MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 48/PMK.06/2014
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG
NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
: |
a. |
bahwa dalam rangka menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011 terkait perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dilakukan penyesuaian jangka waktu Pencegahan dalam rangka Pengurusan Piutang Negara; |
||||
b. |
bahwa dalam rangka menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 terkait perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengurusan piutang Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Yang Modalnya Sebagian Atau Seluruhnya Dimiliki Oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, tidak lagi dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara; |
||||||
c |
bahwa guna memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan Pencegahan dalam rangka pengurusan Piutang Negara dan tidak dilaksanakannya lagi pengurusan Piutang Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah Dan Badan Usaha Yang Modalnya Sebagian Atau Seluruhnya Dimiliki Oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah oleh Panitia Urusan Piutang Negara, perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2011; |
||||||
d. |
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara; |
||||||
Mengingat |
: |
1. |
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104); |
||||
2. |
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216); |
||||||
3. |
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 90); |
||||||
4. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2011; |
||||||
MEMUTUSKAN: |
|||||||
Menetapkan |
: |
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA. |
|||||
Pasal I |
|||||||
|
|
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.06/2011 diubah sebagai berikut: |
|||||
|
|
1. |
Ketentuan angka 1 dan angka 10 Pasal 1 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|||||||
Pasal 1 |
|||||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: |
|||||||
|
|
|
1. |
Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. |
|||
|
|
|
2. |
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. |
|||
|
|
|
3. |
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara. |
|||
|
|
|
4. |
Panitia adalah Panitia Urusan Piutang Negara, baik tingkat pusat maupun cabang. |
|||
|
|
|
5. |
Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal. |
|||
|
|
|
6. |
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal. |
|||
|
|
|
7. |
Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang pada Direktorat Jenderal. |
|||
|
|
|
8. |
Channeling adalah pola penyaluran dana oleh pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan dimana pemerintah menanggung risiko kerugian apabila terjadi kemacetan. |
|||
|
|
|
9. |
Risk sharing adalah pola penyaluran dana oleh pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan dimana pemerintah dan perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan berbagi risiko kerugian apabila terjadi kemacetan. |
|||
|
|
|
10. |
Penyerah Piutang adalah Instansi Pemerintah, Lembaga Negara, Komisi Negara, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing, yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara. |
|||
|
|
|
11. |
Penanggung Hutang adalah badan/atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan/atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang. |
|||
|
|
|
12. |
Penjamin Hutang adalah badan/atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. |
|||
|
|
|
13. |
Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara, yang untuk selanjutnya disebut SP3N, adalah surat yang diterbitkan oleh Panitia, berisi pernyataan menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang. |
|||
|
|
|
14. |
Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara Panitia Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah hutang yang wajib dilunasi, cara-cara penyelesaiannya, dan sanksi. |
|||
|
|
|
15. |
Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Panitia, yang memuat jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh Penanggung Hutang. |
|||
|
|
|
16. |
Pencegahan adalah larangan bepergian ke luar dari wilayah Republik Indonesia. |
|||
17. |
Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Panitia Cabang kepada Penanggung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan. |
||||||
|
|
|
18. |
Juru Sita Piutang Negara adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab kejurusitaan. |
|||
|
|
|
19. |
Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian hutang. |
|||
|
|
|
20. |
Harta Kekayaan Lain adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang yang tidak diikat sebagai jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi jaminan penyelesaian hutang. |
