PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 48 TAHUN 2011
TENTANG
SUMBER DAYA GENETIK HEWAN
DAN PERBIBITAN TERNAK
I. |
UMUM |
|||
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, bangsa Indonesia mempunyai landasan hukum untuk mengelola sumber daya genetik (SDG) Hewan dan perbibitan ternak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial-budaya, dan ekonomi. |
||||
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, antara lain mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai pengelolaan SDG Hewan dan perbibitan ternak dalam Peraturan Pemerintah. |
||||
SDG Hewan merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan negara atas SDG Hewan dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota berdasarkan sebaran asli geografis SDG Hewan yang bersangkutan. |
||||
SDG Hewan dikelola melalui kegiatan pemanfaatan dan pelestarian. Pemanfaatan SDG Hewan dilakukan melalui pembudidayaan dan pemuliaan, sedangkan pelestarian SDG Hewan dilakukan melalui konservasi di dalam habitatnya dan/atau di luar habitatnya serta upaya lain seperti konservasi lekat lahan. |
||||
Pemanfaatan SDG Hewan salah satunya digunakan sebagai materi genetik untuk pembentukan benih atau bibit. Pemerintah menetapkan kebijakan perbibitan ternak untuk mendorong ketersediaan benih atau bibit ternak bersertifikat dan melakukan pengawasan dalam pengadaan dan peredarannya dalam rangka pembangunan peternakan berkelanjutan. |
||||
Penyediaan dan pengembangan benih atau bibit ternak dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri. Pemerintah berkewajiban membina para pelaku usaha pembenihan dan/atau pembibitan untuk menjamin ketersediaan benih atau bibit ternak yang bermutu dalam jumlah yang memadai secara berkelanjutan. |
||||
Pemerintah menetapkan wilayah sumber bibit dan wilayah yang berpotensi menghasilkan suatu rumpun dan/atau galur dengan mutu tinggi dan menjaga keragaman dalam jenis (variation within species) untuk sifat produksi dan/atau reproduksi. |
||||
Agar pemanfaatan dan pelestarian SDG Hewan serta perbibitan ternak dapat terlaksana dengan baik, diperlukan adanya suatu sistem dokumentasi dan jaringan informasi SDG Hewan dan perbibitan ternak. |
||||
II. |
PASAL DEMI PASAL |
|||
Pasal 1 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 2 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 3 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 4 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Penguasaan dalam ketentuan ini mencakup kewenangan penetapan kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan/atau pengawasan. |
||||
Pasal 5 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Huruf a |
||||
Cukup jelas. |
||||
Huruf b |
||||
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. |
||||
Pengetahuan
tradisional adalah bagian atau substansi dari hasil kegiatan (proses)
intelektual termasuk keterampilan, inovasi, dan praktik-praktik dari
masyarakat asli dan masyarakat setempat yang mencakup cara hidup secara
tradisional yang relevan dengan koriservasi dan pemanfaatan |
||||
Huruf c |
||||
Cukup jelas. |
||||
Huruf d |
||||
Cukup jelas. |
||||
Huruf e |
||||
Cukup jelas. |
||||
Huruf f |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 6 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 7 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 8 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 9 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 10 |
||||
Ayat (1) |
||||
Pengelolaan SDG Hewan dilakukan untuk: |
||||
a. |
menjamin pemanfaatan secara berkelanjutan dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan SDG Hewan secara adil dan merata; |
|||
b. |
menjamin kelestarian agar keberadaan dan keanekaragamannya dapat dipertahankan; dan |
|||
c. |
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. |
|||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (4) |
||||
Pelarangan dimaksudkan agar tidak terjadi penyalahgunaan pemanfaatan SDG Hewan yang berasal dari satwa liar tidak dilindungi, agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan atau merugikan kesehatan dan mengganggu kehidupan sosial budaya. |
||||
Pasal 11 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 12 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah: |
||||
a. |
apabila masyarakat atau badan usaha telah memiliki, memanfaatkan, dan/atau melestarikan SDG Hewan secara turun temurun dengan kewajiban memberitahukan kepada Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya; dan/atau |
|||
b.. |
apabila masyarakat atau badan usaha mempunyai kemampuan untuk melakukan pengelolaan SDG Hewan. |
|||
Badan usaha adalah perorangan peternak atau perusahaan peternakan baik yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (4) |
||||
