MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 113 /PMK.08/2013
MELALUI PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH
NEGARA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
|
|||||
Menimbang |
: |
a. |
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2011 tentang Pembiayaan Proyek Melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dapat digunakan untuk membiayai proyek yang sebagian atau seluruh pembiayaannya diusulkan untuk dibiayai melalui penerbitan Surat Berharga Syariah Negara, baik proyek yang akan dilaksanakan maupun yang sedang dilaksanakan; |
||
|
|
b. |
bahwa dalam rangka koordinasi dengan kementerian negara/lembaga terkait dan antar unit di lingkungan Kementerian Keuangan, perlu mengatur tata cara untuk mempersiapkan proyek yang dibiayai melalui penerbitan Surat Berharga Syariah Negara sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing instansi dan unit terkait; |
||
|
|
c. |
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembiayaan Proyek/Kegiatan Melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara; |
||
Mengingat |
: |
1. |
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852); |
||
|
|
2. |
Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5178); |
||
|
|
3. |
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2011 tentang Pembiayaan Proyek Melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5265); |
||
|
|
4. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.02/2012 tentang Petunjuk Penyusunan Dan Penelaahan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga; |
||
MEMUTUSKAN:
|
|||||
Menetapkan | : |
PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBIAYAAN PROYEK/KEGIATAN MELALUI PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA. |
|||
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
|
|||||
|
|
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: |
|||
|
|
1. |
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. |
||
|
|
2. |
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang selanjutnya disebut Menteri Perencanaan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. |
||
|
|
3. |
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. |
||
|
|
4. |
Lembaga adalah organisasi non Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya. |
||
|
|
5. |
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. |
||
|
|
6. |
Proyek adalah kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang merupakan bagian dari program yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga yang pembiayaannya bersumber dari penerbitan SBSN dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
||
|
|
7. |
Surat Berharga Syariah Negara Berbasis Proyek (Project Based Sukuk) yang selanjutnya disebut SBSN PBS adalah sumber pendanaan melalui penerbitan SBSN untuk membiayai kegiatan tertentu yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara/Lembaga. |
||
|
|
8. |
Pemrakarsa Proyek adalah Kementerian/Lembaga yang menyampaikan usulan Proyek. |
||
|
|
9. |
Dokumen Penetapan Pembiayaan adalah dokumen kesepahaman antara Kementerian Keuangan dan Pemrakarsa Proyek yang memuat penetapan Proyek. |
||
|
|
10. |
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. |
||
|
|
11. |
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian/Lembaga yang disusun menurut bagian anggaran Kementerian/Lembaga. |
||
|
|
12. |
Batas Maksimum Penerbitan SBSN PBS yang selanjutnya disebutkan Batas Maksimum Penerbitan adalah nilai maksimum nominal penerbitan SBSN yang digunakan untuk pembiayaan Proyek yang penetapannya dilakukan oleh Menteri. |
||
|
|
13. |
Daftar Prioritas Proyek adalah daftar proyek yang disusun oleh Menteri Perencanaan yang pembiayaannya diusulkan melalui SBSN pada tahun anggaran tertentu. |
||
|
|
14. |
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pimpinan unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi pengelolaan utang. |
||
BAB II
PERSIAPAN PEMBIAYAAN PROYEK
Pasal 2
|
|||||
|
|
(1) |
Setiap awal tahun anggaran sebelum dilakukan penyusunan pagu indikatif Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), diselenggarakan pembahasan rencana pembiayaan Proyek melalui SBSN PBS untuk tahun anggaran berikutnya. |
||
|
|
(2) |
Pembahasan rencana pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang melibatkan: |
||
|
|
|
a. |
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU); |
|
|
|
|
b. |
Direktorat Jenderal Anggaran (DJA); dan |
|
|
|
|
c. |
Badan Kebijakan Fiskal (BKF). |
|
|
|
(3) |
Pembahasan rencana pembiayaan Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan berkoordinasi dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian Perencanaan). |
||
Pasal 3
|
|||||
|
|
(1) |
Berdasarkan hasil koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), disusun Batas Maksimum Penerbitan SBSN PBS. |
||
|
|
(2) |