|||
|
|
|
21. |
Penilai Internal adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan penilaian. |
|||
22. |
Nilai Pasar adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti, antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang penawarannya dilakukan secara layak dalam waktu yang cukup, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui kegunaan properti tersebut, bertindak hati-hati, dan tanpa paksaan. |
||||||
23. |
Nilai Likuidasi adalah nilai properti yang dijual melalui lelang setelah memperhitungkan risiko penjualannya. |
||||||
|
|
|
24. |
Nilai Limit adalah nilai terendah atas pelepasan barang dalam lelang. |
|||
|
|
|
25. |
Nilai Pembebanan adalah nilai yang tercantum dalam akta hipotik/crediet verband/hak tanggungan/fidusia. |
|||
|
|
|
26. |
Lelang adalah penjualan barang di muka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
|||
|
|
|
27. |
Penjualan tanpa melalui lelang adalah penjualan barang yang dilakukan oleh Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang dengan persetujuan Panitia Urusan Piutang Negara Cabang. |
|||
|
|
|
28. |
Penebusan adalah pembayaran yang dilakukan oleh Penjamin Hutang untuk mengambil kembali Barang Jaminan. |
|||
|
|
|
29. |
Pemeriksaan adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh Pemeriksa guna memperoleh informasi dan/atau bukti-bukti dalam rangka penyelesaian Piutang Negara. |
|||
|
|
|
30. |
Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Pemeriksaan. |
|||
|
|
|
31. |
Paksa Badan adalah penyanderaan (gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi Penanggung Hutang atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus bertanggung jawab. |
|||
|
|
|
32. |
Tempat Paksa Badan adalah tempat tertentu yang tertutup, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem pengamanan serta pengawasan memadai, yang digunakan untuk pelaksanaan Paksa Badan. |
|||
|
|
2. |
Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 2 |
|||||||
|
|
|
Piutang Negara pada tingkat pertama diselesaikan sendiri oleh Instansi Pemerintah, Lembaga Negara, Komisi Negara, atau Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan-badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
3. |
Ketentuan ayat (1) Pasal 3 diubah, dan ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 3 dihapus, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 3 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Dalam hal penyelesaian Piutang Negara tidak berhasil, Instansi Pemerintah, Lembaga Negara, Komisi Negara, atau Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan-badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib menyerahkan pengurusan Piutang Negara kepada Panitia Cabang. |
|||
|
|
|
(2) |
Dihapus. |
|||
|
|
|
(3) |
Dihapus. |
|||
|
|
4. |
Pasal 3A dihapus. |
||||
|
|
5. |
Ketentuan ayat (2) Pasal 15 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 15 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Piutang Negara terdiri atas hutang pokok, bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya sesuai perjanjian/peraturan/putusan pengadilan. |
|||
|
|
|
(2) |
Terhadap piutang yang pengurusannya diserahkan oleh BUMN/BUMD yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing, dalam hal terdapat pembebanan bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya, besarnya pembebanan ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan setelah kredit/piutang dikategorikan macet/jatuh tempo kecuali ditetapkan tersendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|||
|
|
|
(3) |
Terhadap piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang pengurusannya diserahkan oleh Instansi Pemerintah, dalam hal terdapat pembebanan sanksi administrasi berupa denda, besarnya pembebanan ditetapkan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah Piutang Negara jatuh tempo sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|||
|
|
|
(4) |
Terhadap piutang bukan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang pengurusannya diserahkan oleh Instansi Pemerintah, dalam hal terdapat pembebanan bunga, denda, ongkos, dan/atau beban lainnya, besarnya pembebanan ditetapkan paling lama 9 (sembilan) bulan setelah Piutang Negara jatuh tempo kecuali ditetapkan tersendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|||
|
|
6. |
Ketentuan huruf c Pasal 24 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 24 |
|||||||
|
|
|
Panitia Cabang menolak penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara dalam hal: |
||||
|
|
|
a. |
kelengkapan syarat-syarat penyerahan pengurusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 tidak dapat dipenuhi oleh Penyerah Piutang, sehingga tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara; |
