MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 163/PMK.06/2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 128/PMK.06/2007
TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang |
: |
a. |
bahwa dalam rangka lebih mengoptimalkan pengurusan Piutang Negara, perlu melakukan penyempurnaan kembali Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2009; |
||||
b. |
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara; |
||||||
Mengingat |
: |
1. |
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216); |
||||
2. |
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Departemen Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4313); |
||||||
3. |
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4995); |
||||||
4. |
|||||||
5. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2009; |
||||||
MEMUTUSKAN: |
|||||||
Menetapkan |
: |
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA. |
|||||
Pasal I |
|||||||
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2009 diubah sebagai berikut: |
|||||||
1. |
Ketentuan Pasal 15 ayat (2) diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 15 |
|||||||
(1) |
Piutang Negara terdiri atas hutang pokok, bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya sesuai perjanjian/peraturan/putusan pengadilan. |
||||||
(2) |
Terhadap piutang yang pengurusannya diserahkan oleh BUMN/BUMD, dalam hal terdapat pembebanan bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya, besarnya pembebanan ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan setelah kredit/piutang dikategorikan macet/jatuh tempo kecuali ditetapkan tersendiri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||
(3) |
Terhadap piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang pengurusannya diserahkan oleh Instansi Pemerintah, dalam hal terdapat pembebanan sanksi administrasi berupa denda, besarnya pembebanan ditetapkan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah Piutang Negara jatuh tempo berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||
(4) |
Terhadap piutang bukan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang pengurusannya diserahkan oleh Instansi Pemerintah, dalam hal terdapat pembebanan bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya, besarnya pembebanan ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan setelah Piutang Negara jatuh tempo kecuali ditetapkan tersendiri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||
2. |
Ketentuan Pasal 26 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 26 |
|||||||
(1) |
Koreksi besaran Piutang Negara hanya dapat dilakukan jika terdapat: |
||||||
a. |
pembayaran yang tidak tercatat; |
||||||
b. |
kesalahan perhitungan oleh Penyerah Piutang; dan/atau |
||||||
c. |
sebab lain yang sah. |
||||||
(2) |
Koreksi besaran Piutang Negara tidak dapat dilakukan terhadap perhitungan pembebanan bunga, denda dan/atau ongkos/beban lainnya yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). |
||||||
3. |
Ketentuan Pasal 62 diubah, sehingga Pasal 62 berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 62 |
|||||||
Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan diberi kewenangan untuk memberikan keringanan hutang dalam bentuk: |
|||||||
a. |
keringanan jumlah hutang yang menyangkut bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya; |
||||||
b. |
keringanan jangka waktu penyelesaian hutang; |
||||||
c. |
keringanan jumlah hutang yang menyangkut bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya sekaligus keringanan jangka waktu; atau |
||||||
d. |
konversi satuan mata uang asing ke dalam satuan mata uang rupiah. |
||||||
4. |
Di antara Pasal 62 dan Pasal 63 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 62A, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 62A |
|||||||
Dikecualikan dari ketentuan Pasal 62 huruf a, huruf c, dan huruf d, keringanan jumlah hutang tidak diberikan terhadap Piutang Negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak. |
|||||||
5. |
Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 65A, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 65A |
|||||||
(1) |
Keringanan hutang atas piutang dalam satuan mata uang asing diberikan dengan ketentuan: |
||||||
a. |
piutang terjadi sebelum Januari 1998 dan macet sebagai akibat krisis moneter; |
||||||
b. |
sumber utama penghasilan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang dalam satuan mata uang rupiah; dan |
||||||
c. |
