|
|
|
|
Huruf h
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pada dasarnya imbalan berupa royalti
terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1)
|
hak atas harta tak berwujud, misalnya
hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
|
|
|
|
|
|
|
|
2)
|
hak atas harta berwujud, misalnya hak
atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud
dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap
peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan
yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran
minyak (drilling rig), dan sebagainya;
|
|
|
|
|
|
|
|
3)
|
informasi, yaitu informasi yang belum
diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman
di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud
adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak
perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak
termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan
oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan
bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai
latar belakang disiplin ilmu yang sama.
|
|
|
|
|
Huruf i
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan
yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil,
sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf j
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penerimaan berupa pembayaran berkala,
misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar
secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf k
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang
dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan
bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun demikian,
dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur
kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha
Tani (KUT), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil
lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai Objek Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf l
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Keuntungan karena selisih kurs dapat
disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan Pemerintah
di bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs
mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang
dianut oleh Wajib Pajak dengan syarat dilakukan secara taat asas.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf m
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Selisih lebih karena penilaian kembali
aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf n
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam pengertian premi asuransi termasuk
premi reasuransi.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf o
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf p
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya
merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang
bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya
tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan
pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut
merupakan penghasilan.
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sesuai dengan ketentuan
dalam ayat (1), penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan
dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta penghasilan
tertentu lainnya merupakan Objek Pajak. Tabungan masyarakat yang
disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber dana bagi
pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri
dalam pengenaan pajaknya.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari
diberikannya perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan
dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya
serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut
juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan
pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan,
serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena
itu pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan
tersebut diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam
pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik
bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak
Penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (3)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf a
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bantuan atau sumbangan
bagi pihak yang menerima bukan merupakan Objek Pajak sepanjang diterima
tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan,
atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak diperlakukan
sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan zakat adalah
zakat sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi
dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis
barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan
sumbangan bahan baku kepada PT A, maka sumbangan bahan baku yang diterima
oleh PT A merupakan Objek Pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima
bukan merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak
dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau
hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf b
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf c
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran
tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi
badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang
diterima tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf d
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk
uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula
dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan seperti penggunaan
mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan lain sebagainya, bukan merupakan
Objek Pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa
natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus deemed profit,
maka imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan
bagi yang menerima atau memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia
menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai
tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan
diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan
tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan
diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf e
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penggantian atau santunan yang diterima
oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar
oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan
dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf f
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Berdasarkan ketentuan ini,
dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima
atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,
dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaannya
pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia,
dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), dan penerima
dividen tersebut memperoleh penghasilan dari usaha riil di luar penghasilan
yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk Objek Pajak. Yang
dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dalam
ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah,
bank pembangunan daerah, dan Pertamina.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima
dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut
di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma,
perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, maka
penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan Objek
Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf g
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan
ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat
pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah
iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun
yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana
pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan
kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut
berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran
tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf h
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sebagaimana tersebut dalam
huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya
berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari
Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah
penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman
modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana
untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga
penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak
bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan
bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf i
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Untuk kepentingan pengenaan pajak,
badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan
para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat
badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota
badan tersebut bukan lagi merupakan Objek Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf j
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Perusahaan reksadana adalah
perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi kembali,
atau jual beli sekuritas. Bagi pemodal khususnya pemodal kecil, perusahaan
reksadana merupakan salah satu pilihan yang aman untuk menanamkan modalnya.
