PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 56 TAHUN 2009

 
TENTANG


PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12, Pasal 16, Pasal 34, Pasal 53, Pasal 58, Pasal 64, Pasal 66, Pasal 83, Pasal 89, Pasal 95, Pasal 97, Pasal 113, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 119, dan Pasal 174 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan perkeretaapian;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

   

2.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);

   

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN.

 

BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1

   

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

   

1.

Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya manusia, serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api.

   

2.

Perkeretaapian umum adalah perkeretaapian yang digunakan untuk melayani angkutan orang dan/atau barang dengan dipungut bayaran.

   

3.

Perkeretaapian khusus adalah perkeretaapian yang hanya digunakan untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tertentu dan tidak digunakan untuk melayani masyarakat umum.

   

4.

Perkeretaapian antarkota adalah perkeretaapian yang melayani perpindahan orang dan/atau barang dari satu kota ke kota yang lain.

   

5.

Perkeretaapian perkotaan adalah perkeretaapian yang melayani perpindahan orang di wilayah perkotaan dan/atau perjalanan ulang alik.

   

6.

Rencana Induk Perkeretaapian adalah rencana dan arah kebijakan pengembangan perkeretaapian yang meliputi perkeretaapian nasional, perkeretaapian provinsi, dan perkeretaapian kabupaten/kota.

   

7.

Penyelenggara prasarana perkeretaapian adalah pihak yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian.

   

8.

Penyelenggara sarana perkeretaapian adalah badan usaha yang mengusahakan sarana perkeretaapian umum.

   

9.

Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk perkeretaapian.

   

10.

Penyelenggara perkeretaapian khusus adalah badan usaha yang mengusahakan penyelenggaraan perkeretaapian khusus.

   

11.

Prasarana perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan.

   

12.

Jalur kereta api adalah jalur yang terdiri atas rangkaian petak jalan reI yang meliputi ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan jalur kereta api, termasuk bagian atas dan bawahnya yang diperuntukkan bagi lalu lintas kereta api.

   

13.

Jaringan jalur kereta api adalah seluruh jalur kereta api yang terkait satu dengan yang lain yang menghubungkan berbagai tempat sehingga merupakan satu sistem.

   

14.

Jalur kereta api khusus adalah jalur kereta api yang digunakan secara khusus oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tersebut.

   

15.

Jalan reI adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton, atau konstruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah, dan di atas tanah atau bergantung beserta perangkatnya yang mengarahkan jalannya kereta api.

   

16.

Stasiun kereta api adalah tempat pemberangkatan dan pemberhentian kereta api.

   

17.

Fasilitas pengoperasian kereta api adalah segala fasilitas yang diperlukan agar kereta api dapat dioperasikan.

   

18.

Kereta api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api.

   

19.

Sarana perkeretaapian adalah kendaraan yang dapat bergerak di jalan rel.

   

20.

Lokomotif adalah sarana perkeretaapian yang memiliki penggerak sendiri yang bergerak dan digunakan untuk menarik dan/atau mendorong kereta, gerbong, dan/atau peralatan khusus.

   

21.

Kereta adalah sarana perkeretaapian yang ditarik dan/atau didorong lokomotif atau mempunyai penggerak sendiri yang digunakan untuk mengangkut orang.

   

22.

Gerbong adalah sarana perkeretaapian yang ditarik dan/atau didorong lokomotif digunakan untuk mengangkut barang.

   

23.

Peralatan khusus adalah sarana perkeretaapian yang tidak digunakan untuk angkutan penumpang atau barang, tetapi untuk keperluan khusus, misalnya kereta inspeksi, kereta penolong, kereta derek, kereta ukur, dan kereta pemeliharaan jalan rel.

   

24.

Persyaratan teknis adalah ketentuan teknis yang menjadi standar spesifikasi teknis prasarana atau sarana perkeretaapian.

   

25.

Spesifikasi teknis adalah persyaratan umum, ukuran, kinerja, dan gambar teknis prasarana atau sarana perkeretaapian.

   

26.

Pengujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara persyaratan teknis dan kondisi dan fungsi prasarana atau sarana perkeretaapian.

   

27.

Pemeriksaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui kondisi dan fungsi prasarana atau sarana perkeretaapian.

   

28.

Perawatan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mempertahankan keandalan prasarana atau sarana perkeretaapian agar tetap laik operasi.

   

29.

Petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian adalah orang yang ditugaskan untuk mengoperasikan prasarana perkeretaapian oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian.

   

30.

Awak sarana perkeretaapian adalah orang yang ditugaskan di dalam kereta api oleh penyelenggara sarana perkeretaapian selama perjalanan kereta api.

   

31.

Masinis adalah awak sarana perkeretaapian yang bertugas mengoperasikan kereta api serta bertanggung jawab sebagai pemimpin perjalanan kereta api.

   

32.

Asisten Masinis adalah awak sarana perkeretaapian yang membantu masinis dalam mengoperasikan kereta api.

   

33.

Sertifikasi pengujian prasarana atau sarana perkeretaapian adalah proses pemeriksaan, pengujian, untuk menetapkan kelaikan operasi prasarana atau sarana perkeretaapian.

   

34.

Sertifikat uji pertama adalah tanda bukti ditetapkannya kelaikan operasi prasarana atau sarana perkeretaapian.

   

35.

Sertifikat uji berkala adalah tanda bukti ditetapkannya kelaikan operasi prasarana atau sarana perkeretaapian setelah memiliki sertifikat uji pertama.

   

36.

Sertifikat kecakapan adalah tanda bukti telah memenuhi persyaratan kompetensi sebagai awak sarana perkeretaapian atau tenaga operasi prasarana perkeretaapian.

   

37.

Sertifikat keahlian adalah tanda bukti telah memenuhi persyaratan kompetensi sebagai tenaga penguji, tenaga pemeriksa, dan tenaga perawatan.

   

38.

Kualifikasi adalah tingkat kecakapan atau keahlian sesuai dengan kategori sertifikat untuk kompetensi tertentu.

   

39.

Akreditasi adalah rangkaian kegiatan pengakuan formal yang menyatakan bahwa suatu lembaga atau badan hukum telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sertifikasi tertentu.

   

40.

Pendidikan dan pelatihan adalah pendidikan dan pelatihan teknis fungsional di bidang perkeretaapian sesuai standar kompetensi.

   

41.

Izin pengadaan atau pembangunan perkeretaapian khusus yang selanjutnya disebut izin pembangunan adalah izin yang harus dimiliki oleh badan usaha yang akan menyelenggarakan perkeretaapian khusus.

   

42.

Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

   

43.

Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

   

44.

Menteri adalah menteri yang membidangi urusan perkeretapian.

 

Pasal 2

   

(1)

Perkeretaapian diselenggarakan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara masal dengan selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, tertib, teratur, dan efisien.

   

(2)

Penyelenggaraan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menunjang pemerataan pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional.

 

Pasal 3

   

(1)

Pengaturan perkeretaapian meliputi:

     

a.

tatanan perkeretaapian umum;

     

b.

penyelenggaraan prasarana dan sarana perkeretaapian;

     

c.

sumber daya manusia perkeretaapian;

     

d.

perizinan;

     

e.

pembinaan; dan

     

f.

lalu lintas dan angkutan kereta api.

   

(2)

Pengaturan lalu lintas dan angkutan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.

 

BAB II
TATANAN PERKERETAAPIAN UMUM


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 4

   

(1)

Tatanan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a meliputi:

     

a.

perkeretaapian nasional;

     

b.

perkeretaapian provinsi; dan

     

c.

perkeretaapian kabupaten/kota.

   

(2)

Tatanan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan sistem perkeretaapian nasional.

   

(3)

Sistem perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terintegrasi dengan moda transportasi lainnya.

 

Pasal 5

   

(1)

Untuk mewujudkan tatanan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan rencana induk perkeretaapian.

   

(2)

Rencana induk perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rencana pengembangan perkeretaapian perkotaan dan perkeretaapian antarkota.

   

(3)

Rencana pengembangan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pengembangan perkeretaapian pada jaringan jalur kereta api yang sudah ada maupun jaringan jalur kereta api yang akan dibangun.

 

Pasal 6

   

(1)

Rencana induk perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) terdiri atas:

     

a.

rencana induk perkeretaapian nasional;

     

b.

rencana induk perkeretaapian provinsi; dan

     

c.

rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.

   

(2)

Rencana induk perkeretaapian dibuat untuk jangka waktu paling sedikit 20 (dua puhih) tahun.

   

(3)

Rencana induk perkeretaapian dapat dievaluasi setiap 5 (lima) tahun.

   

(4)

Dalam hal terjadi perubahan lingkungan strategis tertentu rencana jangka panjang perkeretaapian dapat dievaluasi sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun.

   

(5)

Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan perubahan rencana induk perkeretaapian.

 

Bagian Kedua
Rencana Induk Perkeretaapian Nasional


Pasal 7

   

(1)

Rencana induk perkeretaapian nasional meliputi:

     

a.

rencana induk perkeretaapian antarkota antarprovinsi dan antarkota antarnegara; dan

     

b.

rencana induk perkeretaapian perkotaan antarprovinsi.

   

(2)

Rencana induk perkeretaapian nasional disusun dengan memperhatikan:

     

a.

rencana tata ruang wilayah nasional;

     

b.

rencana induk jaringan moda transportasi lainnya; dan

     

c.

kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi nasional.

 

Pasal 8

   

(1)

Kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi:

     

a.

prakiraan jumlah perpindahan penumpang dan barang:

       

1)

antarpusat kegiatan nasional;

       

2)

antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan luar negeri; dan

       

3)

antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan provinsi.

     

b.

prakiraan jumlah perpindahan orang dan/atau barang dari dan ke simpul moda transportasi lain yang harus dilayani oleh perkeretaapian nasional; dan

     

c.

prakiraan jumlah penumpang dalam kawasan perkotaan yang cakupannya melebihi wilayah provinsi.

 

Pasal 9

   

Rencana induk perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 paling sedikit memuat:

   

a.

arah kebijakan dan peranan perkeretaapian nasional dalam keseluruhan moda transportasi;

   

b.

prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada tataran nasional;

   

c.

rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian nasional;

   

d.

rencana kebutuhan sarana perkeretaapian nasional; dan

   

e.

rencana kebutuhan sumber daya manusia.

 

Pasal 10

   

Arah kebijakan dan peranan perkeretaapian nasional dalam keseluruhan moda transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, terdiri atas:

   

a.

pilihan dan strategi pengembangan perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian nasional dalam keseluruhan moda transportasi antarkota pada tataran transportasi nasional;

   

b.

pilihan dan strategi pengembangan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian nasional dalam keseluruhan moda transportasi perkotaan pada tataran transportasi nasional;

   

c.

peranan angkutan perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian nasional dalam keseluruhan moda transportasi antarkota pada tataran transportasi nasional; dan

   

d.

peranan angkutan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian nasional dalam keseluruhan moda transportasi perkotaan pada tataran transportasi nasional.

 

Pasal 11

   

Prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada tataran transportasi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, meliputi:

   

a.

prakiraan jumlah perpindahan orang dan/atau barang antarpusat kegiatan nasional dan antara pusat kegiatan nasional dan pusat kegiatan provinsi;

   

b.

prakiraan jumlah perpindahan orang dan/atau barang antara pusat kegiatan nasional dan luar negeri;

   

c.

prakiraan jumlah perpindahan orang dan/atau barang dari dan ke simpul moda transportasi lain yang harus dilayani oleh perkeretaapian nasional; dan

   

d.

prakiraan jumlah perpindahan orang dalam kawasan perkotaan yang cakupannya melebihi wilayah provinsi.

 

Pasal 12

   

Rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, terdiri atas:

   

a.

rencana, jalur perkeretaapian antarkota dan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian nasional;

   

b.

rencana lokasi dan kelas stasiun perkeretaapian antarkota dan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian nasional: dan

   

c.

rencana fasilitas operasi perkeretaapian antarkota dan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian nasional.

 

Pasal 13

   

Rencana kebutuhan sarana perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d, terdiri atas:

   

a.

rencana kebutuhan sarana perkeretaapian yang melayani angkutan antarkota pada perkeretaapian nasional; dan

   

b.

rencana kebutuhan sarana perkeretaapian yang melayani angkutan perkotaan pada perkeretaapian nasional dari dan ke simpul moda transportasi lain yang dilayani oleh perkeretaapian nasional.

 

Pasal 14

   

Rencana kebutuhan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e, terdiri atas rencana kebutuhan sumber daya manusia:

   

a.

di bidang prasarana perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian nasional;

   

b.

di bidang sarana perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian nasional;

   

c.

di bidang prasarana perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian nasional;

   

d.

di bidang sarana perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian nasional;

   

e.

rencana kebutuhan sumber daya manusia penguji prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian; dan

   

f.

rencana kebutuhan sumber daya manusia pembina perkeretaapian nasional.

 

Pasal 15

   

Rencana induk perkeretaapian nasional disusun dan ditetapkan oleh Menteri.

 

Bagian Ketiga
Rencana Induk Perkeretaapian Provinsi


Pasal 16

   

(1)

Rencana induk perkeretaapian provinsi terdiri atas:

     

a.

rencana induk perkeretaapian antarkota dalam provinsi; dan

     

b.

rencana induk perkeretaapian perkotaan dalam provinsi.

   

(2)

Penyusunan rencana induk perkeretaapian provinsi harus memperhatikan:

     

a.

rencana tata ruang wilayah nasional;

     

b.

rencana tata ruang wilayah provinsi;

     

c.

rencana induk perkeretaapian nasional;

     

d.

rencana induk jaringan moda transportasi lainnya pada tataran transportasi provinsi; dan

     

e.

kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi provinsi.

 

Pasal 17

   

Kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf e terdiri atas:

   

a.

prakiraan jumlah penumpang dan barang antarpusat kegiatan provinsi dan antara pusat kegiatan provinsi dengan pusat kegiatan kabupaten/kota;

   

b.

prakiraan perpindahan orang dan/atau barang dari dan ke simpul moda transportasi lain yang harus dilayani oleh perkeretaapian provinsi; dan

   

c.

prakiraan jumlah penumpang dalam kawasan perkotaan yang cakupannya melebihi wilayah kabupaten/kota.

 

Pasal 18

   

Penyusunan rencana induk perkeretaapian provinsi paling sedikit memuat:

   

a.

arah kebijakan dan peranan perkeretaapian provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;

   

b.

prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada tataran provinsi;

   

c.

rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian provinsi;

   

d.

rencana kebutuhan sarana perkeretaapian provinsi; dan

   

e.

rencana kebutuhan sumber daya manusia.

 

Pasal 19

   

Arah kebijakan dan peranan perkeretaapian provinsi dalam keseluruhan moda transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, terdiri atas:

   

a.

pilihan dan strategi pengembangan perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian provinsi dalam keseluruhan moda transportasi antarkota pada tataran provinsi;

   

b.

pilihan dan strategi pengembangan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian provinsi dalam keseluruhan moda transportasi perkotaan pada tataran provinsi;

   

c.

peranan angkutan perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian provinsi dalam keseluruhan moda transportasi antarkota pada tataran provinsi; dan

   

d.

peranan angkutan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian provinsi dalam keseluruhan moda transportasi perkotaan pada tataran provinsi.

 

Pasal 20

   

Prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada tataran provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, terdiri atas:

   

a.

prakiraan volume perpindahan orang dan/atau barang antarpusat kegiatan provinsi dan antara pusat kegiatan provinsi dan pusat kegiatan kabupaten/kota;

   

b.

prakiraan perpindahan orang dan/atau barang dari dan ke simpul moda transportasi lain yang harus dilayani oleh perkeretaapian provinsi; dan

   

c.

prakiraan volume perpindahan orang dalam kawasan perkotaan yang cakupannya melebihi wilayah kabupaten/kota.

 

Pasal 21

   

Rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c, terdiri atas:

   

a.

rencana jalur perkeretaapian antarkota dan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian provinsi;

   

b.

rencana lokasi dan kelas stasiun perkeretaapian antarkota dan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian provinsi; dan

   

c.

rencana kebutuhan fasilitas operasi perkeretaapian antarkota dan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian provinsi.

 

Pasal 22

   

Rencana kebutuhan sarana perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d, terdiri atas:

   

a.

rencana kebutuhan sarana perkeretaapian yang melayani angkutan antarkota pada perkeretaapian provinsi; dan

   

b.

rencana kebutuhan sarana perkeretaapian yang melayani angkutan perkotaan pada perkeretaapian provinsi dari dan ke simpul moda transportasi lain yang dilayani oleh perkeretaapian provinsi.

 

Pasal 23

   

Rencana kebutuhan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e, meliputi:

   

a.

rencana kebutuhan sumber daya manusia di bidang prasarana perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian provinsi;

   

b.

rencana kebutuhan sumber daya manusia di bidang sarana perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian provinsi;

   

c.

rencana kebutuhan sumber daya manusia di bidang prasarana perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian provinsi;

   

d.

rencana kebutuhan sumber daya manusia di bidang sarana perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian provinsi; dan

   

e.

rencana kebutuhan sumber daya manusia pembina perkeretaapian provinsi.

 

Pasal 24

   

(1)

Rencana induk perkeretaapian provinsi disusun dan ditetapkan oleh gubernur.

   

(2)

Gubernur dalam menyusun rencana induk perkeretaapian provinsi wajib berkonsultasi dengan Menteri.

 

Bagian Keempat
Rencana Induk Perkeretaapian Kabupaten/Kota


Pasal 25

   

(1)

Rencana induk perkeretaapian kabupaten terdiri atas:

     

a.

rencana induk perkeretaapian antarkota dalam kabupaten; dan

     

b.

rencana induk perkeretaapian perkotaan dalam kabupaten.

   

(2)

Rencana induk perkeretaapian kota merupakan rencana induk perkeretaapian perkotaan.

   

(3)

Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan:

     

a.

rencana tata ruang wilayah nasional;

     

b.

rencana tata ruang wilayah provinsi;

     

c.

rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;

     

d.

rencana induk perkeretaapian provinsi;

     

e.

rencana induk jaringan moda transportasi lainnya pada tataran kebupaten/kota; dan

     

f.

kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi kabupaten/kota.

   

(4)

Rencana induk jaringan moda transportasi lainnya pada tataran kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e, terdiri atas:

     

a.

rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten/kota;

     

b.

tatanan kepelabuhanan nasional; dan

     

c.

tatanan kebandarudaraan nasional.

 

Pasal 26

   

Kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf f terdiri atas:

   

a.

prakiraan jumlah penumpang dan barang antarpusat kegiatan kabupaten/kota;

   

b.

prakiraan perpindahan orang dan/atau barang dari dan ke simpul moda transportasi lain yang harus dilayani oleh perkeretaapian kabupaten/kota; dan

   

c.

prakiraan jumlah penumpang dalam kawasan perkotaan yang cakupannya dalam wilayah kabupaten/kota.

 

Pasal 27

   

Penyusunan rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota paling sedikit memuat:

   

a.

arab kebijakan dan peranan perkeretaapian kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;

   

b.

prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada tataran kabupaten/kota;

   

c.

rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian kabupaten/kota;

   

d.

rencana kebutuhan sarana perkeretaapian kabupaten/kota; dan

   

e.

rencana kebutuhan sumber daya manusia.

 

Pasal 28

   

Arah kebijakan dan peranan perkeretaapian kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, terdiri atas:

   

a.

pilihan dan strategi pengembangan perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian kabupaten dalam keseluruhan moda transportasi antarkota pada tataran transportasi kabupaten;

   

b.

pilihan dan strategi pengembangan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi perkotaan pada tataran transportasi kabupaten/kota;

   

c.

peranan angkutan perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian kabupaten dalam keseluruhan moda transportasi antarkota pada tataran transportasi kabupaten; dan

   

d.

peranan angkutan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi perkotaan pada tataran transportasi kabupaten/kota.

 

Pasal 29

   

Prakiraan jumlah perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan tataran transportasi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b, meliputi:

   

a.

prakiraan jumlah perpindahan orang dan/atau barang antarpusat kegiatan kabupaten/kota;

   

b.

prakiraan jumlah perpindahan orang dan/atau barang dari dan ke simpul moda transportasi lain yang harus dilayani oleh perkeretaapian kabupaten/kota; dan

   

c.

prakiraan jumlah perpindahan orang dalam kawasan perkotaan yang cakupannya dalam wilayah kabupaten/kota.

 

Pasal 30

   

Rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c, terdiri atas:

   

a.

rencana jalur perkeretaapian antarkota dan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian kabupaten/kota;

   

b.

rencana lokasi dan kelas stasiun perkeretaapian antarkota dan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian kabupaten/kota; dan

   

c.

rencana kebutuhan fasilitas operasi perkeretaapian antarkota dan perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian kabupaten/kota.

 

Pasal 31

   

Rencana kebutuhan sarana perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d, terdiri atas:

   

a.

rencana kebutuhan sarana perkeretaapian yang melayani angkutan antarkota pada perkeretaapian kabupaten/kota; dan

   

b.

rencana kebutuhan sarana perkeretaapian yang melayani angkutan perkotaan pada perkeretaapian kabupaten/kota dari dan ke simpul moda transportasi lain yang dilayani oleh perkeretaapian kabupaten/kota.

 

Pasal 32

   

Rencana kebutuhan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf e, terdiri atas:

   

a.

rencana kebutuhan sumber daya manusia di bidang prasarana perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian kabupaten/kota;

   

b.

rencana kebutuhan sumber daya manusia di bidang sarana perkeretaapian antarkota pada perkeretaapian kabupaten/kota;

   

c.

rencana kebutuhan sumber daya manusia di bidang prasarana perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian kabupaten/kota;

   

d.

rencana kebutuhan sumber daya manusia di bidang sarana perkeretaapian perkotaan pada perkeretaapian kabupaten/kota; dan

   

e.

rencana kebutuhan sumber daya manusia pembina perkeretaapian kabupaten/kota.

 

Pasal 33

   

(1)

Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota disusun dan ditetapkan oleh bupati/walikota.

   

(2)

Bupati/walikota dalam menyusun rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota wajib berkonsultasi dengan gubernur dan Menteri.

