KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 188 TAHUN 1998
TENTANG
TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
: |
bahwa untuk lebih
meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan pada
umumnya dan peningkatan hasil guna dalam |
|||
Mengingat |
: |
||||
MEMUTUSKAN : |
|||||
Menetapkan |
: |
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG. |
|||
BAB I
|
|||||
(1) |
Menteri, atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disingkat Pimpinan Lembaga, dapat mengambil prakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang untuk mengatur masalah yang menyangkut bidang tugasnya. |
||||
(2) |
Prakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden dengan disertai penjelasan selengkapnya mengenai konsepsi pengaturan yang meliputi: |
||||
a. |
latar belakang dan tujuan penyusunan; |
||||
b. |
sasaran yang ingin diwujudkan; |
||||
c. |
pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan |
||||
d. |
jangkauan dan arah pengaturan. |
||||
Pasal 2 |
|||||
Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi yang akan dituangkan dalam Rancangan Undang-undang, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang wajib mengkonsultasikan terlebih dahulu konsepsi tersebut dengan Menteri Kehakiman dan Menteri serta Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait. |
|||||
Pasal 3 |
|||||
(1) |
Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai Rancangan Undang-undang yang akan disusun. |
||||
(2) |
Penyusunan rancangan akademik dilakukan oleh Departemen atau Lembaga pemrakarsa bersama-sama dengan Departemen Kehakiman dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada Perguruan Tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu. |
||||
Pasal 4 |
|||||
(1) |
Untuk kelancaran pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Menteri Kehakiman mengkoordinasikan konsultasi diantara pejabat yang secara teknis menguasai permasalahan yang akan diatur dan ahli hukum dari Departemen atau Lembaga pemrakarsa Rancangan Undang-undang, Sekretariat Negara dan Departemen serta Lembaga lainnya yang terkait. |
||||
(2) |
Dalam hal Rancangan Undang-undang tersebut memerIukan rancangan akademik, maka rancangan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi. |
||||
(3) |
Dalam kegiatan konsultasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan lainnya, sesuai dengan kebutuhan. |
||||
(4) |
Menteri Kehakiman menugaskan salah satu satuan kerja di lingkungan Departemen Kehakiman untuk secara fungsional bertindak sebagai penyelenggara forum konsultasi yang bersifat permanen antar Departemen dan Lembaga. |
||||
Pasal 5 |
|||||
Upaya pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-undang diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan ideologi negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, Undang-undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya, dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang akan diatur dalam Rancangan Undang-undang tersebut. |
|||||
Pasal 6 |
|||||
(1) |
Apabila keharmonisan, kebulatan dan kemantapan konsepsi tidak dapat dihasilkan dalam forum konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Menteri Kehakiman dengan Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa bersama-sama Menteri Sekretaris Negara melaporkannya kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan. |
||||
(2) |
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disertai penjelasan mengenai perbedaan pendapat ataupun pandangan yang ada. |
||||
(3) |
Keputusan yang diberikan oleh Presiden dalam masalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekaligus merupakan persetujuan terhadap prakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang. |
||||
Pasal 7 |
|||||
Dalam hal telah diperoleh keharmonisan, kebulatan dan kemantapan konsepsi, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa secara resmi mengajukan permintaan persetujuan prakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang kepada Presiden dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2). |
|||||
Pasal 8 |
|||||
Persetujuan Presiden terhadap prakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang diberitahukan secara tertulis oleh Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa dengan tembusan Menteri Kehakiman. |
|||||
BAB II
|
|||||
(1) |
Berdasarkan persetujuan prakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau Pasal 7, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa membentuk Panitia Antar Departemen dan Lembaga yang diketuai pejabat yang ditunjuknya, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Panitia Antar Departemen, untuk menyusun Rancangan Undang-undang tersebut. |
||||
(2) |