|||
|
|
|
b. |
Penyerah Piutang dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat permintaan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), tidak memberikan tanggapan; atau |
|||
|
|
|
c. |
Penyerah Piutang bukan berasal dari Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). |
|||
|
|
7. |
Ketentuan huruf e Pasal 32 dihapus, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 32 |
|||||||
|
|
|
Pengembalian pengurusan Piutang Negara dapat dilakukan oleh Panitia Cabang dalam hal: |
||||
|
|
|
a. |
terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena Penanggung Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan; |
|||
|
|
|
b. |
piutang terkait dengan perkara pidana; |
|||
|
|
|
c. |
Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif; |
|||
|
|
|
d. |
terdapat putusan Lembaga Peradilan dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang telah berkekuatan hukum tetap yang membatalkan penyerahan pengurusan Piutang Negara; atau |
|||
|
|
|
e. |
dihapus. |
|||
|
|
|
f. |
Piutang Negara yang diserahkan, terjadi atau disalurkan di eks-Provinsi Timor-Timur. |
|||
|
|
8. |
Ketentuan ayat (4) Pasal 34 dihapus, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 34 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf b merupakan perkara yang terkait dengan penyalahgunaan penggunaan kredit atau menyangkut proses pemberian kredit. |
|||
|
|
|
(2) |
Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena terkait dengan perkara pidana dapat dilakukan pada tahap penyidikan. |
|||
|
|
|
(3) |
Piutang Negara yang telah dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diserahkan kembali kepada Panitia Cabang apabila: |
|||
|
|
|
|
a. |
dalam putusan pidana tidak terdapat kerugian negara yang harus diganti; atau |
||
|
|
|
|
b. |
dalam putusan pidana Penanggung Hutang dibebaskan dari segala tuntutan. |
||
|
|
|
(4) |
Dihapus. |
|||
|
|
9. |
Ketentuan ayat (2) Pasal 121 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 121 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Objek Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dapat dicegah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|||
|
|
|
(2) |
Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. |
|||
|
|
10. |
Ketentuan Pasal 126 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 126 |
|||||||
|
|
|
Dalam hal objek pencegahan mempunyai kewajiban menyelesaikan hutang lebih dari satu kasus Piutang Negara dan telah dicegah pada salah satu kasus, tidak dilakukan pencegahan kembali untuk kasus yang lain sepanjang jangka waktu pencegahan dan/atau perpanjangan pencegahan masih berlaku. |
||||
|
|
11. |
Ketentuan Pasal 127 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 127 |
|||||||
|
|
|
Dalam hal jangka waktu pencegahan dan/atau perpanjangan pencegahan telah berakhir, objek pencegahan dapat dicegah untuk kasus yang lain. |
||||
|
|
12. |
Ketentuan ayat (3) Pasal 131 dihapus, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 131 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Pencabutan Pencegahan terhadap objek Pencegahan dilakukan dalam hal: |
|||
|
|
|
|
a. |
Piutang Negara dinyatakan lunas; |
||
|
|
|
|
b. |
Pengurusan Piutang Negara dinyatakan selesai/dikembalikan; atau |
||
c. |
objek Pencegahan meninggal dunia. |
||||||
|
|
|
(2) |
Pencegahan berakhir demi hukum dalam hal: |
|||
|
|
|
|
a. |
jangka waktu Pencegahan berakhir dan tidak ada perpanjangan; atau |
||
|
|
|
|
b. |
terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bebas atas perkara yang menjadi alasan Pencegahan. |
||
|
|
|
(3) |
Dihapus. |
|||
|
|
13. |
Pasal 132A dihapus. |
||||
|
|
14. |
Ketentuan Pasal 135 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3), sehingga Pasal 135 berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 135 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Keputusan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, dan pencabutan Pencegahan ditetapkan secara tertulis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan. |
|||
|
|
|
(2) |
Keputusan mengenai perpanjangan Pencegahan ditetapkan sebelum jangka waktu Pencegahan berakhir. |
|||
|
|
|
(3) |
Keputusan mengenai pemberian izin keluar wilayah Republik Indonesia dalam jangka waktu pencegahan dilakukan dengan menetapkan keputusan tentang perubahan keputusan Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan. |
|||
|
|
15. |
Pasal 230 dihapus. |
||||
|
|
16. |
Pasal 231 dihapus. |
||||
|
|
17. |
Ketentuan Pasal 253 diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2) dan ayat (3), sehingga Pasal 253 berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 253 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Dalam hal terdapat kelebihan hasil lelang setelah diperhitungkan dengan pelunasan hutang Penanggung Hutang, kelebihan hasil lelang diserahkan kepada: |