Dalam rangka mendorong tumbuhnya perusahaan
reksadana, maka bunga obligasi yang diterima oleh perusahaan reksadana
dikecualikan sebagai Objek Pajak selama lima tahun pertama sejak perusahaan
reksadana tersebut didirikan atau sejak diperolehnya izin usaha.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf k
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Perusahaan modal ventura
adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai
pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu
tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh
dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai Objek Pajak, dengan
syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah,
atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor
tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut
tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal
ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf f,
maka dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan
merupakan Objek Pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura
dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas
untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, maka
usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh
Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura
merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan
modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada
perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
|
|
|
|
|
Angka 4
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (1)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Beban-beban yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan,
yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban
yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya
pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga,
biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan
melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Disamping itu apabila dalam
suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih
kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Huruf a
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Biaya-biaya yang dimaksud
dalam ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada
tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran
tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan
Objek Pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah
mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto
yang terdiri dari:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
penghasilan yang bukan merupakan Objek
Pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h sebesar Rp
100.000.000,00
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
penghasilan bruto lainnya sebesar Rp
300.000.000,00
Jumlal penghasilan bruto Rp
400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar
Rp 200.000.000,00, maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp 200.000.000,00
= Rp 150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang
dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang
dividen yang diterimanya tidak merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan
tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada
hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham,
pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi
peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi
kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan,
namun bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan
pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan
dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau
kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan. Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura
atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai
dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian apabila pengeluaran
yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa,
maka jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal
9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan
dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel dan Restoran, dapat dibebankan
sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi,
perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi
dengan biaya yang pada hakekatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
|
|
|
|
|
|
|
Huruf b
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengeluaran-pengeluaran
untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya
dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9
ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan
pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus,
pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf c
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan
iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau
belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf d
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kerugian karena penjualan
atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk
dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau
yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan
harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang
dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan ruto.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf e
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kerugian karena selisih
kurs mata uang asing dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadi
sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter.
Kerugian selisih kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs,
pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus
dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan
berdasarkan kurs tetap (kurs historis), pembebanan kerugian selisih kurs
dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing
tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan
kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir
tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs
tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.
Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan
Pemerintah di bidang moneter dapat dibukukan dalam perkiraan sementara
di neraca dan pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi mata
uang asing tersebut.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf f
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi
atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai
biaya perusahaan.
|
|
|
|
|
Huruf g
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
beasiswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber
daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan
kewajaran dan kepentingan perusahaan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf h
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak
telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah
melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak
hanya berarti penerbitan berskala nasional, namun dapat juga penerbitan
internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang
ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Jika pengeluaran-pengeluaran
yang diperkenankan berdasarkan ketentuan dalam ayat (1) setelah dikurangkan
dari penghasilan bruto didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut
dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh :
PT A dalam tahun 1995 menderita kerugian
fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba
rugi fiskal PT A sebagai berikut :
1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
1998 : laba fiskal Rp N I H I L
1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai
berikut :
Rugi fiskal tahun 1995 (Rp
1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1996 Rp
200.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1997 (Rp
300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1998 Rp
N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1999
Rp 100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2000 Rp
800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp
100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00
yang masih tersisa pada akhir tahun 2000 tidak boleh dikompensasikan lagi
dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi fiskal tahun 1997 sebesar Rp 300.000.000,00 hanya boleh
dikompensasikan
dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka waktu lima
tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002.
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (3)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam menghitung Laba Kena Pajak Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7.
|
|
|
|
|
|
Angka 5
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (1)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan
netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Disamping
untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan
Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima
atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib
Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang
isteri sebesar Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu
rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga
sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak angkat, diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk
paling banyak 3 (tiga) orang. Yang
dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah
anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya
ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri
dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan
dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21
dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota
keluarga lainnya, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan
kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 8.640.000,00 {Rp 2.880.000,00
+ Rp 1.440.000,00 + (3 x Rp 1.440.000,00)}. Sedangkan untuk isterinya,
pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 2.880.000,00. Apabila penghasilan
isteri harus digabung dengan penghasilan suami, maka besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp
11.520.000,00 (Rp 8.640.000,00 + Rp 2.880.000,00).
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penghitungan besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan menurut
keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2001
Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila
anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2001, maka besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak
2001 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (3)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan
diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan mempertimbangkan perkembangan
ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
|
|
|
|
|
|
Angka 6
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (1)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengeluaran-pengeluaran
yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh
dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun
pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran
yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran
yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi
kewajaran.
Huruf a
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pembagian laba dengan nama dan dalam
bentuk apapun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian
sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan
bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan
Undang-undang ini.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf b |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau
dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu
atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya
premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para
pemegang saham atau keluarganya. |
|
|
|
|
|
|
|
Huruf c |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh
perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota,
seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi
yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham
atau keluarganya.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf d
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Premi untuk asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian
atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar
atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran
tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan
merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf e
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sebagaimana telah diuraikan
dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras
dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan
dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai
biaya bagi pemberi kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah
untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil, berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut,
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.
