|
|
|
Dengan menempatkan kewajiban Daerah atas Pinjaman Daerah sebagai salah satu prioritas dan dianggarkan dalam pengeluaran APBD, maka pemenuhan kewajiban tersebut dimaksudkan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pengeluaran lain yang harus diprioritaskan Daerah, misalnya pengeluaran yang apabila tidak dilakukan dapat menimbulkan kerawanan sosial. |
|||
|
|
|
Dengan demikian pemenuhan kewajiban atas Pinjaman Daerah tidak dapat dikesampingkan apabila target penerimaan APBD tidak tercapai. |
|||
Ayat (2) |
||||||
|
|
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyaluran dan pembayaran kembali Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri ditetapkan oleh Menten Keuangan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. |
|||
Ayat (3) |
||||||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah" adalah tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran angsuran pokok dan biaya pinjaman seperti bunga pinjaman, biaya bank, dan biaya komitmen sesuai dengan jadwal waktu dan jumlah yang telah ditetapkan dalam perjanjian pinjaman. |
|||
|
|
|
Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1), semua kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah adalah menjadi tanggung jawab Daerah. Pemerintah Pusat tidak menanggung pembayaran kembali pinjaman yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab Daerah. |
|||
Ayat (4) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Pasal 15 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
|
|
|
Dalam hal belum ada standar akuntansi keuangan Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Daerah melakukan pembukuan dalam rangka Pinjaman Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
|||
Ayat (2) |
||||||
|
|
|
Lampiran tersebut merupakan bagian dari dokumen APBD sehingga menjadi dokumen yang dapat diperoleh masyarakat. |
|||
Ayat (3) |
||||||
|
|
|
Laporan Kepala Daerah kepada DPRD yang dimaksud dalam ayat ini dilakukan dalam rangka laporan pertanggungjawaban keuangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
|||
Pasal 16 |
||||||
Ayat (1) |
||||||
Cukup jelas |
||||||
Ayat (2) |
||||||
Kesepakatan yang dimaksud pada ayat ini dilakukan atas persetujuan DPRD. |
||||||
Pasal 17 |
||||||
Cukup jelas |
||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4024 |