PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2008
TENTANG
TATA CARA DAN MEKANISME
PELAYANAN TERPADU BAGI SAKSI DAN/ATAU KORBAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
: |
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang; |
|||||
Mengingat |
: |
1. |
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
||||
|
|
2. |
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720); |
||||
|
|
MEMUTUSKAN: |
|||||
Menetapkan |
: |
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PELAYANAN TERPADU BAGI SAKSI DAN/ATAU KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. |
|||||
|
|
BAB I |
|||||
|
|
Pasal 1 |
|||||
|
|
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: |
|||||
|
|
1. |
Pelayanan Terpadu adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh instansi atau lembaga terkait sebagai satu kesatuan penyelenggaraan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum, bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. |
||||
|
|
2. |
Pusat Pelayanan Terpadu, yang selanjutnya disingkat PPT, adalah suatu unit kerja fungsional yang menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. |
||||
|
|
3. |
Saksi dan/atau Korban adalah seorang saksi yang sekaligus sebagai korban yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. |
||||
|
|
4. |
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang yang ditentukan dalam undang-undang. |
||||
|
|
5. |
Rehabilitasi Kesehatan adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kesehatan yang dideritanya baik fisik maupun psikis yang dilaksanakan di PPT. |
||||
|
|
6. |
Rehabilitasi Sosial adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kondisi psikososial dan pengembalian keberfungsian sosial secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. |
||||
|
|
7. |
Pemulangan adalah tindakan pengembalian saksi dan/atau korban ke daerah asal atau negara asal dengan tetap mengutamakan pelayanan perlindungan dan pemenuhan kebutuhannya. |
||||
|
|
8. |
Reintegrasi Sosial adalah penyatuan kembali saksi dan/atau korban dengan pihak keluarga, keluarga pengganti, atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi saksi dan/atau korban. |
||||
|
|
9. |
Menteri adalah menteri yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan. |
||||
|
|
Pasal 2 |
|||||
|
|
PPT wajib: |
|||||
|
|
a. |
memberikan pelayanan dan penanganan secepat mungkin dan tanpa biaya kepada saksi dan/atau korban; |
||||
|
|
b. |
memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan bagi saksi dan/atau korban; |
||||
|
|
c. |
menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban; dan |
||||
|
|
d. |
memberikan pemenuhan bantuan hukum bagi saksi dan/atau korban. |
||||
|
|
Pasal 3 |
|||||
|
|
Penyelenggaraan pelayanan terpadu bertujuan melaksanakan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. |
|||||
|
|
Pasal 4 |
|||||
|
|
(1) |
Lingkup pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban meliputi pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum. |
||||
|
|
(2) |
Pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi: |
||||
|
|
|
a. |
setiap saksi dan/atau korban yang berada di wilayah Republik Indonesia; dan |
|||
|
|
|
b. |
setiap saksi dan/atau korban warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. |
|||
|
|
(3) |
Dalam hal saksi dan/atau korban adalah anak, maka pelayanan diberikan secara khusus sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak. |
||||
|
|
Pasal 5 |
|||||
|
|
(1) |
Penyelenggaraan PPT bersifat integratif antarinstansi atau lembaga, baik berupa satu atap maupun berjejaring untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada saksi dan/atau korban. |
||||
|
|
(2) |
Dalam hal penyelenggaraan pelayanan terpadu dilakukan satu atap, PPT bertanggung jawab melaksanakan keseluruhan proses dalam satu kesatuan unit kerja untuk memberikan pelayanan yang diperlukan saksi dan/atau korban. |
||||
|
|
(3) |
Dalam hal penyelenggaraan pelayanan terpadu dilakukan berjejaring, PPT bertanggung jawab atas keseluruhan proses rujukan pelayanan yang diperlukan saksi dan/atau korban. |
||||
|
|
BAB II |
|||||
|
|
Pasal 6 |
|||||
|
|
(1) |
Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pemerintah kabupaten/kota membentuk dan menyelenggarakan PPT. |
||||
|
|
(2) |
