UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2003
TENTANG
PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa
pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
bahwa sesuai dengan tuntutan dan perkembangan
dinamika masyarakat sebagaimana dituangkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah serta memilih Presiden dan Wakil Presiden;
bahwa pemilihan umum perlu diselenggarakan secara
lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya dan dilaksanakan
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;
bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga
perwakilan harus mampu menjamin prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan
legitimasi;
bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun
2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum, sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat,
karena itu perlu diganti;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk undang-undang tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Mengingat :
Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 5 ayat
(1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22C ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 22E, dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4251);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu
adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota selanjutnya secara berturut-turut disebut DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPU
adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, untuk
menyelenggarakan Pemilu.
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota yang
merupakan bagian dari KPU.
Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan
Luar Negeri, Panitia Pemungutan Suara, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara,
dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri selanjutnya disebut
PPK, PPLN, PPS, KPPS, dan KPPSLN.
Pengawas Pemilu adalah Panitia Pengawas Pemilu,
Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panita Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan
Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan yang melakukan pengawasan terhadap seluruh
proses penyelenggaraan Pemilu.
Penduduk adalah warga negara Republik Indonesia
yang berdomisili di wilayah Republik Indonesia atau di luar negeri.
Pemilih adalah penduduk yang berusia
sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.
Peserta Pemilu adalah partai politik dan
perseorangan calon anggota DPD.
Partai Politik Peserta Pemilu adalah partai
politik yang telah memenuhi persyaratan sebagai peserta Pemilu.
Kampanye Pemilu adalah kegiatan peserta Pemilu dan/atau
calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk meyakinkan
para pemilih dengan menawarkan program-programnya.
Tempat Pemungutan Suara dan Tempat Pemungutan
Suara Luar Negeri yang selanjutnya disebut TPS dan TPSLN adalah tempat pemilih
memberikan suara pada hari pemungutan suara.
Bilangan Pembagi Pemilihan yang selanjutnya
disingkat dengan BPP adalah bilangan yang diperoleh dari hasil pembagian
jumlah suara sah dengan jumlah kursi di daerah pemilihan untuk menentukan
jumlah perolehan kursi partai politik peserta Pemilu dan terpilihnya anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Tahapan penyelenggaraan Pemilu adalah rangkaian kegiatan Pemilu yang dimulai dari pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta Pemilu, penetapan peserta Pemilu, penetapan jumlah kursi, pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil Pemilu, sampai dengan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 2
Pemilu
dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 3
Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 4
Pemilu
dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali pada hari libur atau hari yang
diliburkan.
Pasal 5
(1) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten /Kota adalah partai politik.
(2) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah
perseorangan.
Pasal 6
(1)
Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan
dengan sistem distrik berwakil banyak.
BAB II
PESERTA PEMILIHAN UMUM
Bagian Pertama
Peserta Pemilihan Umum dari Partai Politik
Pasal 7
(1) Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu
apabila memenuhi syarat:
diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik;
memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di
2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah provinsi;
memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di
2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud
dalam huruf b;
memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu)
orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada
setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang
dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;
pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan
huruf c harus mempunyai kantor tetap;
mengajukan nama dan tanda gambar partai politik
kepada KPU.
(2) Partai politik yang telah terdaftar, tetapi
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
menjadi peserta Pemilu.
(3) KPU menetapkan tata cara penelitian dan
melaksanakan penelitian keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Penetapan tata cara penelitian, pelaksanaan
penelitian, dan penetapan keabsahan kelengkapan syarat-syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU dan bersifat final.
Pasal 8
Dalam mengajukan nama dan tanda gambar partai
politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f, partai politik
dilarang menggunakan nama dan tanda gambar yang sama dengan:
bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
lambang lembaga negara atau lambang pemerintah;
nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama,
bendera, atau lambang lembaga/badan internasional;
nama dan gambar seseorang; atau
nama dan tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama dan tanda gambar partai politik lain.
Pasal 9
(1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai
Politik Peserta Pemilu harus:
memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen)
jumlah kursi DPR;
memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen)
jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ? (setengah)
jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau
memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen)
jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ? (setengah) jumlah
kabupaten/kota seluruh Indonesia.
(2) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti
Pemilu berikutnya apabila:
bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
bergabung dengan partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya
menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung
sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.
Pasal 10
(1)
Jadwal waktu pendaftaran partai politik untuk menjadi peserta Pemilu
ditetapkan oleh KPU.
(2)
Penetapan nomor urut partai politik sebagai peserta Pemilu dilakukan
melalui undian oleh KPU dan dihadiri oleh seluruh Partai Politik Peserta Pemilu.
Bagian Kedua
Peserta Pemilihan Umum dari Perseorangan
Pasal 11
(1) Untuk dapat menjadi calon anggota DPD, peserta
Pemilu dari perseorangan harus memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000
(satu juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 1.000 (seribu) orang
pemilih;
provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu
juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus didukung
sekurang-kurangnya oleh 2.000 (dua ribu) orang pemilih;
provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000
(lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus didukung
sekurang-kurangnya oleh 3.000 (tiga ribu) orang pemilih;
provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh
juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung
sekurang-kurangnya oleh 4.000 (empat ribu) orang pemilih;
provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000
(lima belas juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 5.000 (lima
ribu) orang pemilih.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tersebar di sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kabupaten/kota
di provinsi yang bersangkutan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dibuktikan dengan tanda tangan atau cap jempol dan fotokopi Kartu
Tanda Penduduk atau identitas lain yang sah.
(4) Seorang pendukung tidak diperbolehkan memberikan
dukungan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD.
(5) Dukungan yang diberikan kepada lebih dari satu
orang calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal.
(6)
Jadwal waktu pendaftaran peserta Pemilu calon anggota DPD ditetapkan oleh
KPU.
Pasal 12
(1) Perseorangan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak dapat
menjadi peserta Pemilu.
(2) KPU menetapkan keabsahan syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan
penetapan dimaksud bersifat final.
(3) KPU menetapkan tata cara penelitian dan
melaksanakan penelitian keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
BAB III
HAK MEMILIH
Pasal 13
Warga negara Republik Indonesia yang pada hari
pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih.
Pasal 14
(1) Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga
negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
(2) Untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga
negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
syarat:
nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(3) Seorang warga negara Republik Indonesia yang
telah terdaftar dalam daftar pemilih ternyata tidak lagi memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat menggunakan hak memilihnya.
BAB IV
PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM
Bagian Pertama
Umum
Pasal 15
(1) Pemilu
diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(2) KPU bertanggungjawab atas penyelenggaraan Pemilu.
(3) Dalam
melaksanakan tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan
Pemilu kepada Presiden dan DPR.
Pasal 16
(1) Jumlah anggota:
KPU
sebanyak-banyaknya 11 orang;
KPU Provinsi
sebanyak 5 orang;
KPU Kabupaten/Kota
sebanyak 5 orang.
(2) Keanggotaan
KPU terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, dibantu seorang wakil ketua
merangkap anggota, dan para anggota.
(3) Ketua dan
wakil ketua KPU dipilih dari dan oleh anggota.
(4) Setiap
anggota KPU mempunyai hak suara yang sama.
Pasal 17
(1)
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, KPU Provinsi,
dan KPU Kabupaten/Kota.
(2)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi
dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU.
(3)
Dalam menjalankan tugasnya, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
mempunyai sekretariat.
(4) Pola
organisasi dan tata kerja KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usul KPU sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Dalam
pelaksanaan Pemilu, KPU Kabupaten/Kota membentuk PPK dan PPS.
(6)
Dalam melaksanakan pemungutan suara di TPS, PPS membentuk KPPS.
(7)
Tugas PPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir 2 (dua) bulan setelah hari
pemungutan suara.
(8)
Tugas PPS dan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir 1 (satu)
bulan setelah hari pemungutan suara.
(9)
Dalam
pelaksanaan Pemilu di luar negeri, KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN
membentuk KPPSLN.
(10) Tugas PPLN
dan KPPSLN sebagaimana dimaksud pada ayat (9) berakhir 1 (satu) bulan setelah
hari pemungutan suara.
(11) Untuk
mengawasi pelaksanaan Pemilu, KPU membentuk Pengawas Pemilu.
Pasal 18
Syarat untuk dapat
menjadi anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota:
warga negara
Republik Indonesia;
setia kepada
Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
mempunyai
integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil;
mempunyai
komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu, tegaknya demokrasi dan
keadilan;
memiliki
pengetahuan yang memadai tentang sistem kepartaian, sistem dan proses
pelaksanaan Pemilu, sistem perwakilan rakyat, serta memiliki kemampuan
kepemimpinan;
berhak memilih
dan dipilih;
berdomisili
dalam wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan KTP;
sehat jasmani
dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari rumah sakit;
tidak menjadi
anggota atau pengurus partai politik;
tidak pernah
dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
5 (lima) tahun atau lebih;
tidak sedang
menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam
jabatan negeri;
bersedia bekerja sepenuh waktu.