 

Bagian Kelima
Penyusunan Rencana Induk Perkeretaapian


Pasal 34

   

(1)

Penyusunan rencana induk perkeretaapian dilakukan dengan memperhatikan penyelenggaraan prasarana dan sarana perkeretaapian sesuai dengan jenis kereta api yang meliputi:

     

a.

kereta api kecepatan normal;

     

b.

kereta api kecepatan tinggi;

     

c.

kereta api monorel;

     

d.

kereta api motor induksi linier;

     

e.

kereta api gerak udara;

     

f.

kereta api levitasi magnetik;

     

g.

trem; dan

     

h.

kereta gantung.

   

(2)

Penyelenggaraan prasarana dan sarana jenis kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit didasarkan pada:

     

a.

kecepatan;

     

b.

teknologi;

     

c.

sarana penggerak;

     

d.

jenis jalan rel;

     

e.

jenis konstruksi.

   

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai standar spesifikasi teknis pembangunan atau pengadaan, pengoperasian, dan perawatan prasarana dan sarana masing-masing jenis kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

 

Bagian Keenam
Rencana Pembangunan Perkeretaapian


Pasal 35

   

(1)

Untuk mewujudkan rencana induk perkeretaapian nasional, rencana induk perkeretaapian provinsi, atau rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota disusun rencana pembangunan perkeretaapian.

   

(2)

Rencana pembangunan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengacu pada rencana induk perkeretaapian.

   

(3)

Rencana pembangunan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai kewenangannya.

   

(4)

Rencana pembangunan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

   

(5)

Rencana pembangunan perkeretaapian dapat dievaluasi setiap 2 (dua) tahun atau sebelum 2 (dua) tahun dalam hal terjadi perubahan lingkungan strategis.

   

(6)

Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan perubahan rencana pembangunan perkeretaapian.

   

(7)

Rencana pembangunan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), paling sedikit memuat:

     

a.

lokasi jaringan jalur dan stasiun;

     

b.

pembangunan prasarana perkeretaapian nasional;

     

c.

jenis dan jumlah sarana perkeretaapian nasional;

     

d.

kebutuhan sumber daya manusia; dan

     

e.

pengoperasian perkeretaapian nasional.

 

Pasal 36

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana induk perkeretaapian dan rencana pembangunan perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri:

 

BAB III
PENYELENGGARAAN PRASARANA DAN
SARANA PERKERETAAPIAN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 37

   

Perkeretaapian, terdiri atas:

   

a.

perkeretaapian umum; dan

   

b.

perkeretaapian khusus.

 

Pasal 38

   

(1)

Perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a diselenggarakan untuk melayani angkutan orang dan/atau barang dengan dipungut bayaran.

   

(2)

Perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

     

a.

perkeretaapian perkotaan; dan

     

b.

perkeretaapian antarkota

   

(3)

Perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang kegiatan pokoknya.

 

Pasal 39

   

(1)

Perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), terdiri atas:

     

a.

penyelenggaraan prasarana perkeretaapian; dan/atau

     

b.

penyelenggaraan sarana perkeretaapian.

   

(2)

Perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), terdiri atas:

     

a.

penyelenggaraan prasarana perkeretaapian; dan

     

b.

penyelenggaraan sarana perkeretaapian.

 

Bagian Kedua
Penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian


Paragraf 1
Umum


Pasal 40

   

Prasarana perkeretaapian meliputi:

   

a.

jalur kereta api;

   

b.

stasiun kereta api; dan

   

c.

fasilitas pengoperasian kereta api.

 

Pasal 41

   

Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian meliputi kegiatan:

   

a.

pembangunan prasarana;

   

b.

pengoperasian prasarana;

   

c.

perawatan prasarana; dan

   

d.

pengusahaan prasarana.

 

Paragraf 2
Jalur Kereta Api


Pasal 42

   

Jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a meliputi:

   

a.

ruang manfaat jalur kereta api;

   

b.

ruang milik jalur kereta api; dan

   

c.

ruang pengawasan jalur kereta api.

 

Pasal 43

   

(1)

Ruang manfaat jalur kereta api terdiri atas jalan rel dan bidang tanah di kiri dan kanan jalan rel beserta ruang di kiri, kanan, atas, dan bawah yang digunakan untuk konstruksi jalan rel dan penempatan fasilitas operasi kereta api serta bangunan pelengkap lainnya.

   

(2)

Jalan rel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berada:

     

a.

pada permukaan tanah;

     

b.

di bawah permukaan tanah; dan

     

c.

di atas permukaan tanah.

   

(3)

Dalam ruang manfaat jalur terdapat ruang bebas yang harus bebas dari segala rintangan dan benda penghalang di kiri, kanan, atas, dan bawah jalan rel.

   

(4)

Ruang bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan jenis kereta api yang akan dioperasikan.

 

Pasal 44

   

Konstruksi jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) terdiri atas: 

   

a.

konstruksi jalan rel bagian atas; dan

   

b.

konstruksi jalan rel bagian bawah.

 

Pasal 45

   

(1)

Konstruksi jalan rel bagian atas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a pada jalan rel yang berada pada permukaan tanah, di bawah permukaan tanah, dan di atas permukaan tanah, paling sedikit terdiri atas:

     

a.

rel atau pengarah;

     

b.

penambat; dan

     

c.

bantalan dan balas, atau slab track.

   

(2)

Dalam hal konstruksi jalan rel bagian atas pada jalan rel yang berada di atas permukaan tanah untuk jenis kereta api monorel dan kereta gantung paling sedikit terdiri atas rel atau pengarah.

 

Pasal 46

   

(1)

Konstruksi jalan rel bagian bawah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b pada jalan rel yang berada pada permukaan tanah berupa badan jalan, paling sedikit harus terdiri atas:

     

a.

lapis dasar (subgrade); dan

     

b.

tanah dasar.

   

(2)

Konstruksi jalan reI bagian bawah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b pada permukaan tanah yang berada di terowongan, paling sedikit terdiri atas:

     

a.

konstruksi penyangga;

     

b.

dinding (lining);

     

c.

lantai dasar (invert); dan

     

d.

portal.

   

(3)

Konstruksi jalan rel bagian bawah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b pada jalan reI yang berada di bawah permukaan tanah yang dapat disebut terowongan, paling sedikit terdiri atas:

     

a.

dinding (lining); dan/atau

     

b.

Iantai dasar (invert).

   

(4)

Konstruksi jalan rei bagian bawah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b pada jalan rel yang berada di atas permukaan tanah yang dapat disebut jembatan, paling sedikit terdiri atas:

     

a.

konstruksi jembatan bagian atas; dan

     

b.

konstruksi jembatan bagian bawah.

 

Pasal 47

   

(1)

Ruang manfaat jalur kereta api dilengkapi dengan saluran tepi jalur kereta api untuk penampungan dan penyaluran air agar jalur kereta api bebas dari pengaruh air.

   

(2)

Ukuran saluran tepi jalur kereta api harus disesuaikan dengan debit air permukaan.

   

(3)

Saluran tepi jalur kereta api dibangun dengan konstruksi yang mudah dirawat secara berkala.

 

Pasal 48

   

(1)

Penempatan fasilitas operasi kereta api serta bangunan pelengkap lainnya pada ruang manfaat jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

     

a.

berada di luar ruang bebas; dan

     

b.

tidak mengganggu stabilitas konstruksi jalan rel.

   

(2)

Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penempatan bangunan pelengkap lainnya pada ruang manfaat jalur kereta api tidak mengganggu pandangan bebas masinis.

 

Pasal 49

   

(1)

Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah harus diukur dari sisi terluar jalan reI beserta bidang tanah di kiri dan kanannya yang digunakan untuk konstruksi jalan rel, termasuk bidang tanah untuk penempatan fasilitas operasi kereta api dan bangunan pelengkap lainnya.

   

(2)

Ruang manfaat jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tanah bagian bawahnya dan ruang di atasnya setinggi batas tertinggi ruang bebas ditambah ruang konstruksi untuk penempatan fasilitas operasi kereta api.

 

Pasal 50

   

(1)

Dalam hal batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah yang berada di jembatan, ruang manfaat jalur kereta api diukur dari sisi luar konstruksi jembatan termasuk konstruksi pangkal dan/atau pilar berikut fondasi.

   

(2)

Dalam hal sisi luar konstruksi jembatan termasuk konstruksi pangkal dan/atau pilar berikut fondasi lebih kecil dari sisi luar konstruksi jalan rel, maka batas ruang manfaat jalur kereta api diukur dari sisi terluar.

 

Pasal 51

   

(1)

Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah yang masuk terowongan diukur dari sisi terluar konstruksi terowongan.

   

(2)

Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel di bawah permukaan tanah diukur dari sisi terluar konstruksi bangunan jalan rel di bawah permukaan tanah termasuk fasilitas operasi kereta api.

   

(3)

Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel di atas permukaan tanah diukur dari sisi luar terjauh di antara konstruksi jalan rel atau konstruksi fasilitas operasi kereta api atau ruang bebas sarana perkeretaapian.

 

Pasal 52

   

(1)

Penyelenggara prasarana perkeretaapian harus memasang tanda batas ruang manfaat jalur kereta api dan tanda larangan.

   

(2)

Tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa patok atau pagar yang dapat terlihat dengan jelas.

   

(3)

Jarak antara masing-masing tanda batas berupa patok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling jauh 1 (satu) kilometer atau disesuaikan dengan kondisi jalur kereta api.

   

(4)

Tanda larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa papan pengumuman atau media lain yang memuat larangan dan sanksi pelanggarannya.

 

Pasal 53

   

(1)

Setiap orang dilarang memasuki atau berada di ruang manfaat jalur kereta api kecuali petugas di bidang perkeretaapian yang mempunyai surat tugas dari penyelenggara prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan untuk keperluan:

     

a.

perawatan;

     

b.

pembangunan;

     

c.

survei dan penelitian;

     

d.

penyidikan;

     

e.

pemeriksaan; atau

     

f.

pengujian.

   

(3)

Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan apabila dilakukan untuk penanganan kecelakaan dan bencana alam.

   

(4)

Untuk keperluan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap orang yang memasuki daerah manfaat jalur harus mendapat izin dari penyelenggara prasarana perkeretaapian.

   

(5)

Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memperhatikan keselamatan dan kelancaran operasi kereta api.

 

Pasal 54

   

Penyelenggara prasarana perkeretaapian harus menjaga permukaan tanah yang dibawahnya terdapat terowongan jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dari kegiatan apapun yang dapat mengganggu konstruksi jalan rel.

 

Pasal 55

   

(1)

Ruang manfaat jalur kereta api pada permukaan tanah yang berada di bawah jembatan dan di atas permukaan tanah dapat dipergunakan untuk kepentingan lain dengan syarat:

     

a.

tidak mengganggu konstruksi jalan rel;

     

b.

tidak menempatkan barang yang mudah terbakar atau meledak; dan

     

c.

tidak membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.

   

(2)

Penggunaan ruang manfaat jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari pemilik prasarana perketetaapian.

 

Pasal 56

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang manfaat jalur kereta api diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 57

   

Ruang milik jalur kereta api meliputi bidang tanah di kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api yang digunakan untuk pengamanan konstruksi jalan rel.

 

Pasal 58

   

(1)

Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak pada permukaan tanah diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api, yang lebarnya paling sedikit 6 (enam) meter.

   

(2)

Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak di bawah permukaan tanah diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan serta bagian bawah dan atas ruang manfaat jalur kereta api, yang lebarnya paling sedikit 6 (enam) meter.

   

(3)

Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak di atas permukaan tanah diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api, yang lebarnya paling sedikit 6 (enam) meter.

   

(4)

Dalam hal jalan rel yang terletak di atas permukaan tanah berada di atas atau berhimpit dengan jalan, batas ruang milik jalur kereta api dapat berhimpit dengan batas ruang manfaat jalur kereta api.

 

Pasal 59

   

(1)

Ruang milik jalur kereta api dapat digunakan untuk keperluan lain atas izin pemilik prasarana perkeretaapian dengan ketentuan tidak membahayakan konstruksi jalan rel, fasilitas operasi kereta api, dan perjalanan kereta api.

   

(2)

Keperluan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

     

a.

pipa gas;

     

b.

pipa minyak;

     

c.

pipa air;

     

d.

kabel telepon;

     

e.

kabel listrik; atau

     

f.

menara telekomunikasi.

 

Pasal 60

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang milik jalur kereta api diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 61

   

(1)

Ruang pengawasan jalur kereta api meliputi bidang tanah atau bidang lain di kiri dan di kanan ruang milik jalur kereta api digunakan untuk pengamanan dan kelancaran operasi kereta api.

   

(2)

Batas ruang pengawasan jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak pada permukaan tanah diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan ruang milik jalur kereta api, masing-masing selebar 9 (sembilan) meter.

   

(3)

Dalam hal jalan rel yang terletak pada permukaan tanah berada di jembatan yang melintas sungai dengan bentang lebih besar dari 10 (sepuluh) meter, batas ruang pengawasan jalur kereta api masing-masing sepanjang 50 (lima puluh) meter ke arah hilir.dan hulu sungai.

 

Pasal 62

   

Ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan jalur kereta api untuk trem mengikuti ketentuan yang berlaku pada ruang manfaat, ruang milik, dan ruang pengawasan jalan.

 

Pasal 63

   

(1)

Tanah di ruang pengawasan jalur kereta api dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain dengan ketentuan tidak membahayakan operasi kereta api.

   

(2)

Kegiatan lain yang tidak membahayakan operasi kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:

     

a.

penanaman/pembangunan yang tidak menghalangi pandangan bebas masinis, baik di jalur maupun di perlintasan;

     

b.

kegiatan yang tidak menyebabkan terganggunya fungsi persinyalan dan telekomunikasi kereta api.

 

Pasal 64

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang pengawasan jalur kereta api diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 65

   

(1)

Untuk keperluan pengoperasian dan perawatan jalur kereta api dikelompokkan dalam beberapa kelas.

   

(2)

Pengelompokan kelas jalur kereta api didasarkan pada:

     

a.

kecepatan maksimum yang diizinkan;

     

b.

beban gandar maksimum yang diizinkan; dan

     

c.

frekuensi lalu lintas kereta api.

   

(3)

Kelas jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 5 (lima) kelas.

   

(4)

Pengelompokan kelas jalur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi kereta api kecepatan normal.

 

Pasal 66

   

Kelas jalur dapat ditingkatkan menjadi kelas yang lebih tinggi setelah mendapat izin dari:

   

a.

Menteri, untuk jaringan jalur kereta api nasional;

   

b.

gubernur, untuk jaringan jalur kereta api provinsi; dan

   

c.

bupati/walikota, untuk jaringan jalur kereta api kabupaten/kota.

 

Pasal 67

   

(1)

Jalur kereta api dapat membentuk satu kesatuan jaringan jalur kereta api.

   

(2)

Jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

     

a.

jaringan jalur kereta api umum; dan

     

b.

jaringan jalur kereta api khusus.

 

Pasal 68

   

(1)

Jaringan jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf a meliputi:

     

a.

jalur kereta api nasional yang jaringannya melebihi wilayah satu provinsi ditetapkan oleh Menteri;

     

b.

jalur kereta api provinsi yang jaringannya melebihi wilayah satu kabupaten/kota dalam satu provinsi ditetapkan oleh gubernur; dan

     

c.

jalur kereta api kabupaten/kota yang jaringannya dalam satu wilayah kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota.

   

(2)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam menetapkan jaringan jalur kereta api umum harus mengacu pada rencana induk perkeretaapian dan memperhatikan:

     

a.

kelas jalur kereta api; dan

     

b.

kebutuhan angkutan kereta api.

 

Pasal 69

   

(1)

Keterpaduan antar jaringan jalur kereta api dengan jaringan jalur kereta api lain serta dengan moda transportasi lain dilakukan di stasiun.

   

(2)

Stasiun kereta api merupakan simpul yang memadukan antara:

     

a.

jaringan jalur kereta api dengan jaringan jalur kereta api lain; dan

     

b.

jaringan jalur kereta api dengan moda transportasi lain.

 

Pasal 70

   

(1)

Jalur kereta api untuk perkeretaapian yang diselenggarakan oleh beberapa penyelenggara prasarana perkeretaapian dapat saling bersambungan, bersinggungan, atau terpisah.

   

(2)

Jalur kereta api untuk perkeretaapian yang diselenggarakan oleh beberapa penyelenggara prasarana perkeretaapian yang saling bersambungan, atau bersinggungan dilakukan atas dasar kerja sama antar penyelenggara prasarana perkeretaapian.

   

(3)

Jalur kereta api yang bersambungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan operasi kereta api, serta memenuhi persyaratan:

     

a.

dilaksanakan di stasiun;

     

b.

memiliki ruang bebas yang sama atau lebih kecil;

     

c.

memiliki lebar jalan rel yang sama;

     

d.

beban gandar tidak melebihi yang dipersyaratkan;

     

e.

analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL); dan

     

f.

dilengkapi dengan peralatan antarmuka (interface) dalam hal sistem persinyalannya berbeda.

   

(4)

Dalam hal bersinggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan di stasiun, harus memenuhi persyaratan:

     

a.

memiliki ruang bebas setiap jalur yang bersinggungan; dan

     

b.

memenuhi keselamatan perpindahan orang dan barang.

 

Pasal 71

   

Dalam satu jalur kereta api umum dapat digunakan oleh beberapa penyelenggara sarana perkeretaapian setelah mendapat persetujuan dari penyelenggara prasarana perkeretaapian dengan memperhatikan persyaratan operasi prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 72

   

(1)

Jaringan jalur kereta api khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf b meliputi:

     

a.

jalur kereta api khusus yang jaringannya melebihi wilayah 1 (satu) provinsi ditetapkan oleh Menteri;

     

b.

jalur kereta api khusus yang jaringannya melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dalam provinsi ditetapkan oleh gubernur; dan

     

c.

jalur kereta api khusus yang jaringannya dalam wilayah kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota.

   

(2)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam menetapkan jaringan jalur kereta api khusus mengacu pada rencana umum tata ruang dan memperhatikan rencana induk perkeretaapian serta kegiatan usaha pokok.

 

Pasal 73

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan kelas jalur kereta api, jaringan jalur kereta api umum dan jalur kereta api khusus diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 74

   

Pembangunan jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air, dan/atau prasarana lain yang memerlukan persambungan, dan perpotongan dan/atau persinggungan dengan jalur kereta api umum harus dilaksanakan dengan ketentuan untuk kepentingan umum dan tidak membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.

 

Pasal 75

   

Perpotongan jalur kereta api dengan jalan dibuat tidak sebidang.

 

Pasal 76

   

(1)

Perpotongan tidak sebidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dapat di atas atau di bawah jalur kereta api.

   

(2)

Perpotongan tidak sebidang di atas jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memenuhi persyaratan:

     

a.

di luar ruang bebas;

     

b.

tidak mengganggu pandangan bebas;

     

c.

tidak mengganggu stabilitas konstruksi jalan rel;

     

d.

sesuai rencana pengembangan jalur kereta api;

     

e.

tidak mengganggu fungsi saluran air; dan

     

f.

tidak mengganggu bangunan pelengkap lainnya.

   

(3)

Perpotongan tidak sebidang di bawah jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memenuhi persyaratan:

     

a.

konstruksi jalan rel harus sesuai dengan persyaratan jembatan kereta api;

     

b.

jalan yang berada di bawah jalur kereta api tidak mengganggu konstruksi jalan rel;

     

c.

ruang bebas jalan di bawah jalur kereta api sesuai dengan kelas jalan; dan

     

d.

dilengkapi alat pengaman konstruksi jembatan.

 

Pasal 77

   

(1)

Perpotongan sebidang hanya dapat dilakukan apabila:

     

a.

letak geografis yang tidak memungkinkan membangun perpotongan tidak sebidang;

     

b.

tidak membahayakan dan mengganggu kelancaran operasi kereta api dan lalu lintas jalan; dan

     

c.

pada jalur tunggal dengan frekuensi dan kecepatan kereta api rendah.

   

(2)

Untuk menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan, perpotongan sebidang harus memenuhi persyaratan:

     

a.

memenuhi pandangan bebas masinis dan pengguna lalu lintas jalan;

     

b.

dilengkapi rambu-rambu lalu lintas jalan dan peralatan persinyalan;

     

c.

dibatasi hanya pada jalan kelas III (tiga); dan

     

d.

memenuhi standar spesifikasi teknis perpotongan sebidang yang ditetapkan oleh Menteri.

   

(3)

Perpotongan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara dan harus dibuat menjadi perpotongan tidak sebidang apabila:

     

a.

salah satu persyaratan pada ayat (2) tidak dipenuhi;

     

b.

frekuensi dan kecepatan kereta api tinggi; dan/atau

     

c.

frekuensi dan kecepatan lalu lintas jalan tinggi.

 

Pasal 78

   

Untuk melindungi keselamatan dan kelancaran pengoperasian kereta api pada perpotongan sebidang, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.

 

Pasal 79

   

(1)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan evaluasi secara berkala terhadap perpotongan sebidang.

   

(2)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang membidangi urusan jalan, gubernur, atau bupati/walikota dapat menutup perpotongan sebidang.

 

Pasal 80

   

Pembangunan jalan yang memerlukan persinggungan dengan jalur kereta api harus memenuhi persyaratan:

   

a.

di luar ruang manfaat jalur;

   

b.

tidak mengganggu pandangan bebas;

   

c.

tidak mengganggu stabilitas konstruksi jalan rel;

   

d.

memperhatikan rencana pengembangan jalur kereta api;

   

e.

tidak mengganggu fungsi saluran tepi; dan

   

f.

tidak mengganggu bangunan pelengkap lainnya.

 

Pasal 81

   

(1)

Pembangunan jalur kereta api khusus yang memerlukan perpotongan dengan jalur kereta api umum harus dilakukan tidak sebidang.

   

(2)

Pembangunan jalur kereta api khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

     

a.

di luar ruang manfaat jalur;

     

b.

tidak mengganggu konstruksi jalan rel;

     

c.

memperhatikan rencana pengembangan jalur kereta api umum;

     

d.

tidak mengganggu bangunan pelengkap lainnya; dan

     

e.

konstruksi jalan rel sesuai dengan persyaratan jembatan kereta api.