pelunasan hutang dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan persetujuan keringanan hutang diterbitkan Kantor Pelayanan. |
||||||
(2) |
Keringanan hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf d dilakukan dengan menghitung rata-rata nilai kurs pada saat terjadinya hutang dan nilai kurs pada saat persetujuan keringanan hutang ditetapkan. |
||||||
(3) |
Besarnya keringanan hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
||||||
(4) |
Pemberian keringanan hutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disertai dengan pemberian keringanan jumlah hutang berupa bunga, denda, dan/atau ongkos/beban lainnya dan/atau jangka waktu penyelesaian hutang. |
||||||
6. |
Di antara Pasal 72 dan Pasal 73 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 72A, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 72A |
|||||||
Analisis terhadap nilai dan daya laku Barang Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf c tidak dilakukan dengan ketentuan pada saat keringanan hutang diajukan: |
|||||||
a. |
sisa hutang pokok paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); |
||||||
b. |
sisa hutang pokok lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), dan pengurusan telah lebih dari 5 (lima) tahun sejak SP3N diterbitkan; |
||||||
c. |
sisa hutang pokok lebih dari Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dan pengurusan telah lebih dari 7 (tujuh) tahun sejak SP3N diterbitkan; |
||||||
d. |
sisa hutang pokok lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dan pengurusan telah lebih dari 10 (sepuluh) tahun sejak SP3N diterbitkan; atau |
||||||
e. |
sisa hutang pokok lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dan pengurusan telah lebih dari 15 (lima belas) tahun sejak SP3N diterbitkan.` |
||||||
7. |
Ketentuan Pasal 107 diubah, sehingga Pasal 107 berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 107 |
|||||||
(1) |
Pemeriksa diangkat, dibebastugaskan, atau diberhentikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan. |
||||||
(2) |
Sebelum menjalankan tugasnya, Pemeriksa terlebih dahulu mengangkat sumpah jabatan menurut agamanya atau kepercayaannya dan dilantik di hadapan dan oleh Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Pemeriksa yang bersangkutan. |
||||||
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan, sumpah jabatan, pembebastugasan, dan pemberhentian Pemeriksa diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal. |
||||||
8. |
Ketentuan Pasal 121 diubah, sehingga Pasal 121 berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 121 |
|||||||
(1) |
Objek Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dapat dicegah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||
(2) |
Jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. |
||||||
9. |
Ketentuan Pasal 123 huruf c dihapus, sehingga Pasal 123 berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 123 |
|||||||
Pencegahan dapat dilakukan dalam hal: |
|||||||
a. |
sisa hutang: |
||||||
1. |
lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); atau |
||||||
2. |
kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tetapi objek Pencegahan sering bepergian keluar wilayah Republik Indonesia; dan |
||||||
b. |
objek Pencegahan beritikad tidak baik. |
||||||
c. |
Dihapus. |
||||||
10. |
Ketentuan Pasal 124 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 124 berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 124 |
|||||||
(1) |
Objek Pencegahan dapat dikategorikan sering ke luar wilayah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf a angka 2, jika selama kurun waktu 12 (dua belas) bulan objek Pencegahan paling sedikit 2 (dua) kali keluar wilayah Republik Indonesia |
||||||
(2) |
Kesimpulan bahwa objek Pencegahan sering bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia dapat diperoleh Kantor Pelayanan dari paspor objek Pencegahan, pengakuan objek Pencegahan, informasi dari instansi berwenang, Penyerah Piutang dan/atau dari sumber lainnya. |
||||||
11. |
Ketentuan Pasal 126 diubah, sehingga Pasal 126 berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 126 |
|||||||
Dalam hal objek Pencegahan mempunyai kewajiban menyelesaikan hutang lebih dari satu kasus Piutang Negara dan telah dicegah pada salah satu kasus, dapat dilakukan Pencegahan untuk kasus yang lain. |
|||||||
12. |
Pasal 127 dihapus. |
||||||
13. |
Ketentuan Pasal 128 diubah, sehingga Pasal 128 berbunyi sebagai berikut: |
||||||
Pasal 128 |
|||||||
(1) |