Penyusunan Batas Maksimum Penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh unit eselon II pada DJPU yang menangani strategi pengelolaan utang. |
||
|
|
(3) |
Batas Maksimum Penerbitan yang telah disusun sebagaimana dimaksud ayat (2), diajukan Direktur Jenderal kepada Menteri untuk ditetapkan. |
||
|
|
(4) |
Batas Maksimum Penerbitan yang telah ditetapkan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan kepada Menteri Perencanaan sebagai dasar penyusunan Daftar Prioritas Proyek. |
||
BAB III
PENGANGGARAN PEMBIAYAAN PROYEK Bagian Kesatu Pengalokasian Proyek dalam APBN
Pasal 4
|
|||||
Berdasarkan Daftar Prioritas Proyek yang disampaikan oleh Menteri Perencanaan sebagai tindak lanjut atas penyampaian Batas Maksimum Penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), Direktur Jenderal berkoordinasi dengan Direktur Jenderal Anggaran untuk mengalokasikan Daftar Prioritas Proyek dimaksud dalam RAPBN. |
|||||
Pasal 5
|
|||||
|
|
(1) |
Dalam rangka pengalokasian Daftar Prioritas Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, DJPU berkoordinasi dengan DJA dan BKF untuk menyusun program pembiayaan sebagai bagian dari proses penyusunan RAPBN. |
||
|
|
(2) |
Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Direktur Jenderal kepada DJA sebagai usulan pembiayaan untuk dicantumkan dalam RAPBN. |
||
|
|
(3) |
Berdasarkan usulan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DJA: |
||
|
|
|
a. |
memasukkan Proyek yang telah tercantum dalam Daftar Prioritas Proyek ke dalam daftar kegiatan di RAPBN; dan |
|
|
|
|
b. |
mencantumkan besaran pembiayaan Proyek ke dalam postur pembiayaan APBN. |
|
Bagian Kedua Penetapan Pembiayaan
Pasal 6
|
|||||
|
|
(1) |
Dengan telah dialokasikannya Proyek dalam APBN, Direktur Jenderal atas nama Menteri, dan Pemrakarsa Proyek melakukan penandatanganan Dokumen Penetapan Pembiayaan. |
||
|
|
(2) |
Dokumen Penetapan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang memuat: |
||
|
|
|
a. |
nomenklatur Pemrakarsa Proyek; |
|
|
|
|
b. |
satuan kerja; |
|
|
|
|
c. |
lokasi Proyek; |
|
|
|
|
d. |
pagu/nilai pembiayaan; |
|
|
|
|
e. |
kategori pembiayaan; dan |
|
|
|
|
f. |
jenis kontrak pekerjaan tahun tunggal atau tahun jamak. |
|
|
|
(3) |
Dokumen Penetapan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri dengan: |
||
|
|
|
a. |
Kerangka Acuan Kerja; |
|
|
|
|
b. |
Rencana Anggaran Belanja; |
|
|
|
|
c. |
Rencana Kerja Pelaksanaan Kegiatan; dan |
|
|
|
|
d. |
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang disiapkan oleh Pemrakarsa Proyek dengan format SPTJM sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
|
|
|
(4) |
Untuk Proyek dengan jenis kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, selain mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), harus memperhatikan prosedur pengusulan jenis kontrak sesuai ketentuan perundang-undangan. |
||
Bagian Ketiga Pendokumenan Pembiayaan Proyek
Pasal 7
|
|||||
(1) |
Direktur Jenderal c.q. Direktur Pembiayaan Syariah DJPU, menetapkan nomor register pembiayaan Proyek berdasarkan Dokumen Penetapan Pembiayaan yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). |
||||
(2) |
Dokumen Penetapan Pembiayaan yang telah mendapat penetapan nomor register sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Direktur Jenderal kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk dilakukan proses penerbitan dokumen pelaksanaan anggaran. |
||||
BAB IV PELAKSANAAN PEMBIAYAAN PROYEK
MELALUI SBSN PBS |
|||||
|
|
(1) |
Dengan diterbitkannya dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pemrakarsa Proyek berkoordinasi dengan DJPU dalam rangka persiapan pelaksanaan pembiayaan Proyek. |
||
|
|
(2) |
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang meliputi: |
||
|
|
|
a. |
jadwal pelaksanaan Proyek; |
|
|
|
|
b. |
jadwal penarikan dana; dan |
|
|
|
|
c. |
mekanisme pelaporan, monitoring dan evaluasi. |
|
Pasal 9
|
|||||
Pemrakarsa Proyek melaksanakan Proyek berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pelaksanaan APBN. |
|||||
Pasal 10
|
|||||
Penerbitan SBSN dalam rangka pelaksanaan pembiayaan Proyek dilakukan dengan mempertimbangkan realisasi pelaksanaan Proyek yang meliputi: |
|||||
a. | perkembangan pencapaian pelaksanaan fisik proyek; dan | ||||
b. | penyerapan anggaran. | ||||
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
|
|||||
Pembiayaan Proyek melalui penerbitan SBSN yang dilaksanakan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, dapat tetap dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan. |
|||||
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
|
|||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
|||||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. |
|||
Ditetapkan di Jakarta ttd. MUHAMAD CHATIB BASRI |
|||||
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013 MENTER!HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
AMIR SYAMSUDIN |
|||||