Pengajuan izin untuk melakukan pemuliaan harus dilengkapi dengan rencana dan peta perjalanan (road map) kegiatan pemuliaan yang menjelaskan tentang arah, tujuan, sasaran, materi, dan metoda yang akan dilaksanakan. |
||||
Pasal 13 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 14 |
||||
Ayat (1) |
||||
Pemanfaatan SDG Hewan adalah pemanfaatan secara berkelanjutan dengan cara dan pada laju yang tidak menyebabkan penurunan keberadaan dan keanekaragamannya, sehingga potensinya dapat dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan masa yang akan datang. |
||||
Pemanfaatan berkelanjutan SDG Hewan dilaksanakan dengan mempertimbangkan pelestarian, menghindari atau memperkecil dampak yang merugikan bagi keanekaragamannya, dan memperhatikan praktek budaya tradisional. |
||||
Ayat (2) |
||||
Yang dimaksud dengan kesejahteraan hewan (animal welfare) adalah kondisi nyaman bagi hewan ketika dilakukan kegiatan yang meliputi: |
||||
a. |
penangkapan dan penanganan hewan; |
|||
b. |
penempatan dan pengandangan hewan; |
|||
c. |
pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan; |
|||
d. |
pengangkutan hewan; |
|||
e. |
penggunaan dan pemanfaatan hewan; dan |
|||
f. |
pemotongan/penyembelihan dan mematikan hewan yang tidak menimbulkan rasa sakit, takut, dan stres. |
|||
Pasal 15 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 16 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (4) |
||||
Eksplorasi, domestikasi, dan penangkaran merupakan pengadopsian hewan dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia. |
||||
Dalam arti yang sederhana, domestikasi merupakan proses "penjinakan" yang dilakukan terhadap satwa liar. Perbedaannya, apabila penjinakan lebih pada individu, domestikasi melibatkan populasi, seperti seleksi (perbaikan keturunan), serta perubahan perilaku/sifat dari satwa liar yang menjadi objeknya. |
||||
Ayat (5) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 17 |
||||
Ayat (1) |
||||
Sistem budidaya paling sedikit meliputi pengaturan mengenai penetapan norma, standar, pedoman, dan kriteria. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 18 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 19 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Yang dimaksud dengan unit pelaksana teknis di daerah dapat berupa unit pelaksana teknis pusat atau unit pelaksana teknis daerah. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 20 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 21 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Agar tidak punah maka SDG Hewan yang penyebaran dan populasinya terbatas harus dijaga kelestariannya. |
||||
Ayat (4) |
||||
Penyakit eksotik adalah penyakit yang belum pernah ada di suatu wilayah atau daerah. |
||||
Yang dimaksud dengan "perkembangan populasi yang tidak terkendali" adalah berkembangnya SDG Hewan tersebut menjadi hewan yang bersifat invasive atau menjadi invasive alien species. |
||||
Pasal 22 |
||||
Huruf a |
||||
Cukup jelas. |
||||
Huruf b |
||||
Cukup jelas. |
||||
Huruf c |
||||
Yang dimaksud "bioetika hewan" adalah etika dan moral yang timbul sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang hayati. |
||||
Huruf d |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 23 |
||||
Ayat (1) |
||||
Rekayasa genetik adalah suatu teknik mengubah susunan genetik hewan/ternak pada level molekuler DNA. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 24 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 25 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 26 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Yang dimaksud "zoonosis" adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau sebaliknya. |
||||
Pasal 27 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 28 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 29 |
||||
Pelestarian SDG Hewan merupakan manifestasi dari pendekatan kehati-hatian, yang meliputi: |
||||
a. |
menjaga agar tidak punah; |
|||
b. |
memperhatikan status populasi dari tiap-tiap SDG Hewan agar dapat berkembang dan dalam status aman; |
|||
c. |
memanfaatkannya bagi kepentingan masyarakat secara berkelanjutan; |
|||
d. |
mengembangkannya menjadi bibit unggul yang lebih adaptif dan produktif untuk dipergunakan sebagai bahan baku untuk program pemuliaan; |
|||
e. |
melindungi kawasan habitatnya; dan |
|||
f. |
mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam pelestariannya melalui berbagai program dan insentif. |
|||
Pasal 30 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 31 |
||||
Ayat (1) |
||||
Huruf a |
||||
Cukup jelas. |
||||
Huruf b |
||||
Cukup jelas. |
||||
Huruf c |
||||
Cukup jelas. |
||||
Huruf d |
||||