Izin ke luar wilayah Republik Indonesia dalam jangka waktu Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan dapat diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan dengan tidak mengurangi masa pencegahan. |
||||||
(2) |
Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh objek Pencegahan dengan dilengkapi bukti-bukti yang mendukung alasan ke luar wilayah Republik Indonesia. |
||||||
|
|
14. |
Ketentuan Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3), sehingga Pasal 131 berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 131 |
|||||||
(1) |
Pencabutan Pencegahan terhadap objek Pencegahan dilakukan dalam hal: |
||||||
a. |
Piutang Negara dinyatakan lunas; |
||||||
b. |
Pengurusan Piutang Negara dinyatakan selesai/dikembalikan; atau |
||||||
c. |
objek Pencegahan meninggal dunia. |
||||||
|
|
|
(2) |
Pencegahan berakhir demi hukum dalam hal: |
|||
|
|
|
|
a. |
jangka waktu Pencegahan berakhir dan tidak ada perpanjangan; atau |
||
|
|
|
|
b. |
terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bebas atas perkara yang menjadi alasan Pencegahan. |
||
|
|
|
(3) |
Dalam hal Pencegahan berakhir demi hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan Surat Keputusan Pencabutan Pencegahan. |
|||
|
|
15. |
Ketentuan Pasal 132 diubah, sehingga Pasal 132 berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 132 |
||||
|
|
|
(1) |
Pencabutan Pencegahan atau masa Pencegahan tidak diperpanjang dapat dilakukan dalam hal: |
|||
|
|
|
|
a. |
terdapat perubahan susunan kepengurusan perusahaan secara sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; |
||
|
|
|
|
b. |
objek Pencegahan telah menunjukkan itikad baik dengan: |
||
|
|
|
|
|
1. |
melakukan pembayaran paling sedikit 50% dari sisa hutang; dan |
|
|
|
|
|
|
2. |
membuat pernyataan tertulis untuk melunasi sisa hutangnya paling lama dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak pencegahan dicabut; |
|
|
|
|
|
c. |
pencabutan pencegahan dilakukan setelah pembayaran dan pengajuan pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan oleh Debitor dan/atau Penjamin Hutang. |
||
|
|
|
(2) |
Perubahan susunan kepengurusan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus mendapat persetujuan Penyerah Piutang. |
|||
|
|
|
(3) |
Dalam hal Debitor dan/atau Penjamin Hutang tidak melunasi sisa hutangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 dilakukan pencegahan kembali terhadap Objek Pencegahan. |
|||
|
|
|
(4) |
Pencabutan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. |
|||
|
|
16. |
Di antara Pasal 132 dan Pasal 133 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 132A, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 132A |
||||
|
|
|
Terhadap objek pencegahan yang pernah dicegah dan masa pencegahan sudah berakhir, dapat dikenakan tindakan pencegahan kembali dalam hal memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 sampai dengan Pasal 125. |
||||
|
|
17. |
Ketentuan Pasal 135 ayat (2) diubah sehingga Pasal 135 berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 135 |
||||
|
|
|
(1) |
Keputusan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, dan pencabutan Pencegahan ditetapkan secara tertulis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan. |
|||
|
|
|
(2) |
Keputusan mengenai perpanjangan Pencegahan ditetapkan sebelum jangka waktu Pencegahan berakhir. |
|||
|
|
18. |
Ketentuan Pasal 136 ayat (1) huruf a diubah sehingga Pasal 136 berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 136 |
||||
|
|
|
(1) |
Keputusan Pencegahan dan perpanjangan Pencegahan memuat sekurang-kurangnya: |
|||
|
|
|
|
a. |
nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta foto yang dikenai Pencegahan; |
||
|
|
|
|
b. |
alasan Pencegahan; dan |
||
|
|
|
|
c. |
jangka waktu Pencegahan. |
||
|
|
|
(2) |
Keputusan pencabutan Pencegahan memuat sekurang-kurangnya: |
|||
|
|
|
|
a. |
nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta foto yang dikenai Pencegahan; dan |
||
|
|
|
|
b. |
alasan pencabutan Pencegahan. |
||
|
|
19. |
Ketentuan Pasal 141 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3) sehingga Pasal 141 berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 141 |
||||
|
|
|
(1) |
Juru Sita Piutang Negara diangkat, dibebastugaskan, atau diberhentikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan. |
|||
|
|
|
(2) |
Sebelum menjalankan tugasnya, Juru Sita Piutang Negara terlebih dahulu mengangkat sumpah jabatan menurut agamanya atau kepercayaannya dan dilantik di hadapan dan oleh Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Juru Sita Piutang Negara yang bersangkutan. |