Pasal 19
(1)
Calon anggota KPU diusulkan oleh Presiden untuk mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditetapkan sebagai anggota KPU.
(2)
Calon anggota KPU Provinsi diusulkan oleh gubernur untuk mendapat
persetujuan KPU untuk ditetapkan sebagai anggota KPU Provinsi.
(3)
Calon anggota KPU Kabupaten/Kota diusulkan oleh bupati/walikota untuk
mendapat persetujuan KPU Provinsi untuk ditetapkan sebagai anggota KPU Kabupaten/Kota.
(4)
Calon anggota KPU yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) sebanyak 2 (dua) kali jumlah anggota yang diperlukan.
(5)
Penetapan keanggotaan KPU dilakukan oleh:
Presiden untuk
KPU;
KPU untuk KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(6)
Masa keanggotaan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota adalah 5 (lima)
tahun sejak pengucapan sumpah/janji.
Pasal 20
(1) Anggota KPU,
KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berhenti antarwaktu karena:
meninggal dunia;
mengundurkan
diri;
melanggar sumpah/janji;
melanggar kode
etik; atau
tidak lagi memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2)
Pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
anggota KPU
dilakukan oleh Presiden atas persetujuan dan/atau usul DPR;
anggota KPU
Provinsi dilakukan oleh KPU;
anggota KPU
Kabupaten/Kota dilakukan oleh KPU.
(3) Penggantian
antarwaktu anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang berhenti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 19.
Pasal 21
Untuk menjaga
kemandirian, integritas, dan kredibilitas, KPU menyusun kode etik yang bersifat
mengikat serta wajib dipatuhi oleh KPU.
Pasal 22
(1) Untuk
memeriksa pengaduan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU,
dibentuk Dewan Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc.
(2) Keanggotaan
Dewan Kehormatan KPU sebanyak 3 (tiga) orang terdiri atas seorang ketua dan
anggota-anggota yang dipilih dari dan oleh anggota KPU.
(3) Dewan
Kehormatan KPU merekomendasikan tindak lanjut hasil pemeriksaannya kepada KPU.
(4) Mekanisme
kerja Dewan Kehormatan KPU ditetapkan oleh KPU.
Pasal 23
Keuangan KPU
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
Pasal 24
(1) Sebelum
menjalankan tugas, anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN,
KPPS, KPPSLN mengucapkan sumpah/janji.
(2) Sumpah/janji
anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS, dan KPPSLN
adalah sebagai berikut:
?Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
Bahwa saya akan memenuhi tugas dan kewajiban saya
sebagai anggota KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS/ PPLN/KPPS/KPPSLN
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
Bahwa saya akan
menyelenggarakan Pemilihan Umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Bahwa saya dalam menjalankan tugas dan kewajiban
tidak akan tunduk pada tekanan dan pengaruh apa pun dari pihak mana pun yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Bahwa saya dalam
menjalankan tugas dan kewenangan, akan bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur,
adil, dan cermat demi suksesnya Pemilihan Umum, tegaknya demokrasi dan keadilan,
serta mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada
kepentingan pribadi atau golongan?.
Bagian Kedua
Komisi Pemilihan
Umum
Pasal 25
Tugas dan wewenang
KPU adalah:
merencanakan
penyelenggaraan Pemilu;
menetapkan
organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu;
mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan
pelaksanaan Pemilu;
menetapkan
peserta Pemilu;
menetapkan
daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota;
menetapkan waktu,
tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara;
menetapkan hasil
Pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota;
melakukan
evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu;
melaksanakan
tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Pasal 26
KPU berkewajiban:
memperlakukan
peserta Pemilu secara adil dan setara guna menyukseskan Pemilu;
menetapkan
standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan;
memelihara arsip
dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
menyampaikan
informasi kegiatan kepada masyarakat;
melaporkan
penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR dan DPD;
mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN; dan
melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.
Pasal 27
(1) Sekretariat
Jenderal KPU dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dan dibantu oleh Wakil Sekretaris
Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris
Jenderal adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan dengan
Keputusan Presiden.
(3) Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris
Jenderal dipilih oleh KPU dari masing-masing 3 (tiga) orang calon yang diajukan
oleh pemerintah dan selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(4) Pegawai sekretariat jenderal diisi oleh
pegawai negeri sipil.
Bagian Ketiga
Komisi Pemilihan
Umum Provinsi
Pasal 28
Tugas dan wewenang
KPU Provinsi adalah:
merencanakan
pelaksanaan Pemilu di provinsi;
melaksanakan
Pemilu di provinsi;
menetapkan hasil
Pemilu di provinsi;
mengkoordinasi
kegiatan KPU Kabupaten/Kota; dan
melaksanakan
tugas lain yang diberikan oleh KPU.
Pasal 29
KPU Provinsi
berkewajiban:
memperlakukan
peserta Pemilu secara adil dan setara;
menyampaikan
informasi kegiatan kepada masyarakat;
menjawab
pertanyaan serta menampung dan memproses pengaduan dari peserta Pemilu dan
masyarakat;
menyampaikan
laporan secara periodik dan mempertanggung jawabkan seluruh kegiatan
pelaksanaan Pemilu kepada KPU;
menyampaikan
laporan secara periodik kepada gubernur;
mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN dan APBD;
dan
melaksanakan
kewajiban lain yang diatur undang-undang.
Pasal 30
(1)
Sekretariat KPU Provinsi dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2)
Sekretaris KPU Provinsi adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan
diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal KPU.
(3)
Sekretaris KPU Provinsi dipilih oleh KPU Provinsi dari 3 (tiga) orang
calon yang diajukan oleh gubernur dan selanjutnya ditetapkan dengan keputusan
Sekretaris Jenderal KPU.
Bagian Keempat
Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten/Kota
Pasal 31
Tugas dan wewenang
KPU Kabupaten/Kota:
merencanakan
pelaksanaan Pemilu di kabupaten/kota;
melaksanakan
Pemilu di kabupaten/kota;
menetapkan hasil
Pemilu di kabupaten/kota;
membentuk PPK,
PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya;
mengkoordinasi
kegiatan panitia pelaksana Pemilu dalam wilayah kerjanya; dan
melaksanakan
tugas lain yang diberikan oleh KPU dan KPU Provinsi.
Pasal 32
KPU Kabupaten/Kota
berkewajiban:
memperlakukan
peserta Pemilu secara adil dan setara;
menyampaikan
informasi kegiatan kepada masyarakat;
menjawab
pertanyaan serta menampung dan memproses pengaduan dari peserta Pemilu dan
masyarakat;
menyampaikan
laporan secara periodik dan mempertanggung jawabkan seluruh kegiatan
pelaksanaan Pemilu kepada KPU Provinsi;
menyampaikan
laporan secara periodik kepada bupati/walikota;
mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN dan APBD;
dan
melaksanakan
seluruh kewajiban lainnya yang diatur undang-undang.
(1)
Sekretariat KPU Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2)
Sekretaris KPU Kabupaten/Kota adalah pegawai negeri sipil yang diangkat
dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal KPU.
(3)
Sekretaris KPU Kabupaten/Kota dipilih oleh KPU Kabupaten/ Kota dari 3 (tiga)
orang calon yang diajukan oleh bupati/walikota dan selanjutnya ditetapkan dengan
keputusan Sekretaris Jenderal KPU.
Panitia Pemilihan
Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara
Pasal 34
(1)
Untuk melaksanakan Pemilu di tingkat kecamatan dan desa/ kelurahan,
dibentuk PPK dan PPS.
(2)
PPK dan PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh KPU
Kabupaten/Kota.
Pasal 35
(1)
PPK berkedudukan di pusat pemerintahan kecamatan.
(2)
Tugas dan wewenang PPK adalah:
mengumpulkan
hasil penghitungan suara dari seluruh TPS dan melakukan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dari seluruh PPS dalam wilayah kerjanya; dan
membantu
tugas-tugas KPU Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Pemilu.
Pasal 36
(1) Anggota PPK
sebanyak 5 (lima) orang berasal dari tokoh masyarakat.
(2) Anggota PPK
diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/Kota atas usul camat.
(3)
Dalam melaksanakan tugas, PPK dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh
sekretaris dari pegawai negeri sipil yang ditunjuk oleh camat.
(4)
Pegawai sekretariat PPK adalah pegawai kecamatan.
(5)
Kepala sekretariat dan personel sekretariat diangkat dan diberhentikan
oleh camat atas usul PPK.
(6)
Tugas sekretariat PPK berakhir 2 (dua) bulan setelah pemungutan suara.
(1)
PPS berkedudukan di desa/kelurahan.
(2)
Anggota PPS sebanyak 3 (tiga) orang berasal dari tokoh masyarakat.
(3)
Anggota PPS diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas usul kepala desa/kepala
kelurahan.
(4)
Tugas dan wewenang PPS adalah:
a.
melakukan pendaftaran pemilih;
b.
mengangkat petugas pencatat dan pendaftar;
c.
menyampaikan daftar pemilih kepada PPK;
d.
membentuk KPPS;
e.
melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh TPS dalam
wilayah kerjanya; dan
f.
membantu tugas PPK.