Permintaan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan langsung oleh Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa kepada Menteri Sekretaris Negara, Menteri Kehakiman, Menteri atau Pimpinan Lembaga yang terkait dengan materi yang akan diatur, dalam waktu tujuh hari kerja setelah diterimanya surat Menteri Sekretaris Negara mengenai pemberitahuan persetujuan prakarsa. |
||||
(3) |
Permintaan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), disertai salinan usuI prakarsa yang telah memperoleh persetujuan Presiden, konsepsi yang akan dituangkan dalam Rancangan Undang-undang tersebut, dan hal-hal lain yang dapat memberi gambaran mengenai materi yang akan diatur. |
||||
(4) |
Menteri dan Pimpinan Lembaga yang diminta, menugaskan ahli hukum, dan pejabat senior lainnya yang secara teknis menguasai permasalahan yang akan diatur dalam Rancangan Undang-undang. |
||||
(5) |
Penyampaian nama ahli hukum dan pejabat senior sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah tanggal penerimaan surat permintaan. |
||||
(6) |
Surat Keputusan pembentukan Panitia Antar Departemen telah ditetapkan paling lambat tiga puluh hari kerja sejak tanggal diterimanya surat Menteri Sekretaris Negara mengenai pemberitahuan persetujuan pemrakarsa. |
||||
Pasal 10 |
|||||
Kepala Biro Hukum atau Kepala satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada Departemen atau Lembaga pemrakarsa, secara fungsional bertindak sebagai Sekretaris Panitia Antar Departemen. |
|||||
Pasal 11 |
|||||
(1) |
Panitia Antar Departemen menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsip seperti kelengkapan objek yang akan diatur jangkauan dan arah pengaturan. |
||||
(2) |
Kegiatan perancangan secara teknis dilaksanakan oleh Biro Hukum atau satuan kerja yang menye!enggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada Departemen atau Lembaga pemrakarsa yang secara fungsiona! bertindak sebagai Sekretariat Panitia Antar Departemen. |
||||
(3) |
Hasil perumusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), selanjutnya disampaikan kepada Panitia Antar Departemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati. |
||||
(4) |
Para pejabat sebagaimana dimaksud dalam PasaI 9 ayat (4) wajib secara berkala atau sewaktu-waktu menyampaikan Iaporan kepada dan meminta petunjuk langsung dari Menteri atau Pimpinan Lembaga mengenai perkembangan penyusunan Rancangan Undang-undang, permasalahan yang dihadapi, dan permintaan keputusan atau petunjuk mengenai permasalahan tersebut. |
||||
Pasal 12 |
|||||
(1) |
Ketua Panitia Antar Departemen secara berkala melaporkan perkembangan penyusunan Rancangan Undang-undang dan permasalahan yang dihadapi kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa untuk memperoleh pengarahan. |
||||
(2) |
Panitia menyampaikan hasil perumusan akhir Rancangan Undang-undang kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa dengan disertai penjelasan secukupnya. |
||||
BAB III
|
|||||
(1) |
Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa menyampaikan Rancangan Undang-undang yang dihasilkan Panitia kepada Menteri Kehakiman dan Menteri atau Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait, untuk memperoleh pendapat dan pertimbangan terlebih dahulu. |
||||
(2) |
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 14 ayat (3), pendapat dan pertimbangan dapat pula dimintakan kepada Perguruan Tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan Iainnya sesuai dengan kebutuhan. |
||||
(3) |
Tembusan permintaan pendapat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Menteri Sekretaris Negara. |
||||
Pasal 14 |
|||||
(1) |
Menteri atau Pimpinan Lembaga terkait menyampaikan pendapat dan pertimbangan atas Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa dengan tembusan kepada Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara. |
||||
(2) |
Penyampaian pendapat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan paling lambat tiga puluh hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan pendapat dan pertimbangan. |
||||
(3) |
Dalam hal pendapat dan pertimbangan dimintakan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), maka salinan pendapat dan pertimbangan tersebut disampaikan Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa kepada Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah diterimanya setiap pendapat dan pertimbangan tersebut. |
||||
Pasal 15 |
|||||
(1) |
Menteri Kehakiman membantu mengolah seluruh pendapat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 secara bersama-sama dengan pendapat dan pertimbangannya, dan menyampaikannya secara terkonsolidasi kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa, dengan tembusan kepada Menteri Sekretaris Negara. |
||||
(2) |