|||
|
|
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan, sumpah jabatan, pembebastugasan dan pemberhentian Juru Sita Piutang Negara diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal. |
|||
|
|
20. |
Ketentuan Pasal 161 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3), sehingga Pasal 161 berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 161 |
||||
|
|
|
(1) |
Penyitaan dilakukan terhadap barang milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. |
|||
|
|
|
(2) |
Dalam hal Barang Jaminan tidak ada atau diperkirakan nilainya tidak dapat menutup sisa hutang, penyitaan dapat dilakukan terhadap Harta Kekayaan Lain. |
|||
|
|
|
(3) |
Penyitaan terhadap harta kekayaan milik Penjamin Hutang dapat dilakukan terlebih dahulu dalam hal Penjamin Hutang telah melepaskan hak istimewanya. |
|||
|
|
21. |
Ketentuan Pasal 256 ayat (4) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (5), sehingga Pasal 256 berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 256 |
||||
|
|
|
(1) |
Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang selaku pemilik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain dapat mengajukan permohonan Penjualan tanpa melalui lelang untuk penyelesaian hutang. |
|||
|
|
|
(2) |
Permohonan Penjualan tanpa melalui lelang diajukan secara tertulis oleh: |
|||
|
|
|
|
a. |
Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang dan dilampiri Surat Penawaran Pembelian dari calon pembeli; atau |
||
|
|
|
|
b. |
Calon pembeli dengan persetujuan Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang. |
||
|
|
|
(3) |
Dalam hal permohonan diajukan oleh Penjamin Hutang, permohonan harus disetujui oleh Penanggung Hutang. |
|||
|
|
|
(4) |
Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat sekurang-kurangnya: |
|||
|
|
|
|
a. |
uraian barang yang akan dijual atau dibeli dengan disertai nilai penjualan atau nilai pembelian; |
||
|
|
|
|
b. |
identitas calon pembeli; |
||
|
|
|
|
c. |
kesediaan menyerahkan salinan akta jual beli maupun bukti penyetoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan; |
||
|
|
|
|
d. |
cara pembayaran. |
||
|
|
|
(5) |
Dalam hal Barang Jaminan yang dijual tanpa melalui lelang milik Penanggung Hutang, permohonan harus dilampiri surat pernyataan yang disetujui calon pembeli untuk bersedia dilakukan penyitaan kembali oleh Kantor Pelayanan apabila tidak menyerahkan salinan akta jual beli maupun bukti penyetoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. |
|||
|
|
22. |
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 279 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), sehingga Pasal 279 berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 279 |
||||
|
|
|
(1) |
Piutang Negara ditetapkan sebagai Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih, dalam hal masih terdapat sisa Piutang Negara, namun: |
|||
|
|
|
|
a. |
Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan atau tidak diketahui tempat tinggalnya; dan |
||
|
|
|
|
b. |
Barang Jaminan tidak ada, telah terjual, ditebus, atau tidak lagi mempunyai nilai ekonomis. |
||
|
|
|
(1a) |
Penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Surat Paksa disampaikan. |
|||
|
|
|
(2) |
Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan berdasarkan Laporan Penilaian bahwa Barang Jaminan mempunyai nilai jual yang rendah atau sama sekali tidak mempunyai nilai jual. |
|||
|
|
23. |
Di antara Pasal 280 dan Pasal 281 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 280A dan Pasal 280B, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 280A |
||||
|
|
|
Penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih Piutang Negara Perbankan tidak dilakukan pemeriksaan dalam hal: |
||||
|
|
|
a. |
sisa hutang lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan terdapat surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menyatakan: |
|||
|
|
|
|
1. |
Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya; atau |
||
|
|
|
|
2. |
tidak diketahui tempat tinggalnya. |
||
|
|
|
b. |
sisa hutang lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) setelah diperoleh: |
|||
|
|
|
|
1. |
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang diketahui oleh Camat setempat yang menyatakan: |
||
|
|
|
|
|
a. |
Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya; atau |
|
|
|
|
|
|
b. |
tidak diketahui tempat tinggalnya; dan |
|
|
|
|
|
2. |
laporan hasil penelitian lapangan oleh petugas Kantor Pelayanan terhadap kemampuan dan keberadaan Penanggung Hutang. |