Pasal 38
(1) PPLN
berkedudukan di kantor perwakilan Republik Indonesia.
(2) Anggota
PPLN sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang
dan berasal dari wakil masyarakat Indonesia.
(3) Anggota
PPLN diangkat dan diberhentikan oleh KPU atas usul Kepala Perwakilan Republik
Indonesia sesuai dengan wilayah kerjanya.
(4)
Susunan keanggotaan PPLN terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua,
dan anggota.
(5) Tugas dan
wewenang PPLN adalah:
a.
melakukan pendaftaran pemilih warga negara Republik Indonesia;
b.
mengangkat petugas pencatat dan pendaftar;
c.
menyampaikan daftar pemilih warga negara Republik Indonesia kepada KPU;
d.
membentuk KPPSLN; dan
e.
melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh TPSLN dalam
wilayah kerjanya.
Pasal 39
(1) KPPS
bertugas melaksanakan pemungutan suara dan penghitungan suara Pemilu di TPS.
(2) Anggota
KPPS sebanyak 7 (tujuh) orang.
(3) Untuk
melaksanakan tugas KPPS, di setiap TPS diperbantukan petugas keamanan dari
satuan pertahanan sipil/perlindungan masyarakat sebanyak 2 (dua) orang.
(4) KPPS
berkewajiban membuat berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta
membuat sertifikat hasil penghitungan suara untuk disampaikan kepada PPS.
Pasal 40
(1) KPPSLN
bertugas melaksanakan pemungutan suara Pemilu di TPSLN.
(2) Anggota
KPPSLN sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang.
(3) KPPSLN
berkewajiban membuat berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta
membuat sertifikat hasil penghitungan suara untuk disampaikan kepada PPLN.
Pasal 41
Syarat untuk
menjadi anggota PPK, PPLN, PPS, KPPS, dan KPPSLN adalah sebagai berikut:
a. warga negara
Republik Indonesia;
b. berumur
sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun;
c. berdomisili di
wilayah kerja PPK, PPLN, PPS, KPPS, dan KPPSLN;
d. terdaftar
sebagai pemilih; dan
e. tidak menjadi
pengurus partai politik.
Pasal 42
Uraian tugas dan tata kerja PPK, PPS, KPPS, PPLN,
dan KPPSLN lebih lanjut ditetapkan oleh KPU.
Bagian Keenam
Pengadaan dan Distribusi Perlengkapan
Pelaksanaan Pemilihan Umum
Pasal 43
(1) Pengadaan
dan pendistribusian surat suara beserta perlengkapan pelaksanaan Pemilu
dilaksanakan secara cepat, tepat, dan akurat dengan mengutamakan aspek kualitas,
keamanan, dan hemat anggaran.
(2) Pengadaan
surat suara dilakukan di dalam negeri dengan mengutamakan kapasitas cetak yang
sesuai dengan kebutuhan surat suara dan hasil cetak yang berkualitas.
(3) Jumlah
surat suara yang dicetak ditetapkan oleh KPU.
(4) Pengadaan
surat suara beserta perlengkapan pelaksana Pemilu dilaksanakan oleh KPU.
Pasal 44
(1) Selama
proses pencetakan surat suara berlangsung, perusahaan yang bersangkutan hanya
dibenarkan mencetak surat suara sejumlah yang ditetapkan oleh KPU dan harus
menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan surat suara.
(2) KPU dapat
meminta bantuan aparat keamanan untuk mengadakan pengamanan terhadap surat suara
selama proses pencetakan berlangsung, penyimpanan, dan pendistribusian ke tempat
tujuan.
(3) Secara
periodik surat suara yang telah selesai dicetak dan diverifikasi, yang sudah
dikirim dan/atau yang masih tersimpan, dibuatkan berita acara yang
ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU.
(4) KPU
menempatkan petugas KPU di lokasi pencetakan surat suara untuk menjadi saksi
dalam setiap pembuatan berita acara verifikasi dan pengiriman surat suara pada
perusahaan percetakan.
(5) KPU
mengawasi dan mengamankan desain, film separasi, dan plat cetak yang digunakan
untuk membuat surat suara, sebelum dan sesudah digunakan serta menyegel dan
menyimpannya.
(6) Tata cara
pelaksanaan pengamanan terhadap pencetakan, penghitungan, penyimpanan,
pengepakan, dan pendistribusian surat suara ke tempat tujuan ditetapkan dengan
keputusan KPU.
Pasal 45
(1) KPU
menetapkan jumlah surat suara yang akan didistribusikan.
(2)
Pendistribusian surat suara dilakukan oleh KPU.
(3) Surat suara
beserta perlengkapan pelaksanaan Pemilu harus sudah diterima PPS dan PPLN
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum pemungutan suara.
(4) Tata cara
dan teknis pendistribusian surat suara sampai di KPPS dan KPPSLN ditetapkan
dengan keputusan KPU.
BAB V
DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI
Bagian Pertama
Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 46
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, masing-masing ditetapkan Daerah Pemilihan
sebagai berikut:
Daerah Pemilihan
anggota DPR adalah Provinsi atau bagian-bagian Provinsi;
Daerah Pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah
Kabupaten/Kota atau gabungan Kabupaten/Kota sebagai daerah Pemilihan;
Daerah Pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota
adalah Kecamatan atau gabungan Kecamatan sebagai daerah Pemilihan.
(2) Penetapan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditentukan oleh KPU dengan ketentuan setiap
daerah pemilihan mendapatkan alokasi kursi antara 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua
belas) kursi.
Pasal 47
Jumlah kursi DPR ditetapkan sebanyak 550 (lima ratus
lima puluh).
Pasal 48
(1)
Jumlah kursi anggota DPR untuk setiap provinsi ditetapkan berdasarkan
jumlah penduduk dengan memperhatikan perimbangan yang wajar.
(2)
Tata cara perhitungan jumlah kursi anggota DPR untuk setiap Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 49
(1) Jumlah kursi anggota DPRD Provinsi ditetapkan
sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) kursi dan sebanyak-banyaknya 100 (seratus)
kursi.
(2) Jumlah kursi anggota DPRD Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang
bersangkutan dengan ketentuan:
provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan
1.000.000 (satu juta) jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi;
provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari
1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa mendapat 45 (empat
puluh lima) kursi;
provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari
3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa mendapat 55
(lima puluh lima) kursi;
provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari
5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa mendapat 65 (enam
puluh lima) kursi;
provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari
7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa mendapat
75 (tujuh puluh lima) kursi;
provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari
9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa
mendapat 85 (delapan puluh lima) kursi;
provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari
12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 100 (seratus) kursi.
(3)
Jumlah kursi anggota DPRD setiap provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 50
(1)
Jumlah kursi anggota DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan sekurang-kurangnya 20
(dua puluh) kursi dan sebanyak-banyaknya 45 (empat puluh lima) kursi.
(2) Jumlah kursi anggota DPRD Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk di kabupaten/kota
dengan ketentuan:
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai
dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa mendapat 20 (dua puluh) kursi;
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari
100.000 (seratus ribu) sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa mendapat 25
(dua puluh lima) kursi;
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari
200.000 (dua ratus ribu) sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa mendapat
30 (tiga puluh) kursi;
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari
300.000 (tiga ratus ribu) sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa
mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi;
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari
400.000 (empat ratus ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa
mendapat 40 (empat puluh) kursi;
kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari
500.000 (lima ratus ribu) jiwa mendapat 45 (empat puluh lima) kursi.
(3) Jumlah kursi
anggota DPRD setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh KPU.
Bagian Kedua
Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota DPD
Pasal 51
Daerah pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi.
Pasal 52
Jumlah anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan
4 (empat) orang.
BAB VI
PENDAFTARAN PEMILIH
Pasal 53
(1) Pendaftaran
pemilih dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih dengan mendatangi kediaman
pemilih dan/atau dapat dilakukan secara aktif oleh pemilih.
(2) Pendaftaran
pemilih bagi warga negara Republik Indonesia yang berdomisili di luar negeri
dilakukan secara aktif oleh pemilih dengan mendaftarkan diri ke PPLN setempat
dan/atau dapat dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih.
(3) Pendaftaran
pemilih selesai dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum hari
pemungutan suara.
(4) Tata cara
pelaksanaan pendaftaran pemilih ditetapkan oleh KPU.
Pasal 54
(1) Pendaftaran
pemilih dilakukan dengan mencatat data pemilih dalam daftar pemilih.
(2) Data
pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
nama lengkap;
status
perkawinan;
tempat dan
tanggal lahir/umur;
jenis kelamin;
jenis cacat yang
disandang; dan
alamat tempat
tinggal.
(3) Formulir
daftar pemilih ditetapkan oleh KPU.
Pasal 55
Daftar pemilih
untuk setiap daerah pemilihan disimpan dan dipelihara oleh KPU.
Pasal 56
Pemilih yang telah
terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 diberi tanda bukti
pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih.
Pasal 57
(1)
Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih.
