PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2006
TENTANG
SISTEM PELATIHAN KERJA NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
: |
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional; |
||||
Mengingat |
: |
1. |
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
|||
|
|
2. |
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); |
|||
|
|
3. |
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); |
|||
|
|
4. |
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4408); |
|||
|
|
MEMUTUSKAN : |
||||
Menetapkan |
: |
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM PELATIHAN KERJA NASIONAL. |
||||
|
BAB I |
|||||
|
|
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : |
||||
|
|
1. |
Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. |
|||
|
|
2. |
Sistem Pelatihan Kerja Nasional yang selanjutnya disingkat Sislatkernas, adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai komponen pelatihan kerja untuk mencapai tujuan pelatihan kerja nasional. |
|||
|
|
3. |
Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja. |
|||
|
|
4. |
Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. |
|||
|
|
5. |
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
|||
|
|
6. |
Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, Standar Internasional dan/atau Standar Khusus. |
|||
|
|
7. |
Sertifikat kompetensi kerja adalah bukti tertulis yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi terakreditasi yang menerangkan bahwa seseorang telah menguasai kompetensi kerja tertentu sesuai dengan SKKNI. |
|||
|
|
8. |
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. |
|||
|
|
9. |
Pelatihan berbasis kompetensi kerja adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan di tempat kerja. |
|||
|
|
10. |
Akreditasi adalah proses pemberian pengakuan formal yang menyatakan bahwa suatu lembaga telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan pelatihan kerja. |
|||
|
|
11. |
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
|||
|
|
12. |
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. |
|||
|
|
13. |
Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya disingkat BNSP, adalah lembaga independen yang bertugas melaksanakan sertifikasi kompetensi yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah. |
|||
|
|
14. |
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
|||
|
BAB II |
|||||
|
|
Sislatkernas bertujuan untuk : |
||||
|
|
a. |
mewujudkan pelatihan kerja nasional yang efektif dan efisien dalam rangka meningkatkan kualitas tenaga kerja; |
|||
|
|
b. |
memberikan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan, pembinaan, dan pengendalian pelatihan kerja; |
|||
|
|
c. |
mengoptimalkan pendayagunaan dan pemberdayaan seluruh sumber daya pelatihan kerja. |
|||
|
BAB III |
|||||
|
|
Prinsip dasar pelatihan kerja adalah : |
||||
|
|
a. |
berorientasi pada kebutuhan pasar kerja dan pengembangan SDM; |
|||
|
|
b. |
berbasis pada kompetensi kerja; |
|||
|
|
c. |
tanggung jawab bersama antara dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat; |
|||
|
|
d. |
bagian dari pengembangan profesionalisme sepanjang hayat; dan |
|||
|
|
e. |
diselenggarakan secara berkeadilan dan tidak diskriminatif. |
|||
|
BAB IV
Pasal 4 |
|||||
|
|
(1) |
Program pelatihan kerja disusun berdasarkan SKKNI, Standar Internasional dan/atau Standar Khusus. |
|||
|
|
(2) |
Program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disusun secara berjenjang atau tidak berjenjang. |
|||
|
|
(3) |
Program pelatihan kerja yang disusun secara berjenjang mengacu pada jenjang KKNI. |
|||
|
|
(4) |
Program pelatihan kerja yang tidak berjenjang disusun berdasarkan unit kompetensi atau kelompok unit kompetensi. |
|||
|
Bagian Kedua
|
|||||
|
|
(1) |
Dalam rangka pengembangan kualitas tenaga kerja ditetapkan KKNI yang disusun berdasarkan jenjang kualifikasi kompetensi kerja dari yang terendah sampai yang tertinggi. |
|||
|
|
(2) |
KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 9 (sembilan) jenjang yang dimulai dengan kualifikasi sertifikat 1 (satu) sampai dengan sertifikat 9 (sembilan). |
|||
|
|
(3) |
KKNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden. |
|||
|
Pasal 6 |
|||||
|
|
(1) |
KKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) menjadi acuan dalam penetapan kualifikasi tenaga kerja. |
|||