|||
|
|
|
|
a. |
Penanggung Hutang; |
||
|
|
|
|
b. |
Penjamin Hutang, dalam hal barang yang dilelang adalah milik pihak ketiga; |
||
|
|
|
|
c. |
ahli waris, dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah meninggal dunia; |
||
|
|
|
|
d. |
Balai Harta Peninggalan, dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris; |
||
|
|
|
|
e. |
likuidator, dalam hal Penanggung Hutang adalah badan hukum yang telah dibubarkan; atau |
||
|
|
|
|
f. |
Pengadilan Niaga atau Kurator, dalam hal Penanggung Hutang dinyatakan pailit. |
||
|
|
|
(2) |
Dalam hal Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, dan ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tidak bersedia menerima kelebihan hasil lelang, maka kelebihan hasil lelang disetorkan ke Kas Negara. |
|||
|
|
|
(3) |
Dalam hal kelebihan hasil lelang telah disetor ke Kas Negara dan Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, dan ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c meminta hasil kelebihan lelang dimaksud, Kantor Pelayanan menyerahkan kelebihan hasil lelang setelah dilakukan restitusi dari Kas Negara. |
|||
|
|
18. |
Ketentuan ayat (1) Pasal 258 diubah dan disisipkan 1 (satu) ayat di antara ayat (1) dan ayat (2), yakni ayat (1a) sehingga Pasal 258 berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 258 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Permohonan penjualan tanpa melalui lelang dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat sebelum pengumuman Lelang. |
|||
|
|
|
(1a) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan penjualan tanpa melalui lelang yang diajukan setelah pengumuman lelang dapat disetujui dalam hal nilai penjualan tanpa melalui lelang yang diajukan lebih tinggi dari nilai limit yang tertera pada pengumuman lelang. |
|||
|
|
|
(2) |
Dalam hal Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan telah dilelang tetapi belum laku, permohonan Penjualan tanpa melalui lelang dapat diajukan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
|||
|
|
19. |
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 263 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), sehingga Pasal 263 berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 263 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Sejak permohonan penjualan diterima Kantor Pelayanan sampai ditetapkannya Keputusan Panitia Cabang tentang Penjualan tanpa melalui lelang, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut. |
|||
|
|
|
(1a) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana lelang yang telah diumumkan atas barang jaminan yang dimohonkan untuk dijual tanpa melalui lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (1a) tetap berlaku sampai dengan diterimanya hasil penjualan tanpa melalui lelang di rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan. |
|||
|
|
|
(2) |
Tindakan hukum pengurusan Piutang Negara dapat dilaksanakan terhadap barang lain yang tidak diajukan permohonan untuk dijual. |
|||
|
|
20. |
Ketentuan Pasal 264 ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (4) dan ayat (5), sehingga Pasal 264 berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 264 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Pembayaran Penjualan tanpa melalui lelang dilakukan secara tunai paling lama dalam waktu 2 (dua) bulan sejak mendapat persetujuan. |
|||
|
|
|
(2) |
Dalam hal pembeli wanprestasi terhadap syarat pembayaran, Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis. |
|||
|
|
|
(3) |
Dalam hal pembeli tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persetujuan penjualan menjadi batal. |
|||
|
|
|
(4) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), pembayaran atas penjualan tanpa melalui lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (1a) harus sudah efektif diterima di rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan paling lambat 4 (empat) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang. |
|||
|
|
|
(5) |
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak efektif diterima di rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan, persetujuan penjualan tanpa melalui lelang menjadi batal dan rencana lelang dilanjutkan. |
|||
|
|
21. |
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 269 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), sehingga Pasal 269 berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 269 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat sebelum pengumuman Lelang. |
|||
|
|
|