(2)
Apabila seorang pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal,
pemilih tersebut harus menentukan satu di antaranya untuk ditetapkan sebagai
tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Pasal 58
(1)
Pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54, kemudian berpindah tempat tinggal atau karena ingin menggunakan
hak pilihnya di tempat lain, pemilih yang bersangkutan harus melapor kepada PPS
setempat.
(2)
PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencatat nama pemilih dari daftar
pemilih dan memberikan surat keterangan pindah tempat memilih.
(3)
Pemilih melaporkan kepindahannya kepada PPS di tempat pemilihan yang baru.
(4)
Pemilih terdaftar yang karena sesuatu hal terpaksa tidak dapat
menggunakan hak pilihnya di TPS yang sudah ditetapkan, yang bersangkutan dapat
menggunakan hak pilihnya di tempat lain dengan menunjukkan kartu pemilih.
Pasal 59
(1)
Berdasarkan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, PPS
menyusun dan menetapkan daftar pemilih sementara.
(2)
Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan
oleh PPS untuk mendapat tanggapan masyarakat.
(3)
Pemilih yang belum terdaftar dalam daftar pemilih sementara dapat
mendaftarkan diri ke PPS dan dicatat dalam daftar pemilih tambahan.
(4)
Daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tambahan ditetapkan sebagai
daftar pemilih tetap.
(5)
Daftar pemilih tetap disahkan dan diumumkan oleh PPS.
BAB VII
PENCALONAN ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI,
DAN DPRD KABUPATEN/KOTA
Bagian Pertama
Persyaratan Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 60
Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat:
warga negara Republik Indonesia yang berumur 21 (dua
puluh satu) tahun atau lebih;
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia;
berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau
sederajat;
setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945;
bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang
terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi
terlarang lainnya;
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan
terdaftar sebagai pemilih.
Pasal 61
Seorang calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota hanya dapat dicalonkan dalam satu lembaga perwakilan pada
satu daerah pemilihan.
Pasal 62
Calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga
harus terdaftar sebagai anggota Partai Politik Peserta Pemilu yang dibuktikan
dengan kartu tanda anggota.
Pasal 63
Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
berdomisili di provinsi yang bersangkutan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai
dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh)
tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
Pasal 64
Calon anggota DPD dari pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 63
huruf a, harus mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Tata Cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 65
(1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat
mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk
setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%.
(2)
Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya
120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah
Pemilihan.
(3) Pengajuan calon anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan ketentuan:
calon anggota DPR disampaikan kepada KPU;
calon anggota DPRD Provinsi disampaikan kepada KPU
Provinsi yang bersangkutan; dan
calon anggota DPRD Kabupaten/Kota disampaikan
kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pasal 66
Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan
ketentuan:
calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU
Provinsi dengan menyebutkan provinsi yang diwakilinya;
calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh KPU.
Pasal 67
(1) Calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diajukan Partai Politik Peserta Pemilu
merupakan hasil seleksi secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme
internal partai politik.
(2) Partai Politik Peserta Pemilu
menyerahkan nama-nama calon hasil seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beserta kelengkapan administrasi calon kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota yang batas waktunya ditetapkan oleh KPU.
(3) Urutan nama calon
dalam daftar calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk
setiap daerah pemilihan disusun oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
berdasarkan nomor urut yang ditetapkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu sesuai
dengan tingkatannya.
(4) Urutan nama calon dalam
daftar calon anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan disusun oleh KPU.
(5) Paling lambat 2 (dua) bulan sebelum
pemungutan suara, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sudah menetapkan dan
mengumumkan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
untuk setiap daerah pemilihan.
(6) Prosedur, format kelengkapan
administrasi, dan tata cara pengajuan daftar calon ditetapkan oleh KPU.
Pasal
68
(1)
Partai Politik Peserta Pemilu yang mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota wajib menyerahkan:
surat pencalonan yang
ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya;
surat pernyataan kesediaan menjadi
calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
daftar riwayat hidup setiap calon;
surat pernyataan bertempat tinggal yang
ditandatangani oleh calon yang bersangkutan;
fotokopi tanda bukti penyerahan daftar kekayaan
yang dimiliki setiap calon dari instansi yang berwenang kepada KPU; dan
surat-surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 dan Pasal 62.
(2) Perseorangan yang mencalonkan diri sebagai
anggota DPD wajib menyerahkan:
surat pencalonan bermeterai cukup dan
ditandatangani oleh yang bersangkutan;
daftar riwayat hidup;
surat pernyataan bertempat tinggal yang
ditandatangani oleh calon yang bersangkutan;
fotokopi bukti penyerahan daftar kekayaan yang
dimilikinya dari instansi yang berwenang kepada KPU;
keterangan/data berkenaan dengan dukungan pemilih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2); dan
surat-surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60, Pasal 63, dan Pasal 64.
(3) Format pengisian data calon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh KPU.
(4) Nama calon beserta lampirannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada:
KPU untuk calon anggota DPR dan DPD;
KPU Provinsi untuk calon anggota DPRD Provinsi;
dan
KPU Kabupaten/Kota untuk calon anggota DPRD
Kabupaten/ Kota.
(5) Penelitian terhadap kelengkapan dan penetapan
atas keabsahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
oleh:
KPU untuk calon anggota DPR dan DPD;
KPU Provinsi untuk calon anggota DPRD Provinsi;
dan
KPU Kabupaten/Kota untuk calon anggota DPRD
Kabupaten/Kota.
(6) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
selesai penelitian kelengkapan dan keabsahan data calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2), KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
menyampaikan hasil penelitian kepada pengurus Partai Politik Peserta Pemilu dan
calon perseorangan anggota DPD.
(7) Apabila seorang calon ditolak karena tidak
memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
penolakannya diberitahukan secara tertulis kepada pengurus Partai Politik
Peserta Pemilu dan kepada calon perseorangan anggota DPD untuk diberi kesempatan
melengkapi dan/atau memperbaiki syarat calon atau mengajukan calon lain bagi
Partai Politik Peserta Pemilu.
(8) Kesempatan untuk melengkapi dan/atau
memperbaiki syarat calon atau mengajukan calon lain dilakukan selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) diterima.
Pasal 69
(1) Nama calon yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal
67, dan Pasal 68 ditetapkan dalam rapat pleno KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota.
(2) Nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan dalam Berita Negara/Lembaran Daerah dan dipublikasikan melalui media
massa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
jadwal waktu pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
ditetapkan dengan keputusan KPU.
Pasal 70
Jenis, bentuk, dan ukuran formulir untuk keperluan
pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan
dengan keputusan KPU.
BAB VIII
KAMPANYE
Bagian Pertama
Kampanye Pemilihan
Umum
Pasal 71
(1)
Dalam penyelenggaraan Pemilu, dapat diadakan kampanye Pemilu yang
dilakukan oleh peserta Pemilu.
(2)
Dalam kampanye Pemilu, rakyat mempunyai kebebasan untuk menghadiri
kampanye.
(3) Kegiatan kampanye dilakukan oleh peserta
Pemilu selama 3 (tiga) minggu dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan
suara.
(4) Materi
kampanye Pemilu berisi program peserta Pemilu.
(5) Penyampaian
materi kampanye Pemilu dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat
edukatif.
(6) Pedoman dan
jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPU dengan memperhatikan usul dari
peserta Pemilu.
Pasal 72
Kampanye Pemilu
dilakukan melalui:
pertemuan
terbatas;
tatap muka;
penyebaran
melalui media cetak dan media elektronik;
penyiaran
melalui radio dan/atau televisi;
penyebaran bahan
kampanye kepada umum;
pemasangan alat
peraga di tempat umum;
rapat umum; dan
kegiatan lain
yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Pasal 73
(1) Media
elektronik dan media cetak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu
untuk menyampaikan tema dan materi kampanye Pemilu.
(2) Media
elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta
Pemilu untuk memasang iklan Pemilu dalam rangka kampanye.
(3)
Pemerintah pada setiap tingkatan memberikan kesempatan yang sama kepada
peserta Pemilu untuk menggunakan fasilitas umum.
(4) Semua pihak
yang hadir dalam pertemuan terbatas atau rapat umum yang diadakan oleh suatu
peserta Pemilu hanya dibenarkan membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau
atribut peserta Pemilu yang bersangkutan.
(5) KPU
berkoordinasi dengan pemerintah untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga
untuk keperluan kampanye Pemilu.
(6) Pemasangan
alat peraga kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) oleh peserta
Pemilu dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan
keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Pemasangan
alat peraga kampanye Pemilu pada tempat-tempat yang menjadi milik perseorangan
atau badan swasta harus seizin pemilik tempat tersebut.
(8) Alat peraga
kampanye Pemilu harus sudah dibersihkan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari
pemungutan suara.
(9) Ketentuan
lebih lanjut tentang pelaksanaan ketentuan pasal ini ditetapkan oleh KPU.
