PENJELASAN
ATAS
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1O TAHUN 2004
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
I. UMUM
I. |
Sebagai negara yang mendasarkan pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan peraturan perundang undangan. Tertib Pembentukan Peraturan Perundang undangan harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya. Untuk membentuk peraturan perundang undangan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya. Selama ini terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan Pembentukan Peraturan Perundang undangan termasuk teknik penyusunan Peraturan Perundang undangan, diatur secara tumpang tindih baik peraturan yang berasal dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka, yaitu: |
||||
1. |
Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, yang disingkat AB (Stb. 1847 : 23) yang mengatur ketentuan ketentuan umum peraturan perundang undangan. Sepanjang mengenai Pembentukan Peraturan Perundang undangan, ketentuan AB tersebut tidak lagi berlaku secara utuh karena telah diatur dalam peraturan perundang undangan nasional. |
||||
2. |
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis ,dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Undang Undang ini merupakan Undang Undang dari Negara Bagian Republik Indonesia Yogyakarta. |
||||
3. |
Undang Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang Undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang Undang Federal. |
||||
4. |
Selain Undang Undang tersebut, terdapat pula ketentuan: |
||||
|
a. |
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai Berlakunya Undang Undang dan Peraturan Pemerintah; |
|||
|
b. |
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234 Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran Negara dari Departemen Kehakiman ke Sekretariat Negara; |
|||
|
c. |
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia; |
|||
|
d. |
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang Undang; |
|||
|
e. |
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang undangan dan Bentuk Rancangan Undang Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden. |
|||
5. |
Di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah, berlaku peraturan tata tertib yang mengatur antara lain mengenai tata cara pembahasan rancangan undang undang dan rancangan peraturan daerah serta pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang undang dan peraturan daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat atau dewan perwakilan rakyat daerah |
||||
Dengan adanya perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 20 ayat (1) yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang undang, maka berbagai Peraturan Perundang undangan tersebut di atas sudah tidak sesuai lagi. Dengan demikian diperlukan Undang Undang yang mengatur mengenai Pembentukan Peraturan perundang undangan, sebagai landasan yuridis dalam membentuk Peraturan Perundang undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan Peraturan Perundang undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan, maupun partisipasi masyarakat. Undang Undang ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang undangan, serta untuk memenuhi perintah Pasal 22A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang undangan. Namun Undang Undang ini hanya mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan yang meliputi Undang Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sedangkan mengenai pembentukan Undang Undang Dasar tidak diatur dalam Undang Undang ini. Hal ini karena tidak termasuk kompetensi pembentuk Undang Undang ke bawah. Dalam Undang Undang ini, pada
tahap perencanaan diatur mengenai Program Legislasi Nasional dan Program
Legislasi Daerah dalam rangka penyusunan peraturan perundang undangan secara
terencana, bertahap, terarah, dan terpadu. |
|||||
II. |
PASAL DEMI PASAL |
||||
Pasal 1 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 2 | |||||
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah
sesuai dengan Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai nilai
yang terkandung dalam Pancasila. |
|||||
Pasal 3 | |||||
Ayat (1) | |||||
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum
dasar negara merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang
undangan di bawah Undang Undang Dasar. |
|||||
Ayat (2) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (3) | |||||
Ketentuan ini menyatakan bahwa Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlaku sejak ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. | |||||
Pasal 4 | |||||
Yang diatur lebih lanjut dalam Undang Undang ini hanya Undang Undang ke
bawah, mengingat Undang Undang Dasar tidak termasuk kompetensi pembentuk
Undang Undang. |
|||||
Pasal 5 | |||||
Huruf a | |||||
Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. | |||||
Huruf b | |||||
Yang dimaksud dengan asas "kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat" adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang undangan yang berwenang. Peraturan Perundang undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. | |||||
Huruf c | |||||
Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang undangan harus benar benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang undangannya. | |||||
Huruf d | |||||
Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. | |||||
Huruf e | |||||
Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang undangan dibuat karena memang benar benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. | |||||
Huruf f | |||||
Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. | |||||
Huruf g | |||||
Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses
Pembentukan Peraturan Perundang undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang undangan. |
|||||
Pasal 6 | |||||
Ayat (1) | |||||
Huruf a | |||||
Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. | |||||
Huruf b | |||||
Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. | |||||
Huruf c | |||||
Yang dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. | |||||
Huruf d | |||||
Yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. | |||||
Huruf e | |||||
Yang dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. | |||||
Huruf f | |||||
Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. | |||||
Huruf g | |||||
Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang undangan'. harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. | |||||
Huruf h | |||||
Yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang undangan tidak boleh berisi hal hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. | |||||
Huruf i | |||||
Yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. | |||||
Huruf j | |||||
Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. | |||||
Ayat (2) | |||||
Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang undangan yang bersangkutan", antara lain : |
|||||
a. | dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; | ||||
b. |
dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik. |
||||
Pasal 7 | |||||
Ayat (1) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (2) | |||||
Huruf a | |||||
Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua. | |||||
Huruf b | |||||
Huruf c | |||||
Cukup jelas. | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (3) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (4) | |||||
Jenis Peraturan Perundang undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang undang atau pemerintah atas perintah undang undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. | |||||
Ayat (5) | |||||
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi. | |||||
Pasal 8 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 9 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 10 | |||||
Yang dimaksud dengan "sebagaimana mestinya" adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang Undang yang bersangkutan. | |||||
Pasal 11 | |||||
Sesuai dengan kedudukan Presiden menurut Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh
Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari
Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang Undang atau Peraturan Pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. |
|||||
Pasal 12 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 13 | |||||
Yang dimaksud dengan "yang setingkat" dalam ketentuan ini adalah nama lain dari pemerintahan tingkat desa. | |||||
Pasal 14 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 15 | |||||
Agar dalam Pembentukan Peraturan Perundang undangan dapat dilaksanakan
secara berencana, maka Pembentukan Peraturan Perundang undangan perlu
dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional. Dalam Program Legislasi
Nasional tersebut ditetapkan skala prioritas sesuai dengan perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat. Untuk maksud tersebut, maka dalam Program
Legislasi Nasional memuat program legislasi jangka panjang, menengah, atau
tahunan. Program Legislasi Nasional hanya memuat program penyusunan
Peraturan Perundang undangan tingkat pusat. Dalam penyusunan program
tersebut perlu ditetapkan pokok materi yang hendak diatur serta kaitannya
dengan Peraturan Perundang undangan lainnya. Oleh karena itu, penyusunan
Program Legislasi Nasional disusun secara terkoordinasi, terarah, dan
terpadu yang disusun bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Untuk perencanaan Pembentukan Peraturan Perundang undangan daerah dilakukan berdasarkan Program Legislasi Daerah. Di samping memperhatikan hal di atas, Program Legislasi Daerah dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Perundang undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. |
|||||
Pasal 16 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 17 | |||||
Ayat (1) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (2) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (3) | |||||
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional. | |||||
Pasal 20 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 21 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 22 | |||||
Maksud "penyebarluasan" dalam ketentuan ini adalah agar khalayak ramai
mengetahui adanya rancangan undang undang yang sedang dibahas di Dewan
Perwakilan Rakyat guna memberikan masukan atas materi yang sedang dibahas. Penyebarluasan dilakukan baik melalui media elektronik seperti televisi, radio, internet, maupun media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran. |
|||||
Pasal 23 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 24 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 25 | |||||
Ayat (1) | |||||
Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses. | |||||
Ayat (2) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (3) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (4) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 26 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 27 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 26 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 28 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 29 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 30 | |||||
Sebagaimana rancangan undang undang, rancangan peraturan daerah juga disebarluaskan, misalnya melalui Televisi Republik Indonesia, Radio Republik Indonesia, internet, media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran di daerah yang bersangkutan, sehingga khalayak ramai mengetahui adanya rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas di dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan masukan atas materi rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas tersebut. | |||||
Pasal 31 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 32 | |||||
Ketentuan mengenai tingkat pembahasan rancangan undang undang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal ini berlaku juga terhadap pembahasan rancangan undang
undang: |
|||||
a. | usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat; | ||||
b. | ratifikasi; | ||||
c. | penetapan peraturan pemerintah pengganti undang undang; | ||||
d. | penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara serta nota keuangan; | ||||
e. | perubahan anggaran pendapatan dan belanja negara; dan | ||||
f. | perhitungan anggaran negara. | ||||
Pasal 33 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 34 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 35 | |||||
Ayat (1) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (2) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (3) | |||||
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan mekanisme penarikan kembali rancangan undang undang. | |||||
Pasal 36 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 37 | |||||
Ayat (1) | |||||
Penyampaian rancangan undang undang yang telah disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah kepada Presiden, disertai Surat Pengantar pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara formil rancangan undang undang menjadi Undang undang setelah disahkan oleh Presiden. | |||||
Ayat (2) | |||||
Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan rancangan undang undang ke lembaran resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang undangan. | |||||
Pasal 38 | |||||
Batas waktu 30 (tiga puluh) hari adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. | |||||
Pasal 39 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 40 | |||||
Ayat (1) | |||||
Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah, gubernur atau bupati/walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan. | |||||
Ayat (2) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (3) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (4) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 41 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 42 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 43 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 44 | |||||
Penyempurnaan teknik dan penulisan rancangan undang undang yang masih mengandung kesalahan tersebut mencakup pula format rancangan undang undang. | |||||
Pasal 45 | |||||
Dengan diundangkan Peraturan Perundang undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya. | |||||
Pasal 46 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 47 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 48 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 49 | |||||
Ayat (1) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Ayat (2) | |||||
Peraturan Perundang undangan yang diundangkan dalam Berita Daerah misalnya Peraturan Nagari, Peraturan Desa, atau Peraturan Gampong di lingkungan daerah yang bersangkutan. | |||||
Ayat (3) | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 50 | |||||
Berlakunya Peraturan Perundang undangan yang tidak sama dengan tanggal Pengundangan, dimungkinkan untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang undangan tersebut. | |||||
Pasal 51 | |||||
Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang undangan tersebut dan mengerti/memahami isi serta maksud maksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan Peraturan Perundang undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia atau media cetak. | |||||
Pasal 52 | |||||
Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang undangan di daerah yang bersangkutan dan mengerti/memahami isi serta maksud maksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan Peraturan Perundang undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia, stasiun daerah, atau media cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan. | |||||
Pasal 53 | |||||
Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/dewan perwakilan rakyat daerah. | |||||
Pasal 54 | |||||
Ketentuan dalam Pasal ini menyangkut keputusan di bidang administrasi di berbagai lembaga yang ada sebelum Undang Undang ini diundangkan dan dikenal dengan keputusan yang bersifat tidak mengatur. | |||||
Pasal 55 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 56 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 57 | |||||
Cukup jelas. | |||||
Pasal 58 | |||||
Cukup jelas. | |||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4389 |
LAMPIRAN .......................