 

Pasal 82

   

Pembangunan terusan, saluran air, dan/atau prasarana lain yang memerlukan perpotongan dan/atau persinggungan dengan jalur kereta api harus memenuhi persyaratan:

   

a.

spesifikasi teknis perpotongan;

   

b.

tidak mengganggu konstruksi jalan rel.

   

c.

di luar ruang manfaat jalur kereta api;

   

d.

memperhatikan rencana pengembangan jalur kereta api;

   

e.

tidak mengganggu bangunan pelengkap lainnya; dan

   

f.

dilengkapi pengaman jalur kereta api.

 

Pasal 83

   

(1)

Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 wajib mendapat izin dari pemilik prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Pemilik prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum memberikan izin harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri.

   

(3)

Pembangunan, pengoperasian, perawatan, dan keselamatan perpotongan antara jalur kereta api dan jalan menjadi tanggungjawab pemegang izin.

 

Pasal 84

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai spesifikasi teknis dan persyaratan persambungan, perpotongan dan/atau persinggungan diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 3
Stasiun Kereta Api

Pasal 85

   

Stasiun kereta api meliputi:

   

a.

jenis stasiun kereta api;

   

b.

kelas stasiun kereta api; dan

   

c.

kegiatan di stasiun kereta api.

 

Pasal 86

   

(1)

Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, menurut jenisnya terdiri atas:

     

a.

stasiun penumpang;

     

b.

stasiun barang; atau

     

c.

stasiun operasi.

   

(2)

Stasiun kereta api berfungsi sebagai tempat kereta api berangkat atau berhenti untuk melayani:

     

a.

naik dan turun penumpang;

     

b.

bongkar muat barang; dan/atau

     

c.

keperluan operasi kereta api.

 

Pasal 87

   

Stasiun penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf a paling sedikit dilengkapi dengan fasilitas:

   

a.

keselamatan;

   

b.

keamanan;

   

c.

kenyamanan;

   

d.

naik turun penumpang;

   

e.

penyandang cacat;

   

f.

kesehatan;

   

g.

fasilitas umum;

   

h.

fasilitas pembuangan sampah; dan

   

i.

fasilitas informasi.

 

Pasal 88

   

(1)

Stasiun penumpang terdiri atas:

     

a.

emplasemen stasiun; dan

     

b.

bangunan stasiun.

   

(2)

Emplasemen stasiun penumpang paling sedikit meliputi:

     

a.

jalan rel;

     

b.

fasilitas pengoperasian kereta api; dan

     

c.

drainase.

   

(3)

Bangunan stasiun penumpang paling sedikit meliputi:

     

a.

gedung;

     

b.

instalasi pendukung; dan

     

c.

peron.

 

Pasal 89

   

Stasiun barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b paling sedikit dilengkapi dengan fasilitas:

   

a.

keselamatan;

   

b.

keamanan;

   

c.

bongkar muat;

   

d.

fasilitas umum; dan

   

e.

pembuangan sampah.

 

Pasal 90

   

(1)

Stasiun barang terdiri atas:

     

a.

emplasemen stasiun; dan

     

b.

bangunan stasiun.

   

(2)

Emplasemen stasiun barang paling sedikit roeliputi:

     

a.

jalan rel;

     

b.

fasilitas pengoperasian kereta api; dan

     

c.

drainase.

   

(3)

Bangunan stasiun barang paling sedikit meliputi:

     

a.

gedung; dan

     

b.

instalasi pendukung.

 

Pasal 91

   

(1)

Untuk kepentingan bongkar muat barang di luar stasiun, dapat dibangun jalan rel yang menghubungkan antara stasiun dan tempat bongkar muat barang.

   

(2)

Pembangunan jalan rel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan persyaratan teknis jalan rel dan dilengkapi dengan fasilitas operasi kereta api.

 

Pasal 92

   

Stasiun operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) huruf c yang dipergunakan untuk keperluan pengoperasian kereta api harus dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan operasi kereta api.

 

Pasal 93

   

(1)

Stasiun operasi terdiri atas:

     

a.

emplasemen stasiun; dan

     

b.

bangunan stasiun.

   

(2)

Emplasemen stasiun operasi paling sedikit meliputi:

     

a.

jalan rel;

     

b.

fasilitas pengoperasian kereta api; dan

     

c.

drainase.

   

(3)

Bangunan stasiun operasi paling sedikit meliputi:

     

a.

gedung; dan

     

b.

instalasi pendukung.

 

Pasal 94

   

Kegiatan di stasiun kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf c meliputi:

   

a.

kegiatan pokok;

   

b.

kegiatan usaha penunjang; dan

   

c.

kegiatan jasa pelayanan khusus.

 

Pasal 95

   

Kegiatan pokok di stasiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf a meliputi:

   

a.

melakukan pengaturan perjalanan kereta api;

   

b.

memberikan pelayanan kepada pengguna jasa kereta api;

   

c.

menjaga keamanan dan ketertiban; dan

   

d.

menjaga kebersihan lingkungan.

 

Pasal 96

   

(1)

Kegiatan usaha penunjang penyelenggaraan stasiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf b dilakukan untuk mendukung penyelenggaraan perkeretaapian.

   

(2)

Kegiatan usaha penunjang dapat dilakukan oleh pihak lain dengan persetujuan penyelenggara prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 97

   

(1)

Kegiatan usaha penunjang di stasiun dapat dilakukan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian dengan ketentuan:

     

a.

tidak mengganggu pergerakan kereta api;

     

b.

tidak mengganggu pergerakan penumpang dan/atau barang;

     

c.

menjaga ketertiban dan keamanan; dan

     

d.

menjaga kebersihan lingkungan.

   

(2)

Penyelenggara prasarana perkeretaapian dalam melaksanakan kegiatan usaha penunjang harus mengutamakan pemanfaatan ruang untuk keperluan kegiatan pokok stasiun.

 

Pasal 98

   

(1)

Kegiatan jasa pelayanan khusus di stasiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf c dapat dilakukan oleh pihak lain dengan persetujuan penyelenggara prasarana perkeretaapian yang berupa jasa pelayanan:

     

a.

ruang tunggu penumpang;

     

b.

bongkar muat barang;

     

c.

pergudangan;

     

d.

parkir kendaraan; dan/atau

     

e.

penitipan barang.

   

(2)

Penyelenggara prasarana perkeretaapian dapat mengenakan tarif kepada pengguna jasa pelayanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

   

(3)

Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian apabila fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 89 telah terpenuhi.

 

Pasal 99

   

(1)

Stasiun penumpang dikelompokkan dalam:

     

a.

kelas besar;

     

b.

kelas sedang; dan

     

c.

kelas kecil.

   

(2)

Pengelompokan kelas stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria:

     

a.

fasilitas operasi;

     

b.

jumlah jalur;

     

c.

fasilitas penunjang;

     

d.

frekuensi lalu lintas;

     

e.

jumlah penumpang; dan

     

f.

jumlah barang.

   

(3)

Kelas stasiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian bobot setiap kriteria dan nilai komponen.

 

Pasal 100

   

(1)

Penetapan kelas stasiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dilakukan oleh:

     

a.

Menteri, untuk stasiun pada jaringan jalur kereta api nasional;

     

b.

gubernur, untuk stasiun pada jaringan jalur kereta api provinsi; dan

     

c.

bupati/walikota, untuk stasiun pada jaringan jalur kereta api kabupaten/kota.

   

(2)

Penetapan kelas stasiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 101

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, kegiatan, dan kelas stasiun kereta api diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 4
Fasilitas Pengoperasian Kereta Api


Pasal 102

   

Fasilitas pengoperasian kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c meliputi :

   

a.

peralatan persinyalan;

   

b.

peralatan telekomunikasi; dan

   

c.

instalasi listrik.

 

Pasal 103

   

Peralatan persinyalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 102 huruf a terdiri atas:

   

a.

sinyal;

   

b.

tanda; dan

   

c.

marka.

 

Pasal 104

   

Sinyal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a terdiri atas:

   

a.

peralatan dalam ruangan; dan

   

b.

peralatan luar ruangan.

 

Pasal 105

   

(1)

Peralatan dalam ruangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 huruf a terdiri atas:

     

a.

peralatan elektrik; dan

     

b.

peralatan mekanik.

   

(2)

Peralatan elektrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi:

     

a.

interlocking; dan

     

b.

panel pelayanan.

   

(3)

Peralatan mekanik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:

     

a.

interlocking; dan

     

b.

pesawat blok.

 

Pasal 106

   

(1)

Peralatan luar ruangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 huruf b terdiri atas:

     

a.

peralatan elektrik; dan

     

b.

peralatan mekanik.

   

(2)

Peralatan elektrik paling sedikit meliputi:

     

a.

peraga sinyal elektrik;

     

b.

penggerak wesel elektrik; dan

     

c.

pendeteksi sarana perkeretaapian.

   

(3)

Peralatan mekanik paling sedikit meliputi:

     

a.

peraga sinyal mekanik; dan

     

b.

penggerak wesel mekanik.

 

Pasal 107

   

(1)

Tanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf b dapat berupa:

     

a.

suara;

     

b.

cahaya;

     

c.

bendera; atau

     

d.

papan berwarna.

   

(2)

Dalam hal sistem persinyalan belum elektrik, pemberian tanda dapat dilakukan oleh pengatur perjalanan kereta api.

 

Pasal 108

   

(1)

Marka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf c dapat berupa:

     

a.

marka batas;

     

b.

marka sinyal;

     

c.

marka pengingat masinis;

     

d.

marka kelandaian;

     

e.

marka lengkung; dan

     

f.

marka kilometer.

   

(2)

Marka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terbuat dari bahan yang tahan terhadap cuaca dengan bentuk dan ukuran tertentu.

 

Pasal 109

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai ukuran, letak, pemasangan, spesifikasi teknis peralatan persinyalan diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 110

   

(1)

Peralatan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 huruf b paling sedikit meliputi:

     

a.

pesawat telepon; dan

     

b.

perekam suara.

   

(2)

Peralatan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk menyampaikan informasi dan/atau berkomunikasi bagi kepentingan pengoperasian kereta api.

 

Pasal 111

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai ukuran, letak, pemasangan, spesifikasi teknis peralatan telekomunikasi diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 112

   

(1)

Instalasi listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 huruf c terdiri atas:

     

a.

catu daya listrik; dan

     

b.

peralatan transmisi tenaga listrik.

   

(2)

Instalasi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:

     

a.

menggerakkan kereta api bertenaga listrik;

     

b.

memfungsikan peralatan persinyalan kereta api yang bertenaga listrik;

     

c.

memfungsikan peralatan telekomunikasi; dan

     

d.

memfungsikan fasilitas penunjang lainnya.

 

Pasal 113

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai ukuran, letak, pemasangan, spesifikasi teknis instalasi listrik diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 5
Pembangunan Prasarana Perkeretaapian


Pasal 114

   

(1)

Pembangunan prasarana perkeretaapian meliputi:

     

a.

pembangunan jalur kereta api;

     

b.

pembangunan stasiun kereta api; dan

     

c.

pembangunan fasilitas pengoperasian kereta api.

   

(2)

Setiap pembangunan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis prasarana perkeretaapian.

   

(3)

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 115

   

(1)

Sebelum melaksanakan pembangunan prasarana perkeretaapian, Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya menetapkan trase jalur kereta api sesuai rencana induk perkeretaapian.

   

(2)

Trase jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

     

a.

titik-titik koordinat;

     

b.

lokasi stasiun;

     

c.

rencana kebutuhan lahan; dan

     

d.

skala gambar.

   

(3)

Gubernur atau bupati/walikota dalam menetapkan trase jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri.

 

Pasal 116

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan trase jalur kereta api diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 6

Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian


Pasal 117

   

Prasarana perkeretaapian yang dioperasikan wajib memenuhi persyaratan:

   

a.

kelaikan teknis; dan

   

b.

kelaikan operasional.

 

Pasal 118

   

Kelaikan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 huruf a meliputi:

   

a.

persyaratan sistem; dan

   

b.

persyaratan komponen.

 

Pasal 119

   

Persyaratan sistem prasarana perkeretaapian meliputi:

   

a.

sistem jalan rel;

   

b.

sistem jembatan;

   

c.

sistem terowongan;

   

d.

sistem stasiun;

   

e.

sistem peralatan persinyalan;

   

f.

sistem peralatan telekomunikasi; dan

   

g.

sistem instalasi listrik.

 

Pasal 120

   

Sistem jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a meliputi:

   

a.

konstruksi bagian atas; dan

   

b.

konstruksi bagian bawah.

 

Pasal 121

   

(1)

Konstruksi bagian atas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf a harus memenuhi persyaratan:

     

a.

geometri;

     

b.

ruang bebas;

     

c.

beban gandar; dan

     

d.

frekuensi.

   

(2)

Persyaratan geometri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus mampu dilewati sarana perkeretaapian sesuai dengan kecepatan rencana.

   

(3)

Persyaratan ruang bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus sesuai dengan jenis sarana perkeretaapian yang akan dioperasikan.

   

(4)

Persyaratan beban gandar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan kelas jalur.

   

(5)

Persyaratan frekuensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus memenuhi kapasitas jalur.

 

Pasal 122

   

Konstruksi bagian bawah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf b harus memenuhi persyaratan:

   

a.

stabilitas konstruksi; dan

   

b.

daya dukung.

 

Pasal 123

   

Sistem jembatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf b harus memenuhi:

   

a.

beban gandar;

   

b.

lendutan;

   

c.

stabilitas konstruksi; dan

   

d.

ruang bebas.

 

Pasal 124

   

Sistem terowongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf c harus memenuhi:

   

a.

ruang bebas;

   

b.

geometri;

   

c.

beban gandar;

   

d.

stabilitas konstruksi; dan

   

e.

kedap air.

 

Pasal 125

   

Sistem stasiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf d harus mampu:

   

a.

menampung jumlah penumpang dan/atau barang sesuai dengan kelas stasiun; dan

   

b.

melayani operasi perjalanan kereta api.

 

Pasal 126

   

(1)

Sistem peralatan persinyalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e terdiri atas:

     

a.

sistem peralatan persinyalan dalam ruangan; dan

     

b.

sistem peralatan persinyalan luar ruangan.

   

(2)

Sistem peralatan persinyalan dalam ruangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

     

a.

sistem peralatan persinyalan elektrik; dan

     

b.

sistem peralatan persinyalan mekanik.

   

(3)

Sistem peralatan persinyalan elektrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling sedikit harus memenuhi syarat:

     

a.

keselamatan;

     

b.

tingkat keandalan tinggi;

     

c.

menggunakan teknologi yang terbukti aman;

     

d.

mudah perawatannya;

     

e.

dilengkapi dengan perekam data; dan

     

f.

dilengkapi dengan sistem proteksi terhadap petir.

   

(4)

Sistem peralatan persinyalan mekanik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, paling sedikit harus memenuhi syarat:

     

a.

tingkat keandalan tinggi; dan

     

b.

mudah perawatannya.

   

(5)

Sistem peralatan persinyalan luar ruangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

     

a.

sistem peralatan persinyalan elektrik; dan

     

b.

sistem peralatan persinyalan mekanik.

   

(6)

Sistem peralatan persinyalan elektrik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a harus memenuhi syarat:

     

a.

tahan terhadap cuaca;

     

b.

tingkat keandalan tinggi;

     

c.

menggunakan teknologi yang terbukti aman;

     

d.

keselamatan;

     

e.

mudah perawatannya; dan

     

f.

dilengkapi dengan sistem proteksi terhadap petir.

   

(7)

Sistem peralatan persinyalan mekanik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b harus memenuhi syarat:

     

a.

tahan terhadap cuaca;

     

b.

tingkat keandalan tinggi; dan

     

c.

mudah perawatannya.

 

Pasal 127

   

Sistem peralatan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf f harus memenuhi syarat:

   

a.

selektif sifat panggilannya;

   

b.

terdengar jelas dan bersih informasi yang diterima;

   

c.

memiliki tingkat keandalan tinggi;

   

d.

dilengkapi dengan alat perekam suara;

   

e.

mudah perawatannya; dan

   

f.

dilengkapi dengan sistem proteksi terhadap petir.

 

Pasal 128

   

(1)

Sistem instalasi listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf g terdiri atas:

     

a.

sistem catu daya listrik; dan

     

b.

sistem peralatan transmisi tenaga listrik.

   

(2)

Sistem catu daya listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi syarat:

     

a.

dapat saling berhubungan;

     

b.

memiliki tingkat keandalan tinggi;

     

c.

menggunakan teknologi yang terbukti aman;

     

d.

menghasilkan tegangan yang stabil;

     

e.

dilengkapi dengan proteksi terhadap petir; dan

     

f.

mudah perawatannya.

   

(3)

Sistem peralatan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit harus memenuhi syarat:

     

a.

memiliki tingkat keandalan tinggi;

     

b.

dilengkapi dengan proteksi terhadap petir; dan

     

c.

mudah perawatannya.

 

Pasal 129

   

Persyaratan komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf b meliputi:

   

a.

komponen jalan rel;

   

b.

komponen jembatan;

   

c.

komponen terowongan;

   

d.

komponen stasiun;

   

e.

komponen peralatan persinyalan;

   

f.

komponen peralatan telekomunikasi; dan

   

g.

komponen instalasi listrik.

 

Pasal 130

   

Komponen jalan rel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf a terdiri atas:

   

a.

tanah dasar;

   

b.

lapis dasar (sub grade);

   

c.

subbalas;

   

d.

balas;

   

e.

bantalan;

   

f.

penambat;

   

g.

rel; dan

   

h.

wesel.

 

Pasal 131

   

(1)

Komponen jembatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf b terdiri atas:

     

a.

konstruksi jembatan bagian atas;

     

b.

konstruksi jembatan bagian bawah; dan

     

c.

konstruksi pelindung.

   

(2)

Jembatan dapat dilengkapi dengan fasilitas pendukung berupa:

     

a.

jalan inspeksi;

     

b.

tempat berlindung; dan/atau

     

c.

tempat kabel.

 

Pasal 132

   

Komponen terowongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf c, terdiri atas:

   

a.

portal;

   

b.

invert;

   

c.

dinding; dan

   

d.

fasilitas pendukung.

 

Pasal 133

   

Komponen stasiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf d terdiri atas:

   

a.

emplasemen stasiun; dan

   

b.

bangunan stasiun.

 

Pasal 134

   

Emplasemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 huruf a terdiri atas:

   

a.

jalan rel;

   

b.

fasilitas pengoperasian kereta api; dan

   

c.

drainase.

 

Pasal 135

   

Bangunan stasiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 huruf b harus memenuhi persyaratan teknis bangunan dan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan dan gedung.

 

Pasal 136

   

(1)

Komponen peralatan persinyalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf e terdiri atas:

     

a.

komponen peralatan persinyalan dalam ruangan; dan

     

b.

komponen peralatan persinyalan luar ruangan.

   

(2)

Komponen peralatan persinyalan dalam ruangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

     

a.

komponen peralatan persinyalan elektrik; dan

     

b.

komponen peralatan persinyalan mekanik.

   

(3)

Komponen peralatan persinyalan elektrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling sedikit harus memenuhi syarat:

     

a.

keselamatan (jail safe);

     

b.

tingkat keandalan tinggi;

     

c.

tahan terhadap suhu;

     

d.

dilengkapi dengan indikasi berfungsi tidaknya komponen; dan

     

e.

mudah perawatannya.

   

(4)

Komponen peralatan persinyalan mekanik pada ayat (2) huruf b harus memenuhi syarat:

     

a.

tingkat keandalan tinggi; dan

     

b.

mudah perawatannya.

   

(5)

Komponen peralatan persinyalan luar ruangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:

     

a.

persinyalan elektrik; dan

     

b.

persinyalan mekanik.

   

(6)

Komponen peralatan persinyalan elektrik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a harus memenuhi syarat:

     

a.

tahan terhadap cuaca;

     

b.

tingkat keandalan tinggi; dan

     

c.

mudah perawatannya.

   

(7)

Komponen peralatan persinyalan mekanik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b harus memenuhi syarat:

     

a.

tahan terhadap cuaca;

     

b.

tingkat keandalan tinggi; dan

     

c.

mudah perawatannya.

 

Pasal 137

   

Komponen peralatan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf f, paling sedikit harus memenuhi syarat:

   

a.

tingkat keandalan tinggi; dan

   

b.

mudah perawatannya.

 

Pasal 138

   

Komponen instalasi listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf g, paling sedikit harus memenuhi syarat:

   

a.

tingkat keandalan tinggi; dan

   

b.

mudah perawatannya.

 

Pasal 139

   

(1)

Persyaratan kelaikan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 huruf b merupakan persyaratan kemampuan prasarana perkeretaapian sesuai dengan rencana operasi perkeretaapian.

   

(2)

Kemampuan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

     

a.

beban gandar;

     

b.

kecepatan;

     

c.

frekuensi; dan

     

d.

ruang bebas.

 

Pasal 140

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan komponen, persyaratan teknis dan kelaikan operasi prasarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 141

   

(1)

Untuk menjamin kelaikan teknis dan operasional prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, wajib dilakukan pengujian dan pemeriksaan.

   

(2)

Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

     

a.

uji pertama; dan

     

b.

uji berkala.

 

Pasal 142

   

(1)

Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) huruf a, wajib dilakukan untuk prasarana perkeretaapian baru dan prasarana perkeretaapian yang mengalami perubahan spesifikasi teknis.

   

(2)

Uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

     

a.

uji rancang bangun; dan

     

b.

uji fungsi.

 

Pasal 143

   

Uji rancang bangun sebagaimana dimaksud Pasal 142 ayat (2) huruf a dilakukan terhadap setiap jenis prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 144

   

Uji rancang bangun tidak perlu dilakukan terhadap tipe struktur dan/atau komponen struktur yang dibangun di tempat lain dengan menggunakan tipe yang sama dengan tipe struktur dan/atau komponen struktur yang telah mendapat sertifikat uji pertama.

 

Pasal 145

   

(1)

Uji fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (2) huruf b dilakukan untuk memastikan prasarana perkeretaapian dapat berfungsi sesuai dengan desain dan persyaratan teknis.