Pasal 74
Dalam kampanye
Pemilu dilarang:
mempersoalkan
dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
menghina
seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau peserta Pemilu yang
lain;
menghasut dan
mengadu domba antarperseorangan maupun antarkelompok masyarakat;
mengganggu
ketertiban umum;
mengancam untuk
melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang,
sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta Pemilu yang lain;
merusak dan/atau
menghilangkan alat peraga kampanye peserta Pemilu;
menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Pasal 75
(1) Dalam kampanye Pemilu, dilarang melibatkan :
Ketua/Wakil
Ketua/Ketua Muda/Hakim Mahkamah Agung/ Hakim Mahkamah Konstitusi dan
hakim-hakim pada semua badan peradilan;
Ketua/Wakil
Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
Gubernur, Deputi
Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia;
Pejabat BUMN/BUMD;
Pejabat
struktural dan fungsional dalam jabatan negeri;
Kepala Desa atau
sebutan lain.
(2) Pejabat Negara yang berasal dari partai
politik yaitu Presiden/Wakil Presiden/Menteri/Gubernur/Wakil Gubernur/ Bupati/Wakil
Bupati/ Walikota/Wakil Walikota, dalam kampanye harus memenuhi ketentuan :
tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan
jabatannya;
menjalani cuti diluar tanggungan negara;
pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan
memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara.
(3)
Partai Politik Peserta Pemilu dan/atau
calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilarang
melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye
dalam Pemilu.
Pasal 76
(1) Pelanggaran
atas ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf
f, merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pelanggaran
atas ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 huruf d, huruf f, dan huruf g, yang merupakan
pelanggaran tata cara kampanye dikenai sanksi:
peringatan
tertulis apabila penyelenggara kampanye Pemilu melanggar larangan walaupun
belum terjadi gangguan;
penghentian
kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di
seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabila terjadi gangguan terhadap
keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain.
(3)
Tata cara pengenaan sanksi terhadap
pelanggaran ketentuan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh KPU.
(4) Pelanggaran
atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 dikenai sanksi penghentian kampanye selama masa kampanye Pemilu oleh
KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 77
(1) Selama masa
kampanye sampai dilaksanakan pemungutan suara, calon anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang
atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.
(2) Calon yang
terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
batal sebagai calon oleh KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/ Kota.
(3) Tata cara
pembatalan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.
Bagian Kedua
Dana Kampanye
Pemilihan Umum
Pasal 78
(1) Dana
kampanye Pemilu dapat diperoleh peserta Pemilu dari:
anggota Partai
Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan termasuk calon anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
pihak-pihak lain
yang tidak mengikat yang meliputi badan hukum swasta, atau perseorangan, baik
yang disampaikan kepada Partai Politik Peserta Pemilu maupun kepada calon
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
(2) Sumbangan
dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari perseorangan tidak
boleh melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan dari badan hukum
swasta tidak boleh melebihi Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Dana
kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk utang dari
perseorangan atau badan hukum swasta tidak boleh melebihi jumlah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Jumlah sumbangan lebih dari Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah) kepada peserta Pemilu wajib dilaporkan kepada KPU/KPU
Provinsi/KPU Kabupaten/Kota mengenai bentuk, jumlah sumbangan, dan identitas
lengkap pemberi sumbangan.
(5) KPU/KPU
Provinsi/KPU Kabupaten/Kota mengumumkan laporan sumbangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) kepada masyarakat melalui media massa.
Pasal 79
(1) Seluruh
laporan dana kampanye peserta Pemilu, baik penerimaan maupun pengeluaran, wajib
diserahkan kepada akuntan publik terdaftar selambat-lambatnya 60 (enam puluh)
hari sesudah hari pemungutan suara.
(2) Akuntan
publik terdaftar wajib menyelesaikan audit selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Hasil audit
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada KPU dan peserta
Pemilu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah selesainya audit.
Pasal 80
(1) Peserta Pemilu dilarang menerima sumbangan
atau bantuan lain untuk kampanye Pemilu yang berasal dari:
pihak asing;
penyumbang yang tidak jelas identitasnya; dan
pemerintah, BUMN, dan BUMD.
(2) Peserta Pemilu yang menerima sumbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut
dan wajib melaporkan kepada KPU selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah masa
kampanye berakhir dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas negara.
(3) Peserta Pemilu yang tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi pidana.
BAB IX
PEMUNGUTAN, PENGHITUNGAN SUARA,
DAN PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM
Bagian Pertama
Pemungutan Suara
Pasal 81
(1) Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota diselenggarakan secara serentak.
(2) Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara bagi
pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk semua
daerah pemilihan ditetapkan oleh KPU.
Pasal 82
(1) Untuk memberikan suara dalam Pemilu, dibuat
surat suara Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan surat
suara Pemilu anggota DPD.
(2) Surat suara Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota, memuat nomor dan tanda gambar partai politik peserta
Pemilu dan calon untuk setiap daerah pemilihan.
(3) Surat suara Pemilu anggota DPD memuat nama dan
foto calon perseorangan anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan.
(4) Jumlah, jenis, bentuk, ukuran, dan warna surat
suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh
KPU.
Pasal 83
(1) Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 yang disediakan di setiap daerah pemilihan adalah sama dengan jumlah
pemilih terdaftar di daerah pemilihan yang bersangkutan ditambah 2,5% (dua
setengah persen).
(2) Tambahan surat suara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan sebagai cadangan di setiap TPS.
(3) Penggunaan tambahan surat suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara.
(4) Format berita acara sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 84
(1) Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan dengan mencoblos salah satu tanda
gambar Partai Politik Peserta Pemilu dan mencoblos satu calon dibawah tanda
gambar Partai Politik Peserta Pemilu dalam surat suara.
(2) Pemberian suara untuk pemilihan anggota DPD
dilakukan dengan mencoblos satu calon anggota DPD dalam surat suara.
Pasal 85
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang
mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh
petugas KPPS atau orang lain atas permintaan pemilih.
(2) Petugas KPPS atau orang lain yang membantu
pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh KPU.
Pasal 86
Pemberian suara dilakukan di TPS pada hari
pemungutan suara.
Pasal 87
Tata cara pemberian dan pemungutan suara lebih
lanjut diatur oleh KPU.
Pasal 88
(1) Jumlah pemilih di setiap TPS
sebanyak-banyaknya 300 (tiga ratus) orang.
(2) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta
menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan
rahasia.
(3) Jumlah, lokasi, bentuk, dan tata letak TPS
ditetapkan oleh KPU.
Pasal 89
(1) Untuk keperluan pemungutan suara dalam
pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota disediakan
kotak suara untuk tempat surat suara yang digunakan oleh pemilih.
(2) Jumlah, bahan, bentuk, ukuran, dan warna kotak
suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 90
(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS
melakukan:
pembukaan kotak suara;
pengeluaran seluruh isi kotak suara;
pengidentifikasian jenis dokumen dan peralatan;
serta
penghitungan jumlah setiap jenis dokumen dan
peralatan.
(2) Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dihadiri oleh peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan
warga masyarakat.
(3) Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS dan
sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota KPPS dan dapat ditandatangani oleh saksi
peserta Pemilu.
Pasal 91
(1) Setelah melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90, KPPS memberikan penjelasan mengenai tata cara
pemungutan suara.
(2) Dalam memberikan suara, pemilih diberi
kesempatan oleh KPPS berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.
(3) Apabila menerima surat suara yang ternyata
rusak, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS
memberikan surat suara pengganti hanya satu kali.
(4) Apabila terdapat kekeliruan dalam cara
memberikan suaranya, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPS,
kemudian KPPS memberikan surat suara pengganti hanya satu kali.
Pasal 92
(1) Pemilih yang telah memberikan suara di TPS
diberi tanda khusus oleh KPPS.
(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 93
(1) Suara untuk pemilihan anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dinyatakan sah apabila:
surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS;
tanda coblos pada tanda gambar partai politik dan
calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota berada pada kolom
yang disediakan; atau
tanda coblos pada tanda gambar partai politik
berada pada kolom yang disediakan;
(2) Teknis pelaksanaan tentang ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPU.
Pasal 94
(1) Suara untuk pemilihan anggota DPD dinyatakan
sah apabila:
surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS;
tanda coblos terdapat pada 1 (satu) calon
perseorangan;
(2) Teknis pelaksanaan tentang ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPU.
Pasal 95
(1)
Pemungutan suara bagi warga negara Republik Indonesia yang berada di luar
negeri hanya untuk memilih anggota DPR yang dilaksanakan di setiap kantor
perwakilan Republik Indonesia dan dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan
waktu pemungutan suara Pemilu di Indonesia.
(2)
Dalam hal pemilih tidak dapat memberikan suara di TPSLN yang telah
ditentukan, pemilih yang bersangkutan dapat memberikan suara melalui pos yang
disampaikan kepada perwakilan Republik Indonesia setempat.
Bagian Kedua
Penghitungan Suara
Pasal 96
(1) Penghitungan suara di TPS/TPSLN dilakukan oleh
KPPS/ KPPSLN setelah pemungutan suara berakhir.
(2) Sebelum penghitungan suara dimulai,
KPPS/KPPSLN menghitung:
jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan
salinan daftar pemilih tetap untuk TPS/TPSLN;
jumlah pemilih dari TPS/TPSLN lain;
jumlah surat suara yang tidak terpakai; dan
jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih
karena rusak atau keliru dicoblos.
