Menimbang
|
:
|
bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan,
serta menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan
pengawasan dan pengamanan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat
dilaksanakan secara mandiri, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1994;
|
|
|
|
|
Mengingat
|
:
|
1.
|
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Pertama Tahun 1999;
|
|
|
|
|
|
2.
|
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
|
|
|
|
|
|
3.
|
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
|
|
|
|
|
|
4.
|
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3568);
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
|
|
|
|
|
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568) diubah sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah
darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu
di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
|
|
|
|
|
|
2.
|
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
|
|
|
|
|
|
3.
|
Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2
yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
|
|
|
|
|
|
4.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3.
|
|
|
|
|
|
5.
|
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan
atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan.
|
|
|
|
|
|
6
|
Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 5 yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
|
|
|
|
|
|
7
|
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 6.
|
|
|
|
|
|
8
|
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
|
|
|
|
|
|
9
|
Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean
ke dalam Daerah Pabean.
|
|
|
|
|
|
10
|
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean karena suatu perjanjian di dalam Daerah Pabean.
|
|
|
|
|
|
11.
|
Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah
Pabean ke luar Daerah Pabean.
|
|
|
|
|
|
12.
|
Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan
tukar menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya.
|
|
|
|
|
|
13.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha
Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk
usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
|
|
|
|
|
|
14.
|
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam
angka 13 yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
|
|
|
|
|
|
15.
|
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam angka
14 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa
Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
|
|
|
|
|
|
16.
|
Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk
atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai
daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh
orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
|
|
|
|
|
|
17.
|
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai
Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
|
|
|
|
|
|
18.
|
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang
ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
|
|
|
|
|
|
19.
|
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak,
tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
|
|
|
|
|
|
20.
|
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan
bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang
ini.
|
|
|
|
|
|
21.
|
Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
|
|
|
|
|
|
22.
|
Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
|
|
|
|
|
|
23.
|
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak
yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|
|
|
|
|
24.
|
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan
atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
|
|
|
|
|
|
25.
|
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak.
|
|
|
|
|
|
26.
|
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh eksportir.
|
|
|
|
|
|
27.
|
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan,
atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut."
|
|
|
|
|
2.
|
Di antara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal
yaitu Pasal 1A yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 1A
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
|
|
|
|
|
|
b.
|
pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli
dan perjanjian leasing;
|
|
|
|
|
|
c.
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui
juru lelang;
|
|
|
|
|
|
d.
|
pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
|
|
|
|
|
|
e.
|
persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut
ketentuan dapat dikreditkan;
|
|
|
|
|
|
f.
|
penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan
penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
|
|
|
|
|
|
g.
|
penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
|
|
|
|
|
(2)
|
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
|
|
|
|
|
|
b.
|
penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;
|
|
|
|
|
|
c.
|
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
f dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperoleh ijin pemusatan tempat pajak
terutang."
|
|
|
|
3.
|
Judul Bab IIA diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"BAB IIA
KEWAJIBAN MELAPORKAN USAHA DAN KEWAJIBAN MEMUNGUT,
MENYETOR DAN MELAPORKAN PAJAK YANG TERUTANG"
|
|
|
|
|
|
4.
|
Ketentuan Pasal 3A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3A
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3A
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 huruf d dan atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e wajib memungut, menyetor,
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan
dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan." |
|
|
|
|
5.
|
Judul Bab III diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"BAB III
OBJEK PAJAK"
|
|
|
|
|
|
6.
|
Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha;
|
|
|
|
|
|
b.
|
impor Barang Kena Pajak;
|
|
|
|
|
|
c.
|
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
|
|
|
|
|
|
d.
|
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean;
|
|
|
|
|
|
e.
|
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean; atau
|
|
|
|
|
|
f.
|
ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak." |
|
|
|
|
7.
|
Ketentuan Pasal 4A diubah dan dijadikan ayat (1) dan ditambah
2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 4A
berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4A
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
dan jenis jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 yang tidak dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
|
|
|
|
|
(2) |
Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok
barang sebagai berikut: |
|
|
|
|
|
|
a.
|
barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya; |
|
|
|
|
|
b.
|
barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh
rakyat banyak; |
|
|
|
|
|
c.
|
makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran,
rumah makan, warung, dan sejenisnya; |
|
|
|
|
|
d.
|
uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. |
|
|
|
|
(3)
|
Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai
berikut:
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
|
|
|
|
|
|
b.
|
jasa di bidang pelayanan sosial;
|
|
|
|
|
|
c.
|
jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
|
|
|
|
|
|
d.
|
jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak
opsi;
|
|
|
|
|
|
e.
|
jasa di bidang keagamaan;
|
|
|
|
|
|
f.
|
jasa di bidang pendidikan;
|
|
|
|
|
|
g.
|
jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
|
|
|
|
|
|
h.
|
jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
|
|
|
|
|
|
i.
|
jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
|
|
|
|
|
|
j.
|
jasa di bidang tenaga kerja;
|
|
|
|
|
|
k.
|
jasa di bidang perhotelan;
|
|
|
|
|
|
l.
|
jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum."
|
|
|
|
8.
|
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) diubah, sehingga keseluruhan
Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 5
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Disamping pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan
juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap:
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh
Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut
di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
|
|
|
|
|
|
b.
|
impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
|
|
|
|
|
(2)
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu
penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan
atau pada waktu impor."
|
|
|
|
|
9.
|
Ketentuan Pasal 6 dihapus.
|
|
|
|
|
|
10.
|
Ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 8
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh
persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak
dengan tarif 0% (nol persen).
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan
tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."
|
|
|
|
|
11. |
Ketentuan Pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5),
ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (13) diubah, ayat (10),
ayat (11), ayat (12), dan ayat (14) dihapus, dan diantara ayat (2) dan
ayat (3) disisipkan ayat baru yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal
9 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran
untuk Masa Pajak yang sama.
|
|
|
|
|
|
(2a)
|
Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak
Masukan tetap dapat dikreditkan.
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada
Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan
pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.
|
|
|
|
|
|
(5)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang
pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui
dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
|
|
|
|
|
|
(6)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang
pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak
dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman
yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
|
|