|
|
(2) |
Dalam hal sektor dan/atau profesi tertentu tidak memiliki atau tidak memerlukan seluruh jenjang pada KKNI, dapat memilih kualifikasi tertentu. |
|||
|
|
(3) |
Kualifikasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menggunakan KKNI. |
|||
|
Bagian Ketiga
|
|||||
|
|
(1) |
SKKNI disusun berdasarkan kebutuhan lapangan usaha yang sekurang-kurangnya memuat kompetensi teknis, pengetahuan, dan sikap kerja. |
|||
|
|
(2) |
SKKNI dikelompokkan ke dalam jenjang kualifikasi dengan mengacu pada KKNI dan/atau jenjang jabatan. |
|||
|
|
(3) |
Pengelompokkan SKKNI ke dalam jenjang kualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan pekerjaan, sifat pekerjaan, dan tanggung jawab pekerjaan. |
|||
|
|
(4) |
Rancangan SKKNI dibakukan melalui forum konvensi antar asosiasi profesi, pakar dan praktisi untuk sektor, sub sektor dan bidang tertentu dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. |
|||
|
Pasal 8 |
|||||
|
|
SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) menjadi acuan dalam penyusunan program pelatihan kerja dan penyusunan materi uji kompetensi. |
||||
|
BAB V
|
|||||
|
|
(1) |
Pelatihan kerja diselenggarakan dengan metode pelatihan kerja yang relevan, efektif, dan efisien dalam rangka mencapai standar kompetensi kerja. |
|||
|
|
(2) |
Metode pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pelatihan di tempat kerja dan/atau pelatihan di lembaga pelatihan kerja. |
|||
|
|
(3) |
Metode pelatihan di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diselenggarakan dengan pemagangan. |
|||
|
|
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. |
|||
|
Pasal 10 |
|||||
|
|
(1) |
Penyelenggaraan pelatihan kerja harus didukung dengan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan untuk menjamin tercapainya standar kompetensi kerja. |
|||
|
|
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
|||
|
Pasal 11 |
|||||
|
|
(1) |
Penyelenggaraan pelatihan kerja harus didukung dengan tenaga kepelatihan yang memenuhi persyaratan kualifikasi kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya. |
|||
|
|
(2) |
Kualifikasi kompetensi tenaga kepelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kompetensi teknis, pengetahuan, dan sikap kerja. |
|||
|
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kualifikasi kompetensi tenaga kepelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. |
|||
|
Pasal 12 |
|||||
|
|
(1) |
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah memiliki tanda daftar atau lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. |
|||
|
|
(2) |
Lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi pelatihan kerja setelah melalui proses akreditasi. |
|||
|
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran lembaga pelatihan kerja pemerintah, perizinan lembaga pelatihan kerja swasta dan akreditasi lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. |
|||
|
BAB VI
|
|||||
|
|
(1) |
Setiap tenaga kerja mempunyai kesempatan untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. |
|||
|
|
(2) |
Untuk dapat mengikuti pelatihan kerja, peserta wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan jenis dan tingkat program yang akan diikuti. |
|||
|
|
(3) |
Peserta pelatihan kerja yang memiliki keterbatasan fisik dan/atau mental tertentu dapat diberikan pelayanan khusus sesuai dengan keterbatasannya. |
|||
|
BAB VII
|
|||||
|
|
(1) |
Peserta pelatihan yang telah menyelesaikan program pelatihan berhak mendapatkan sertifikat pelatihan dan/atau sertifikat kompetensi kerja. |
|||
|
|
(2) |
Sertifikat pelatihan kerja diberikan oleh lembaga pelatihan kerja kepada peserta pelatihan yang dinyatakan lulus sesuai dengan program pelatihan kerja yang diikuti. |
|||
|
|
(3) |
Sertifikat kompetensi kerja diberikan oleh BNSP kepada lulusan pelatihan dan/atau tenaga kerja berpengalaman setelah lulus uji kompetensi. |
|||
|
|
(4) |
BNSP dapat memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan akreditasi untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
|||
|
|
(5) |
Dalam hal lembaga sertifikasi profesi tertentu belum terbentuk maka pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh BNSP. |
|||
|
|
(6) |
Pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mengacu pada pedoman sertifikasi kompetensi kerja yang ditetapkan oleh BNSP. |
|||
|
BAB VIII
|
|||||
|
|
(1) |