   

(2)

Uji fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap setiap jenis prasarana perkeretaapian.

   

(3)

Uji fungsi sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi uji fungsi:

     

a.

jalan rel;

     

b.

jembatan dan terowongan;

     

c.

stasiun;

     

d.

peralatan persinyalan;

     

e.

peralatan telekomunikasi; dan

     

f.

instalasi listrik.

 

Pasal 146

   

(1)

Uji fungsi jalan rel, paling sedikit meliputi uji:

     

a.

ruang bebas;

     

b.

kecepatan;

     

c.

beban gandar; dan

     

d.

drainase.

   

(2)

Uji fungsi jembatan dan terowongan, paling sedikit meliputi uji:

     

a.

ruang bebas; dan

     

b.

beban gandar.

   

(3)

Uji fungsi stasiun, paling sedikit meliputi uji:

     

a.

ruang bebas;

     

b.

kapasitas gedung;

     

c.

kapasitas peron;

     

d.

kecepatan; dan

     

e.

beban gandar.

   

(4)

Uji fungsi peralatan persinyalan, paling sedikit meliputi uji:

     

a.

negative check;

     

b.

indikasi pelayanan;

     

c.

akurasi; dan

     

d.

jarak tampak.

   

(5)

Uji fungsi peralatan telekomunikasi, paling sedikit meliputi uji:

     

a.

kejelasan informasi/suara yang diterima; dan

     

b.

rekam suara.

   

(6)

Uji fungsi instalasi listrik, paling sedikit meliputi uji:

     

a.

tegangan yang dihasilkan harus stabil; dan

     

b.

tegangan dan kapasitas harus sesuai dengan keperluan.

 

Pasal 147

   

(1)

Prasarana perkeretaapian yang mengalami perubahan spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat izin dari Menteri.

   

(2)

Perubahan spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi apabila prasarana perkeretaapian mengalami perubahan:

     

a.

kelas jalur;

     

b.

desain; atau

     

c.

teknologi.

 

Pasal 148

   

(1)

Prasarana perkeretaapian yang lulus uji pertama diberi sertifikat uji pertama oleh:

     

a.

Menteri;

     

b.

badan hukum yang mendapat akreditasi dari Menteri; atau

     

c.

lembaga yang mendapat akreditasi dari Menteri.

   

(2)

Sertifikat uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk selamanya.

   

(3)

Sertifikat uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gugur apabila mengalami perubahan spesifikasi teknis.

 

Pasal 149

   

(1)

Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) huruf b dilakukan untuk menjamin kelaikan prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap fungsi prasarana perkeretaapian.

   

(3)

Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan untuk setiap jenis prasarana perkeretaapian yang telah dioperasikan.

 

Pasal 150

   

(1)

Pelaksanaan uji berkala terhadap fungsi prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (2) dilakukan dengan pedoman pengujian yang ditetapkan oleh Menteri.

   

(2)

Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengacu pada desain dan persyaratan teknis prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 151

   

(1)

Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (3) wajib dilakukan untuk setiap jenis prasarana perkeretaapian sesuai dengan jadwal.

   

(2)

Jadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan spesifikasi teknis, tingkat penggunaan, dan kondisi lingkungan setiap jenis prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 152

   

(1)

Dalam hal prasarana perkeretaapian mengalami perbaikan akibat kerusakan dengan tingkat tertentu, harus dilakukan uji fungsi di luar jadwal.

   

(2)

Menteri menetapkan tingkat kerusakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 153

   

(1)

Prasarana perkeretaapian yang telah lulus uji berkala diberi sertifikat uji berkala.

   

(2)

Sertifikat uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai masa berlaku sesuai dengan jadwal uji berkala.

 

Pasal 154

   

(1)

Uji pertama dan uji berkala prasarana perkeretaapian wajib menggunakan peralatan uji sesuai dengan jenis prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Peralatan uji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan tera sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 155

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara uji pertama dan uji berkala prasarana perkeretaapian dan tata cara pemberian sertifikat diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 156

   

(1)

Pengujian prasarana perkeretaapian dilakukan oleh Menteri.

   

(2)

Menteri dapat melimpahkan pelaksanaan pengujian kepada:

     

a.

badan hukum yang mendapat akreditasi dari Menteri; atau

     

b.

lembaga yang mendapat akreditasi dari Menteri.

   

(3)

Untuk mendapatkan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus memenuhi persyaratan:

     

a.

administrasi; dan

     

b.

teknis.

 

Pasal 157

   

(1)

Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (3) huruf a, paling sedikit memiliki:

     

a.

akte pendirian;

     

b.

nomor pokok wajib pajak; dan

     

c.

keterangan domisili.

   

(2)

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (3) huruf b, paling sedikit memiliki:

     

a.

tenaga penguji bersertifikat sesuai dengan jenis prasarana perkeretaapian;

     

b.

kantor dan tempat pengujian; dan

     

c.

fasilitas dan peralatan pengujian sesuai dengan jenis prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 158

   

(1)

Pengujian prasarana perkeretaapian harus dilakukan di lokasi prasarana perkeretaapian dan/atau di tempat pengujian sesuai dengan jenis atau komponen prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan peralatan pengujian oleh tenaga penguji yang memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 159

   

(1)

Badan hukum atau lembaga pengujian prasarana perkeretaapian wajib:

     

a.

melaksanakan pengujian sesuai dengan sertifikat akreditasi;

     

b.

mempertahankan mutu pengujian yang diselenggarakan;

     

c.

membuat perencanaan dan pelaporan untuk setiap penyelenggaraan pengujian;

     

d.

menggunakan peralatan pengujian; dan

     

e.

mengikuti tata cara pengujian prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 160

   

(1)

Badan hukum atau lembaga pengujian prasarana perkeretaapian melaporkan secara berkala pelaksanaan pengujian kepada Menteri.

   

(2)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Menteri sebagai dasar pertimbangan pemberian perpanjangan akreditasi.

 

Pasal 161

   

(1)

Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 dikenai jasa pengujian.

   

(2)

Besarnya tarif jasa pengujian untuk pengujian yang dilakukan oleh Menteri ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(3)

Dalam hal pengujian dilakukan oleh badan hukum atau lembaga pengujian, besarnya tarif jasa pengujian ditentukan oleh badan hukum atau lembaga pengujian yang bersangkutan berpedoman pada komponen pengujian yang ditetapkan Menteri.

 

Pasal 162

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan pemberian akreditasi badan hukum atau lembaga pengujian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 163

   

(1)

Penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib melakukan pemeriksaan untuk menjamin kelaikan prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemeriksaan kondisi dan fungsi prasarana perkeretaapian.

   

(3)

Pemeriksaan prasarana perkeretaapian meliputi:

     

a.

pemeriksaan berkala; dan

     

b.

pemeriksaan tidak terjadwal.

 

Pasal 164

   

(1)

Pemeriksaan prasarana perkeretaapian harus dilakukan oleh tenaga pemeriksa yang memenuhi kualifikasi keahlian.

   

(2)

Pemeriksaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan berpedoman pada pedoman pemeriksaan yang disusun oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian.

   

(3)

Pedoman pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan petunjuk pelaksanaan pemeriksaan yang ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 165

   

Pedoman pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (3) digunakan oleh Menteri untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemeriksaan prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 166

   

(1)

Tenaga pemeriksa prasarana perkeretaapian dalam melaksanakan pemeriksaan harus;

     

a.

mengamati pemanfaatan dan kondisi bagian-bagian prasarana perkeretaapian;

     

b.

menyampaikan laporan hasil pengamatan secara tertulis kepada penyelenggara prasarana perkeretaapian paling sedikit 1 (satu) kali dalam setiap bulan;

     

c.

menyampaikan usul tindakan terhadap hasil pengamatan kepada penyelenggara prasarana perkeretaapian atau instansi yang berwenang.

   

(2)

Berdasarkan laporan dan usulan tindakan dari tenaga pemeriksa, penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib melakukan tindakan perbaikan.

 

Pasal 167

   

Penyelenggara prasarana perkeretaapian harus melaporkan secara berkala pelaksanaan pemeriksaan prasarana perkeretaapian kepada Menteri.

 

Pasal 168

   

(1)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan prasarana perkeretaapian yang dilaksanakan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat teknis dan operasional pelaksanaannya dilakukan oleh inspektur prasarana perkeretaapian yang diangkat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(3)

Inspektur prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki kualifikasi keahlian di bidang pengawasan prasarana perkeretaapian.

   

(4)

Kualifikasi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 169

   

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu sesuai dengan keperluan.

 

Pasal 170

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan pengawasan diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 7
Perawatan Prasarana Perkeretaapian


Pasal 171

   

(1)

Perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf c wajib dilakukan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian dengan berpedoman pada standar dan tata cara perawatan prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Pelaksanaan perawatan prasarana perkeretaapian harus menggunakan peralatan perawatan sesuai dengan jenis prasarana perkeretaapian.

   

(3)

Standar dan tata cara perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 172

   

(1)

Pelaksanaan perawatan prasarana perkeretaapian harus dilakukan oleh tenaga perawatan prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Tenaga perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat dan kualifikasi keahlian sesuai dengan jenis prasarana perkeretaapian.

   

(3)

Syarat dan kualifikasi keahlian tenaga perawatan ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 173

   

(1)

Perawatan prasarana perkeretaapian meliputi:

     

a.

perawatan berkala; dan

     

b.

perbaikan untuk mengembalikan fungsinya.

   

(2)

Perawatan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara rutin sesuai dengan standar dan tata cara perawatan yang ditetapkan oleh Menteri.

   

(3)

Penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib secepatnya melakukan perbaikan prasarana perkeretaapian untuk mengembalikan fungsinya.

 

Paragraf 8
Pengusahaan Prasarana Perkeretaapian


Pasal 174

   

Pengusahaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf d dilakukan berdasarkan norma, standar, dan kriteria prasarana perkeretaapian yang ditetapkan oleh Menteri.

 

Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian Umum
Oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah

 

Pasal 175

   

(1)

Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pemerintah atau pemerintah daerah dapat menyelenggarakan prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya ditugaskan kepada badan usaha yang dibentuk untuk keperluan tersebut.

   

(3)

Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 176

   

Dalam hal penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (2) secara ekonorni sudah bersifat komersial, Pemerintah atau pemerintah daerah mengalihkan penyelenggaraan prasarana perkeretaapian kepada Badan Usaha prasarana perkeretaapian.

 

Bagian Keempat
Penyelenggaraan Sarana Perkeretaapian


Paragraf 1
Umum


Pasal 177

   

Penyelenggaraan sarana perkeretaapian meliputi kegiatan:

   

a.

pengadaan sarana;

   

b.

pengoperasian sarana;

   

c.

perawatan sarana; dan

   

d.

pengusahaan sarana.

 

Pasal 178

   

Sarana perkeretaapian menurut jenisnya terdiri atas:

   

a.

lokomotif;

   

b.

kereta;

   

c.

gerbong; dan

   

d.

peralatan khusus.

 

Paragraf 2
Pengadaan Sarana Perkeretaapian


Pasal 179

   

Setiap pengadaan sarana perkeretaapian harus didasarkan pada:

   

a.

persyaratan teknis dan standar spesifikasi teknis yang telah ditentukan;

   

b.

kebutuhan operasional;

   

c.

pelestarian fungsi lingkungan hidup;

   

d.

mengutamakan produksi dalam negeri.

 

Pasal 180

   

Spesifikasi teknis dibuat dengan memperhatikan:

   

a.

ruang batas sarana perkeretaapian;

   

b.

lebar jalan rel;

   

c.

beban dan jumlah gandar;

   

d.

jenis sarana perkeretaapian;

   

e.

kecepatan;

   

f.

perkembangan teknologi sarana perkeretaapian.

 

Pasal 181

   

(1)

Pengadaan sarana perkeretaapian dari dalam negeri mengutamakan material yang telah memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia.

   

(2)

Pengadaan sarana perkeretaapian atau pembuatan komponen serta perakitan, seluruhnya atau sebagian yang dibuat di dalam negeri maupun di luar negeri, harus dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang telah mempunyai Sertifikat Internasional.

 

Pasal 182

   

(1)

Setiap sarana perkeretaapian wajib memenuhi persyaratan teknis sesuai jenis sarana perkeretaapian.

   

(2)

Persyaratan teknis sarana perkeretaapian meliputi sistem komponen, konstruksi, dan kinerja.

   

(3)

Sistem komponen, konstruksi, dan kinerja setiap sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam spesifikasi teknis.

   

(4)

Spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sesuai standar spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh Menteri.

   

(5)

Spesifikasi teknis pengadaan sarana perkeretaapian wajib mendapat persetujuan Menteri.

   

(6)

Persetujuan spesifikasi teknis sarana perkeretaapian berlaku paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 2 (dua) tahun.

 

Pasal 183

   

(1)

Lokomotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 huruf a menurut jenisnya terdiri atas:

     

a.

lokomotif diesel; dan

     

b.

lokomotif listrik.

   

(2)

Kereta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 huruf b, menurut jenisnya terdiri atas:

     

a.

kereta yang ditarik lokomotif; dan

     

b.

kereta dengan penggerak sendiri.

   

(3)

Gerbong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 huruf c, hanya berupa gerbong yang ditarik lokomotif.

   

(4)

Peralatan khusus sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 huruf d, menurut jenisnya terdiri atas:

     

a.

peralatan khusus yang ditarik lokomotif; dan

     

b.

peralatan khusus dengan penggerak sendiri.

 

Pasal 184 

   

(1)

Sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, berdasarkan konstruksi dan komponennya terdiri atas:

     

a.

rangka dasar;

     

b.

badan;

     

c.

bogie;

     

d.

peralatan perangkai;

     

e.

peralatan pengereman; dan

     

f.

peralatan keselamatan.

   

(2)

Lokomotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 ayat (1), kereta dengan penggerak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 ayat (2) huruf b, peralatan khusus dengan penggerak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 ayat (4) huruf b, selain terdiri atas
konstruksi dan komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilengkapi dengan konstruksi dan komponen:

     

a.

kabin masinis;

     

b.

peralatan penerus daya;

     

c.

peralatan penggerak;

     

d.

peralatan pengendali; dan

     

e.

peralatan penghalau rintangan.

 

Pasal 185

   

Rangka dasar sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

terbuat dari baja karbon atau material lain yang mempunyai kekuatan dan kekakuan tinggi terhadap pembebanan tanpa terjadi deformasi tetap;

   

b.

konstruksi tahan benturan, menyatu atau terpisah dengan badan;

   

c.

mampu menahan seluruh beban dan getaran; dan

   

d.

tahan terhadap korosi.

 

Pasal 186

   

Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

terbuat dari baja atau material lain yang memiliki kekuatan dan kekakuan tinggi;

   

b.

konstruksi tahan benturan;

   

c.

tahan terhadap korosi dan cuaca; dan

   

d.

mampu meredam kebisingan.

 

Pasal 187

   

Bogie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

terbuat dari baja yang memiliki kekuatan dan kekakuan tinggi terhadap pembebanan tanpa terjadi deformasi tetap;

   

b.

konstruksi tahan pembebanan;

   

c.

mampu memberikan kualitas pengendaraan yang baik; dan

   

d.

mampu meredam getaran.

 

Pasal 188

   

Peralatan perangkai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

terbuat dari baja atau material lain;

   

b.

mampu meneruskan daya sesuai peruntukkan; dan

   

c.

mampu menahan dan meredam benturan.

 

Pasal 189

   

Peralatan pengereman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf e, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

mampu mengendalikan kecepatan;

   

b.

mampu berhenti dalam keadaan normal dan darurat pada jarak pengereman yang sesuai dengan ketentuan operasi; dan

   

c.

mampu menyesuaikan tingkat kecepatan dan beban.

 

Pasal 190

   

Peralatan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf f, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

sesuai dengan peruntukkannya; dan

   

b.

mudah dalam pengoperasian;

 

Pasal 191

   

Kabin masinis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (2) huruf a, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

mampu menampung masinis dan asisten masinis;

   

b.

memiliki ruang gerak bagi masinis dan asisten masinis;

   

c.

mampu meredam kebisingan; dan

   

d.

mampu melindungi masinis dan asisten masinis dari gas buang sarana perkeretaapian yang menggunakan motor diesel.

 

Pasal 192

   

Peralatan penerus daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (2) huruf b, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

mampu meneruskan daya dengan baik;

   

b.

rasio daya per berat sesuai dengan gaya traksi yang ditentukan;

   

c.

dimensi sesuai dengan ruang yang tersedia; dan

   

d.

tahan terhadap kebocoran.

 

Pasal 193

   

Peralatan penggerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (2) huruf c, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

menghasilkan gaya traksi yang cukup untuk menarik atau mendorong;

   

b.

dapat memakai bahan bakar fosil, gas, atau listrik; dan

   

c.

emisi gas buang dan kebisingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 194

   

Peralatan pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (2) huruf d, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

mampu dikendalikan dari kabin masinis; dan

   

b.

mampu mengendalikan pergerakan maju dan mundur.

 

Pasal 195

   

Peralatan penghalau rintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (2) huruf e, harus memenuhi persyaratan teknis:

   

a.

konstruksi kuat dan kokoh;

   

b.

mampu menahan benturan.

 

Pasal 196

   

(1)

Lokomotif listrik dan kereta rel listrik selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184, juga harus dilengkapi dengan peralatan pantograf.

   

(2)

Pantograf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis:

     

a.

mampu menghantarkan arus listrik dengan aman;

     

b.

mampu dikendalikan secara manual atau otomatis.

 

Pasal 197

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai standar spesifikasi teknis sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 3
Pengoperasian Sarana Perkeretaapian


Pasal 198

   

(1)

Setiap jenis sarana perkeretaapian wajib memenuhi kelaikan operasi sarana perkeretaapian.

   

(2)

Kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

     

a.

pengujian sarana perkeretaapian; dan

     

b.

pemeriksaan sarana perkeretaapian.

 

Pasal 199

   

Pengujian sarana perkeretaapian dilakukan dengan  membandingkan antara kondisi dan fungsi sarana perkeretaapian dengan:

   

a.

persyaratan teknis; dan

   

b.

spesifikasi teknis.

 

Pasal 200

   

Pengujian sarana perkeretaapian terdiri atas:

   

a.

uji pertama; dan

   

b.

uji berkala.

 

Pasal 201

   

(1)

Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 huruf a, wajib dilakukan terhadap setiap sarana perkeretaapian baru dan sarana perkeretaapian yang telah mengalami perubahan spesifikasi teknis.

   

(2)

Uji pertama meliputi:

     

a.

uji rancang bangun dan rekayasa;

     

b.

uji statis; dan

     

c.

uji dinamis.

 

Pasal 202

   

(1)

Uji rancang bangun dan rekayasa meliputi:

     

a.

uji kekuatan;

     

b.

uji ketahanan; dan

     

c.

uji kerusakan.

   

(2)

Kegiatan uji rancang bangun dan rekayasa dilaksanakan untuk prototipe setiap jenis sarana perkeretaapian.

 

Pasal 203

   

(1)

Uji statis sarana perkeretaapian meliputi pengujian:

     

a.

dimensi;

     

b.

ruang batas sarana;

     

c.

berat;

     

d.

pengereman;

     

e.

keretakan;

     

f.

pembebanan;

     

g.

sirkulasi udara; dan

     

h.

temperatur.

   

(2)

Untuk lokomotif, kereta dengan penggerak sendiri, dan peralatan khusus dengan penggerak sendiri selain dilakukan uji statis juga dilakukan pengujian:

     

a.

kelistrikan;

     

b.

kebisingan;

     

c.

intensitas cahaya;

     

d.

emisi gas buang;

     

e.

klakson;

     

f.

peralatan komunikasi; dan

     

g.

kebocoran.

   

(3)

Untuk kereta yang ditarik lokomotif dan peralatan khusus yang ditarik lokomotif selain dilakukan uji statis juga dilakukan pengujian:

     

a.

kelistrikan;

     

b.

kebisingan;

     

c.

intensitas cahaya; dan

     

d.

kebocoran.

 

Pasal 204

   

(1)

Uji dinamis sarana perkeretaapian dilakukan dalam rangkaian dan/atau tersendiri dalam keadaan bergerak yang meliputi pengujian:

     

a.

pengereman;

     

b.

temperatur;

     

c.

getaran;

     

d.

pembebanan; dan

     

e.

sirkulasi udara.

   

(2)

Untuk lokomotif, kereta dengan penggerak sendiri, dan peralatan khusus dengan penggerak sendiri selain dilakukan uji dinamis juga dilakukan pengujian:

     

a.

kelistrikan;

     

b.

kebisingan;

     

c.

kemampuan tarik; dan

     

d.

percepatan.

   

(3)

Untuk kereta yang ditarik lokomotif dan peralatan khusus yang ditarik lokomotif selain dilakukan uji dinamis juga dilakukan pengujian:

     

a.

kelistrikan; dan

     

b.

kebisingan.

 

Pasal 205

   

Untuk peralatan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 ayat (4) juga harus dilakukan pengujian terhadap fungsi peralatan kerja sesuai dengan jenis peralatan khusus.

 

Pasal 206

   

(1)

Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 huruf b wajib dilakukan terhadap setiap sarana perkeretaapian yang telah dioperasikan.

   

(2)

Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

     

a.

berdasarkan jarak tempuh atau setiap 1 (satu) tahun untuk sarana perkeretaapian yang memiliki penggerak sendiri;

     

b.

setiap 1 (satu) tahun untuk sarana perkeretaapian yang ditarik lokomotif

   

(3)

Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

     

a.

uji statis; dan

     

b.

uji dinamis.

   

(4)

Ketentuan uji statis dan uji dinamis pada uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, Pasal 204, dan Pasal 205 berlaku mutatis mutandis untuk ketentuan uji statis dan uji dinamis pada uji berkala.

 

Pasal 207

   

(1)

Pengujian sarana perkeretaapian dilakukan oleh Menteri.

   

(2)

Menteri dapat melimpahkan pelaksanaan pengujian kepada:

     

a.

badan hukum yang mendapat akreditasi dari Menteri; atau

     

b.

lembaga yang mendapat akreditasi dari Menteri.