Yang dimaksud dengan "lembaga penjamin" adalah orang perorangan yang berdomisili di Indonesia atau luar negeri, dan lembaga atau organisasi yang didirikan di Indonesia atau di luar negeri yang bertindak sebagai penjamin kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, serta orang asing. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 32 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 33 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 34 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Huruf a |
||||
Yang dimaksud dengan "konservasi in-situ" adalah semua kegiatan untuk mempertahankan keanekaragaman SDG hewan di dalam lingkungan alaminya. |
||||
Kegiatan konservasi in-situ dapat dilakukan di habitat aslinya maupun di kawasan pemukiman masyarakat secara lekat lahan. |
||||
Huruf b |
||||
Yang dimaksud dengan "konservasi lekat lahan" adalah kegiatan mempertahankan keanekaragaman di lahan petani tempat SDG Hewan dipelihara, dimanfaatkan, dipilih dan diperoleh, diperbaiki mutunya dan dilestarikan sebagai unsur dari sistem pertanian. |
||||
Huruf c |
||||
Yang dimaksud dengan "konservasi ex-situ" adalah kegiatan pelestarian SDG Hewan termasuk pengumpulan dan pengawetan SDG Hewan dalam bentuk gen, DNA, genom, mani, sel telur, embrio, atau jaringan di luar habitat alaminya, yang dapat digunakan untuk merakit rumpun atau galur baru. |
||||
Pasal 35 |
||||
Ayat (1) |
||||
Monitoring dan evaluasi dilakukan juga untuk mengetahui status populasi SDG Hewan setelah dilakukan konservasi. |
||||
Ayat (2) |
||||
Yang dimaksud dengan "peringatan dini (early warning)" adalah tindakan sistematis dari pemerintah berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu untuk menetapkan bahwa status SDG Hewan terancam; disertai dengan tindakan operasional dalam rangka penyelamatan SDG Hewan tersebut. |
||||
Yang dimaksud dengan "tindakan tanggap darurat" adalah tindakan cepat dan tepat berdasarkan justifikasi ilmiah dan bersifat objektif terhadap situasi yang mengancam kepunahan SDG Hewan. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (4) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 36 |
||||
Ayat (1) |
||||
Penetapan kawasan pelestarian konservasi in-situ dilakukan untuk menjamin keberadaan, kemurnian, dan keragaman SDG Hewan asli dan lokal. |
||||
Ayat (2) |
||||
Kawasan pelestarian SDG Hewan perlu ditetapkan keterkaitannya dengan tata ruang sebagai antisipasi terhadap dampak dari pembangunan. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 37 |
||||
Ayat (1) |
||||
Kebijakan perbibitan nasional dimaksudkan untuk mendorong ketersediaan benih dan/atau bibit bersertifikat dan melakukan pengawasan dalam hal pengadaan dan peredarannya secara berkelanjutan. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 38 |
||||
Ayat (1) |
||||
Tanggung jawab Pemerintah dalam ketentuan ini dimaksudkan agar Pemerintah menjamin ketersediaan benih dan/atau bibit untuk keperluan masyarakat. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 39 |
||||
Yang dimaksud dengan "produksi benih dan/atau bibit ternak" adalah kegiatan menghasilkan benih dan/atau bibit ternak hasil pemuliaan, dan/atau pelepasan rumpun dan/atau galur baru. |
||||
Penetapan wilayah sumber bibit, penetapan dan pelepasan rumpun atau galur lokal dimaksudkan untuk mendorong terbentuknya benih dan/atau bibit ternak yang berasal dari rumpun atau galur asli atau lokal. |
||||
Pasal 40 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 41 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 42 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Keikutsertaan masyarakat dimaksudkan agar upaya pelestarian rumpun atau galur ternak asli atau lokal oleh pemerintah lebih efektif. |
||||
Pasal 43 |
||||
Ayat (1) |
||||
Produksi benih dan/atau bibit bertujuan untuk menjamin ketersediaan benih dan/atau bibit sebagai sarana utama dalam usaha budidaya ternak secara berkelanjutan. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 44 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi rumpun atau galur ternak asli atau lokal dari kepunahan. |
||||
Pasal 45 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Penetapan wilayah sumber bibit bertujuan untuk memberikan kepastian perkembangan dan kemurnian rumpun atau galur ternak, serta kepastian berusaha di bidang pembibitan ternak. |
||||
Ayat (3) |
||||
Bagian dari suatu wilayah kabupaten, seluruh wilayah kabupaten, beberapa wilayah kabupaten dalam satu provinsi, atau seluruh wilayah provinsi dapat merupakan seluruh pulau, bagian dari pulau, atau gugusan pulau. |
||||
Ayat (4) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 46 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 47 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 48 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 49 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 50 |
||||
Ayat (1) |
||||
Pelepasan rumpun atau galur bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap: |
||||
a. |