(3)
Penggunaan surat suara tambahan dibuatkan berita acara yang
ditandatangani oleh Ketua KPPS/KPPSLN dan sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota
KPPS/KPPSLN.
(4)
Penghitungan suara dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN oleh KPPS/ KPPSLN
dan dapat dihadiri oleh saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu,
dan warga masyarakat.
(5) Suara yang
diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki nama calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) dianggap tidak sah.
(6)
Saksi peserta Pemilu harus membawa surat mandat dari peserta Pemilu yang
bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPPS/KPPSLN.
(7)
Penghitungan suara dilakukan dengan cara yang memungkinkan saksi peserta
Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat yang hadir dapat
menyaksikan secara jelas proses penghitungan suara.
(8) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui
saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya
penghitungan suara oleh KPPS/KPPSLN apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(9) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi
peserta Pemilu atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat
diterima, KPPS/KPPSLN seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(10) Segera setelah selesai penghitungan
suara di TPS/TPSLN, KPPS/KPPSLN membuat berita acara dan sertifikat hasil
penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang anggota KPPS/KPPSLN serta dapat ditandatangani oleh saksi peserta Pemilu.
(11) KPPS/KPPSLN memberikan 1 (satu) eksemplar
salinan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi
peserta Pemilu yang hadir.
(12)
KPPS/KPPSLN menyerahkan berita acara, sertifikat hasil penghitungan
suara, surat suara, dan alat kelengkapan administrasi pemungutan dan
penghitungan suara kepada PPS/PPLN segera setelah selesai penghitungan suara.
Pasal 97
(1)
Setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara,
PPS membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara
untuk tingkat desa/kelurahan dan dapat dihadiri oleh saksi peserta Pemilu,
pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat.
(2)
Saksi peserta Pemilu harus membawa surat mandat dari peserta Pemilu yang
bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPS.
(3)
Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi peserta Pemilu yang
hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPS
apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(4)
Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi peserta Pemilu atau warga
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPS seketika itu
juga mengadakan pembetulan.
(5) Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil
penghitungan suara di semua TPS dalam wilayah kerja desa/kelurahan yang
bersangkutan, PPS membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang anggota PPS serta ditandatangani oleh saksi peserta Pemilu.
(6)
PPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS kepada saksi peserta
Pemilu yang hadir.
(7)
PPS wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS kepada PPK setempat.
(8)
PPLN melakukan rekapitulasi atas perolehan hasil suara berdasarkan
sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh KPPSLN di wilayah kerjanya.
(9)
PPLN menyerahkan berita acara, sertifikat hasil penghitungan suara, dan
rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh KPPSLN di wilayah kerjanya
kepada KPU.
Pasal 98
(1)
Setelah menerima berita acara, sertifikat hasil penghitungan suara, PPK
membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk
tingkat kecamatan dan dapat dihadiri oleh saksi peserta Pemilu, panitia
pengawas, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat.
(2)
Saksi peserta Pemilu harus membawa surat mandat dari peserta Pemilu yang
bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPK.
(3)
Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi peserta Pemilu yang
hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPK
apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(4)
Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi peserta Pemilu,
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPK seketika itu juga
mengadakan pembetulan.
(5)
Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua
PPS dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, PPK membuat berita acara
dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh
ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPK serta ditandatangani oleh
saksi peserta Pemilu.
(6) PPK wajib memberikan 1 (satu) eksemplar
salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK
kepada saksi peserta Pemilu yang hadir.
(7) PPK wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK kepada KPU Kabupaten/Kota setempat.
Pasal 99
(1) Pelaksanaan rekapitulasi dan penetapan hasil
penghitungan suara Pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota serta hasil penghitungan
suara Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPD di kabupaten/kota dilakukan
dalam rapat pleno KPU Kabupaten/Kota berdasarkan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara yang dilakukan oleh PPK.
(2) Pelaksanaan rekapitulasi dan penetapan hasil
penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota dapat dihadiri oleh
saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat.
(3) Saksi peserta Pemilu harus membawa surat
mandat dari peserta Pemilu yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPU
Kabupaten/ Kota.
(4) Pelaksanaan rekapitulasi dan penetapan hasil
penghitungan suara dilakukan di tempat dan keadaan yang memungkinkan semua yang
hadir dapat menyaksikannya secara jelas.
(5) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui
saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya
penghitungan suara oleh KPU Kabupaten/Kota apabila ternyata terdapat hal-hal
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau
melalui saksi peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diterima,
KPU Kabupaten/Kota seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(7) KPU Kabupaten/Kota membuat berita acara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua
dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPU Kabupaten/Kota serta
ditandatangani oleh saksi peserta Pemilu.
(8) KPU Kabupaten/Kota memberikan 1 (satu)
eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
suara kepada saksi peserta Pemilu.
(9) Salinan berita acara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dibuat oleh KPU Kabupaten/Kota
disampaikan kepada:
KPU dengan
tembusan kepada KPU Provinsi untuk anggota DPR;
KPU dengan
tembusan kepada KPU Provinsi untuk anggota DPD;
KPU Provinsi dengan tembusan kepada KPU untuk
anggota DPRD Provinsi;
KPU Provinsi dengan tembusan kepada KPU untuk
anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 100
(1) Pelaksanaan rekapitulasi dan penetapan hasil
penghitungan suara Pemilu anggota DPRD Provinsi dan hasil penghitungan suara
Pemilu anggota DPD di provinsi dilakukan dalam rapat pleno KPU Provinsi
berdasarkan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh
KPU Kabupaten/ Kota.
(2) Pelaksanaan rekapitulasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dihadiri oleh saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu,
pemantau Pemilu, dan warga masyarakat.
(3) Saksi peserta Pemilu harus membawa surat
mandat dari peserta Pemilu yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPU
Provinsi.
(4) Pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan
suara anggota DPRD Provinsi dan anggota DPD dilakukan di tempat dan keadaan yang
memungkinkan semua yang hadir dapat menyaksikan seluruh proses penghitungan
suara.
(5) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui
saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya
penghitungan suara oleh KPU Provinsi apabila ternyata terdapat hal-hal yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau
melalui saksi peserta Pemilu, sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diterima,
KPU Provinsi seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(7) KPU Provinsi
membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara bagi
anggota DPRD Provinsi dan anggota DPD yang ditandatangani oleh ketua dan
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPU Provinsi serta ditandatangani
saksi peserta Pemilu.
(8) Berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara anggota DPRD Provinsi dan anggota DPD yang dibuat oleh KPU
Provinsi disampaikan kepada KPU.
(9) KPU Provinsi memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara kepada saksi peserta Pemilu.
Pasal 101
(1)
Pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPR
dilakukan oleh KPU berdasarkan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara
yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(2)
Pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPD
dilakukan oleh KPU berdasarkan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara
yang dilakukan oleh KPU Provinsi.
(3)
Pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dan ditetapkan dalam rapat pleno KPU dan
dihadiri oleh saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu, dan pemantau Pemilu.
(4)
Saksi peserta Pemilu harus membawa surat mandat dari peserta Pemilu yang
bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPU.
(5)
Pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara Pemilu anggota DPR dan DPD
dilakukan di tempat dan keadaan yang memungkinkan semua yang hadir dapat
menyaksikan pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara.
(6) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui
saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya
penghitungan suara oleh KPU apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau
melalui saksi peserta Pemilu, sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diterima,
KPU seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(8)
KPU membuat
berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara anggota DPR dan DPD yang
ditandatangani oleh anggota KPU, serta ditandatangani oleh saksi peserta Pemilu.
(9) KPU memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada saksi peserta Pemilu.
Pasal 102
Keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi peserta Pemilu terhadap proses rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak menghalangi proses pelaksanaan Pemilu.
Pasal 103
(1)
Tata cara pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan TPSLN
ditetapkan oleh KPU.
(2)
Tata cara pelaksanaan rekapitulasi hasil perolehan suara oleh PPS, PPK,
KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi ditetapkan oleh KPU.
(3) Format berita acara penerimaan, format berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara oleh KPPS/KPPSLN, dan format berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara PPS, PPLN, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101 ditetapkan oleh KPU.
Bagian Ketiga
Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum
Pasal 104
(1) Penetapan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan secara nasional oleh KPU.
(2) Pengumuman penetapan hasil Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah pemungutan suara.
BAB X
PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DAN CALON TERPILIH
Bagian Pertama
Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 105
(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu
didasarkan atas seluruh hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai
Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 101 ayat (3).
(1)
Dari hasil penghitungan seluruh suara sah yang diperoleh Partai Politik
Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ditetapkan angka BPP dengan cara membagi jumlah suara sah seluruh Partai Politik
Peserta Pemilu dengan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(2) Tata cara penentuan BPP untuk setiap daerah pemilihan ditetapkan oleh KPU.