   

(3)

Untuk mendapatkan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:

     

a.

administrasi; dan

     

b.

teknis.

 

Pasal 208

   

(1)

Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (3) huruf a, paling sedikit meliputi:

     

a.

berbadan hukum Indonesia;

     

b.

memiliki nomor pokok wajib pajak; dan

     

c.

adanya keterangan domisili.

   

(2)

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (3) hurufb, paling sedikit memiliki:

     

a.

tenaga penguji bersertifikat keahlian;

     

b.

kantor dan tempat pengujian; dan

     

c.

fasilitas dan peralatan pengujian.

 

Pasal 209

   

(1)

Badan hukum atau lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (2) mengajukan permohonan akreditasi kepada Menteri.

   

(2)

Menteri dapat menyetujui atau menolak permohonan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

   

(3)

Dalam hal Menteri menolak, penolakan harus disertai dengan alasan yang jelas.

 

Pasal 210

   

(1)

Badan hukum atau lembaga pengujian sarana perkeretaapian wajib:

     

a.

melaksanakan pengujian sesuai dengan sertifikat akreditasi;

     

b.

mempertahankan mutu pengujian yang diselenggarakan;

     

c.

membuat perencanaan dan pelaporan untuk setiap penyelenggaraan pengujian;

     

d.

menggunakan peralatan pengujian; dan

     

e.

mengikuti tata cara pengujian sarana perkeretaapian.

   

(2)

Untuk menjamin pemenuhan terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi.

 

Pasal 211

   

(1)

Badan hukum atau lembaga pengujian sarana perkeretaapian melaporkan secara berkala pelaksanaan pengujian kepada Menteri.

   

(2)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Menteri sebagai dasar pertimbangan pemberian perpanjangan akreditasi.

 

Pasal 212

   

Pelaksanaan pengujian sarana perkeretaapian harus dilakukan oleh tenaga penguji yang memiliki sertifikat keahlian, dilaksanakan di tempat pengujian, dan menggunakan peralatan pengujian, serta sesuai dengan tata cara pengujian.

 

Pasal 213

   

(1)

Tempat pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 merupakan tempat yang bersifat tetap dan memenuhi persyaratan:

     

a.

sesuai dengan rencana umum tata ruang;

     

b.

sesuai dengan rencana induk perkeretaapian; dan

     

c.

tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup.

   

(2)

Tempat pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilengkapi dengan fasilitas pengujian berupa:

     

a.

jalur uji;

     

b.

bangunan utama untuk pengujian;

     

c.

bangunan untuk peralatan bantu; dan

     

d.

bangunan kantor.

 

Pasal 214

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengujian, tata cara permohonan dan pemberian akreditasi badan hukum atau lembaga pengujian, tempat pengujian sarana perkeretaapian, serta tata cara pengujian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 215

   

Sarana perkeretaapian yang telah dilakukan pengujian dan dinyatakan lulus uji diberikan:

   

a.

sertifikat uji; dan

   

b.

tanda lulus uji.

 

Pasal 216

   

(1)

Sertifikat uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 huruf a terdiri atas:

     

a.

sertifikat uji pertama; dan

     

b.

sertifikat uji berkala.

   

(2)

Sertifikat uji pertama dan uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:

     

a.

data umum sarana perkeretaapian;

     

b.

nomor uji sarana; dan

     

c.

masa berlaku.

 

Pasal 217

   

(1)

Masa berlaku sertifikat uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (2) huruf c berlaku selamanya kecuali mengalami perubahan spesifikasi teknis.

   

(2)

Masa berlaku sertifikat uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (2) huruf c berlaku:

     

a.

1 (satu) tahun untuk sarana perkeretaapian yang ditarik lokomotif;

     

b.

berdasarkan jarak tempuh atau 1 (satu) tahun untuk sarana perkeretaapian yang memiliki penggerak sendiri.

 

Pasal 218

   

(1)

Sertifikat uji pertama dan sertifikat uji berkala diterbitkan oleh:

     

a.

Menteri;

     

b.

badan hukum yang mendapat akreditasi dari Menteri; atau

     

c.

lembaga yang mendapat akreditasi dari Menteri.

   

(2)

Sertifikat uji pertama dan sertifikat uji berkala yang diberikan oleh badan hukum atau lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c harus dilakukan verifikasi oleh Menteri.

 

Pasal 219

   

(1)

Tanda lulus uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 huruf b paling sedikit memuat masa berlaku pengujian.

   

(2)

Tanda lulus uji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada sarana perkeretaapian.

 

Pasal 220

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan sertifikat uji pertama, sertifikat uji berkala, tanda lulus uji, masa berlaku setifikat uji, dan tata cara verifikasi sertifikat sarana perkeretaapian yang dikeluarkan badan hukum atau lembaga diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 221

   

(1)

Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 dikenai jasa pengujian.

   

(2)

Besarnya tarif jasa pengujian untuk pengujian yang dilakukan oleh Menteri ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(3)

Dalam hal pengujian dilakukan oleh badan hukum atau lembaga pengujian, besarnya tarif jasa pengujian ditentukan oleh badan hukum atau lembaga pengujian yang bersangkutan berpedoman pada komponen pengujian yang ditetapkan Menteri.

 

Pasal 222

   

(1)

Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib melakukan pemeriksaan sarana perkeretaapian untuk mengetahui kondisi dan fungsi sarana perkeretaapian.

   

(2)

Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan.

 

Pasal 223

   

(1)

Jadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (2) terdiri atas pemeriksaan harian, bulanan, 6 (enam) bulanan, dan tahunan.

   

(2)

Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di depo.

   

(3)

Selain dilakukan di depo, pemeriksaan tahunan dapat juga dilakukan di balai yasa.

 

Pasal 224

   

(1)

Pemeriksaan harian sarana perkeretaapian dilakukan terhadap:

     

a.

peralatan pengereman;

     

b.

peralatan perangkai;

     

c.

peralatan keselamatan; dan

     

d.

kelistrikan.

   

(2)

Pemeriksaan bulanan, 6 (enam) bulanan, dan tahunan sarana perkeretaapian dilakukan terhadap bagian dari sarana perkeretapian yang meliputi:

     

a.

rangka dasar;

     

b.

badan;

     

c.

bogie;

     

d.

peralatan perangkai;

     

e.

peralatan pengereman;

     

f.

peralatan keselamatan;

     

g.

kabin masinis;

     

h.

peralatan penerus daya;

     

i.

peralatan penggerak; dan

     

j.

peralatan pengendali.

 

Pasal 225

   

Pemeriksaan harian, bulanan, 6 (enam) bulanan, dan tahunan terhadap sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga pemeriksa yang memiliki kualifikasi keahlian.

 

Pasal 226

   

(1)

Pemeriksaan sarana perkeretaapian harus menggunakan peralatan pemeriksaan sesuai dengan standar.

   

(2)

Peralatan pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikalibrasi secara berkala oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 227

   

Pemeriksaan sarana perkeretaapian dilakukan di depo dan/atau balai yasa sesuai dengan jenis sarana perkeretaapian.

 

Pasal 228

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis peralatan, standar, tata cara pengujian atau pemeriksaan, dan tempat pengujian untuk setiap jenis sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 4
Perawatan Sarana Perkeretaapian


Pasal 229

   

(1)

Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib melakukan perawatan terhadap sarana perkeretaapian agar tetap laik operasi.

   

(2)

Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan.

 

Pasal 230

   

Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 meliputi:

   

a.

perawatan berkala; dan

   

b.

perbaikan untuk mengembalikan fungsinya.

 

Pasal 231

   

(1)

Perawatan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 huruf a terdiri atas perawatan harian, bulanan, 6 (enam) bulanan, tahunan, 2 (dua) tahunan, dan 4 (empat) tahunan.

   

(2)

Perawatan harian, bulanan, 6 (enam) bulanan, dan tahunan dilakukan di depo.

   

(3)

Perawatan tahunan selain dilakukan di depo, juga dapat dilakukan di balai yasa.

   

(4)

Perawatan 2 (dua) tahunan, dan 4 (empat) tahunan dilakukan di balai yasa.

 

Pasal 232

   

(1)

Perawatan harian sarana perkeretaapian dilakukan terhadap:

     

a.

peralatan pengereman;

     

b.

peralatan perangkai;

     

c.

peralatan keselamatan; dan

     

d.

kelistrikan.

   

(2)

Perawatan bulanan, 6 (enam) bulanan, tahunan, 2 (dua) tahunan, dan 4 (empat) tahunan sarana perkeretaapian dilakukan terhadap bagian-bagian dari sarana perkeretapian yang meliputi:

     

a.

rangka dasar;

     

b.

badan;

     

c.

bogie;

     

d.

peralatan perangkai;

     

e.

peralatan pengereman;

     

f.

peralatan keselamatan;

     

g.

kabin masinis;

     

h.

peralatan penerus daya;

     

i.

peralatan penggerak; dan

     

j.

peralatan pengendali.

 

Pasal 233

   

Perawatan harian, bulanan, 6 (enam) bulanan, tahunan, 2 (dua) tahunan, dan 4 (empat) tahunan terhadap sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 harus dilakukan oleh tenaga perawatan yang memiliki kualifikasi keahlian.

 

Pasal 234

   

(1)

Perawatan sarana perkeretaapian harus menggunakan peralatan perawatan sesuai dengan standar.

   

(2)

Peralatan perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikalibrasi secara berkala oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 235

   

(1)

Perawatan sarana perkeretaapian dilaksanakan di depo atau balai yasa sesuai dengan jenis sarana perkeretaapian.

   

(2)

Depo atau balai yasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang bersifat tetap dan memenuhi persyaratan:

     

a.

sesuai dengan rencana umum tata ruang;

     

b.

sesuai dengan rencana induk perkeretaapian; dan

     

c.

tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup.

   

(3)

Depo atau balai yasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit dilengkapi dengan fasilitas perawatan berupa:

     

a.

jalur untuk perawatan;

     

b.

bangunan utama untuk perawatan;

     

c.

bangunan untuk peralatan bantu; dan

     

d.

bangunan kantor.

 

Pasal 236

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis peralatan, standar, tata cara perawatan, dan tempat perawatan dari setiap jenis sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 5
Pengusahaan Sarana Perkeretaapian


Pasal 237

   

Pengusahaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 huruf d dilakukan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria sarana perkeretaapian yang ditetapkan oleh Menteri.

 

Paragraf 6
Pengawasan Sarana Perkeretaapian


Pasal 238

   

(1)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan sarana perkeretaapian yang dilaksanakan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian.

   

(2)

Dalam hal pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat teknis dan operasional pelaksanaannya dilakukan oleh inspektur sarana perkeretaapian yang diangkat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(3)

Inspektur sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki kualifikasi keahlian di bidang pengawasan sarana perkeretaapian.

   

(4)

Kualifikasi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 239

   

(1)

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (1) dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu sesuai dengan keperluan.

   

(2)

Pelaksanaan pengawasan harus sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri.

 

Bagian Kelima
Rancang Bangun dan Rekayasa Sarana Perkeretaapian


Paragraf 1
Rancang Bangun Sarana Perkeretaapian


Pasal 240

   

(1)

Rancang bangun sarana perkeretaapian harus memperhatikan:

     

a.

konstruksi jalan rel;

     

b.

ruang batas sarana;

     

c.

pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

     

d.

aksesibilitas penyandang cacat.

   

(2)

Rancang bangun sarana perkeretaapian meliputi proses:

     

a.

perencanaan;

     

b.

perancangan;

     

c.

perhitungan teknis material dan komponen;

     

d.

uji simulasi; dan

     

e.

pembuatan prototipe atau model sarana perkeretaapian.

 

Pasal 241

   

(1)

Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf a, paling sedikit memuat:

     

a.

maksud dan tujuan;

     

b.

analisis teknis, ekonomis, dan sumber daya;

     

c.

penyiapan spesifikasi teknis; dan

     

d.

jadwal.

   

(2)

Perancangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf b, paling sedikit memuat:

     

a.

penyiapan gambar teknis;

     

b.

penyiapan tahapan produksi; dan

     

c.

penyiapan tahapan pengujian.

   

(3)

Perhitungan teknis material dan komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf c, paling sedikit memuat:

     

a.

pemilihan material dan/atau komponen;

     

b.

pengerjaan material; dan

     

c.

integrasi komponen.

   

(4)

Uji simulasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf d, paling sedikit meliputi:

     

a.

uji kekuatan;

     

b.

uji ketahanan; dan

     

c.

uji kerusakan.

   

(5)

Pembuatan prototipe atau model sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf e, paling sedikit meliputi:

     

a.

penyiapan cetakan;

     

b.

proses manufaktur; dan

     

c.

pembuatan dengan dimensi sebenarnya.

 

Paragraf 2
Rekayasa Sarana Perkeretaapian


Pasal 242

   

(1)

Rekayasa sarana perkeretaapian dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan mengubah fungsi sarana perkeretaapian.

   

(2)

Rekayasa sarana perkeretaapian harus memperhatikan:

     

a.

ruang batas sarana;

     

b.

pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

     

c.

aksesibilitas penyandang cacat.

   

(3)

Rekayasa sarana perkeretaapian meliputi proses:

     

a.

perencanaan;

     

b.

perancangan; dan

     

c.

perhitungan teknis material dan komponen.

 

Pasal 243

   

(1)

Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (3) huruf a, paling sedikit memuat:

     

a.

maksud dan tujuan;

     

b.

analisis teknis, ekonomis, dan sumber daya;

     

c.

penyiapan spesifikasi teknis; dan

     

d.

jadwal.

   

(2)

Perancangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (3) huruf b, paling sedikit meliputi:

     

a.

penyiapan gambar teknis;

     

b.

penyiapan tahapan pelaksanaan pekerjaan; dan

     

c.

penyiapan tahapan pengujian.

   

(3)

Perhitungan teknis material dan komponen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (3) huruf c, paling sedikit meliputi:

     

a.

pemilihan material dan komponen;

     

b.

pengerjaan material; dan

     

c.

integrasi komponen.

 

Paragraf 3
Pelaksanaan Rancang Bangun dan Rekayasa
Sarana Perkeretaapian


Pasal 244

   

(1)

Rancang bangun dan rekayasa sarana perkeretaapian dilakukan oleh:

     

a.

Menteri;

     

b.

pemerintah daerah;

     

c.

badan usaha;

     

d.

lembaga penelitian; atau

     

e.

perguruan tinggi.

   

(2)

Dalam pelaksanaan kegiatan rancang bangun dan rekayasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan instansi lain yang terkait dengan bidang rancang bangun dan rekayasa.

   

(3)

Hasil rancang bangun dan rekayasa sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum diproduksi harus mendapatkan persetujuan Menteri.

 

Pasal 245

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai proses dan tata cara pelaksanaan rancang bangun dan rekayasa sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Bagian Keenam
Penyelenggaraan Sarana Perkeretaapian Umum
Oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah


Pasal 246

   

(1)

Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177, Pemerintah atau pemerintah daerah dapat menyelenggarakan sarana perkeretaapian.

   

(2)

Penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya ditugaskan kepada badan usaha yang dibentuk untuk keperluan tersebut.

   

(3)

Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 247

   

Dalam hal penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (2) secara ekonomi sudah bersifat komersial, Pemerintah atau pemerintah daerah mengalihkan penyelenggaraan sarana perkeretaapian kepada Badan Usaha yang dibentuk untuk keperluan tersebut.

 

BAB IV
SUMBER DAYA MANUSIA PERKERETAAPIAN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 248

   

(1)

Sumber daya manusia perkeretaapian meliputi:

     

a.

tenaga penguji;

     

b.

inspektur;

     

c.

auditor;

     

d.

tenaga pemeriksa;

     

e.

tenaga perawatan;

     

f.

petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian;

     

g.

awak sarana perkeretaapian.

   

(2)

Dalam hal pegawai negeri sipil diangkat sebagai tenaga penguji, inspektur, atau auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, maka kepadanya diberikan jabatan fungsional tenaga penguji, inspektur, atau auditor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(3)

Ketentuan mengenai inspektur dan auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diatur dengan peraturan Menteri.

 

Bagian Kedua
Tenaga Penguji


Paragraf 1
Tenaga Penguji Prasarana Perkeretaapian


Pasal 249

   

(1)

Tenaga penguji prasarana perkeretaapian dikelompokkan menjadi tenaga penguji:

     

a.

jalan rel, badan jalan, jembatan, terowongan, dan stasiun; dan

     

b.

persinyalan, telekomunikasi, dan instalasi listrik.

   

(2)

Kelompok tenaga penguji prasarana perkeretaaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan dalam beberapa tingkat.

 

Pasal 250

   

(1)

Tenaga penguji prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) harus memiliki sertifikat keahlian yang dikeluarkan oleh Menteri sesuai dengan kualifikasi keahlian tenaga penguji prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Untuk mendapatkan sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tenaga penguji harus mengikuti ujian keahlian yang diselenggarakan oleh Menteri.

   

(3)

Ujian keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diikuti oleh seseorang yang telah lulus pendidikan dan pelatihan tenaga penguji prasarana perkeretaapian yang dibuktikan dengan tanda lulus.

 

Pasal 251

   

Pendidikan dan pelatihan tenaga penguji prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 ayat (3), terdiri atas:

   

a.

pendidikan dan pelatihan dasar; dan

   

b.

pendidikan dan pelatihan keahlian.

 

Pasal 252

   

(1)

Pendidikan dan pelatihan tenaga penguji prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 diselenggarakan oleh Menteri dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Menteri.

   

(2)

Untuk mendapatkan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) badan hukum atau lembaga harus memenuhi persyaratan:

     

a.

administrasi; dan

     

b.

teknis.

 

Pasal 253

   

(1)

Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat (2) huruf a, paling sedikit memiliki:

     

a.

akte pendirian;

     

b.

nomor pokok wajib pajak; dan

     

c.

keterangan domisili.

   

(2)

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat (2) huruf b, paling sedikit:

     

a.

menguasai atau memilliki fasilitas pendidikan dan pelatihan;

     

b.

memiliki tenaga pengajar; dan

     

c.

memiliki metode, kurikulum dan silabus pendidikan dan pelatihan.

 

Pasal 254

   

(1)

Untuk mendapatkan sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 ayat (2) dikenai tarif jasa penerbitan sertifikat keahlian.

   

(2)

Besarnya tarif jasa penerbitan sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 255

   

(1)

Tenaga penguji yang dalam kurun waktu 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut tidak melakukan pengujian, maka sertifikat keahliannya dinyatakan tidak berlaku.

   

(2)

Tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan pengujian prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 256

   

Tenaga penguji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255 ayat (1) dapat melakukan pengujian kembali setelah memperoleh sertifikat keahlian yang baru.

 

Pasal 257

   

(1)

Badan hukum atau lembaga pendidikan dan pelatihan tenaga penguji prasarana perkeretaapian wajib:

     

a.

melaksanakan jenis pendidikan dan pelatihan sesuai dengan sertifikat akreditasi;

     

b.

mempertahankan mutu pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan;

     

c.

membuat perencanaan dan pelaporan untuk setiap penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan

     

d.

mengajukan permohonan sertifikat keahlian bagi seseorang yang telah lulus pendidikan dan pelatihan tenaga penguji prasarana perkeretaapian kepada Menteri.

   

(2)

Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kewajiban badan hukum atau lembaga pendidikan dan pelatihan tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 258

   

(1)

Tenaga penguji prasarana perkeretaapian yang melaksanakan tugas, wajib:

     

a.

mematuhi ketentuan sesuai dengan sertifikat keahlian;

     

b.

menggunakan peralatan pengujian prasarana perkeretaapian; dan

     

c.

mengikuti tata cara pengujian prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kewajiban tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 259

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tenaga penguji, akreditasi badan hukum atau lembaga pendidikan dan pelatihan tenaga penguji prasarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 2
Tenaga Penguji Sarana Perkeretaapian

 
Pasal 260

   

(1)

Tenaga penguji sarana perkeretaapian dikelompokkan sesuai dengan jenis sarana perkeretaapian.

   

(2)

Kelompok tenaga penguji sarana perkeretaaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan dalam beberapa tingkat.

 

Pasal 261

   

(1)

Tenaga penguji sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1) harus memiliki sertifikat keahlian yang dikeluarkan oleh Menteri sesuai dengan kualifikasi keahlian tenaga penguji sarana perkeretaapian.

   

(2)

Untuk mendapatkan sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tenaga penguji harus mengikuti ujian keahlian yang diselenggarakan oleh Menteri.

   

(3)

Ujian keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diikuti oleh seseorang yang telah lulus pendidikan dan pelatihan tenaga penguji sarana perkeretaapian yang dibuktikan dengan tanda lulus.

 

Pasal 262

   

Pendidikan dan pelatihan tenaga penguji sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (3), terdiri atas:

   

a.

pendidikan dan pelatihan dasar; dan

   

b.

pendidikan dan pelatihan keahlian.

 

Pasal 263

   

(1)

Pendidikan dan pelatihan tenaga penguji sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 diselenggarakan oleh Menteri dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Menteri.

   

(2)

Untuk mendapatkan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

     

a.

administrasi; dan

     

b.

teknis.

 

Pasal 264

   

(1)

Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, paling sedikit memiliki:

     

a.

akte pendirian;

     

b.

nomor pokok wajib pajak; dan

     

c.

keterangan domisili.

   

(2)

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf b, paling sedikit:

     

a.

menguasai atau memilliki fasilitas pendidikan dan pelatihan;

     

b.

memiliki tenaga pengajar; dan

     

c.

memiliki metode, kurikulum dan silabus pendidikan dan pelatihan.

 

Pasal 265

   

(1)

Untuk mendapatkan sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (2) dikenai tarif jasa penerbitan sertifikat keahlian.

   

(2)

Besarnya tarif jasa penerbitan sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 266

   

(1)

Tenaga penguji yang dalam kurun waktu 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut tidak melakukan pengujian, maka sertifikat keahliannya dinyatakan tidak berlaku.

   

(2)

Tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan pengujian sarana perkeretaapian.

 

Pasal 267

   

Tenaga penguji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) dapat melakukan pengujian kembali setelah memperoleh sertifikat keahlian yang baru.

