MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 20/PMK.07/2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK.07/2008
TENTANG PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU
DAN SANKSI ATAS PENYALAHGUNAAN ALOKASI DANA
BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang |
: |
bahwa dalam rangka meningkatkan penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana diatur dalam Pasal 66A ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau; |
||||
Mengingat |
: |
1. |
||||
|
|
2. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau; |
|||
|
|
MEMUTUSKAN: |
||||
Menetapkan |
: |
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK.07/2008 TENTANG PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU DAN SANKSI ATAS PENYALAHGUNAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU. |
||||
|
|
Pasal I |
||||
|
|
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau diubah sebagai berikut: |
||||
|
|
1. |
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) diubah dan menambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: |
|||
|
|
|
Pasal 1 |
|||
|
|
|
(1) |
Dana bagi hasil cukai hasil tembakau dialokasikan dalam undang-undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan perubahannya. |
||
|
|
|
(2) |
Pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing daerah provinsi/kabupaten/kota diatur oleh gubernur dan diusulkan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan dan penetapan. |
||
|
|
|
(3) |
Terhadap usulan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Keuangan memberikan persetujuannya dan menetapkannya dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan. |
||
|
|
2. |
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: |
|||
|
|
|
Pasal 3 |
|||
|
|
|
(1) |
Peningkatan kualitas bahan baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a digunakan untuk peningkatan kualitas bahan baku industri hasil tembakau yang meliputi: |
||
|
|
|
|
a. |
standarisasi kualitas bahan baku; |
|
|
|
|
|
b. |
mendorong pembudidayaan bahan baku berkadar nikotin rendah; |
|
|
|
|
|
c. |
pengembangan sarana laboratorium uji dan pengembangan metode pengujian; |
|
|
|
|
|
d. |
penanganan panen dan pascapanen bahan baku; dan/ atau |
|
|
|
|
|
e. |
penguatan kelembagaan kelompok petani tembakau. |
|
|
|
|
(2) |
Gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan peningkatan kualitas bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan prioritas dan karakteristik daerah masing-masing. |
||
|
|
3. |
Ketentuan Pasal 6 ayat (3) diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: |
|||
|
|
|
Pasal 6 |
|||
|
|
|
(1) |
Pemetaan industri hasil tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d merupakan bagian dari pembinaan industri berupa kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan industri hasil tembakau di suatu daerah. |
||
|
|
|
(2) |
Pemetaan industri hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya meliputi: |
||
|
|
|
|
a. |
nama pabrik, Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), dan nomor izin usaha industri; |
|
|
|
|
|
b. |
lokasi/ alamat pabrik (jalan/ desa, kota/kabupaten, dan provinsi); |
|
|
|
|
|
c. |
realisasi produksi; |
|
|
|
|
|
d. |
jumlah tenaga kerja linting/giling, tenaga kerja pengemasan, dan tenaga kerja lainnya; |
|
|
|
|
|
e. |
realisasi pembayaran cukai; |
|
|
|
|
|
f. |
wilayah pemasaran; |
|
|
|
|
|
g. |
jumlah, merek, type, dan kapasitas mesin/ peralatan mesin produksi hasil tembakau; |
|
|
|
|
|
h. |
jumlah alat linting; dan |
|
|
|
|
|
i. |
asal daerah bahan baku (tembakau dan cengkih). |
|
|
|
|
(3) |
Gubernur/bupati/walikota menyusun, mengadministrasikan, dan memutakhirkan database industri hasil tembakau. |
||
|
|
4. |
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf c dan huruf d diubah serta menambahkan 2 (dua) huruf yakni huruf e dan huruf f, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: |
|||
|
|
|
Pasal 7 |
|||
|
|
|
(1) |
Pembinaan lingkungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c meliputi: |
||
|
|
|
|
a. |
pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan baku industri hasil tembakau; |
|
|
|
|
|
b. |
penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada analisis dampak lingkungan (AMDAL); |
|
|
|
|
|
c. |
penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum; |
|
|
|
|
|
d. |
peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok; |
|
|
|
|
|
e. |
Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja industri hasil tembakau; dan/atau |
|
|
|
|
|
f. |
Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dalam rangka pengentasan kemiskinan mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi. |
|
|
|
|
(2) |
Gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan pembinaan lingkungan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan prioritas dan karakteristik daerah masing-masing. |
||
|
|
5. |
Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: |
|||
|
|
|
Pasal 9 |
|||
|
|
|
(1) |
Pemberantasan barang kena cukai ilegal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e meliputi: |
||
|
|
|
|
a. |
pengumpulan informasi hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu di peredaran atau tempat penjualan eceran; dan |
|
|
|
|
|
b. |
pengumpulan informasi hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai di peredaran atau tempat penjualan eceran. |
|
|
|
|
(2) |
Apabila dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan indikasi adanya hasil tembakau yang dilekati pita cukai palsu dan hasil tembakau yang tidak dilekati pita cukai, gubernur/bupati/walikota menyampaikan informasi secara tertulis kepada Direktorat/Jenderal Bea dan Cukai. |
||
|
|
|
(3) |
Penyampaian informasi tentang adanya indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sebagai berikut: |
||
|
|
|
|
a. |
dalam hal pelaksana kegiatan adalah gubernur, informasi disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat; atau |
|
|
|
|
|
b. |
dalam hal pelaksana kegiatan adalah bupati/walikota, informasi disampaikan kepada Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai setempat. |
|
|
|
|
(4) |
Gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab untuk menggerakkan, mendorong, dan melaksanakan kegiatan pemberantasan barang kena cukai ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
||
|
|
Pasal II |
||||
|
|
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. |
||||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. |
||||
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta |
|
|
|
|
|
|
pada tanggal 13 Februari 2009 |
|
|
|
|
|
|
MENTERI KEUANGAN, |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
SRI MULYANI INDRAWATI |