Pasal 106
Setelah ditetapkan angka BPP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 105 ayat (2), ditetapkan perolehan jumlah kursi tiap Partai Politik
Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan cara membagi jumlah suara sah
yang diperoleh suatu Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan
dengan BPP, dengan ketentuan:
apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik
Peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan
tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara
yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua;
apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik
Peserta Pemilu lebih kecil dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama
tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai
sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih
terdapat sisa kursi didaerah pemilihan yang bersangkutan;
penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan
apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap
pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada
Partai Politik Peserta Pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis,
dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara
terbanyak.
Pasal 107
(1) Dalam menentukan pembagian jumlah kursi untuk
menetapkan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105, Partai Politik Peserta Pemilu tidak
dibenarkan mengadakan perjanjian penggabungan sisa suara.
(2) Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan
pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu Daerah Pemilihan,
dengan ketentuan :
nama calon yang mencapai angka BPP ditetapkan
sebagai calon terpilih;
nama calon yang tidak mencapai angka BPP,
penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon
di daerah pemilihan yang bersangkutan;
(3) Tata cara pelaksanaan penetapan calon terpilih
anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan oleh KPU.
Pasal 108
(1) Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD
Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota dilakukan dalam rapat pleno KPU, KPU
Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh saksi Partai Politik
Peserta Pemilu dan pengawas Pemilu.
(2) Hasil penetapan calon terpilih anggota DPR,
DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota kepada
masyarakat.
Bagian Kedua
Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Pasal 109
(1) Penetapan calon terpilih anggota DPD
didasarkan pada nama calon yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua,
ketiga, dan keempat di provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam hal perolehan suara calon terpilih
keempat terdapat jumlah suara yang sama, maka calon yang memperoleh dukungan
pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi
tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih.
(3) Tata cara pelaksanaan penetapan calon terpilih
anggota DPD ditetapkan oleh KPU.
BAB XI
PENETAPAN DAN PEMBERITAHUAN CALON TERPILIH
Pasal 110
(1) KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota sesuai
dengan kewenangannya menetapkan nama calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada Pasal 107.
(2)
KPU menetapkan calon terpilih anggota DPD peringkat pertama sampai dengan
keempat dan calon terpilih pengganti anggota DPD peringkat kelima sampai dengan
kedelapan di setiap daerah pemilihan.
Pasal 111
(1)
Pemberitahuan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota disampaikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota kepada
Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya dengan tembusan kepada
calon terpilih.
(2)
Pemberitahuan calon terpilih anggota DPD disampaikan oleh KPU kepada
calon terpilih anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua,
ketiga, dan keempat dengan tembusan kepada gubernur dan KPU Provinsi yang
bersangkutan.
BAB XII
PENGGANTIAN CALON TERPILIH
Pasal 112
(1)
Penggantian calon terpilih hanya dapat dilakukan apabila calon terpilih
tersebut meninggal dunia atau tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota.
(2) Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPRD
Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti
oleh calon pengganti dari daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107.
(3) Pengganti calon terpilih anggota DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah calon yang memperoleh suara terbanyak
pada peringkat berikutnya dari daerah pemilihan yang sama.
Pasal 113
(1) Penetapan
calon terpilih anggota DPR dan DPD dilakukan oleh KPU.
(2) Penetapan calon terpilih anggota DPRD Provinsi
dilakukan oleh KPU Provinsi.
(3) Penetapan calon terpilih anggota DPRD
Kabupaten/Kota dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 114
KPU melaporkan hasil penetapan calon terpilih
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 113 kepada Presiden.
BAB XIII
PENGHITUNGAN DAN PEMUNGUTAN SUARA ULANG,
PEMILIHAN UMUM LANJUTAN DAN PEMILIHAN UMUM SUSULAN
Bagian Pertama
Penghitungan dan Pemungutan Suara Ulang
Pasal 115
(1) Penghitungan
ulang surat suara di TPS dilakukan apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan
terbukti terdapat satu atau lebih penyimpangan sebagai berikut:
penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang
penerangan cahaya;
saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau
Pemilu, dan warga masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara
secara jelas;
penghitungan suara dilakukan di tempat lain di
luar tempat dan waktu yang telah ditentukan; dan/atau
terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat
suara yang sah dan surat suara yang tidak sah.
(2) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada
tingkat PPS apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.
(3) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada
tingkat PPK apabila terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.
(4) Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara
pada tingkat KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU dilakukan pengecekan
ulang terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu)
tingkat di bawahnya.
Pasal 116
(1) Pemungutan
suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang mengakibatkan hasil
pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat
dilakukan.
(2) Pemungutan
suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan
pengawas Pemilu kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai
berikut:
pembukaan kotak
suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan
menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
petugas KPPS
meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau
alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;
lebih dari
seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama
atau TPS yang berbeda;
petugas KPPS
merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga
surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
lebih dari
seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan
memberikan suara pada TPS.
Pasal 117
Penghitungan suara
dan pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dan Pasal 116
diputuskan oleh PPK dan dilaksanakan selambat-lambatnya 20 (dua puluh)
hari sesudah hari pemungutan suara.
Bagian Kedua
Pemilihan Umum
Lanjutan dan Pemilihan Umum Susulan
Pasal 118
(1) Pemilu
Lanjutan di suatu daerah pemilihan dilakukan apabila sebagian tahapan
penyelenggaraan Pemilu di daerah pemilihan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan
Pemilu Lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari tahap
penyelenggaraan Pemilu yang terhenti.
(3)
Pemilu Susulan
di suatu daerah pemilihan dilakukan apabila seluruh tahapan penyelenggaraan
Pemilu di daerah pemilihan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
(4) Pelaksanaan
Pemilu Susulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sejak tahap awal.
Pasal 119
(1)
Pemilu Lanjutan dan atau Pemilu Susulan dilakukan apabila di sebagian
atau seluruh daerah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, atau bencana
alam yang mengakibatkan sebagian atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu
tidak dapat dilaksanakan.
(2) Pemilu
Lanjutan atau Pemilu Susulan dilaksanakan setelah ada penetapan penundaan
pelaksanaan Pemilu.
(3) Penetapan
penundaan pelaksanaan Pemilu secara nasional dilakukan oleh Presiden atas usul
KPU apabila Pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh persen) jumlah
provinsi atau 50% (lima puluh persen) dari jumlah pemilih terdaftar tidak dapat
menggunakan hak pilihnya.
(4) Penetapan
penundaan pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh: Penundaan pelaksanaan Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh :
KPU atas usul
KPU Provinsi apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa
provinsi;
KPU Provinsi
atas usul KPU Kabupaten/Kota apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi
satu atau beberapa kabupaten/kota;
KPU
Kabupaten/Kota atas usul PPK, apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi
satu atau beberapa kecamatan;
KPU
Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi
satu atau beberapa desa/kelurahan.
(5) Pemilu
Lanjutan atau Pemilu Susulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan berdasarkan keputusan pejabat/lembaga yang menetapkan penundaan
pelaksanaan Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
Pemilu Lanjutan atau Pemilu Susulan ditetapkan oleh KPU.
BAB XIV
PENGAWASAN, PENEGAKAN HUKUM, DAN
PEMANTAUAN PEMILIHAN UMUM
Bagian Pertama
Pengawasan
Paragraf Pertama
Pengawas Pemilihan Umum
Pasal 120
(1) Untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk
Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas
Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
(2) Panitia Pengawas Pemilu dibentuk oleh KPU.
(3) Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dibentuk oleh
Panitia Pengawas Pemilu.
(4) Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota
dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu Provinsi.
(5) Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk
oleh Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota.
Pasal 121
(1) Panitia Pengawas Pemilu bertanggung jawab
kepada KPU.
(2) Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan
bertanggung jawab kepada Panitia Pengawas Pemilu yang membentuknya.
Pasal 122
(1) Pengawas Pemilu mempunyai tugas dan wewenang:
mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu;
menerima laporan pelanggaran peraturan
perundang-undangan Pemilu;
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam
penyelenggaraan Pemilu; dan
meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat
diselesaikan kepada instansi yang berwenang.
(2) Uraian tugas dan hubungan kerja antara Panitia
Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan diatur oleh Panitia
Pengawas Pemilu.
(3) Guna menunjang pelaksanaan pengawasan Pemilu,
penyelenggara Pemilu dan pihak terkait lainnya harus memberikan kemudahan kepada
pengawas Pemilu untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf Kedua
Organisasi dan Keanggotaan Pengawas Pemilihan Umum
Pasal 123
(1)
Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan terdiri
atas seorang ketua merangkap anggota, dan dibantu seorang wakil ketua merangkap
anggota serta para anggota.
(2)
Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas
Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas
Pemilu Kecamatan dibantu oleh sekretariat.
(3)
Tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh
KPU.
Pasal 124
(1)
Anggota Panitia Pengawas Pemilu sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang,
Panitia Pengawas Pemilu Provinsi sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang, Panitia
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang, dan Panitia
Pengawas Pemilu Kecamatan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang berasal dari
unsur kepolisian negara, kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan
pers.
(2)
Apabila dalam suatu kabupaten/kota atau kecamatan tidak terdapat unsur
kejaksaan, perguruan tinggi, atau pers, keanggotaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diisi dari unsur tokoh masyarakat.