 

Pasal 268

   

(1)

Badan hukum atau lembaga pendidikan dan pelatihan pengujian sarana perkeretaapian wajib:

     

a.

melaksanakan jenis pendidikan dan pelatihan sesuai dengan sertifikat akreditasi;

     

b.

mempertahankan mutu pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan;

     

c.

membuat perencanaan dan pelaporan untuk setiap penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan

     

d.

mengajukan permohonan sertifikat keahlian bagi seseorang yang telah lulus pendidikan dan pelatihan tenaga penguji sarana perkeretaapian kepada Menteri.

   

(2)

Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kewajiban badan hukum atau lembaga pendidikan dan pelatihan tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 269

   

(1)

Tenaga penguji sarana perkeretaapian yang melaksanakan tugas pengujian, wajib:

     

a.

mematuhi ketentuan sesuai dengan sertifikat keahlian;

     

b.

menggunakan peralatan pengujian sarana perkeretaapian; dan

     

c.

mengikuti tata cara pengujian sarana perkeretaapian.

   

(2)

Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kewajiban tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 270

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tenaga penguji, kelompok dan tingkat tenaga penguji, akreditasi badan hukum atau lembaga pendidikan dan pelatihan tenaga penguji sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Bagian Ketiga
Tenaga Pemeriksa dan Tenaga Perawatan


Paragraf 1
Tenaga Pemeriksa dan Tenaga Perawatan
Prasarana Perkeretaapian


Pasal 271

   

(1)

Pemeriksaan dan perawatan prasarana perkeretaapian yang dilakukan penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh tenaga pemeriksa dan tenaga perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf d dan huruf e, yang memenuhi syarat dan kualifikasi keahlian.

   

(2)

Syarat dan kualifikasi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 272

   

(1)

Kualifikasi keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1) diperoleh setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan yang dibuktikan dengan tanda lulus pendidikan dan pelatihan.

   

(2)

Kualifikasi keahlian diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan pelatihan tenaga pemeriksa dan tenaga perawatan prasarana perkeretaapian.

   

(3)

Menteri melakukan pengawasan terhadap pemberian kualifikasi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 

Pasal 273

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan kualifikasi keahlian tenaga pemeriksa dan tenaga perawatan prasarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 2
Tenaga Pemeriksa dan Tenaga Perawatan
Sarana Perkeretaapian


Pasal 274

   

(1)

Pemeriksaan dan perawatan sarana perkeretaapian yang dilakukan penyelenggara sarana perkeretapian wajib dilakukan oleh tenaga pemeriksa dan tenaga perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf d dan huruf e yang memenuhi syarat dan kualifikasi keahlian.

   

(2)

Syarat dan kualifikasi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 275

   

(1)

Kualifikasi keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ayat (1) diperoleh setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan yang dibuktikan dengan tanda lulus pendidikan dan pelatihan.

   

(2)

Kualifikasi keahlian diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan pelatihan tenaga pemeriksa atau tenaga perawatan sarana perkeretaapian.

   

(3)

Menteri melakukan pengawasan terhadap pemberian kualifikasi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 

Pasal 276

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan kualifikasi keahlian tenaga pemeriksa dan tenaga perawatan sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Bagian Keempat
Petugas Pengoperasian Prasarana Perkeretaapian


Pasal 277

   

(1)

Pengoperasian prasarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf f yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi kecakapan.

   

(2)

Petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

     

a.

pengatur perjalanan kereta api;

     

b.

pengendali perjalanan kereta api;

     

c.

penjaga perlintasan kereta api; dan

     

d.

pengendali distribusi listrik.

 

Pasal 278

   

(1)

Persyaratan dan kualifikasi kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat kecakapan.

   

(2)

Sertifikat kecakapan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.

 

Pasal 279

   

(1)

Pendidikan dan pelatihan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) meliputi:

     

a.

pendidikan dan pelatihan dasar; dan

     

b.

pendidikan dan pelatihan kecakapan.

   

(2)

Petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian yang lulus pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus pendidikan dan pelatihan oleh penyelenggara pendidikan dan latihan.

 

Pasal 280

   

(1)

Untuk dapat diangkat sebagai petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian, seseorang harus memiliki sertifikat kecakapan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Sertifikat kecakapan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian diberikan setelah mendapatkan tanda lulus pendidikan dan pelatihan sesuai dengan tingkat kecakapan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 281

   

(1)

Sertifikat kecakapan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian diterbitkan oleh:

     

a.

Menteri;

     

b.

badan hukum yang mendapat akreditasi dari Menteri; atau

     

c.

lembaga yang mendapat akreditasi dari Menteri.

   

(2)

Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk mendapatkan akreditasi harus memenuhi persyaratan teknis.

   

(3)

Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, untuk mendapatkan akreditasi harus memenuhi persyaratan:

     

a.

administrasi; dan

     

b.

teknis.

 

Pasal 282

   

(1)

Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (3) huruf a, paling sedikit memiliki:

     

a.

akte pendirian;

     

b.

nomor pokok wajib pajak; dan

     

c.

keterangan domisili.

   

(2)

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (2) dan ayat (3) huruf b, paling sedikit memiliki:

     

a.

fasilitas pendidikan kecakapan di bidang pengoperasian prasarana perkeretaapian;

     

b.

tenaga pendidik yang berkompeten di bidang pengoperasian prasarana perkeretaapian;

     

c.

metode pengajaran di bidang pengoperasian prasarana perkeretaapian;

     

d.

fasilitas pengujian kecakapan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian;

     

e.

tenaga penguji kecakapan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian; dan

     

f.

metode pengujian kecakapan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 283

   

(1)

Badan hukum dan lembaga yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal  281 dapat mengajukan permohonan akreditasi kepada Menteri.

   

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan akreditasi diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 284

   

Badan hukum atau lembaga yang mengeluarkan sertifikat kecakapan wajib melaporkan secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri.

 

Pasal 285

   

(1)

Untuk mendapatkan sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28l ayat (1) dikenai jasa penerbitan sertifikat.

   

(2)

Besarnya tarif jasa penerbitan sertifikat kecakapan oleh Menteri ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(3)

Dalam hal penerbitan sertifikat kecakapan dilakukan oleh badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Menteri, besarnya tarif jasa penerbitan sertifikat kecakapan ditetapkan oleh badan hukum atau lembaga yang bersangkutan berdasarkan pada komponen jasa penerbitan sertifikat kecakapan yang ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 286

   

(1)

Petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian yang dalam kurun waktu 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut tidak melakukan kegiatan pengoperasian prasarana perkeretaapian, maka sertifikat kecakapannya dinyatakan tidak berlaku.

   

(2)

Petugas pengoperasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengoperasikan prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 287

   

Petugas pengoperasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) dapat melakukan pengoperasian prasarana perkeretaapian kembali setelah memperoleh sertifikat kecakapan yang baru.

 

Pasal 288

   

(1)

Badan usaha atau lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian wajib:

     

a.

melaksanakan jenis pendidikan dan pelatihan sesuai dengan sertifikat akreditasi yang diberikan;

     

b.

mempertahankan mutu pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan;

     

c.

membuat perencanaan dan pelaporan mengenai pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian.

   

(2)

Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kewajiban oleh badan usaha atau lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 289

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi badan hukum atau lembaga pendidikan dan pelatihan, tata cara penyelenggaran pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi petugas pengoperasian prasarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Bagian Kelima
Awak Sarana Perkeretaapian


Pasal 290

   

(1)

Pengoperasian sarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) huruf g yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi kecakapan.

   

(2)

Awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

     

a.

masinis; dan

     

b.

asisten masinis.

   

(2)

Awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokkan:

     

a.

awak sarana perkeretaapian penggerak listrik; dan

     

b.

awak sarana perkeretaapian penggerak nonlistrik.

   

(4)

Awak sarana perkeretaaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diklasifikasikan dalam beberapa tingkat.

 

Pasal 291

   

(1)

Persyaratan dan kualifikasi kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 290 ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat kecakapan.

   

(2)

Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.

 

Pasal 292

   

(1)

Pendidikan dan pelatihan awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (2) meliputi:

     

a.

pendidikan dan pelatihan dasar; dan

     

b.

pendidikan dan pelatihan kecakapan.

   

(2)

Awak sarana perkeretaapian yang lulus pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus pendidikan dan pelatihan oleh penyelenggara pendidikan dan latihan.

 

Pasal 293

   

(1)

Untuk dapat diangkat sebagai awak sarana perkeretaapian, seseorang harus memiliki sertifikat kecakapan awak sarana perkeretaapian.

   

(2)

Sertifikat kecakapan awak sarana perkeretaapian diberikan setelah mendapatkan tanda lulus pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kelompok dan tingkat kecakapan awak sarana perkeretaapian.

 

Pasal 294

   

(1)

Sertifikat kecakapan awak sarana perkeretaapian diterbitkan oleh:

     

a.

Menteri;

     

b.

badan hukum yang mendapat akreditasi dari Menteri; atau

     

c.

lembaga lain yang mendapat akreditasi dari Menteri.

   

(2)

Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk mendapatkan akreditasi harus memenuhi persyaratan teknis.

   

(3)

Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, untuk mendapatkan akreditasi harus memenuhi persyaratan:

     

a.

administrasi; dan

     

b.

teknis.

 

Pasal 295

   

(1)

Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 294 ayat (3) huruf a, paling sedikit memiliki:

     

a.

akte pendirian;

     

b.

nomor pokok wajib pajak; dan

     

c.

keterangan domisili.

   

(2)

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 294 ayat (2) dan ayat (3) huruf b paling sedikit memiliki:

     

a.

fasilitas pendidikan kecakapan di bidang awak sarana perkeretaapian;

     

b.

tenaga pendidik yang berkompeten di bidang awak sarana perkeretaapian;

     

c.

metode pengajaran di bidang awak sarana perkeretaapian;

     

d.

fasilitas pengujian kecakapan awak sarana perkeretaapian;

     

e.

tenaga penguji kecakapan awak sarana perkeretaapian; dan

     

f.

metode pengujian kecakapan awak sarana perkeretaapian.

 

Pasal 296

   

(1)

Badan hukum atau lembaga yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 294 dapat mengajukan permohonan akreditasi kepada Menteri.

   

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan akreditasi diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 297

   

Badan hukum atau lembaga yang mengeluarkan sertifikat kecakapan wajib melaporkan secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri.

 

Pasal 298

   

(1)

Untuk mendapatkan sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 294 ayat (1) dikenai jasa penerbitan sertifikat.

   

(2)

Besarnya tarif jasa penerbitan sertifikat kecakapan oleh Menteri ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(3)

Dalam hal penerbitan sertifikat kecakapan dilakukan oleh badan hukum atau lembaga lain yang mendapat akreditasi dari Menteri, besarnya tarif jasa penerbitan sertifikat kecakapan ditetapkan oleh badan hukum atau lembaga yang bersangkutan berdasarkan pada komponen jasa penerbitan sertifikat kecakapan yang ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 299

   

(1)

Awak sarana perkeretaapian yang dalam kurun waktu 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut tidak melakukan kegiatan pengoperasian sarana perkeretaapian, maka sertifikat kecakapannya dinyatakan tidak berlaku.

   

(2)

Awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengoperasikan sarana perkeretaapian.

 

Pasal 300

   

Awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (1) dapat melakukan pengoperasian sarana perkeretaapian kembali setelah memperoleh sertifikat kecakapan yang baru.

 

Pasal 301

   

(1)

Badan usaha atau lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan awak sarana perkeretaapian wajib:

     

a.

melaksanakan jenis pendidikan dan pelatihan sesuai dengan sertifikat akreditasi yang diberikan;

     

b.

mempertahankan mutu pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan;

     

c.

membuat perencanaan dan pelaporan mengenai pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan awak sarana perkeretaapian.

   

(2)

Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kewajiban oleh badan usaha atau lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 302

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi badan hukum atau lembaga pendidikan dan pelatihan, tata cara penyelenggaran pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi awak sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 303

   

(1)

Selain awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 290, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat menugaskan petugas lain untuk bekerja di dalam kereta api selama perjalanan kereta api.

   

(2)

Petugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki keterampilan sesuai bidangnya dan pengetahuan tentang keselamatan dan keamanan perjalanan kereta api.

 

Pasal 304

   

(1)

Keterampilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) dibuktikan dengan tanda lulus yang diperoleh setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan.

   

(2)

Tanda lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan dan pelatihan.

   

(3)

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, serta pemberian tanda lulus pendidikan dan pelatihan untuk petugas lain yang ditugaskan bekerja di dalam kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.

 

BAB V
PERIZINAN


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 305

   

(1)

Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum wajib merniliki:

     

a.

izin usaha;

     

b.

izin pembangunan; dan

     

c.

izin operasi.

   

(2)

Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum wajib memiliki:

     

a.

izin usaha; dan

     

b.

izin operasi.

   

(3)

Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk:

     

a.

badan usaha milik negara;

     

b.

badan usaha milik daerah; atau

     

c.

badan hukum Indonesia.

   

(4)

Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didirikan khusus untuk menyelenggarakan perkeretaapian.

 

Bagian Kedua
Perizinan Penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian Umum

 

Pasal 306

   

(1)

Badan Usaha yang akan menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebelum diberikan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 305 ayat (1) huruf a oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, terlebih dahulu harus ditetapkan sebagai penyelenggara prasarana perkeretaapian umum.

   

(2)

Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 307

   

(1)

Badan Usaha yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) diberikan hak penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum.

   

(2)

Hak penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum dituangkan dalam perjanjian penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum antara Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dan Badan Usaha.

 

Pasal 308

   

(1)

Perjanjian penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 307 ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu sesuai dengan kesepakatan antara Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dan Badan Usaha.

   

(2)

Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan dana investasi dan keuntungan yang wajar.

 

Pasal 309

   

Dalam hal pengadaan tanah untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagian atau seluruhnya dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, perjanjian penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 307 ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 310

   

Perjanjian penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 dan Pasal 309 paling sedikit memuat:

   

a.

lingkup penyelenggaraan;

   

b.

jangka waktu hak penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum;

   

c.

hak dan kewajiban termasuk risiko yang harus dipikul para pihak, yang didasarkan pada prinsip pengalokasian risiko secara efisien dan seimbang;

   

d.

standar kinerja pelayanan serta prosedur penanganan keluhan masyarakat;

   

e.

sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi ketentuan perjanjian penyelenggaraan;

   

f.

penyelesaian sengketa;

   

g.

pemutusan atau pengakhiran perjanjian penyelenggaraan;

   

h.

fasilitas penunjang prasarana perkeretaapian;

   

i.

keadaan memaksa (force majeure); dan

   

j.

ketentuan mengenai penyerahan prasarana perkeretaapian dan fasilitasnya pada akhir masa hak penyelenggaraan.

 

Pasal 311

   

(1)

Dalam hal jangka waktu hak penyelenggaraan telah selesai, prasarana perkeretaapian diserahkan kepada:

     

a.

Menteri, untuk perkeretaapian nasional;

     

b.

gubernur, untuk perkeretaapian provinsi; atau

     

c.

bupati/walikota, untuk perkeretaapian kabupaten/kota.

   

(2)

Prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengoperasiannya dapat tetap dilakukan oleh Badan Usaha berdasarkan perjanjian kerjasama penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Paragraf 1
Izin Usaha Penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian Umum
 

Pasal 312

   

(1)

Izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 305 ayat (1) huruf a, diberikan oleh:

     

a.

Menteri, untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;

     

b.

gubernur, untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan

     

c.

bupati/walikota, untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota.

   

(2)

Izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk setiap kali paling lama 20 (dua puluh) tahun.

 

Pasal 313

   

Untuk memperoleh izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum harus memenuhi persyaratan memiliki:

   

a.

akte pendirian badan hukum Indonesia;

   

b.

nomor pokok wajib pajak;

   

c.

surat keterangan domisili perusahaan;

   

d.

rencana kerja;

   

e.

kemampuan keuangan;

   

f.

surat penetapan sebagai penyelenggara prasarana perkeretaapian umum;

   

g.

perjanjian penyelenggaraan prasarana perkeretaapian; dan

   

h.

sumber daya manusia.

 

Pasal 314

   

(1)

Badan Usaha yang telah memiliki izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum harus melaksanakan kegiatan:

     

a.

perencanaan teknis;

     

b.

analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau UKL dan UPL;

     

c.

pengadaan tanah;dan

     

d.

mengajukan izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum sebelum memulai pelaksanaan pembangunan fisik.

   

(2)

Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai paling lama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya izin usaha.

   

(3)

Dalam hal waktu 3 (tiga) tahun telah terlampaui belum menyelesaikan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak ada permohonan dari Badan Usaha untuk memperpanjang penyelesaian kegiatan, maka izin usaha dicabut.

 

Pasal 315

   

(1)

Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (1) huruf a harus memuat tahapan perencanaan prasarana perkeretaapian yang meliputi:

     

a.

pradesain;

     

b.

desain;

     

c.

konstruksi; dan

     

d.

pascakonstruksi.

   

(2)

Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri.

 

Pasal 316

   

Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (1) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 317

   

(1)

Pengadaan tanah dapat menggunakan dana yang berasal dari pemerintah dan/atau Badan Usaha.

   

(2)

Dalam hal dana pengadaan tanah berasal dari Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) besarnya dana pengadaan tanah yang dibutuhkan ditetapkan oleh pemerintah.

   

(3)

Dalam hal realisasi dana pengadaan tanah melebihi dana yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selisihnya didanai Badan Usaha untuk selanjutnya dikompensasi dengan masa konsesi dan/atau dengan cara lain.

   

(4)

Dalam hal realisasi dana pengadaan tanah lebih rendah dari dana yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selisihnya disetor ke Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

 

Pasal 318

   

(1)

Izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum dapat dicabut apabila:

     

a.

dalam waktu 1 (satu) tahun setelah diberikannya izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum, badan usaha tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (1);

     

b.

tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (2) dan ayat (3); atau

     

c.

Badan Usaha dinyatakan pailit.

   

(2)

Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan setelah diberikan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan.

 

Pasal 319

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 2
Izin Pembangunan Prasarana Perkeretaapian Umum


Pasal 320

   

Izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 305 ayat (1) huruf b, diberikan oleh:

   

a.

Menteri, untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;

   

b.

gubernur, untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi, setelah mendapat persetujuan dari Menteri; dan

   

c.

bupati/walikota, untuk penyelenggaraan perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota, setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Menteri.

 

Pasal 321

   

(1)

Badan Usaha setelah mendapatkan persetujuan perencanaan teknik dari Menteri dapat mengajukan permohonan izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum kepada Menteri, gubernur, atau bupati/alikota sesuai kewenangannya.

   

(2)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan persyaratan teknis.

   

(3)

Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

     

a.

rancang bangun yang dibuat berdasarkan perhitungan;

     

b.

gambar teknis;

     

c.

data lapangan;

     

d.

jadwal pelaksanaan;

     

e.

spesifikasi teknis;

     

f.

analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau UKL dan UPL;

     

g.

metode pelaksanaan;

     

h.

izin mendirikan bangunan;

     

i.

izin lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

     

j.

telah membebaskan tanah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) persen dari total tanah yang dibutuhkan.

   

(4)

Spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e harus disahkan oleh Menteri.

   

(5)

Izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk setiap kali paling lama 5 (lima) tahun.

   

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 322

   

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan evaluasi terhadap persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3) yang diajukan oleh Badan Usaha.

 

Pasal 323

   

(1)

Permohonan izin pembangunan prasarana perkeretaapian yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi diajukan oleh Badan Usaha kepada Menteri.

   

(2)

Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3).

   

(3)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menyetujui atau menolak permohonan izin pembangunan.

   

(4)

Dalam hal permohonan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menyampaikan penolakan disertai alasan dan permintaan kelengkapan persyaratan yang harus dilengkapi oleh Badan Usaha.

   

(5)

Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah dipenuhi, Badan Usaha dapat mengajukan kembali permohonan izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum kepada Menteri.

   

(6)

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) disetujui, Menteri memberikan izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum.

 

Pasal 324

   

(1)

Permohonan izin pembangunan prasarana perkeretaapian yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 320 huruf b, diajukan oleh Badan Usaha kepada gubernur dilengkapi dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3).

   

(2)

Gubernur berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3).

   

(3)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila memenuhi persyaratan, gubernur memberikan rekomendasi persetujuan pembangunan prasarana perkeretaapian dan apabila tidak memenuhi persyaratan, gubernur menyampaikan kembali kepada Badan Usaha untuk melengkapi persyaratan yang diperlukan.

   

(4)

Rekomendasi persetujuan pembangunan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan oleh gubernur kepada Menteri disertai persyaratan teknis untuk mendapat persetujuan Menteri.

   

(5)

Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melakukan evaluasi terhadap permohonan persetujuan dari gubernur.

   

(6)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri memberikan persetujuan pembangunan prasarana perkeretaapian umum.

   

(7)

Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat disertai dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh Badan Usaha.

   

(8)

Dalam hal syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah dipenuhi oleh Badan Usaha, gubernur berdasarkan persetujuan dari Menteri memberikan izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum.

 

Pasal 325

   

(1)

Permohonan izin pembangunan prasarana perkeretaapian yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 320 huruf c, diajukan oleh Badan Usaha kepada bupati/walikota dilengkapi dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3).

   

(2)

Bupati/walikota berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3).

   

(3)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila memenuhi persyaratan, bupati/walikota meneruskan permohonan kepada gubernur untuk mendapatkan rekomendasi.

   

(4)

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi persyaratan, bupati/walikota mengembalikan permohonan kepada Badan Usaha untuk dilengkapi.

   

(5)

Bupati/walikota setelah mendapat rekomendasi dari gubernur menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan disertai dengan persyaratan teknis dan rekomendasi gubernur.

   

(6)

Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melakukan evaluasi terhadap permohonan persetujuan dari bupati/ walikota.

   

(7)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Menteri memberikan persetujuan pembangunan prasarana perkeretaapian umum.

   

(8)

Persetujuan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat disertai dengan syarat tertentu yang harus dilakukan oleh Badan Usaha.

   

(9)

Dalam hal syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) telah dipenuhi oleh Badan Usaha, bupati/walikota berdasarkan persetujuan dari Menteri memberikan izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum.

