PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2006
TENTANG
SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN
|
I. |
UMUM |
|||
|
|
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan antara lain mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. |
|||
|
|
Indonesia sebagai negara agraris dan bahari memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia dengan keragaman hayati yang sangat tinggi. Hal itu merupakan modal dasar yang sangat penting dalam meningkatkan perekonomian nasional karena telah terbukti dan teruji bahwa pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada produk domestik bruto nasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia sumber daya alam hayati, tanah yang subur, iklim yang sesuai sehingga bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan dapat menjadi tulang punggung perekonomian nasional. |
|||
|
|
Petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sehingga perlu ditingkatkan kesejahteraan dan kecerdasannya. Salah satu upaya peningkatan tersebut dilaksanakan melalui kegiatan penyuluhan. |
|||
|
|
Penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. |
|||
|
|
Untuk mengantisipasi perubahan lingkungan strategis yang berkembang pada abad 21 dengan isu globalisasi, desentralisasi, demokratisasi, dan pembangunan berkelanjutan, diperlukan sumber daya manusia yang andal untuk mewujudkan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang tangguh, produktif, efisien, dan berdaya saing sehingga dapat menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. |
|||
|
|
Untuk menjawab perubahan lingkungan strategis diperlukan upaya revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan Revitalisasi tersebut akan berhasil jika didukung antara lain oleh adanya sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan, |
|||
|
|
Sistem penyuluhan selama ini belum didukung oleh peraturan Perundang-undangan yang kuat dan lengkap sehingga kurang memberikan jaminan kepastian hukum serta keadilan bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan penyuluh. Kondisi tersebut menimbulkan perbedaan pemahaman dan pelaksanaan di kalangan masyarakat. Di samping itu, adanya perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan penyuluhan yang demikian cepat telah melemahkan semangat dan kinerja para penyuluh sehingga dapat menggoyahkan ketahanan pangan dan menghambat pengembangan perekonomian nasional. |
|||
|
|
Undang-undang yang ada selama ini masih bersifat parsial dan belum mengatur sistem penyuluhan secara jelas, tegas, dan lengkap. Hal tersebut dapat dilihat dalam undang-undang sebagai berikut : |
|||
|
|
1. |
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan; |
||
|
|
2. |
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; |
||
|
3. |
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; |
|||
|
|
4. |
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan; |
||
|
5. |
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; |
|||
|
6. |
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; |
|||
|
7. |
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; |
|||
|
8. |
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; |
|||
|
|
9. |
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian dan Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; |
||
|
10. |
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; |
|||
|
11. |
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Penikanan; |
|||
|
12 |
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. |
|||
|
|
Atas dasar pertimbangan tersebut, Undang-Undang ini mengatur sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan secara holistik dan komprehensif dalam suatu pengaturan yang terpadu, serasi antara penyuluhan yang diselenggarakan oleh kelembagaan penyuluhan pemerintah, kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan penyuluhan swadaya kepada pelaku utama dan pelaku usaha. |
|||
|
II. |
PASAL DEMI PASAL |
|||
|
Pasal 1 |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
Pasal 2 |
||||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan demokrasi" yaitu penyuluhan yang diselenggarakan dengan saling menghormati pendapat antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan pelaku utama serta pelaku usaha lainnya. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan manfaat" yaitu penyuluhan yang harus memberikan nilai manfaat bagi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perubahan perilaku untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama dan pelaku usaha. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan kesetaraan" yaitu hubungan antara penyuluh, pelaku utama dan pelaku usaha yang harus merupakan mitra sejajar. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan keterpaduan" yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan secara terpadu antara kepentingan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan keseimbangan" yaitu setiap penyelenggaraan penyuluhan harus memperhatikan keseimbangan antara kebijakan, inovasi teknologi dengan kearifan masyarakat setempat, pengarusutamaan gender, keseimbangan pemanfaatan sumber daya dan kelestarian lingkungan, dan keseimbangan antar kawasan yang maju dengan kawasan yang relatif masih tertinggal. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan keterbukaan" yaitu penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara terbuka antara penyuluh dan pelaku utama serta pelaku usaha. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan kerjasama" yaitu penyelenggaraan penyuluhan harus diselenggarakan secara sinergis dalam kegiatan pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan serta sektor lain yang merupakan tujuan bersama antara pemerintah dan masyarakat. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan partisipatif" yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang melibatkan secara aktif pelaku utama dan pelaku usaha dan penyuluh sejak perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan kemitraan" yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan berdasarkan prinsip saling menghargai, saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling membutuhkan antara pelaku utama dan pelaku usaha yang difasilitasi oleh penyuluh. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan kebertanjutan" yaitu penyelenggaraan penyuluhan dengan upaya secara terus menerus dan berkesinambungan agar pengetahuan, keterampilan, serta perilaku pelaku utama dan pelaku usaha semakin baik dan sesuai dengan perkembangan sehingga dapat terwujud kemandirian. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan berkeadilan" yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang memosisikan pelaku utama dan pelaku usaha berhak mendapatkan pelayanan secara proporsional sesuai dengan kemampuan, kondisi, serta kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan pemerataan" yaitu penyelenggaraan penyuluhan harus dapat dilaksanakan secara merata bagi seluruh wilayah Republik Indonesia dan segenap lapisan pelaku utama dan pelaku usaha. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyuluhan berasaskan bertanggung gugat" yaitu bahwa evaluasi kinerja penyuluhan dikerjakan dengan membandingkan pelaksanaan yang telah dilakukan dengan perencanaan yang telah dibuat dengan sederhana, terukur, dapat dicapai, rasional, dan kegiatannya dapat dijadualkan. |
||
|
Pasal 3 |
||||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "pengembangan sumber daya manusia" antara lain peningkatan semangat, wawasan, kecerdasan, keterampilan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membentuk kepribadian yang mandiri. |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan "peningkatan modal sosial" antara lain pembentukan kelompok, gabungan kelompok/asosiasi, manajemen, kepemimpinan, akses modal, dan akses informasi. |
||
|
Huruf a dan Huruf b |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
Huruf c |
||||
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "terdesentralisasi" yaitu bahwa penyelenggaraan penyuluhan merupakan urusan rumah tangga desa atau unit kerja lapangan, kabupaten/kota, dan provinsi. |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "partisipatif" yaitu bahwa penyelenggaraan penyuluhan melibatkan pelaku utama mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi. |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "keterbukaan" yaitu bahwa penyelenggaraan penyuluhan dilakukan dengan prinsip transparansi sehingga dapat diketahui oleh semua unsur yang terlibat. |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "keswadayaan" yaitu bahwa penyelenggaraan penyuluhan dilakukan dengan mengutamakan kemampuan pelaku penyuluhan sendiri. |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "kemitrasejajaran" yaitu bahwa penyelenggaraan penyuluhan dilakukan berdasarkan atas kesetaraan kedudukan antara penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha. |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "bertanggung gugat" yaitu bahwa evaluasi kinerja penyuluhan dikerjakan dengan membandingkan pelaksanaan yang telah dilakukan dengan perencanaan yang telah dibuat dengan sederhana, terukur, dapat dicapai, rasional, dan kegiatannya dapat dijadwalkan. |
|
|
Huruf d dan Huruf e |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
Pasal 4 |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
Pasal 5 |
||||
|
Ayat (1) |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
Ayat (2) |
||||
|
|
|
|
Sasaran utama penyuluhan pertanian meliputi petani, pekebun, peternak, baik individu maupun kelompok, dan pelaku usaha lainnya. |
|
|
|
|
|
Sasaran utama penyuluhan perikanan meliputi nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, baik individu maupun kelompok yang melakukan kegiatan perikanan. |
|
|
|
|
|
Sasaran utama penyuluhan kehutanan meliputi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, kelompok, atau individu masyarakat pengelola komoditas yang dihasilkan dari kawasan hutan. |
|
|
Ayat (3) |
||||
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "generasi muda dan tokoh masyarakat", yaitu generasi muda dan tokoh masyarakat dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. |
|
|
Pasal 6 dan Pasal 7 |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
Pasal 8 |
||||
|
Ayat (1) |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
Ayat (2) |
||||
|
|
|
|
Kelembagaan penyuluhan pada tingkat pusat adalah badan yang menangani penyuluhan pada setiap Departemen/Kementerian yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan. |
|
|
|
|
|
Pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan yang bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri. |
|
|
|
|
|
Pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan yang bertanggungjawab kepada bupati/walikota. |
|
|
|
|
|
Pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang bertanggung jawab kepada badan pelaksana penyuluhan Kabupaten/Kota. |
|
|
Ayat (3) dan Ayat (4) |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
Ayat (5) |
||||
|
|
|
|
Pos penyuluhan di perdesaan merupakan wadah penyuluh pegawai negeri sipil, penyuluh swasta dan swadaya serta pelaku utama dan pelaku usaha di perdesaan sebagai tempat berdiskusi, merencanakan, melaksanakan, dan memantau kegiatan penyuluhan. |
|
|
Pasal 9 |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
Pasal 10 |
||||
|
Ayat (1) |
||||
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "Komisi Penyuluhan Nasional" yaitu kelembagaan independen sebagai mitra kerja menteri dalam memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan penyuluhan. Keanggotaan Komisi Penyuluhan Nasional terdiri atas para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan perdesaan. |