Dalam hal pemberian kepada pegawai berupa
penyediaan makanan/ minuman ditempat kerja bagi seluruh pegawai, secara
bersama-sama, atau yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya,
seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam
petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk
awak kapal dan yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan merupakan
imbalan bagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi
kerja.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf f
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam hubungan pekerjaan,
kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai
yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha,
maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah
pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut
dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) .
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan
oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp 2.000.000,00
(dua juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai
pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
dimaksud dianggap sebagai dividen.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf g
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Berbeda dengan pengeluaran hibah, pemberian
bantuan, sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf a dan huruf b, yang tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan
Kena Pajak, zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena
Pajak. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan tersebut harus nyata-nyata
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau
Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, dan sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi
Objek Pajak dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak pada tahun zakat tersebut dibayarkan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf h
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan
dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf i
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan
penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena
itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf j
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Anggota firma, persekutuan dan perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai
satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian
gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
|
|
|
|
|
Huruf k
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran
yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya
dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan
terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran
dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus
pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi
selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
|
|
|
|
|
|
Angka 7
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (1) dan ayat (2)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengeluaran untuk memperoleh
harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus
dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta
tersebut melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah
hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha dan
hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah
tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan
dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk
memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng,
perusahaan keramik atau perusahaan batu bata.
Yang dimaksud dengan pengeluaran untuk
memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama
kali adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna
usaha atau hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut
dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya. Sedangkan biaya perpanjangan
hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai diamortisasikan selama
jangka waktu hak-hak tersebut.
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan
ketentuan ini adalah:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
dalam bagian-bagian yang sama besar
selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus
atau straight-line method); atau
|
|
|
|
|
b.
|
dalam bagian-bagian yang menurun dengan
cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun
atau declining balance method).
|
|
|
|
|
|
|
|
Penggunaan metode penyusutan
atas harta harus dilakukan secara taat azas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan
hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain
bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan
metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan
sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak,
alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan
dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya
Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya
setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 ¸
20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan
pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00.
Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan
misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya
adalah sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tahun
|
Tarif
|
Penyusutan
|
Nilai Sisa
Buku
|
|
Harga Perolehan
|
|
|
|
|
2000
|
50 %
|
75.000.000,00
|
75.000.000,00
|
|
2001
|
50 %
|
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
|
2002
|
50 %
|
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
|
2003
|
Disusutkan
Sekaligus
|
18.750.000,00
|
0
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (3) dan ayat (4)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penyusutan dimulai pada
bulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu
harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.
Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan
dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai
menghasilkan.
Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan
dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan
dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh 1.
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah
gedung adalah sebesar Rp 100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan
Oktober 2000 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2001. Penyusutan
atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret
tahun pajak 2001.
Contoh 2.
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan
pada bulan Juli 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 100.000.000,00.
Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan
misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya
adalah sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tahun
|
Tarif
|
Penyusutan
|
Nilai Sisa
Buku
|
|
Harga Perolehan
|
100.000.000,00
|
|
|
|
2000
|
1/2 X 50 %
|
25.000.000,00
|
75.000.000,00
|
|
2001
|
50 %
|
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
|
2002
|
50 %
|
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
|
2003
|
50 %
|
9.375.000,00
|
9.375.000,00
|
|
2004
|
Disusutkan
Sekaligus
|
9.375.000,00
|
0
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Contoh 3.
PT X yang bergerak di bidang perkebunan
membeli traktor pada tahun 1999. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan
(panen) pada tahun 2000. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan
traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2000.
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (5)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (6)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Untuk memberikan kepastian
hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta
berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif
penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Yang dimaksud dengan bangunan tidak
permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan
yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang
masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau
asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (7)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik
bidang-bidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi,
perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk peyusutan
harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (8) dan ayat (9)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pada dasarnya keuntungan
atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya
pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau
terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih
antara harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan
tersebut dan atau penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan
pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi,
dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (10)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam hal penggantian asuransi
yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian,
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak
agar Jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian
asuransi tersebut.
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang
mengalihkan.
