MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 138/PMK.07/2009
TENTANG
BATAS MAKSIMAL KUMULATIF DEFISIT ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA DAERAH, BATAS MAKSIMAL DEFISIT ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA DAERAH MASING-MASING DAERAH, DAN
BATAS MAKSIMAL KUMULATIF PINJAMAN DAERAH
TAHUN ANGGARAN 2010
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang |
: |
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah dan Pasal 106 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Masing-Masing Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2010; |
|||
Mengingat |
: |
1. |
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); |
||
|
|
2. |
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); |
||
|
|
3. |
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); |
||
|
|
4. |
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4287); |
||
|
|
5. |
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4574); |
||
|
|
6. |
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); |
||
|
|
7. |
|||
|
|
8. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.02/2006 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanan dan Mekanisme Pemantauan Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Pinjaman Daerah; |
||
|
|
MEMUTUSKAN: |
|||
Menetapkan |
: |
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BATAS MAKSIMAL KUMULATIF DEFISIT ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH, BATAS MAKSIMAL DEFISIT ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH MASING-MASING DAERAH, DAN BATAS MAKSIMAL KUMULATIF PINJAMAN DAERAH TAHUN ANGGARAN 2010. |
|||
|
BAB I KETENTUAN UMUM
|
||||
|
|
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan: |
|||
|
|
1. |
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. |
||
|
|
2. |
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
||
|
|
3. |
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
||
|
|
4. |
Defisit APBD adalah selisih kurang antara Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah dalam Tahun Anggaran yang sama. |
||
|
|
5. |
Produk Domestik Bruto, selanjutnya disebut PDB adalah total nilai akhir seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di Indonesia dalam tahun tertentu yang dihitung menurut harga pasar. |
||
|
|
6. |
Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. |
||
|
|
7. |
Belanja Daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. |
||
|
|
8. |
Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. |
||
|
|
9. |
Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD adalah jumlah defisit seluruh APBD dalam suatu Tahun Anggaran yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. |
||
|
|
10. |
Batas Maksimal Defisit APBD adalah defisit APBD yang tidak boleh dilampaui oleh masing-masing Daerah dalam Tahun Anggaran tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. |
||
|
|
11. |
Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah adalah jumlah total pinjaman seluruh Daerah sampai dengan Tahun Anggaran tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. |
||
|
BAB II
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
Pasal 2 |
||||
|
|
(1) |
Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD Tahun Anggaran 2010 ditetapkan sebesar 0,3 % (nol koma tiga persen) dari proyeksi PDB Tahun Anggaran 2010. |
||
|
|
(2) |
Defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah defisit yang dibiayai oleh Pinjaman Daerah. |
||
|
|
(3) |
PDB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah proyeksi PDB yang digunakan dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2010. |
||
|
BAB III
BELANJA DAERAH MASING-MASING DAERAH
Pasal 3 |
||||
|
|
(1) |
Batas Maksimal Defisit APBD masing-masing daerah ditetapkan sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari perkiraan Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2010. |
||
|
|
(2) |
Batas Maksimal Defisit APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah defisit yang dibiayai dari Pinjaman Daerah. |
||
|
Pasal 4 |
||||
|
|
Batas Maksimal Defisit APBD masing-masing daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dipergunakan oleh Pemerintahan Daerah sebagai acuan untuk menetapkan defisit APBD Tahun Anggaran 2010. |
|||
|
Pasal 5 |
||||
|
|
(1) |
Daerah dapat melebihi Batas Maksimal Defisit APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 setelah mengajukan permohonan dan mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan dengan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. |
||
|
|
(2) |
Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada ketentuan sebagai berikut: |
||
|
|
|
a. |
Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak terlampaui; dan |
|
|
|
|
b. |
Terpenuhinya persyaratan peruntukan pinjaman, jumlah kewajiban pinjaman dan kemampuan keuangan daerah. |
|
|
Pasal 6 |
||||
|
|
Tata cara pengajuan permohonan persetujuan melebihi Batas Maksimal Defisit APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: |
|||
|
|
a. |
Pemerintah Daerah mengajukan permohonan persetujuan melebihi Batas Maksimal Defisit APBD kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan kepada Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah dengan disertai kelengkapan data yang memuat alasan melebihi Batas Maksimal Defisit APBD. |
||
|
|
b. |
Permohonan persetujuan melebihi Batas Maksimal Defisit APBD diajukan setelah adanya persetujuan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD atas Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. |
||
|
|
c. |
Persetujuan melebihi Batas Maksimal Defisit APBD merupakan dokumen yang tidak terpisahkan dalam pelaksanaan Pinjaman Daerah bagi daerah yang melampaui Batas Maksimal Defisit APBD sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1). |
||
|
Pasal 7 |
||||
|
|
(1) |
Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah memberikan pertimbangan kepada Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya surat permohonan dari daerah. |
||
|
|
(2) |
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan memberikan persetujuan/ penolakan atas permohonan dari daerah paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya surat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. |
||
|
|
(3) |
Apabila Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah tidak memberikan pertimbangan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan memberikan persetujuan/ penolakan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya surat permohonan dari daerah. |
||
|
Pasal 8 |
||||
|
|
Persetujuan/penolakan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas pelampauan Batas Maksimal Defisit APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak menjadi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. |
|||
|
BAB IV
Pasal 9 |
||||
|
|
Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah yang masih menjadi kewajiban Daerah sampai dengan Tahun Anggaran 2010 ditetapkan sebesar 0,35% (nol koma tiga puluh lima persen) dari proyeksi PDB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). |
|||
|
BAB V
PEMANTAUAN DEFISIT DAN PINJAMAN DAERAH
Pasal 10 |
||||
|
|
(1) |
Menteri Keuangan melakukan pemantauan defisit APBD dan Pinjaman Daerah dalam rangka pengendalian kumulatif defisit APBD dan kumulatif Pinjaman Daerah. |
||
|
|
(2) |
Berdasarkan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri Keuangan melakukan evaluasi untuk menetapkan Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2011. |
||
|
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11 |
||||
|
|
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
|||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. |
|||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta |
|
|
|
|
|
pada tanggal 28 Agustus 2009 |
|
|
|
|
|
MENTERI KEUANGAN, |
SRI MULYANI INDRAWATI | |||||
|
|
Diundangkan di Jakarta |
|
||
|
|
Pada tanggal 31 Agustus 2009 |
|
||
|
|
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, |
|
||
ANDI MATTALATTA | |||||
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 281 |