|
|
Ayat (2) dan Ayat (3) |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
Pasal 11 |
||||
|
Ayat (1) |
||||
|
|
|
|
Pada tingkat provinsi dibentuk Badan Koordinasi Penyuluhan karena sebagian besar kegiatan penyuluhan berada di kabupaten/kota, sedangkan di provinsi badan itu lebih banyak bersifat koordinatif. |
|
|
Ayat (2) dan Ayat (3) |
||||
|
Cukup jelas. |
||||
|
|
Pasal 12 |
|||
|
|
|
Komisi Penyuluhan Provinsi merupakan kelembagaan independen yang dibentuk oleh gubernur yang terdiri atas para pakar dan atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian di bidang penyuluhan atau pembangunan perdesaan. |
||
|
|
Pasal 13 |
|||
|
|
|
Cukup jelas. |
||
|
|
Pasal 14 |
|||
|
|
|
Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota merupakan kelembagaan independen yang dibentuk oleh bupati/walikota yang terdiri atas para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian di bidang penyuluhan atau pembangunan perdesaan. |
||
|
|
Pasal 15 s/d Pasal 18 |
|||
|
|
|
Cukup jelas. |
||
|
|
Pasal 19 |
|||
|
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
|
Kelembagaan pelaku utama dibentuk secara partisipatif sesuai dengan kesepakatan di antara petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. |
|
|
|
|
Ayat (2) s/d Ayat (4) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Pasal 20 |
|||
|
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
|
Ketentuan pengangkatan penyuluh pegawai negeri sipil harus mendapat prioritas oleh Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mencukupi kebutuhan tenaga penyuluh pegawai negeri sipil. |
|
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "bersifat mandiri" yaitu tenaga penyuluh bekerja atas kehendak diri sendiri atau atas biaya lembaga/pelaku usaha. |
|
|
|
Pasal 21 |
|||
|
|
|
Cukup jelas. |
||
|
|
Pasal 22 |
|||
|
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
|
Penyuluh pegawai negeri sipil memperoleh kesetaraan persyaratan, jenjang jabatan, tunjangan jabatan fungsional, tunjangan profesi, dan usia pensiun. |
|
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Pasal 23 |
|||
|
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
|
Programa penyuluhan desa atau unit kerja lapangan disusun oleh pelaku utama dan pelaku usaha yang difasilitasi oleh penyuluh. |
|
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "keterpaduan" yaitu bahwa programa penyuluhan disusun dengan memperhatikan programa penyuluhan tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, tingkat provinsi, dan tingkat nasional, dengan berdasarkan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "kesinergian" yaitu bahwa hubungan antara programa penyuluhan pada tiap tingkatan mempunyai hubungan yang bersifat saling mendukung. |
|
|
|
|
|
Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar semua programa selaras dan tidak bertentangan antara programa dalam berbagai tingkatan. |
|
|
|
|
Ayat (4) dan Ayat (5) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Pasal 24 dan Pasal 25 |
|||
|
|
|
Cukup jelas. |
||
|
|
Pasal 26 |
|||
|
|
|
Ayat (1) s/d Ayat (3) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
|
Yang dimaksud "metode penyuluhan" antara lain seminar, workshop, lokakarya, magang, studi banding, temu lapang, temu teknologi, sarasehan. |
|
|
|
Pasal 27 |
|||
|
|
|
Cukup jelas. |
||
|
|
Pasal 28 |
|||
|
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "teknologi" dapat berupa produk atau proses. |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "produk" antara lain bibit, benih, alat dan mesin, bahan, pestisida, dan obat hewan/ikan. Yang dimaksud dengan "proses" yaitu paket teknologi, misalnya pengelolaan tanaman terpadu (PTT). |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "teknologi tertentu" yaitu teknologi yang diperkirakan dapat merusak lingkungan hidup, mengganggu kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan masyarakat. Misalnya : teknologi rekayasa genetik, teknologi perbenihan dan teknologi pengendalian hama penyakit. |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional" yaitu produk atau proses yang ditemukan oleh masyarakat dan/atau telah dimanfaatkan secara meluas sesuai dengan adat kebiasaan secara turun-temurun. |
|
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
|
Yang dimaksud "lembaga pemerintah pemberi rekomendasi" adalah menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya. |
|
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
Pasal 29 |
|||
|
|
|
Cukup jelas. |
||
|
|
Pasal 30 |
|||
|
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "bekerja sama" yaitu kerja sama yang dimulai dari penyusunan rencana, pelaksanaan sampai dengan pemantauan penyelenggaraan penyuluhan. |
|
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Pasal 31 |
|||
|
|
|
Ayat (1) dan Ayat (2) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
|
Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar para penyuluh baik penyuluh pegawai negeri sipil, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya dapat saling memanfaatkan sarana dan prasarana yang dimiliki. |
|
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Pasal 32 |
|||
|
|
|
Cukup jelas. |
||
|
|
Pasal 33 |
|||
|
|
|
Pengaturan mengenai pembiayaan penyuluhan antara lain standar minimal biaya operasional, sumber pembiayaan, serta alokasi dan distribusi biaya. |
||
|
|
|
Standar minimal biaya operasional meliputi : |
||
|
|
|
a. |
perjalanan tetap; |
|
|
|
|
b. |
biaya perlengkapan (jas hujan, sepatu lapangan, dan pakaian kerja, soil test kit); |
|
|
|
|
c. |
biaya percontohan dan demonstrasiplot (demplot); |
|
|
|
|
d. |
biaya penyusunan mated penyuluhan; |
|
|
|
|
e. |
biaya penyusunan rencana kerja. |
|
|
|
Pasal 34 s/d Pasal 41 |
|||
|
|
|
Cukup jelas. |
||
| TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4660 | ||||