Pembentukan dan penyelenggaraan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan daerah pada masing-masing kabupaten/kota. |
||||
|
|
(3) |
PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula menangani saksi dan/atau korban tindak kekerasan dalam rumah tangga. |
||||
|
|
(4) |
Untuk mempermudah penanganan saksi dan/atau korban, di daerah perbatasan dapat dibentuk PPT. |
||||
|
|
(5) |
Dalam membentuk peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), substansi atau materi peraturan daerah tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah ini. |
||||
|
|
(6) |
Dalam hal di daerah belum dibentuk peraturan daerah, maka ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya dapat dijadikan dasar untuk menyelenggarakan PPT. |
||||
|
|
Pasal 7 |
|||||
|
|
(1) |
Untuk lebih menjamin kualitas pelayanan terpadu, Menteri menyusun dan menetapkan standar pelayanan minimal dan prosedur standar operasional. |
||||
|
|
(2) |
Standar pelayanan minimal dan prosedur standar operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu. |
||||
|
|
(3) |
Dalam menyusun standar pelayanan minimal dan prosedur standar operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan pembahasan bersama dengan menteri atau pimpinan lembaga terkait. |
||||
|
|
Pasal 8 |
|||||
|
|
(1) |
Guna menjamin terselenggaranya PPT sesuai dengan standar pelayanan, minimal dan prosedur standar operasional, Pimpinan PPT menyusun dan melaksanakan program kerja secara berkesinambungan. |
||||
|
|
(2) |
Dalam melaksanakan program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPT dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat. |
||||
|
|
BAB III |
|||||
|
|
Pasal 9 |
|||||
|
|
(1) |
Pemerintah kabupaten/kota yang membentuk dan menyelenggarakan PPT wajib menyediakan sarana dan prasarana pada PPT. |
||||
|
|
(2) |
Dalam penyediaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan standar pelayanan minimal dan prosedur standar operasional yang berlaku. |
||||
|
|
(3) |
Rumah sakit swasta dapat menyediakan sarana dan prasarana untuk rujukan PPT bagi saksi dan/atau korban setelah mendapat persetujuan dari dinas kesehatan di daerahnya. |
||||
|
|
(4) |
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimaksudkan untuk mempermudah pelaksanaan pelayanan terpadu dan pelaksanaan evaluasi. |
||||
|
|
Pasal 10 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam hal telah tersedia sarana dan prasarana pelayanan terpadu yang digunakan untuk saksi dan/atau korban tindak pidana lain sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, maka sarana dan prasarana yang telah ada tersebut dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban. |
||||
|
|
(2) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengaturannya diserahkan pada masing-masing kabupaten/kota. |
||||
|
|
(3) |
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan standar pelayanan minimal dan prosedur standar operasional yang berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya. |
||||
|
|
BAB IV |
|||||
|
|
Pasal 11 |
|||||
|
|
(1) |
Penyelenggaraan pelayanan terpadu wajib didukung oleh petugas pelaksana atau petugas fungsional yang meliputi tenaga kesehatan, psikolog, psikiater, pekerja sosial, tenaga bantuan hukum yang disediakan oleh instansi atau lembaga terkait. |
||||
|
|
(2) |
Dalam hal tenaga psikolog, psikiater, dan tenaga bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, maka PPT dapat meminta bantuan kepada instansi atau lembaga lain yang tersedia dengan memberikan honorarium. |
||||
|
|
(3) |
Dalam hal diperlukan, PPT dapat melakukan kerja sama dengan lembaga tertentu dalam penyediaan penerjemah, dan relawan pendamping yang diperlukan oleh saksi dan/atau korban. |
||||
|
|
Pasal 12 |
|||||
|
|
(1) |
Penyelenggaraan pelayanan terpadu dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota yang dilakukan dengan bekerja sama antarinstansi atau lembaga pemerintah terkait di daerah. |
||||
|
|
(2) |
Pemerintah dan pemerintah provinsi dapat menyediakan petugas pelaksana atau petugas fungsional yang diperlukan oleh PPT di kabupaten/kota. |
||||
|
|
(3) |
Dalam hal diperlukan, PPT dapat mendayagunakan tenaga pelaksana atau petugas fungsional dari masyarakat. |
||||
|
|