(3) Tata cara
pengisian keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan.
Pasal 125
(1)
Ketua dan wakil ketua Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu
Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu
Kecamatan dipilih dari dan oleh anggota.
(2)
Setiap anggota pengawas Pemilu memiliki hak suara yang sama.
Pasal 126
Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu
Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu
Kecamatan dibentuk sebelum pendaftaran pemilih dimulai dan tugasnya berakhir
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu
anggota DPR dan/atau DPD atau DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota selesai.
Bagian Kedua
Penegakan Hukum
Paragraf Pertama
Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa
Pemilihan Umum
Pasal 127
(1)
Pengawas Pemilu menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu.
(2)
Laporan pelanggaran Pemilu dapat diajukan oleh:
warga negara yang mempunyai hak pilih;
pemantau Pemilu; dan/atau
peserta Pemilu.
(3) Laporan disampaikan secara lisan/tertulis yang
berisi:
nama dan alamat pelapor;
waktu dan tempat kejadian perkara;
nama dan alamat pelanggar;
nama dan alamat saksi-saksi; dan
uraian kejadian.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada pengawas Pemilu sesuai dengan wilayah kerjanya
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu.
(5) Tata cara pelaporan lebih lanjut diatur oleh
Panitia Pengawas Pemilu.
Pasal 128
(1)
Pengawas Pemilu mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima.
(2)
Pengawas Pemilu memutuskan untuk menindaklanjuti atau tidak
menindaklanjuti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari setelah laporan diterima.
(3)
Dalam hal pengawas Pemilu memerlukan keterangan tambahan dari pelapor
untuk melengkapi laporannya, putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah laporan diterima.
(4)
Laporan yang bersifat sengketa dan tidak mengandung unsur pidana
diselesaikan oleh pengawas Pemilu.
(5) Laporan yang mengandung unsur pidana
diteruskan kepada penyidik.
Pasal 129
(1)
Pengawas Pemilu menyelesaikan sengketa melalui tahapan sebagai berikut:
mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk
musyawarah dan mufakat;
apabila tidak tercapai kesepakatan, pengawas
Pemilu menawarkan alternatif penyelesaian kepada pihak-pihak yang bersengketa;
apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf
b tidak diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, dengan mempertimbangkan
keberatan yang diajukan oleh pihak yang bersengketa, pengawas Pemilu membuat
keputusan final dan mengikat.
(2)
Penyelesaian persengketaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
14 (empat belas) hari sejak pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan.
Pasal 130
Pengawas Pemilu meneruskan temuan yang merupakan
pelanggaran administrasi kepada KPU dan pelanggaran yang mengandung unsur pidana
kepada penyidik.
Paragraf Kedua
Penyidikan dan Penuntutan
Pasal 131
(1)
Segala ketentuan mengenai penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana yang diatur dalam undang-undang ini berlaku Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang
ini.
(2) Penyidikan atas tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang ini diselesaikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya laporan.
(3) Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
setelah selesainya penyidikan, penyidik menyerahkan berkas perkara kepada
penuntut umum.
(4) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara
kepada pengadilan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
berkas perkara dari penyidik.
Pasal 132
Tindakan kepolisian terhadap pejabat negara
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1970 tentang Tata Cara
Tindakan Kepolisian terhadap Anggota-anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tidak berlaku bagi
anggota/pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat yang
melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini.
Paragraf Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 133
(1)
Pemeriksaan atas tindak pidana dalam undang-undang ini dilakukan oleh
pengadilan di lingkungan peradilan umum.
(2)
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengadilan negeri
untuk pelanggaran dengan ancaman pidana kurang dari 18 (delapan belas) bulan
yang merupakan tingkat pertama dan terakhir.
(3)
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengadilan negeri
pada tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat banding
dan terakhir, untuk pelanggaran dengan ancaman pidana 18 (delapan belas) bulan
atau lebih.
(4)
Penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) oleh
pengadilan negeri paling lama 21 (dua puluh satu) hari dan oleh pengadilan
tinggi paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya berkas perkara.
Pasal 134
Dalam hal terjadi perselisihan tentang hasil Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, diperiksa dan diputuskan untuk tingkat
pertama dan terakhir oleh Mahkamah Konstitusi.
Bagian Ketiga
Pemantauan Pemilihan Umum
Pasal 135
(1)
Pemantauan pelaksanaan Pemilu dapat dilakukan oleh pemantau Pemilu.
(2)
Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lembaga
swadaya masyarakat, badan hukum, dan perwakilan pemerintah luar negeri.
(3)
Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari dalam dan luar
negeri harus mendaftarkan diri di KPU.
(4)
Pemantau Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi syarat:
bersifat independen;
mempunyai sumber dana yang jelas; dan
memperoleh akreditasi dari KPU.
Pasal 136
(1) Pemantau Pemilu dapat melakukan pemantauan
terhadap penyelenggaraan Pemilu dan menyampaikan laporan hasil pemantauannya
kepada KPU.
(2) Pemantau Pemilu wajib mematuhi segala
peraturan yang ditentukan oleh KPU dan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemantau
Pemilu yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau
tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (4),
dicabut haknya sebagai pemantau Pemilu.
(4) Tata cara
untuk menjadi pemantau Pemilu dan tata cara pemantauan Pemilu ditetapkan oleh
KPU.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 137
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan
keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang
suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak
pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut berkeberatan, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) atau
paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3)
Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu
aturan dalam undang-undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan
dalam Pemilu, dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai
seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(4)
Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan,
menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18
(delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus
ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(5)
Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan atau
dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih
menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu
menurut undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00
(enam juta rupiah).
(6)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan suatu imbalan
dengan maksud untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota Dewan Perwakilan
Daerah dalam Pemilu, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam
juta rupiah).
(7)
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar
atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu
hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi peserta Pemilu, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan
belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah)
atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 138
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan mengenai larangan
pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00
(enam juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 huruf f dan huruf g, diancam dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU untuk masing-masing
peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), diancam dengan
pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan,
menghalangi, atau mengggangu jalannya kampanye Pemilu, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(5) Setiap orang yang memberi atau menerima dana
kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat
(2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(6) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau
memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(7) Setiap
orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan
dana kampanye Pemilu sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang ini, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua
belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 139
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan
melakukan haknya untuk memilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau
menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan
hak pilihnya, atau memilih peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan hak
pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12
(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara
dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 60 (enam puluh) hari
dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara
dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 4
(empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah)
atau paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(5)
Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan atau paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau
paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(6)
Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang
pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan
tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
(7)
Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi
seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1),
diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12
(dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(8)
Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 ayat (1), dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling
lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 140
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan
suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan peserta Pemilu
tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau
paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil
pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) atau paling banyak Rp20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya
menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling
lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah
hasil penghitungan suara dan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan
suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan atau paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 141
Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh
penyelenggara atau peserta Pemilu, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga)
dari pidana yang tersebut dalam pasal yang bersangkutan.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 142
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 1999 yang
memperoleh 2% (dua persen) atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh
sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ? (setengah) jumlah provinsi
dan di ? (setengah) kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai
Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 1999.
Pasal
143
(1)
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum tahun 1999 yang memperoleh kurang dari 2%
(dua persen) jumlah kursi DPR atau memperoleh kurang dari 3% (tiga persen)
jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar
sekurang-kurangnya di ? (satu perdua) jumlah Provinsi dan di ? (satu perdua)
Kabupaten/Kota seluruh Indonesia, tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum
berikutnya kecuali bergabung dengan Partai Politik lain.
(2)
Bergabung dengan partai politik lain dilakukan untuk memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan cara :
bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 1999 sebagaimana
ketentuan Pasal 142;
ergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 142, dengan menggunakan nama dan tanda gambar salah satu
partai politik yang bergabung;
bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 142 dengan menggunakan nama dan tanda gambar baru.
Pasal
144
(1)
Anggota KPU yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum tetap
melaksanakan tugasnya sampai masa kerjanya berakhir pada bulan Maret
tahun 2006 dengan kewajiban menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini
dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diberlakukannya undang-undang ini.
(2)
Tiga bulan sebelum berakhirnya masa jabatan KPU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Presiden mengusulkan keanggotaan KPU yang baru sebagaimana diatur
undang-undang ini.
Pasal 145
Dalam Pemilu tahun
2004, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya.
Pasal 146
Calon anggota DPD dalam Pemilu tahun 2004 tidak
menjadi pengurus partai politik paling lama 3 (tiga) bulan sejak diundangkan
undang-undang ini.
Pasal 147
Untuk Pemilu tahun 2004, KPU dalam melakukan pendaftaran pemilih bekerja sama dengan Pemerintah untuk melakukan kegiatan pendataan penduduk.
Pasal 148
Untuk Pemilu tahun 2004, pengawas Pemilu dibentuk
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah undang-undang ini diundangkan dan
tugasnya berakhir selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah seluruh tahapan
Pemilu anggota DPR dan/atau DPD atau DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota
selesai.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 149
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3810) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3959) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 150
Undang-undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal 11
Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 11
Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 37
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd
Edy Sudibyo