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (11)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam rangka memberikan keseragaman
kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi
wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok
masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.
|
|
|
|
|
|
Angka 8
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 A
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (1)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Harga perolehan harta tak berwujud
dan pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah (seperti
hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai) yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
dalam bagian-bagian yang sama setiap
tahun selama masa manfaat, atau;
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
dalam bagian-bagian yang menurun setiap
tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
|
|
|
|
|
|
|
|
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud
yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa
buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi
atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman
bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan
amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud.
Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud
yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada,
maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta
tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan
kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal
masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut
diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (3)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (4)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Metode satuan produksi
dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi yang besarnya setiap
tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan
minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah
seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang
sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat
sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas
sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak
yang bersangkutan.
|
|
|
|
Ayat (5)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengeluaran untuk memperoleh
hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau
hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan
metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen)
setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan
hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar
Rp 500.000.000,00 diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi
yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun
pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang
berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, maka walaupun
jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari
jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua
puluh persen) dari pengeluaran atau Rp 100.000.000,00.
|
|
|
|
Ayat (6)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan
sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum
operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan
tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti
gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya.
Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi
tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
|
|
|
|
Ayat (7)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh
hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000,00.
Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000
(dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000
(seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak
lain dengan harga sebesar Rp 300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan
kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan Rp 500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan
100.000.000/200.000.000 barel (50%)
Rp 250.000.000,00
Nilai buku harta Rp 250.000.000,00
Harga jual harta Rp 300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku
sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar
Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.
|
|
|
|
Ayat (8)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
Angka 9
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Informasi yang benar dan
lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan
pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.
Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud,
Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidak
semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan
dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak
orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan
jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung
besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
|
|
|
|
|
Norma penghitungan adalah pedoman untuk
menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak dan disempurnakan terus menerus. Penggunaan Norma penghitungan tersebut
pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
|
|
|
|
|
a.
|
tidak terdapat dasar penghitungan yang
lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
|
|
|
|
|
|
|
|
b.
|
pembukuan atau catatan peredaran bruto
Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
|
|
|
|
|
|
|
|
Norma penghitungan disusun
sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan
memperhatikan kewajaran.
Norma penghitungan akan sangat membantu
Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung
penghasilan neto.
|
|
|
|
Ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Norma Penghitungan Penghasilan
Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran
brutonya kurang dari jumlah Rp 600.000.000,00. Untuk dapat menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut Wajib Pajak orang pribadi
harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak
orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut
wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana
diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam
menghitung penghasilan neto.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang
berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka
waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan.
|
|
|
|
Ayat (5)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan
pembukuan dan atau wajib menyelenggarakan pencatatan dan atau dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi :
|
|
|
|
|
a.
|
tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
kewajiban pencatatan atau pembukuan;
|
|
|
|
|
b.
|
tidak bersedia memperlihatkan pembukuan
atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan;
|
|
|
|
|
sehingga karena itu mengakibatkan peredaran
bruto yang sebenarnya tidak diketahui, maka penghasilan netonya dapat dihitung
dengan cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
|
|
|
Ayat (6)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Cukup jelas
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (7)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan
besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan
memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak
untuk menyelenggarakan pembukuan.
|
|
Angka 10Pasal 17Ayat (1)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (1)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf a
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Contoh penghitungan pajak
terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
5% X Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
25% x Rp100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
35% x Rp 50.000.000,00 = Rp 17.500.000,00
(+)
Rp 53.750.000,00
|
|
|
|
|
|
|
|
Huruf b
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Contoh penghitungan pajak
terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp 150.000.000,00 = Rp 45.000.000,00
(+)
Rp 57.500.000,00
|
|
|
|
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud
dalam ayat ini akan diberlakukan secara nasional, dimulai per 1 (satu)
Januari dan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif baru
itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
|
|
|
|
Ayat (3)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor
penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang
mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.
|
|
|
|
Ayat (4)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00
untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
|
|
|
|
|
Ayat (5) dan ayat (6)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Contoh
Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)) Rp 34.816.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 9.816.000,00 = Rp 981.600,00
(+)
Rp 2.231.600,00
Pajak Penghasilan terutang dalam bagian
tahun pajak (3 bulan)
(3x30) ¸
360 x Rp 2.231.600,00 = Rp 557.900,00
|
|
|
|
Ayat (7)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ketentuan dalam ayat ini memberi wewenang
kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat
final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana
diatur dalam ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan
atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan
pajak.
|