Pasal 13 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam hal petugas PPT memerlukan perlindungan dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu, maka pimpinan PPT dapat mengajukan permohonan perlindungan secara tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat untuk memberikan rasa aman kepada petugas PPT. |
||||
|
|
(2) |
Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
BAB V |
|||||
|
|
Pasal 14 |
|||||
|
|
(1) |
Saksi dan/atau korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum pada PPT. |
||||
|
|
(2) |
Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh saksi dan/atau korban, keluarganya, temannya, petugas kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial. |
||||
|
|
(3) |
Pimpinan atau petugas yang ada pada PPT wajib melayani saksi dan/atau korban berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. |
||||
|
|
(4) |
Pimpinan atau petugas PPT segera menangani saksi dan/atau korban sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. |
||||
|
|
(5) |
Pimpinan atau petugas PPT, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak menerima saksi dan/atau korban yang sedang dirawat atau dipulihkan kesehatannya, wajib melaporkannya kepada petugas kepolisian terdekat. |
||||
|
|
Pasal 15 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam hal saksi dan/atau korban melaporkan kepada kepolisian terdekat, maka petugas kepolisian wajib menempatkan saksi dan/atau korban pada ruang pemeriksaan khusus yang tersedia. |
||||
|
|
(2) |
Jika setelah dilakukan pemeriksaan dan terbukti bahwa saksi dan/atau korban mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang, maka petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan wajib membawa saksi dan/atau korban ke PPT terdekat. |
||||
|
|
(3) |
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditindaklanjuti untuk diproses sesuai dengan hukum acara pidana. |
||||
|
|
(4) |
Untuk menjalankan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pimpinan kepolisian memerintahkan kepada penyidik untuk melakukan tugas penyidikan dan sekaligus melakukan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
Pasal 16 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam hal pemerintah daerah sudah memiliki rumah perlindungan sosial atau pusat trauma sebelum Peraturan Pemerintah ini diberlakukan, maka rumah perlindungan sosial atau pusat trauma tersebut dapat difungsikan untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan PPT. |
||||
|
|
(2) |
Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah dapat mendayagunakan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma milik masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya. |
||||
|
|
(3) |
Ketentuan mengenai tata cara dan mekanisme penyelenggaraan pelayanan di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur sekaligus dalam peraturan daerah kabupaten/kota mengenai pembentukan PPT. |
||||
|
|
Pasal 17 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara Indonesia dan berada di luar negeri, Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan saksi dan/atau korban serta memulangkannya ke Indonesia atas biaya negara. |
||||
|
|
(2) |
Untuk kepentingan pemulangan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri segera melaporkan kepada Menteri Luar Negeri dalam rangka percepatan penanganan saksi dan/atau korban. |
||||
|
|
(3) |
Menteri Luar Negeri wajib melakukan koordinasi dengan instansi terkait lainnya dan/atau pemerintah daerah asal saksi dan/atau korban, untuk memulangkan saksi dan/atau korban ke wilayah Indonesia. |
||||
|
|
(4) |
Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memulangkan ke daerah asal dan tindakan lain yang diperlukan dalam melindungi saksi dan/atau korban. |
||||
|
|
(5) |
Dalam hal saksi dan/atau korban mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang, maka: |
||||
|
|
|
a. |
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri wajib memberikan bantuan yang diperlukan bagi saksi dan/atau korban; |
|||
|
|
|
b. |
Departemen Sosial atau instansi yang menangani bidang sosial di daerah wajib membawa saksi dan/atau korban ke PPT terdekat. |
|||
|
|
Pasal 18 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam hal diperlukan, pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dapat dibentuk unit pelayanan yang berfungsi sebagai PPT. |
||||
|
|
(2) |