Menteri mengembangkan sistem informasi pelatihan kerja nasional untuk mendukung pelaksanaan Sislatkernas. |
|||
|
|
(2) |
Sistem informasi pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya memuat data dan informasi tentang : |
|||
|
|
|
a. |
SKKNI dan KKNI; |
||
|
|
|
b. |
program pelatihan kerja; |
||
|
|
|
c. |
penyelenggaraan pelatihan kerja; |
||
|
|
|
d. |
tenaga kepelatihan; dan |
||
|
|
|
e. |
sertifikasi. |
||
|
|
(3) |
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihimpun dari semua pihak yang terkait dengan pelatihan kerja baik instansi pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta, serta informasi dari lembaga di luar negeri. |
|||
|
Pasal 16 |
|||||
|
|
Kegiatan sistem informasi pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 meliputi pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan penyebarluasan data dan informasi. |
||||
|
Pasal 17 |
|||||
|
|
Sistem informasi pelatihan kerja nasional harus menjangkau sasaran yang luas, murah, dan mudah diperoleh masyarakat. |
||||
|
BAB IX
|
|||||
|
|
(1) |
Pendanaan sistem pelatihan kerja baik yang menyangkut pembinaan maupun penyelenggaraan dilaksanakan berdasarkan prinsip efektif, efisien, akuntabilitas, transparansi, dan berkelanjutan. |
|||
|
|
(2) |
Pendanaan sistem pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau penerimaan lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
|||
|
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pendanaan sistem pelatihan kerja diatur dengan Peraturan Menteri. |
|||
|
BAB X
|
|||||
|
|
(1) |
Pembinaan Sislatkernas diarahkan untuk meningkatkan relevansi, kualitas, dan efisiensi pelatihan kerja serta standardisasi sertifikasi kompetensi kerja. |
|||
|
|
(2) |
Pembinaan Sislatkernas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari pembinaan umum dan pembinaan teknis. |
|||
|
|
(3) |
Pembinaan umum terhadap Sislatkernas dilakukan oleh instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. |
|||
|
|
(4) |
Pembinaan teknis terhadap pelaksanaan Sislatkernas di masing-masing sektor dilakukan oleh instansi pemerintah yang membidangi sektor yang bersangkutan. |
|||
|
|
(5) |
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui perencanaan, bimbingan, konsultasi, fasilitasi, koordinasi dan pengendalian. |
|||
|
BAB XI
|
|||||
|
|
(1) |
Koordinasi pelatihan kerja dilakukan oleh lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional yang dibentuk dengan Peraturan Presiden. |
|||
|
|
(2) |
Koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi koordinasi dalam perencanaan, penyelenggaraan, pemberdayaan, dan pendanaan pelatihan kerja. |
|||
|
BAB XI
|
|||||
|
|
(1) |
Pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Sislatkernas di daerahnya sesuai dengan tugas dan wewenang penyelenggaraan otonomi daerah di bidang ketenagakerjaan. |
|||
|
|
(2) |
Pelaksanaan Sislatkernas di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlandaskan pada pedoman penyelenggaraan Sislatkernas yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri. |
|||
|
BAB
XIII
|
|||||
|
|
(1) |
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelatihan kerja yang telah ditetapkan oleh instansi teknis dan/atau lembaga lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diubah atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
|||
|
|
(2) |
Penyesuaian peraturan tentang pelatihan kerja yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini, wajib disesuaikan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini ditetapkan. |
|||
|
BAB XIV
|
|||||
|
|
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1991 tentang Latihan Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. |
||||
|
Pasal 24 |
|||||
|
|
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
||||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. |
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta |
|
|
|
|
|
|
pada tanggal 22 September 2006 |
|
|
|
|
|
|
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
|
|
||||||
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO | ||||||
|
|
Diundangkan di Jakarta |
|
|||
|
|
pada tangga122 September 2006 |
|
|||
|
|
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA |
|
|||
REPUBLIK INDONESIA, |
||||||
|
||||||
HAMID AWALUDIN |
||||||
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 67 |