Dalam hal Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa dan Menteri Kehakiman melihat adanya perbedaan diantara pendapat dan pertimbangan tersebut, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa dengan dibantu Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara secepatnya menyelesaikan perbedaan tersebut dengan Menteri atau Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. |
||||
(3) |
Apabila upaya penyelesaian tersebut tetap tidak memberikan hasil, Menteri Sekretaris Negara bersama-sama Menteri Kehakiman dan Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa mengajukan permasalahan tersebut kepada Presiden untuk memperoleh keputusan. |
||||
(4) |
Perumusan ulang Rancangan Undang-undang dilakukan Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa bersama-sama Menteri Kehakiman. |
||||
Pasal 16 |
|||||
Apabila Rancangan Undang-undang tersebut telah memperoleh kesepakatan, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa mengajukan Rancangan Undang-undang tersebut kepada Presiden. |
|||||
Pasal 17 |
|||||
(1) |
Apabila Presiden menilai bahwa Rancangan Undang-undang tersebut masih mengandung beberapa permasalahan yang berkaitan dengan aspek tertentu di bidang ideologi-politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, atau pertahanan-keamanan, Menteri Sekretaris Negara mengundang Menteri Kehakiman, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa serta Menteri dan Pimpinan Lembaga yang terkait untuk menyelesaikannya. |
||||
(2) |
Apabila dipandang perlu, Menteri Sekretaris Negara dapat mengundang Perguruan Tinggi, organisasi di bidang sosial, politik, profesi, atau kemasyarakatan lainnya untuk diikutsertakan dalam upaya penyelesaian tersebut. |
||||
(3) |
Dalam hal diperlukan perumusan ulang, Menteri Sekretaris Negara menyampaikan kembali Rancangan Undang-undang tersebut kepada Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa untuk dirumuskan kembali bersama-sama Menteri Kehakiman. |
||||
(4) |
Rancangan Undang-undang disampaikan kembali oleh Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa kepada Menteri Sekrertaris Negara dengan tembusan kepada Menteri Kehakiman. |
||||
Pasal 18 |
|||||
Menteri Sekretaris Negara melaporkan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 kepada Presiden dan sekaligus mempersiapkan Amanat Presiden bagi penyampaiannya kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. |
|||||
BAB IV
|
|||||
(1) |
Dalam Amanat Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ditegaskan hal-hal yang dianggap perlu antara lain: |
||||
a. |
Sifat penyelesaian Rancangan Undang-undang yang dikehendaki; |
||||
b. |
Cara penanganan atau pembahasannya, dalam hal Rancangan Undang-undang yang disampaikan lebih dari satu; |
||||
c. |
Menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan Rancangan Undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat. |
||||
(2) |
Tembusan Amanat Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Wakil Presiden, para Menteri Koordinator, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa, dan Menteri Kehakiman. |
||||
(3) |
Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa memperbanyak Rancangan Undang-undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan. |
||||
Pasal 20 |
|||||
(1) |
Dalam pembahasan Rancangan Undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden wajib menyampaikan laporan perkembangan pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut secara berkala kepada Presiden. |
||||
(2) |
Apabila dalam pembahasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat masalah yang bersifat prinsipil dan arah pembahasannya akan mengubah isi serta arah Rancangan Undang-undang, Menteri yang mewakili Presiden wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada Presiden dengan disertai saran pemecahannya yang diperlukan, untuk memperoleh keputusan. |
||||
BAB V
|
|||||
Rancangan Undang-undang yang disusun Dewan Perwakilan Rakyat dan disampaikan kepada Presiden, dilaporkan oleh Menteri Sekretaris Negara disertai saran mengenai Menteri yang akan ditugasi untuk mengkoordinasi pembahasannya dengan Menteri dan Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait. |
|||||
Pasal 22 |
|||||
Menteri Sekretaris Negara menyampaikan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 kepada Menteri yang ditugasi Presiden untuk mengkoordinasi pembahasannya berikut petunjuk-petunjuk Presiden mengenai Rancangan Undang-undang yang bersangkutan, dengan mengikutsertakan Menteri Kehakiman. |
|||||
Pasal 23 |
|||||
(1) |
Menteri yang ditugasi mengkoordinasi pembahasan Rancangan Undang-undang secepatnya membentuk Panitia Antar Departemen sebagaimana dimaksud dalam PasaI 9 dan Pasal 10 untuk membahas dan menyiapkan pendapat, pertimbangan, serta saran penyempurnaan yang diperlukan. |
||||
(2) |