 

Pasal 326

   

Izin pembangunan prasarana perkeretaapian paling sedikit memuat:

   

a.

identitas badan usaha;

   

b.

lokasi pembangunan prasarana perkeretaapian;

   

c.

jangka waktu pelaksanaan pembangunan prasarana perkeretaapian;

   

d.

kewajiban pemegang izin;

   

e.

ketentuan pencabutan izin pembangunan prasarana perkeretaapian;

   

f.

masa berlaku izin pembangunan prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 327

   

(1)

Pembangunan prasarana perkeretaapian dilaksanakan sesuai dengan rencana teknik.

   

(2)

Pelaksanaan pembangunan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai setelah:

     

a.

adanya izin pembangunan; dan

     

b.

tersedianya tanah yang telah dibebaskan paling sedikit 10 (sepuluh) persen dari rencana panjang jalur kereta api yang akan dibangun.

 

Pasal 328

   

Dalam melaksanakan pembangunan prasarana perkeretaapian, Badan Usaha yang telah mendapatkan izin pembangunan prasarana perkeretaapian wajib:

   

a.

menaati peraturan perundang-undangan di bidang perkeretaapian;

   

b.

menaati peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pembangunan prasarana perkeretaapian;

   

c.

bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan prasarana perkeretaapian;

   

d.

melaksanakan kewajiban yang tertuang dalam perjanjian penyelenggaraan prasarana perkeretaapian;

   

e.

melaksanakan pekerjaan pembangunan prasarana perkeretaapian sesuai dengan rencana teknik; dan

   

f.

melaporkan kegiatan pembangunan prasarana perkeretaapian secara berkala kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.

 

Pasal 329

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 3
Izin Operasi Prasarana Perkeretaapian Umum


Pasal 330

   

(1)

Izin operasi prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 305 ayat (1) huruf c, ditetapkan oleh:

     

a.

Menteri, untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;

     

b.

gubernur, untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Menteri; dan

     

c.

bupati/walikota, untuk penyelenggaraan perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Menteri.

   

(2)

Izin operasi prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan batas pemberian konsesi yang diatur dalam perjanjian penyelenggaraan prasarana perkeretaapian antara Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dan Badan Usaha yang bersangkutan.

 

Pasal 331

   

Untuk memperoleh izin operasi penyelenggaraan prasarana perkeretaapian, Badan Usaha wajib memenuhi persyaratan:

   

a.

prasarana perkeretaapian yang telah dibangun telah sesuai dengan persyaratan kelaikan teknis dan operasional prasarana perkeretaapian dan telah lulus uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) huruf a;

   

b.

memiliki sistem dan prosedur pengoperasian prasarana perkeretaapian;

   

c.

tersedianya petugas atau tenaga perawatan, pemeriksaan, dan pengoperasian prasarana perkeretaapian yang memiliki sertifikat kecakapan; dan

   

d.

memiliki peralatan untuk perawatan prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 332

   

Permohonan izin operasi prasarana perkeretaapian harus disertai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328 diajukan kepada:

   

a.

Menteri, untuk pengoperasian prasarana perkeretaapian yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu provinsi;

   

b.

gubernur, untuk pengoperasian prasarana perkeretaapian yang jaringan jalurnya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau

   

c.

bupati/walikota, untuk pengoperasian prasarana perkeretaapian yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota.

 

Pasal 333

   

(1)

Permohonan izin operasi prasarana perkeretaapian yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi diajukan oleh Badan Usaha kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 ayat (1) huruf a, dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328.

   

(2)

Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328.

   

(3)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menyetujui atau menolak permohonan.

   

(4)

Dalam hal permohonan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menyampaikan penolakan disertai alasan dan permintaan kelengkapan persyaratan yang harus dilengkapi oleh Badan Usaha.

   

(5)

Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah dipenuhi, Badan Usaha dapat mengajukan kembali permohonan izin operasi prasarana perkeretaapian umum kepada Menteri.

   

(6)

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) disetujui, Menteri memberikan izin operasi prasarana perkeretaapian umum.

 

Pasal 334

   

(1)

Permohonan izin operasi prasarana perkeretaapian yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 ayat (1) huruf b, diajukan oleh Badan Usaha kepada gubernur dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328.

   

(2)

Gubernur berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328.

   

(3)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila memenuhi persyaratan, gubernur memberikan rekomendasi persetujuan operasi prasarana perkeretaapian dan apabila tidak memenuhi persyaratan, gubernur menyampaikan kembali kepada Badan Usaha untuk melengkapi persyaratan yang diperlukan.

   

(4)

Rekomendasi persetujuan operasi prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan oleh gubernur kepada Menteri disertai persyaratan untuk mendapat persetujuan Menteri.

   

(5)

Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melakukan evaluasi terhadap permohonan persetujuan dari gubernur.

   

(6)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri memberikan persetujuan operasi prasarana perkeretaapian umum.

   

(7)

Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat disertai dengan syarat tertentu yang harus dilakukan oleh Badan Usaha.

   

(8)

Dalam hal syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah dipenuhi oleh Badan Usaha, gubernur berdasarkan persetujuan dari Menteri memberikan izin operasi prasarana perkeretaapian umum.

 

Pasal 335

   

(1)

Permohonan izin operasi prasarana perkeretaapian yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 ayat (1) huruf c, diajukan oleh Badan Usaha kepada bupati/walikota dilengkapi dengan persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 328.

   

(2)

Bupati/walikota berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328.

   

(3)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila memenuhi persyaratan, bupati/walikota meneruskan permohonan kepada gubernur untuk mendapatkan rekomendasi.

   

(4)

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi persyaratan, bupati/walikota mengembalikan permohonan kepada Badan Usaha untuk dilengkapi.

   

(5)

Bupati/walikota setelah mendapat rekomendasi dari gubernur menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan disertai dengan persyaratan dan rekomendasi gubernur.

   

(6)

Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melakukan evaluasi terhadap permohonan persetujuan dari bupati/ walikota.

   

(7)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Menteri memberikan persetujuan operasi prasarana perkeretaapian umum.

   

(8)

Persetujuan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat disertai dengan syarat tertentu yang harus dilakukan oleh Badan Usaha.

   

(9)

Dalam hal syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) telah dipenuhi oleh Badan Usaha, bupati/walikota berdasarkan persetujuan dari Menteri memberikan izin operasi prasarana perkeretaapian umum.

 

Pasal 336

   

Penyelenggara prasarana perkeretaapian yang telah mendapat izin operasi wajib:

   

a.

mengoperasikan prasarana perkeretaapian;

   

b.

menaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang perkeretaapian dan pelestarian fungsi lingkungan hidup;

   

c.

menaati peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pengoperasian prasarana perkeretaapian;

   

d.

bertanggung jawab atas pengoperasian prasarana perkeretaapian yang bersangkutan;

   

e.

melaporkan kegiatan operasional prasarana perkeretaapian secara berkala setiap 1 (satu) tahun sekali kepada pemberi izin; dan

   

f.

mendapatkan persetujuan Menteri apabila akan melaksanakan pembangunan prasarana/fasilitas lain yang bersinggungan atau berpotongan dengan prasarana perkeretaapian.

 

Pasal 337

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin operasi prasarana perkeretaapian dan kerja sama penyelenggaraan prasarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 4
Izin Usaha Penyelenggaraan Sarana Perkeretaapian Umum


Pasal 338

   

(1)

Izin usaha penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 305 ayat (2) huruf a, diterbitkan oleh Menteri.

   

(2)

Izin usaha penyelenggaraan sarana perkeretaapian sebagairnana dirnaksud pada ayat (1) berlaku selama Badan Usaha penyelenggara sarana perkeretaapian masih menjalankan usaha sarana perkeretaapian.

 

Pasal 339

   

Izin usaha penyelenggaraan sarana perkeretaapian diterbitkan setelah memenuhi persyaratan:

   

a.

memiliki akte pendirian Badan Hukum Indonesia;

   

b.

memiliki nomor pokok wajib pajak;

   

c.

memiliki surat keterangan domisili perusahaan;

   

d.

membuat surat pernyataan kesanggupan untuk memiliki paling sedikit 2 (dua) rangkaian kereta api;

   

e.

mempunyai rencana kerja; dan

   

f.

memiliki perjanjian kerja sama dengan penyelenggara prasarana perkeretaapian dalam hal Badan Usaha hanya sebagai penyelenggara sarana perkeretaapian umum.

 

Pasal 340

   

Menteri dalam menerbitkan izin usaha sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 harus memperhatikan:

   

a.

rencana induk perkeretaapian sesuai dengan tatarannya;

   

b.

rencana pembangunan perkeretaapian sesuai dengan tatarannya;

   

c.

jaringan jalur kereta api; dan

   

d.

jaringan pelayanan kereta api.

 

Pasal 341

   

Badan Usaha yang telah mendapatkan izin usaha penyelenggaraan sarana perkeretaapian wajib:

   

a.

memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam izin usaha penyelenggaraan sarana perkeretaapian;

   

b.

memiliki izin operasi paling lama 2 (dua) tahun sejak izin usaha diterbitkan;

   

c.

melaporkan perubahan kepemilikan perusahaan atau domisili perusahaan apabila terjadi perubahan; dan

   

d.

melaporkan kegiatan usahanya setiap tahun kepada pemberi izin.

 

Pasal 342

   

(1)

Badan usaha yang telah mendapatkan izin usaha penyelenggaraan sarana perkeretaapian dapat mengajukan izin operasi sarana perkeretaapian.

   

(2)

Izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Badan Usaha setelah melaksanakan kegiatan:

     

a.

penyiapan spesifikasi teknis sarana perkeretaapian;

     

b.

studi kelayakan; dan

     

c.

pengadaan sarana perkeretaapian.

 

Pasal 343

   

(1)

Spesifikasi teknis sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (2) huruf a disusun oleh Badan Usaha dengan berpedoman pada persyaratan teknis sarana perkeretaapian yang ditetapkan oleh Menteri.

   

(2)

Spesifikasi teknis sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri.

 

Pasal 344

   

Studi kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat analisis mengenai:

   

a.

sosial ekonomi masyarakat;

   

b.

angkutan;

   

c.

perkiraan biaya pengadaan sarana perkeretaaapian; dan

   

d.

kelayakan teknik, ekonomi, dan finansial.

 

Pasal 345

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha penyelenggaraan sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 5
Izin Operasi Sarana Perkeretaapian Umum


Pasal 346

   

(1)

Badan Usaha yang memiliki izin usaha penyelenggaraan sarana perkeretaapian, dapat mengajukan permohonan penerbitan izin operasi kepada:

     

a.

Menteri, untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan/atau batas wilayah negara;

     

b.

gubernur, untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan

     

c.

bupati/walikota, untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota.

   

(2)

Untuk memperoleh izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha wajib memenuhi persyaratan:

     

a.

memiliki studi kelayakan;

     

b.

memiliki paling sedikit 2 (dua) rangkaian kereta api sesuai dengan spesifikasi teknis sarana perkeretaapian;

     

c.

sarana perkeretaapian yang akan dioperasikan telah lulus uji pertama yang dinyatakan dengan sertifikat uji pertama;

     

d.

tersedianya awak sarana perkeretaapian, tenaga perawatan, dan tenaga pemeriksa sarana perkeretaapian yang memiliki sertifikat kecakapan;

     

e.

memiliki sistem dan prosedur pengoperasian, pemeriksaan, dan perawatan sarana perkeretaapian; dan

     

f.

menguasai fasilitas perawatan sarana perkeretaapian.

   

(3)

Izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk setiap kali paling lama 5 (lima) tahun.

 

Pasal 347

   

(1)

Berdasarkan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan permohonan izin operasi.

   

(2)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dapat menyetujui atau menolak permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

   

(3)

Dalam hal permohonan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya menyampaikan penolakan disertai alasan dan permintaan kelengkapan persyaratan yang harus dilengkapi oleh Badan Usaha.

   

(4)

Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dipenuhi, Badan Usaha dapat mengajukan kembali permohonan izin operasi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.

   

(5)

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) disetujui, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya memberikan izin operasi.

 

Pasal 348

   

Penyelenggara sarana perkeretaapian yang telah mendapat izin operasi wajib:

   

a.

mengoperasikan sarana perkeretaapian;

   

b.

menaati peraturan perundang-undangan di bidang perkeretaapian;

   

c.

menaati peraturan perundang-undangan di bidang pelestarian fungsi lingkungan hidup;

   

d.

bertanggung jawab atas pengoperasian sarana perkeretaapian; dan

   

e.

melaporkan kegiatan operasional sarana perkeretaapian secara berkala kepada pemberi izin.

 

Pasal 349

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan izin operasi sarana perkeretaapian dan kerja sama penyelenggaraan sarana perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

Bagian Ketiga
Perizinan Penyelenggaraan Perkeretaapian Khusus


Paragraf 1
Umum


Pasal 350

   

(1)

Perkeretaapian khusus diselenggarakan terbatas dalam kawasan yang merupakan wilayah kegiatan pokok badan usaha.

   

(2)

Dalam hal terdapat wilayah penunjang di luar kawasan kegiatan pokoknya, penyelenggaraan perkeretaapian khusus hanya dapat dilakukan dari kawasan kegiatan pokok ke satu titik di wilayah penunjang.

 

Pasal 351

   

(1)

Pembangunan jalur kereta api khusus yang memerlukan perpotongan dengan jalur kereta api umum, jalan, terusan, saluran air dan/atau prasarana lain dibuat tidak sebidang.

   

(2)

Dalam hal perpotongan dilakukan pada jalur kereta api khusus yang sudah ada harus mendapatkan izin dari pemilik prasarana perkeretaapian khusus.

   

(3)

Penyelenggara perkeretaapian khusus wajib mengizinkan perpotongan tidak sebidang terhadap pembangunan jalur kereta api umum, jalan, terusan, saluran air dan/atau prasarana lain untuk kepentingan umum.

 

Pasal 352

   

(1)

Badan Usaha yang menyelenggarakan perkeretaapian khusus wajib memiliki:

     

a.

izin pembangunan; dan

     

b.

izin operasi.

   

(2)

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh:

     

a.

Menteri, untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;

     

b.

gubernur, untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Menteri; dan

     

c.

bupati/walikota, untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi gubernur dan persetujuan Menteri.

 

Paragraf 2
Izin Pembangunan Perkeretaapian Khusus


Pasal 353

   

Badan usaha yang akan menyelenggarakan perkeretaapian untuk menunjang kegiatan pokoknya, wajib mengajukan permohonan izin pembangunan perkeretaapian khusus.

 

Pasal 354

   

(1)

Untuk memperoleh izin pembangunan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353, badan usaha harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan prinsip pembangunan perkeretaapian khusus.

   

(2)

Persetujuan prinsip pembangunan perkeretaapian khusus diberikan oleh:

     

a.

Menteri, untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;

     

b.

gubernur, untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Menteri; dan

     

c.

bupati/walikota, untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi gubernur dan persetujuan Menteri.

   

(3)

Permohonan persetujuan prinsip pembangunan perkeretaapian khusus diajukan oleh badan usaha disertai dokumen:

     

a.

akte pendirian badan usaha;

     

b.

nomor pokok wajib pajak;

     

c.

izin usaha;

     

d.

surat keterangan domisili perusahaan;

     

e.

peta lokasi prasarana perkeretaapian khusus;

     

f.

kajian kesesuaian antara kebutuhan perkeretaapian khusus dan usaha pokoknya.

 

Pasal 355

   

(1)

Badan usaha yang telah memiliki persetujuan prinsip pembangunan perkeretaapian khusus harus melaksanakan kegiatan:

     

a.

perencanaan teknis;

     

b.

analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau UKL dan UPL; dan

     

c.

pengadaan tanah.

   

(2)

Apabila dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikannya persetujuan prinsip pembangunan, badan usaha tidak melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, persetujuan prinsip pembangunan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 356

   

(1)

Badan usaha yang telah melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) dapat mengajukan permohonan izin pembangunan perkeretaapian khusus kepada:

     

a.

Menteri, untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;

     

b.

gubernur, untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan

     

c.

bupati/walikota, untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota.

   

(2)

Permohonan izin pembangunan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan dokumen:

     

a.

surat persetujuan prinsip pembangunan perkeretaapian khusus;

     

b.

rancang bangun yang dibuat berdasarkan perhitungan;

     

c.

gambar-gambar teknis;

     

d.

data lapangan;

     

e.

jadwal pelaksanaan;

     

f.

spesifikasi teknis;

     

g.

analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau UKL dan UPL;

     

h.

metode pelaksanaan;

     

i.

surat izin mendirikan bangunan;

     

j.

surat izin lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

     

k.

rekomendasi dari bupati/walikota yang wilayahnya akan dilintasi oleh jalur kereta api; dan

     

l.

bukti pembebasan tanah paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari luas tanah yang dibutuhkan.

 

Pasal 357

   

Menteri, gubernur , atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan evaluasi terhadap persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) yang diajukan oleh badan usaha.

 

Pasal 358

   

(1)

Permohonan izin pembangunan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi diajukan oleh badan usaha kepada Menteri.

   

(2)

Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2).

   

(3)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menyetujui atau menolak permohonan izin pembangunan perkeretaapian khusus.

   

(4)

Dalam hal permohonan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri menyampaikan penolakan disertai alasan dan permintaan kelengkapan persyaratan yang harus dilengkapi oleh badan usaha.

   

(5)

Dalam hal kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah dipenuhi, badan usaha dapat mengajukan kembali permohonan izin pembangunan perkeretaapian khusus kepada Menteri.

   

(6)

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) disetujui, Menteri memberikan izin pembangunan perkeretaapian khusus.

 

Pasal 359

   

(1)

Permohonan izin pembangunan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (1) huruf b, diajukan oleh badan usaha kepada gubernur dilengkapi dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2).

   

(2)

Gubernur berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2).

   

(3)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila memenuhi persyaratan, gubernur memberikan rekomendasi persetujuan pembangunan perkeretaapian khusus dan apabila tidak memenuhi persyaratan, gubernur menyampaikan kembali kepada badan usaha untuk melengkapi persyaratan yang diperlukan.

   

(4)

Rekomendasi persetujuan pembangunan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan oleh gubernur kepada Menteri disertai persyaratan teknis untuk mendapat persetujuan Menteri.

   

(5)

Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melakukan evaluasi terhadap permohonan persetujuan dari gubernur.

   

(6)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri memberikan persetujuan pembangunan perkeretaapian khusus.

   

(7)

Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat disertai dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh badan usaha.

   

(8)

Dalam hal syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah dipenuhi oleh badan usaha, gubernur berdasarkan persetujuan dari Menteri memberikan izin pembangunan perkeretaapian khusus.

 

Pasal 360

   

(1)

Permohonan izin pembangunan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (1) huruf c, diajukan oleh badan usaha kepada bupati/walikota dilengkapi dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2).

   

(2)

Bupati/walikota berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan evaluasi terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2).

   

(3)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila memenuhi persyaratan, bupati/walikota meneruskan permohonan kepada gubernur untuk mendapatkan rekomendasi.

   

(4)

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi persyaratan, bupati/walikota mengembalikan permohonan kepada badan usaha untuk dilengkapi.

   

(5)

Bupati/walikota setelah mendapat rekomendasi dari gubernur menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan disertai dengan persyaratan teknis dan rekomendasi gubernur.

   

(6)

Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melakukan evaluasi terhadap permohonan persetujuan dari bupati/ walikota.

   

(7)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Menteri memberikan persetujuan pembangunan perkeretaapian khusus.

   

(8)

Persetujuan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat disertai dengan syarat tertentu yang harus dilakukan oleh badan usaha.

   

(9)

Dalam hal syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) telah dipenuhi oleh badan usaha, bupati/walikota berdasarkan persetujuan dari Menteri memberikan izin pembangunan perkeretaapian khusus.

 

Pasal 361

   

Izin pembangunan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 358 ayat (6), Pasal 359 ayat (8), dan Pasal 360 ayat (9) paling sedikit memuat:

   

a.

identitas badan usaha;

   

b.

lokasi pembangunan prasarana perkeretaapian khusus;

   

c.

jangka waktu pelaksanaan pembangunan prasarana perkeretaapian khusus;

   

d.

kewajiban pemegang izin pembangunan perkeretaapian khusus;

   

e.

ketentuan pencabutan izin pembangunan perkeretaapian khusus; dan

   

f.

masa berlaku izin pembangunan perkeretaapian khusus.

 

Pasal 362

   

Dalam melaksanakan pembangunan perkeretaapian khusus, Badan Usaha yang telah mendapatkan izin pembangunan perkeretaapian khusus wajib:

   

a.

melaksanakan pembangunan prasarana perkeretaapian khusus dan pengadaan sarana perkeretaapian khusus paling lambat 2 (dua) tahun sejak izin diterbitkan;

   

b.

bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang timbul selama pelaksanaan pembangunan prasarana perkeretaapian khusus; dan

   

c.

melaporkan kegiatan pembangunan perkeretaapian khusus secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada pemberi izin pembangunan.

 

Pasal 363

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan prinsip pembangunan perkeretaapian khusus dan tata cara pemberian izin pembangunan perkeretaapian khusus diatur dengan peraturan Menteri.

 

Paragraf 3
Izin Operasi Perkeretaapian Khusus


Pasal 364

   

(1)

Izin operasi perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 352 ayat (1) huruf b diterbitkan oleh:

     

a.

Menteri, untuk pengoperasian perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;

     

b.

gubernur, untuk pengoperasian perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Menteri; dan

     

c.

bupati/walikota, untuk pengoperasian perkeretaapian knusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan persetujuan dari Menteri.

   

(2)

lzin operasi perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Badan Usaha penyelenggara perkeretaapian khusus masih menjalankan usaha pokoknya.