||
|
|
|
Pasal 280B |
||||
|
|
|
Penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih Piutang Negara Non Perbankan tidak dilakukan pemeriksaan dalam hal: |
||||
|
|
|
a. |
sisa hutang lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) sampai dengan Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan terdapat surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menyatakan: |
|||
|
|
|
|
1. |
Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya; atau |
||
|
|
|
|
2. |
tidak diketahui tempat tinggalnya. |
||
|
|
|
b. |
sisa hutang lebih dari Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan kurang dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) setelah diperoleh: |
|||
|
|
|
|
1. |
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang diketahui oleh Camat setempat yang menyatakan: |
||
|
|
|
|
|
a) |
Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya; atau |
|
|
|
|
|
|
b) |
tidak diketahui tempat tinggalnya; dan |
|
|
|
|
|
2. |
laporan hasil penelitian lapangan oleh petugas Kantor Pelayanan terhadap kemampuan dan keberadaan Penanggung Hutang. |
||
|
|
24. |
Ketentuan Pasal 281 diubah, sehingga Pasal 281 berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 281 |
||||
|
|
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (1a) dan Pasal 280, Penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dapat dilakukan setelah SP3N diterbitkan dalam hal: |
||||
|
|
|
a. |
Piutang Negara berasal dari Instansi Pemerintah dan telah mendapat rekomendasi penghapusan dari Badan Pemeriksa Keuangan. |
|||
|
|
|
b. |
Piutang Negara dengan sisa hutang paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) yang dilengkapi dokumen berupa: |
|||
|
|
|
|
1. |
Kartu Keluarga Miskin; |
||
|
|
|
|
2. |
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menyatakan Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan atau tidak diketahui tempat tinggalnya untuk menyelesaikan hutangnya; atau |
||
|
|
|
|
3. |
bukti penerima Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin. |
||
|
|
|
c. |
Piutang BUMN yang selanjutnya berubah menjadi piutang Instansi Pemerintah dan telah dilakukan penelitian bersama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|||
|
|
25. |
Di antara Pasal 291 dan Pasal 292 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 291A, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 291A |
||||
|
|
|
(1) |
Dalam hal Piutang Negara berupa satuan mata uang asing dan pembayaran hutang ke rekening Kantor Pelayanan dalam mata uang rupiah, perhitungan pembayaran menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada saat dana efektif diterima. |
|||
|
|
|
(2) |
Dalam hal Piutang Negara berupa satuan mata uang rupiah dan satuan mata uang asing dan terdapat pembayaran dalam satuan mata uang tertentu, perhitungan pembayaran didahulukan terhadap satuan mata uang yang sama. |
|||
|
|
|
(3) |
Dalam hal kurs tengah Bank Indonesia tidak tersedia untuk satuan mata uang asing tertentu, nilai kurs yang digunakan sebagai dasar perhitungan adalah kurs valuta asing yang bersangkutan di pasar internasional terhadap dolar Amerika Serikat dan dikalikan kurs tengah Bank Indonesia atas rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang berlaku untuk kurun waktu yang sama. |
|||
|
|
26. |
Ketentuan Pasal 297 ayat (2) dan ayat (3) diubah serta ayat (4) dihapus, sehingga Pasal 297 berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
|
Pasal 297 |
||||
|
|
|
(1) |
Penyerah Piutang dapat mengajukan usul penarikan pengurusan Piutang Negara untuk keperluan restrukturisasi hutang. |
|||
|
|
|
(2) |
Usul penarikan disampaikan secara tertulis oleh Penyerah Piutang. |
|||
|
|
|
(3) |
Usul penarikan pengurusan Piutang Negara dapat diajukan sewaktu-waktu sebelum Pengumuman Lelang. |
|||
|
|
|
(4) |
Dihapus. |
|||
|
|
Pasal II |
|||||
|
|
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
|||||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. |
|||||
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta |
|
|
|
|
|
|
|
pada tanggal 10 Oktober 2011 |
|
|
|
|
|
|
|
MENTERI KEUANGAN, |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
ttd. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
AGUS D.W. MARTOWARDOJO |
||||||
Diundangkan di Jakarta |
|
||||||
pada tanggal 10 Oktober 2011 |
|
||||||
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, |
|
||||||
|
|
||||||
ttd. |
|
||||||
|
|
||||||
PATRIALIS AKBAR |
|
||||||
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 630 |
|