Panitia Antar Departemen menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puIuh) hari kerja terhitung sejak tanggal pembentukannya, dan melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Menteri yang di tugasi mengkoordinasi pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut. |
||||
(3) |
Panitia Antar Departemen melaksanakan tugasnya dengan memperhatikan ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12, serta bertugas membantu Menteri yang ditugasi Presiden untuk mewakilinya dalam pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat. |
||||
PasaI 24 |
|||||
Menteri yang ditugasi untuk mengkoordinasi pembahasan Rancangan Undang-undang berkewajiban : |
|||||
1. |
mengkonsultasikan Rancangan Undang-undang dengan disertai pendapat, pertimbangan serta saran penyempurnaan yang diajukan Panitia Antar Departemen kepada Menteri dan Pimpinan Lembaga lainnya yang terkait. |
||||
2. |
menyelesaikan seluruh proses konsultasi hingga pelaporan Rancangan Undang-undang kepada Presiden diselesaikan dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penerimaan surat Menteri Sekretaris Negara mengenai penyampaian Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. |
||||
Pasal 25 |
|||||
(1) |
Presiden menyampaikan kembali Rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan Amanat Presiden yang berisikan penerimaan untuk membahas lebih lanjut Rancangan Undang-undang atau tidak menerimanya. |
||||
(2) |
Dalam hal Presiden menerima Rancangan Undang-undang untuk dibahas lebih lanjut, dalam Amanat disebutkan Menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan Rancangan Undang-undang yang bersangkutan di Dewan Perwakilan Rakyat. |
||||
(3) |
Menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan Rancangan Undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat memperhatikan ketentuan Pasal 20. |
||||
BAB VI
|
|||||
(1) |
Menteri Sekretaris Negara menyiapkan naskah Rancangan Undang-undang yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan selanjutnya mengajukan kepada Presiden guna memperoleh pengesahan. |
||||
(2) |
Dalam hal Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih terdapat kesalahan teknik penulisan, Menteri Sekretaris Negara dapat melakukan perbaikan dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. |
||||
(3) |
Menteri Sekretaris Negara mengundangkan Undang-undang tersebut dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara. |
||||
Pasal 27 |
|||||
(1) |
Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa berkewajiban secepatnya menyebarluaskan jiwa, semangat dan substansi Undang-undang tersebut kepada masyarakat. |
||||
(2) |
Kegiatan penyebarluasan pemahaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara bersama-sama dengan Menteri Kehakiman dan Menteri Penerangan. |
||||
BAB VII
|
|||||
(1) |
Persetujuan prakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang, juga merupakan persetujuan bagi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Keputusan Presiden dan peraturan lainnya yang diperlukan, sebagai peraturan pelaksanaannya, yang pelaksanaannya dilakukan sebagai satu kesatuan kegiatan. |
||||
(2) |
Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan paling lambat satu tahun setelah pengundangan Undang-undang yang bersangkutan. |
||||
(3) |
Seluruh proses penyusunan rancangan peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan tata cara yang sama dengan penyusunan Rancangan Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 18. |
||||
Pasal 29 |
|||||
Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Keputusan Presiden beserta pedoman teknik penyusunan peraturan perundang-undangan pada umumnya, ditetapkan tersendiri dengan Keputusan Presiden. |
|||||
Pasal 30 |
|||||
Untuk memberi waktu bagi penyebarluasan pemahaman Undang-undang tersebut berikut segala peraturan pelaksanaannya, dan memberi kesempatan yang wajar kepada masyarakat untuk memahaminya, penentuan saat mulai berlaku efektif Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya dapat ditetapkan tanggal yang lain dari tanggal pengundangan Undang-undang tersebut. |
|||||
BAB IX
|
|||||
Terhadap prakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang yang telah memperoleh persetujuan tetapi kegiatan penyusunan Rancangan Undang-undang yang bersangkutan belum berlangsung pada saat Keputusan Presiden ini mulai berlaku, maka segala kegiatan penyusunan Rancangan Undang-undang tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Keputusan Presiden ini. |
|||||
BAB X |
|||||
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah dinyatakan tidak berlaku lagi. |
|||||
Pasal 33 |
|||||
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. |
|||||
Ditetapkan di Jakarta |
|||||
pada tanggal 29 Oktober 1998 |
|||||
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA |
|||||
ttd |
|||||
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE |
|||||