(1a) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan Penebusan dengan nilai di bawah nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia yang diajukan setelah pengumuman lelang dapat disetujui dalam hal nilai Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia yang diajukan lebih tinggi dari nilai limit yang tertera pada pengumuman lelang. |
|||
|
|
|
(2) |
Dalam hal Barang Jaminan telah dilelang tetapi belum laku, pengajuan permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia tetap dapat dilakukan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat sebelum pengumuman Lelang berikutnya. |
|||
|
|
22. |
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 275 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), sehingga Pasal 275 berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 275 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Sejak permohonan Penebusan diterima Kantor Pelayanan sampai ditetapkannya Keputusan Panitia Cabang tentang Penebusan, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut. |
|||
|
|
|
(1a) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana lelang yang telah diumumkan atas barang jaminan yang dimohonkan untuk ditebus dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 269 ayat (1a) tetap berlaku sampai dengan diterimanya hasil Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia di rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan. |
|||
|
|
|
(2) |
Tindakan hukum pengurusan Piutang Negara dapat dilaksanakan terhadap barang lain yang tidak diajukan permohonan untuk ditebus. |
|||
|
|
23. |
Ketentuan Pasal 277 ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 277 berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 277 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Dalam hal Penjamin Hutang wanprestasi terhadap syarat pembayaran, Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis. |
|||
|
|
|
(2) |
Dalam hal Penjamin Hutang tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan Penebusan menjadi batal. |
|||
|
|
|
(3) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pembayaran atas Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 269 ayat (1a) harus sudah efektif diterima di rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan paling lambat 4 (empat) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang. |
|||
|
|
|
(4) |
Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak efektif diterima di rekening Bendahara Penerimaan Kantor Pelayanan, persetujuan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pembebanan Hak Tanggungan/Fidusia menjadi batal dan rencana lelang dilanjutkan. |
|||
|
|
24. |
Ketentuan Pasal 280A dihapus. |
||||
|
|
25. |
Ketentuan Pasal 280B diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
Pasal 280B |
|||||||
|
|
|
Penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih tidak didahului dengan kegiatan pemeriksaan dalam hal: |
||||
|
|
|
a. |
sisa hutang sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan dari laporan hasil penelitian lapangan oleh petugas Kantor Pelayanan diketahui bahwa: |
|||
|
|
|
|
1. |
Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya; atau |
||
|
|
|
|
2. |
tidak diketahui tempat tinggalnya. |
||
|
|
|
b. |
sisa hutang lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan kurang dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) setelah diperoleh: |
|||
|
|
|
|
1. |
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menyatakan: |
||
|
|
|
|
|
a) |
Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya; atau |
|
|
|
|
|
|
b) |
tidak diketahui tempat tinggalnya; dan |
|
|
|
|
|
2. |
laporan hasil penelitian lapangan oleh petugas Kantor Pelayanan terhadap kemampuan dan keberadaan Penanggung Hutang. |
||
|
|
26. |
Ketentuan Pasal 298 ayat (1) dihapus dan ketentuan ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut. |
||||
Pasal 298 |
|||||||
|
|
|
(1) |
Dihapus. |
|||
|
|
|
(2) |
Restrukturisasi hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297 dilakukan oleh Penyerah Piutang berdasarkan pedoman restrukturisasi hutang yang diterbitkan oleh Penyerah Piutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. |
|||
Pasal II |
|||||||
|
|
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. |
|||||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. |
|||||
|
|
|
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta |
|
|
|
|
|
|
|
pada tanggal 13 Maret 2014 |
|
|
|
|
|
|
|
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
ttd. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
MUHAMAD CHATIB BASRI |
Diundangkan di Jakarta |
|||||||
pada tanggal 13 Maret 2014 |
|||||||
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA |
|||||||
|
|||||||
ttd. |
|||||||
|
|||||||
AMIR SYAMSUDIN |
|||||||
|
|||||||
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 323 |