kepemilikan pemerintah, perorangan, badan usaha, asosiasi atau komunitas, atas rumpun atau galur ternak yang dihasilkannya; dan |
|||
b. |
pengguna rumpun atau galur baru tersebut. |
|||
Ayat (2) |
||||
Suatu rumpun atau galur dianggap "baru" apabila pada saat penerimaan permohonan pelepasan, rumpun atau galur tersebut belum pernah diperdagangkanj diedarkan di Indonesia atau sudah diperdagangkan/diedarkan kurang dari 5 (lima) tahun. |
||||
Suatu rumpun atau galur dianggap "unik" apabila rumpun atau galur tersebut dapat dibedakan secara jelas dengan rumpun/galur yang keberadaannya sudah diketahui secara umum pada saat penerimaan permohonan pelepasan rumpun atau galur. |
||||
Suatu rumpun atau galur dianggap "seragam" apabila sifat utama atau sifat penting pada rumpun atau galur tersebut terbukti seragam. |
||||
Suatu rumpun atau galur dianggap "stabil" apabila sifat-sifatnya tidak mengalami perubahan setelah diperbanyak atau dikembangbiakkan. |
||||
Pemberian "nama" rumpun atau galur ternak tidak boleh menimbulkan kerancuan terhadap sifat-sifat rumpun atau galur ternak. |
||||
Pasal 51 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 52 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 53 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 54 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 55 |
||||
Ayat (1) |
||||
Yang dimaksud dengan "belum ada" adalah: |
||||
a. |
di seluruh Indonesia belum ada lembaga yang telah terakreditasi; |
|||
b. |
telah ada lembaga yang terakreditasi namun kemampuannya tidak menjangkau untuk semua rumpun atau galur ternak; atau |
|||
c. |
telah ada lembaga terakreditasi namun tidak dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. |
|||
Lembaga dalam ketentuan ini adalah lembaga pemerintah atau swasta yang independen yang ruang lingkup pekerjaan dan/atau tugasnya berkaitan dengan sistem manajeman mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 56 |
||||
Ayat (1) |
||||
Standar benih atau bibit dimaksudkan sebagai acuan dalam mengukur dan menguji mutu benih atau bibit ternak dan kesehatannya dengan tujuan untuk memberikan perlindungan pada pengguna benih dan/atau bibit. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 57 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 58 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 59 |
||||
Ayat (1) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (4) |
||||
Yang dimaksud dengan "tempat penyimpanan" misalnya container untuk meyimpan semen beku dan embrio. |
||||
Yang dimaksud dengan "pengemasan" misalnya kotak yang dipergunakan untuk mengemas anak ayam umur sehari. |
||||
Ayat (5) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 60 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 61 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 62 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 63 |
||||
Ayat (1) |
||||
Izin dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan usaha dan mencegah masuknya SDG Hewan yang tidak memenuhi standar dan/atau keperluan bahan penelitian dan pengembangan. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 64 |
||||
Ayat (1) |
||||
Izin pengeluaran dimaksudkan untuk: |
||||
a. |
mencegah pengeluaran SDG Hewan secara ilegal; |
|||
b. |
mencegah pengurasan SDG Hewan; |
|||
c. |
melaksanakan pembagian keuntungan (benefit sharing) dan perlindungan hak ulayat serta pengetahuan tradisional; dan/atau |
|||
d. |
memperoleh devisa yang lebih optimal. |
|||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 65 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 66 |
||||
Ayat (1) |
||||
Yang dimaksud dengan "alih SDG Hewan" adalah pengeluaran SDG Hewan dari Indonesia ke luar negeri. |
||||
Huruf a |
||||
Persetujuan atas dasar informasi awal atau PADIA adalah terjemahan dari prior informed consent (PIC). |
||||
Huruf b |
||||
Cukup jelas. |
||||
Huruf c |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 67 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 68 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 69 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 70 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 71 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 72 |
||||
Ayat (1) |
||||
Penyelenggaraan sistem dokumentasi dan jaringan informasi dilaksanakan dalam rangka melindungi dan mengembangkan potensi SDG Hewan sebagai bahan baku pemuliaan ternak dan untuk menghindari erosi genetik menuju kepunahan keanekaragaman SDG Hewan serta untuk mewujudkan usaha peternakan berkelanjutan. |
||||
Ayat (2) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Ayat (3) |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 73 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 74 |
||||
Cukup jelas. |
||||
Pasal 75 |
||||
Cukup jelas. |
||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5260 |