 

Pasal 365

   

Untuk memperoleh izin operasi perkeretaapian khusus, Badan Usaha wajib memenuhi persyaratan:

   

a.

pembangunan prasarana dan pengadaan sarana perkeretaapian khusus telah dilaksanakan sesuai dengan persyaratan kelaikan dan telah lulus uji pertama;

   

b.

memiliki sistem dan prosedur pengoperasian, pemeriksaan, dan perawatan prasarana dan sarana perkeretaapian khusus;

   

c.

tersedianya petugas prasarana dan awak sarana, tenaga perawatan, dan tenaga pemeriksa prasarana dan sarana perkeretaapian khusus yang memiliki sertifikat kecakapan.

 

Pasal 366

   

Badan usaha yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365 dapat mengajukan permohonan izin operasi perkeretaapian khusus kepada:

   

a.

Menteri, untuk pengoperasian perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu provinsi;

   

b.

gubernur, untuk pengoperasian perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi;

   

c.

bupati/walikota, untuk pengoperasian perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota.

 

Pasal 367

   

Menteri, gubernur, dan bupati/walikota dalam memberikan izin operasi perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366 harus memperhatikan:

   

a.

persyaratan teknis operasi prasarana dan sarana perkeretaapian khusus; dan

   

b.

standar keselamatan pengoperasian prasarana dan sarana perkeretaapian khusus.

 

Pasal 368

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan standar keselamatan pengoperasian perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 367 diatur dengan peraturan Menteri.

 

Pasal 369

   

(1)

Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366 huruf a, Menteri melakukan evaluasi terhadap persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365.

   

(2)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menyetujui atau menolak permohonan.

   

(3)

Dalam hal permohonan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri menyampaikan penolakan disertai alasan dan/atau permintaan kelengkapan persyaratan yang harus dilengkapi oleh badan usaha.

   

(4)

Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dipenuhi, badan usaha dapat mengajukan kembali permohonan izin operasi perkeretaapian khusus kepada Menteri.

   

(5)

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) disetujui, Menteri memberikan izin operasi perkeretaapian khusus.

 

Pasal 370

   

(1)

Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366 huruf b, gubernur melakukan evaluasi terhadap persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365.

   

(2)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur dapat menolak atau menyetujui permohonan izin operasi.

   

(3)

Dalam hal gubernur menolak permohonan izin operasi perkeretaapian khusus, gubernur mengembalikan permohonan kepada badan usaha untuk melengkapi persyaratan yang diperlukan.

   

(4)

Dalam hal gubernur menyetujui permohonan, sebelum menerbitkan izin operasi, gubernur mengajukan permohonan persetujuan penerbitan izin operasi kepada Menteri.

   

(5)

Menteri melakukan evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

   

(6)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri memberikan persetujuan operasi perkeretaapian khusus.

   

(7)

Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat disertai dengan syarat tertentu yang harus dilakukan oleh badan usaha.

   

(8)

Dalam hal syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah dipenuhi oleh badan usaha, gubernur berdasarkan persetujuan dari Menteri memberikan izin operasi perkeretaapian khusus.

 

Pasal 371

   

(1)

Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366 huruf c, bupati/walikota melakukan evaluasi terhadap persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365.

   

(2)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/walikota dapat menolak atau menyetujui permohonan izin operasi.

   

(3)

Dalam hal bupati/walikota menolak permohonan izin operasi perkeretaapian khusus, bupati/walikota mengembalikan permohonan kepada badan usaha untuk melengkapi persyaratan yang diperlukan.

   

(4)

Dalam hal bupati/walikota menyetujui permohonan, sebelum menerbitkan izin operasi, bupati/walikota mengajukan permohonan persetujuan penerbitan izin operasi kepada Menteri melalui gubernur.

   

(5)

Gubernur meneruskan permohonan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Menteri disertai dengan rekomendasi.

   

(6)

Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melakukan evaluasi.

   

(7)

Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Menteri memberikan persetujuan operasi perkeretaapian khusus.

   

(8)

Persetujuan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat disertai dengan syarat tertentu yang harus dilakukan oleh badan usaha.

   

(9)

Dalam hal syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) telah dipenuhi oleh badan usaha, bupati/walikota berdasarkan persetujuan dari Menteri memberikan izin operasi perkeretaapian khusus.

 

Pasal 372

   

Badan usaha yang telah memiliki izin operasi penyelenggara perkeretaapian khusus wajib:

   

a.

menaati peraturan perundang-undangan di bidang perkeretaapian;

   

b.

menaati peraturan perundang-undangan di bidang pelestarian fungsi lingkungan hidup;

   

c.

bertanggung jawab atas pengoperasian perkeretaapian khusus; dan

   

d.

melaporkan kegiatan operasional perkeretaapian khusus secara berkala kepada pemberi izin.

 

Pasal 373

   

Izin operasi perkeretaapian khusus dapat dialihkan kepada badan usaha lain bersamaan dengan pengalihan usaha pokoknya setelah mendapat izin dari: 

   

a.

Menteri, untuk pengoperasian perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu provinsi;

   

b.

gubernur, untuk pengoperasian perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau

   

c.

bupati/walikota, untuk pengoperasian perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota.

 

Pasal 374

   

(1)

Badan Usaha yang telah mendapat izin operasi perkeretaapian khusus dapat melakukan kerja sama dengan penyelenggara perkeretaapian lain untuk pengoperasian perkeretaapian khusus setelah mendapat persetujuan Menteri.

   

(2)

Kerja sama pengoperasian perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengubah fungsi perkeretaapian khusus.

 

Pasal 375

   

(1)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam keadaan darurat dapat menugasi penyelenggara perkeretaapian khusus agar melayani kepentingan umum yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(2)

Penyelenggara perkeretaapian khusus dalam melayani kepentingan umum harus berpedoman pada standar pelayanan minimum.

 

Pasal 376

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin operasi perkeretaapian khusus, pengalihan izin operasi perkeretaapian khusus, dan kerjasama pengoperasian perkeretaapian khusus diatur dengan peraturan Menteri.

 

BAB VI
PEMBINAAN PERKERETAAPIAN


Bagian Kesatu
Pembinaan Perkeretaapian Nasional


Pasal 377

   

(1)

Pembinaan perkeretaapian nasional dilakukan oleh Menteri.

   

(2)

Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

     

a.

penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;

     

b.

penetapan pedoman, standar, serta prosedur penyelenggaraan dan pengembangan perkeretaapian;

     

c.

penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian;

     

d.

pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, serta bantuan teknis kepada pemerintah daerah, penyelenggara, dan pengguna jasa perkeretaapian; dan

     

e.

pengawasan terhadap perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian.

 

Pasal 378

   

(1)

Penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) huruf a, meliputi:

     

a.

arah pengembangan dan sasaran kinerja perkeretaapian antarkota antarprovinsi, dan antarnegara; dan

     

b.

arah pengembangan dan sasaran kinerja perkeretaapian perkotaan antarprovinsi.

   

(2)

Penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) huruf a, meliputi:

     

a.

arah pengembangan dan sasaran kinerja perkeretaapian antarkota dalam provinsi; dan

     

b.

arah pengembangan dan sasaran kinerja perkeretaapian perkotaan.

   

(3)

Penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) huruf a, meliputi arah pengembangan dan sasaran kinerja perkeretaapian perkotaan dalam wilayah kabupaten/kota.

 

Pasal 379

   

Penetapan pedoman, standar, prosedur penyelenggaraan dan pengembangan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 376 ayat (2) huruf b, meliputi pedoman, standar, dan prosedur:

   

a.

pembangunan prasarana perkeretaapian dan pengadaan sarana perkeretaapian;

   

b.

pengoperasian prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian;

   

c.

perawatan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian;

   

d.

pengembangan prasarana, sarana, dan sumber daya manusia perkeretaapian; dan

   

e.

pengusahaan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian.

 

Pasal 380

   

Penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) huruf c, meliputi:

   

a.

pejabat yang melaksanakan fungsi pemerintahan di bidang teknis perkeretaapian; dan

   

b.

awak sarana perkeretaapian, petugas yang mengoperasikan prasarana perkeretaapian, tenaga yang melaksanakan pengujian serta petugas yang melaksanakan pemeriksaan dan perawatan prasarana dan sarana perkeretaapian.

 

Pasal 381

   

(1)

Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) huruf d, paling sedikit meliputi:

     

a.

penyusunan rencana induk perkeretaapian provinsi dan/atau kabupaten/kota;

     

b.

peningkatan kompetensi sumber daya manusia di bidang perkeretaapian provinsi dan/atau kabupaten/kota; dan

     

c.

penempatan tenaga ahli.

   

(2)

Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, serta bantuan teknis kepada penyelenggara perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) huruf d, paling sedikit meliputi:

     

a.

pengoperasian kereta api;

     

b.

tata cara pemeriksaan dan perawatan prasarana dan sarana perkeretaapian;

     

c.

peningkatan kompetensi awak sarana dan petugas prasarana; dan

     

d.

pembuatan Grafik Perjalanan Kereta Api (GAPEKA).

   

(3)

Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) huruf d, paling sedikit meliputi:

     

a.

pemahaman mengenai aspek keselamatan dalam penyelenggaraan angkutan kereta api;

     

b.

kepatuhan terhadap ketentuan penyelenggaraan perkeretaapian; dan

     

c.

ketertiban dalam angkutan kereta api.

 

Pasal 382

   

(1)

Pengawasan terhadap perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 377 ayat (2) huruf e meliputi kegiatan pengawasan terhadap:

     

a.

penyusunan rencana induk perkeretaapian provinsi, serta rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota;

     

b.

pelaksanaan pengujian prasarana dan sarana perkeretaapian;

     

c.

lembaga atau badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan tenaga penguji, awak sarana perkeretaapian, dan petugas yang mengoperasikan prasarana perkeretaapian;

     

d.

penyelenggaraan perkeretaapian nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan

     

e.

pelaksanaan pembinaan perkeretaapian yang dilakukan oleh gubernur dan bupati/walikota.

   

(2)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemantauan, dan evaluasi termasuk tindakan korektif.

 

Pasal 383

   

Selain melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 382, Menteri melakukan audit terhadap:

   

a.

prasarana perkeretaapian;

   

b.

sarana perkeretaapian;

   

c.

lalu lintas dan angkutan kereta api;

   

d.

sumber daya manusia perkeretaapian; dan

   

e.

keselamatan perkeretaapian.

 

Bagian Kedua
Pembinaan Perkeretaapian Provinsi


Pasal 384

   

(1)

Pembinaan perkeretaapian provinsi dilakukan oleh gubernur.

   

(2)

Pembinaan sebagimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

     

a.

penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian provinsi dan perkeretaapian kabupaten/kota;

     

b.

pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian perkeretaapian kepada pemerintah kabupaten/kota, penyelenggara, dan pengguna jasa perkeretaapian; dan

     

c.

pengawasan terhadap penyelenggaraan perkeretaapian provinsi.

 

Pasal 385

   

(1)

Penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (2) huruf a, meliputi:

     

a.

arah pengembangan dan sasaran kinerja perkeretaapian antarkota dalam provinsi; dan

     

b.

arah pengembangan dan sasaran kinerja perkeretaapian perkotaan.

   

(2)

Penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (2) huruf a, meliputi arah pengembangan dan sasaran kinerja perkeretaapian perkotaan dalam wilayah kabupaten/kota.

 

Pasal 386

   

(1)

Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:

     

a.

penyusunan rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota;

     

b.

peningkatan kompetensi sumber daya manusia di bidang perkeretaapian kabupaten/kota;

     

c.

penempatan tenaga ahli.

   

(2)

Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, serta, bantuan teknis kepada penyelenggara perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:

     

a.

pengoperasian kereta api provinsi dan/atau kabupaten/kota;

     

b.

tata cara pemeriksaan dan perawatan prasarana dan sarana perkeretaapian provinsi dan/atau kabupaten/kota;

     

c.

peningkatan kompetensi awak sarana dan petugas prasarana perkeretaapian provinsi dan/atau kabupaten/kota;

     

d.

pembuatan Grafik Perjalanan Kereta Api (GAPEKA) provinsi dan/atau kabupaten/kota.

   

(3)

Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:

     

a.

pemahaman mengenai aspek keselamatan dalam penyelenggaraan angkutan kereta api;

     

b.

kepatuhan terhadap ketentuan penyelenggaraan perkeretaapian; dan

     

c.

ketertiban dalam angkutan kereta api.

 

Pasal 387

   

(1)

Pengawasan terhadap penyelenggaraan perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (2) huruf c meliputi kegiatan pengawasan terhadap:

     

a.

pembangunan prasarana dan pengadaan sarana perkeretaapian provinsi;

     

b.

pengoperasian prasarana dan sarana perkeretaapian provinsi;

     

c.

perawatan prasarana dan sarana perkeretaapian provinsi;

     

d.

pengusahaan prasarana dan sarana perkeretaapian provinsi; dan

     

e.

pelaksanaan pembinaan perkeretaapian yang dilakukan oleh bupati/walikota.

   

(2)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemantauan, dan evaluasi termasuk tindakan korektif.

 

Bagian Ketiga
Pembinaan Perkeretaapian Kabupaten/Kota


Pasal 388

   

(1)

Pembinaan perkeretaapian kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota.

   

(2)

Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

     

a.

penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian kabupaten/kota;

     

b.

pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian kepada penyelenggara dan pengguna jasa perkeretaapian di wilayahnya; dan

     

c.

pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan perkeretaapian kabupaten/kota.

 

Pasal 389

   

Penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 ayat (2) huruf a, dilakukan dengan memberikan arah pengembangan dan sasaran kinerja perkeretaapian perkotaan dalam wilayah kabupaten/kota.

 

Pasal 390

   

(1)

Pemberian arahan, bimbingan, supervisi, pelatihan, perizinan, serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian kepada penyelenggara perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:

     

a.

pengoperasian kereta api kabupaten/kota;

     

b.

tata cara pemeriksaan dan perawatan prasarana dan sarana perkeretaapian kabupaten/kota;

     

c.

peningkatan kompetensi awak sarana dan petugas prasarana perkeretaapian kabupaten/kota; dan

     

d.

pembuatan Grafik Perjalanan Kereta Api (GAPEKA) kabupaten/kota.

   

(2)

Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi:

     

a.

pemahaman mengenai aspek keselamatan dalam penyelenggaraan angkutan kereta api;

     

b.

kepatuhan terhadap ketentuan penyelenggaraan perkeretaapian; dan

     

c.

ketertiban dalam angkutan kereta api.

 

Pasal 391

   

(1)

Pengawasan terhadap penyelenggaraan perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 ayat (2) huruf c, meliputi kegiatan pengawasan terhadap:

     

a.

pembangunan prasarana dan pengadaan sarana perkeretaapian kabupaten/kota;

     

b.

pengoperasian prasarana dan sarana perkeretaapian kabupaten/kota;

     

c.

perawatan prasarana dan sarana perkeretaapian kabupaten/kota; dan/atau

     

d.

pengusahaan prasarana dan sarana perkeretaapian kabupaten/kota.

   

(2)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemantauan, dan evaluasi termasuk tindakan korektif.

 

Pasal 392

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan perkeretaapian diatur dengan peraturan Menteri.

 

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT


Pasal 393

   

Masyarakat berhak:

   

a.

memberi masukan kepada pemerintah, penyelenggara prasarana perkeretaapian, dan penyelenggara sarana perkeretaapian dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan perkeretaapian;

   

b.

mendapat pelayanan penyelenggaraan perkeretaapian sesuai dengan standar pelayanan minimum; dan

   

c.

memperoleh informasi mengenai pokok-pokok rencana induk perkeretaapian dan pelayanan perkeretaapian.

 

Pasal 394

   

(1)

Pemberian masukan kepada pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 huruf a dapat disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.

   

(2)

Pemberian masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara tertulis dan disertai data mengenai nama, alamat, dengan melampirkan fotocopy identitas diri.

   

(3)

Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa informasi, saran, atau pendapat yang diuraikan dengan jelas, disertai dengan data, fakta, dan saran mengenai pembinaan dan penyelenggaraan perkeretaapian.

 

Pasal 395

   

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota memberikan tanggapan secara tertulis atau lisan atas masukan yang diterima dari masyarakat.

 

Pasal 396

   

(1)

Penyelenggara perkeretaapian dalam memberikan pelayanan penyelenggaraan perkeretaapian kepada masyarakat harus memberikan perlakuan yang sama kepada setiap anggota masyarakat dalam batas-batas ketersediaan prasarana dan sarana perkeretaapian.

   

(2)

Masyarakat yang mendapatkan pelayanan penyelenggaraan perkeretaapian harus membayar atas pelayanan yang dinikmati sesuai dengan tarif yang diberlakukan oleh penyelenggara perkeretaapian.

 

Pasal 397

   

(1)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota mempublikasikan pokok-pokok rencana induk perkeretaapian kepada masyarakat melalui situs internet.

   

(2)

Penyelenggara perkeretaapian mempublikasikan informasi mengenai pelayanan perkeretaapian melalui jaringan multimedia.

 

BAB VIII
SANKSI ADMINISTRASI


Pasal 398

   

(1)

Badan hukum yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dikenai sanksi administrasi.

   

(2)

Badan hukum, lembaga pendidikan dan pelatihan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (1), Pasal 268 ayat (1), Pasal 284, 288 ayat (1), Pasal 297, atau Pasal 301 ayat (1) dikenai sanksi administrasi.

   

(3)

Badan hukum dan lembaga penguji yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1), atau Pasal 210 ayat (1) dikenai sanksi administrasi.

   

(4)

Penyelenggara prasarana, dan sarana perkeretaapian yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (1), Pasal 166 ayat (2), Pasal 171 ayat (1), Pasal 173 ayat (3), Pasal 182 ayat (1), Pasal 198 ayat (1), Pasal 222 ayat (1), Pasal 229 ayat (1), Pasal 271 ayat (1), Pasal 274 ayat (1), Pasal 277 ayat (1), Pasal 290 ayat (1), Pasal 328, Pasal 331, Pasal 336, Pasal 341, Pasal 348, Pasal 351 ayat (3), Pasal 362, atau Pasal 372, dikenai sanksi administrasi.

   

(5)

Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diberikan dengan tahapan:

     

a.

peringatan tertulis;

     

b.

pembekuan sertifikat atau izin;

     

c.

pencabutan sertifikat atau izin.

   

(6)

Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.

 

Pasal 399

   

(1)

Pengenaan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 398 ayat (5) huruf a dikenakan paling banyak 2 (dua) kali secara berturut-turut masing-masing dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender.

   

(2)

Badan hukum, lembaga penguji, lembaga pendidikan dan pelatihan, penyelenggara prasarana, serta penyelenggara sarana perkeretaapian yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi administrasi berupa pembekuan sertifikat atau izin.

   

(3)

Pembekuan sertifikat atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender.

   

(4)

Badan hukum, lembaga penguji, lembaga pendidikan dan pelatihan, penyelenggara prasarana, serta penyelenggara sarana perkeretaapian yang tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya pembekuan sertifikat atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa pencabutan sertifikat atau izin.

   

(5)

Dalam hal pelaksanaan pembangunan atau pengoperasian yang dilakukan oleh penyelenggara prasarana, dan penyelenggara sarana perkeretaapian menimbulkan kerusakan pada lingkungan, selain dikenai sanksi administrasi, penyelenggara prasarana dan/atau penyelenggara sarana perkeretaapian wajib melakukan pemulihan dan/atau perbaikan atas akibat kerusakan yang ditimbulkannya.

   

(6)

Dalam hal pelaksanaan pembangunan atau pengoperasian yang dilakukan oleh penyelenggara prasarana atau penyelenggara sarana perkeretaapian menimbulkan kerugian pada masyarakat, selain dikenai sanksi administrasi, penyelenggara prasarana atau penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengganti biaya kerugian yang ditimbulkan kepada masyarakat yang menderita kerugian.

 

Pasal 400

   

(1)

Dalam hal badan hukum, lembaga penguji, atau lembaga pendidikan dan pelatihan yang melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara atau persyaratan yang diajukan dalam memperoleh izin dikemudian hari diketahui palsu, dikenai sanksi pencabutan sertifikat akreditasi tanpa melalui tahapan peringatan tertulis atau pembekuan sertifikat.

   

(2)

Dalam hal penyelenggara prasarana dan/atau penyelenggara sarana perkeretaapian yang melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara atau persyaratan yang diajukan dalam memperoleh izin dikemudian hari diketahui palsu, dikenai sanksi pencabutan izin tanpa melalui tahapan peringatan tertulis atau pembekuan izin.

 

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 401

   

(1)

Jaringan jalur kereta api yang ada pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, baik yang beroperasi maupun yang tidak beroperasi merupakan bagian dari jaringan jalur kereta api nasional.

   

(2)

Jaringan jalur kereta api nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari rencana induk perkeretaapian nasional.

 

Pasal 402

   

(1)

Prarasana perkeretaapian umum yang ada pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, baik yang beroperasi maupun yang tidak beroperasi, terdiri atas barang milik negara dan kekayaan negara yang dipisahkan.

   

(2)

Prasarana perkeretaapian umum yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraannya dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dengan memperhatikan Rencana Induk Perkeretaapian dan kebijakan umum dan teknis di bidang perkeretaapian.

 

Pasal 403

   

(1)

Semua aset negara yang terkait dengan penyelenggaraan perkeretaapian yang telah menjadi kekayaan negara yang dipisahkan hanya dapat digunakan, dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau dialihfungsikan dengan berdasarkan pada ketentuan yang berlaku bagi korporasi dan ketentuan di bidang penyelenggaraan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.

   

(2)

Penggunaan, kerjasama dengan pihak ketiga, atau pengalihfungsian kekayaan negara yang dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Menteri dan/atau Menteri yang membidangi urusan badan usaha milik negara sesuai dengan kewenangannya.

 

BAB X
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 404

   

Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1998 tentang Sarana dan Prasarana Kereta Api (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 133 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3777) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 405

   

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai rencana induk perkeretaapian, penyelenggaraan perkeretaapian, prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian yang ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

 

Pasal 406

   

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

   

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

             
           

Ditetapkan di Jakarta

           

pada tanggal 8 September 2009

           

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

             
            ttd.
             
            SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
             

Diundangkan di Jakarta

 

pada tanggal 8 September 2009

 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

 
REPUBLIK INDONESIA,  
   
ttd.  
   
ANDI MATTALATTA  
             
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 129  


Penjelasan.................