Unit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan Peraturan Menteri Luar Negeri. |
||||
|
|
Pasal 19 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam hal saksi dan/atau korban berada di luar wilayah daerah asalnya, kepala daerah setempat segera melakukan koordinasi dengan kepala daerah asal saksi dan/atau korban untuk mengambil tindakan atau langkah-langkah perlindungan dan pemulangan saksi dan/atau korban ke daerah asalnya. |
||||
|
|
(2) |
Bupati/walikota daerah asal saksi dan/atau korban tersebut wajib segera menangani hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan dan pemulihan saksi dan/atau korban ke PPT yang tersedia. |
||||
|
|
(3) |
Dalam penyelenggaraan pemulangan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), bupati/walikota dapat melakukan kerja sama dengan bupati/walikota lainnya dengan pemberitahuan kepada gubernur masing-masing. |
||||
|
|
Pasal 20 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia wajib berkoordinasi dengan instansi terkait dan perwakilan negara asal saksi dan/atau korban tersebut di Indonesia, untuk membantu pemulangannya. |
||||
|
|
(2) |
Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing yang negaranya tidak mempunyai perwakilan di Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia memberitahukan kepada negara asing tersebut pada perwakilan negara asing yang diakreditasikan untuk wilayah negara Republik Indonesia. |
||||
|
|
Pasal 21 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam penanganan saksi dan/atau korban, PPT wajib melakukan jejaring dengan rumah sakit pemerintah atau swasta untuk perawatan dan pemulihan kesehatannya. |
||||
|
|
(2) |
Dalam hal diperlukan, PPT juga dapat melakukan jejaring dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, rumah perlindungan sosial, atau pusat trauma milik pemerintah, masyarakat, atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya. |
||||
|
|
BAB VI |
|||||
|
|
Pasal 22 |
|||||
|
|
(1) |
Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan standar pelayanan minimal dan prosedur standar operasional pada PPT. |
||||
|
|
(2) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk mengetahui: |
||||
|
|
|
a. |
perkembangan pelaksanaan program PPT; |
|||
|
|
|
b. |
capaian kinerja PPT. |
|||
|
|
(3) |
Pemantauan dilakukan secara berkesinambungan dan evaluasi dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali. |
||||
|
|
(4) |
Menteri melaporkan hasil kegiatan pemantauan dan evaluasi kepada Presiden dan tembusan disampaikan kepada pimpinan Gugus Tugas Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. |
||||
|
|
Pasal 23 |
|||||
|
|
(1) |
Dalam hal pemantauan dan evaluasi ditemukan adanya tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka Menteri dapat merekomendasikan kepada PPT melalui bupati/walikota untuk peningkatan kualitas pelayanan. |
||||
|
|
(2) |
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditindaklanjuti, maka bupati/walikota dapat memberikan sanksi administratif kepada pimpinan atau petugas di PPT. |
||||
|
|
(3) |
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
Pasal 24 |
|||||
|
|
Dalam hal pemantauan dan evaluasi ditemukan adanya kinerja yang baik dalam menjalankan tugasnya, maka Menteri memberikan penghargaan kepada pimpinan dan/atau petugas pada PPT. |
|||||
|
|
BAB VII |
|||||
|
|
Pasal 25 |
|||||
|
|
Pendanaan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini dan penyelenggaraan PPT, bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. |
|||||
|
|
BAB VIII |
|||||
|
|
Pasal 26 |
|||||
|
|
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pusat pelayanan terpadu yang telah ada dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
|||||
|
|
Pasal 27 |
|||||
|
|
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
|||||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. |
|||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta |
||
|
|
|
|
|
pada tanggal 4 Pebruari 2008 |
||
|
|
|
|
|
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
||
|
|
|
|
|
DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO |
||
|
|
Diundangkan di Jakarta |
|
|
|
||
|
|
pada tanggal 4 Pebruari 2008 |
|
|
|
||
|
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, |
|
|
|
|||
|
|
ANDI MATTALATTA |
|
|
|
||
|
|
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 22 |