Menimbang: | bahwa untuk mendorong investasi dan efisiensi nasional dipandang perlu memberikan kemudahan berupa keringanan bea masuk dan bea masuk tambahan atas impor mesin dan peralatan serta bahan baku/penolong dalam rangka restrukturi-sasi usaha; |
Mengingat: | 1. | Indische Tariefwet, Stbl. 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah; |
2. | Rechten Ordonnantie, Stbl 1931 Nomor 471, sebagaimana telah diubah dan ditambah ; | |
3. | Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970, (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944); | |
4. | Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944); | |
5. | Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); | |
6. | Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pembebanan Atas Impor (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 7) sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1988 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pembebanan Atas Impor sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1977 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3384); | |
7. | Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1986 tentang Bea Masuk Tambahan Atas Barang Impor (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 69) | |
8. | Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 81/KMK.05/1994 tentang Penyempurnaan Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Perubahan Dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1969 Tentang Pembebanan Atas Impor Serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1986 Tentang Bea Masuk Tambahan Atas Barang Impor; |
Memperhatikan: | Instruksi Presiden Nomor 2 Nomor Tahun 1995 tentang Kemudahan Atas Impor Mesin Dan Peralatan Beserta Bahan Baku/Penolong Dalam Rangka Restruktrisasi Usaha; |
Menetapkan: | KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KERINGANAN BEA MASUK DAN BEA MASUK TAMBAHAN ATAS IMPOR MESIN DAN PERALATAN BESERTA BAHAN BAKU/PENOLONG DALAM RANGKA RESTRUKTURISASI USAHA. |
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan restruktrisasi adalah rehabilitasi/rekondisi, penggantian, penambahan mesin-mesin, peralatan pabrik, peralatan lainnya, beserta komponen-komponennya baik dalam keadaan baru maupun bukan baru yang ditujukan untuk peningkatan mutu, efisiensi, diversifikasi, dan peningkatan volume/kapasitas produksi. |
Atas impor mesin-mesin, peralatan pabrik, peralatan lainnya, beserta komponen-komponennya dalam rangka restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diberikan keringanan Bea Masuk dan Bea Masuk Tambahan sehingga menjadi 0% (nol persen). |
(1) | Bagi perusahaan yang melakukan restrukturisasi diberikn fasilitas Keringanan Bea Masuk dan Bea Masuk Tambahan sehingga menjadi 0% (nol persen) atas impor bahan baku/penolong untuk kebutuhan tambahan produksi selama 2 (dua) tahun dengan pembatasan masa pengimporannya selama 4 (empat) tahun. | ||||||||||||||||
(2) | Kebutuhan tambahan bahan baku/penolong untuk masa produksi 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib terlebih dahulu diverifikasi oleh departemen/instansi terkait. |
Perusahaan yang dapat memperoleh fasilitas keringanan bea masuk dan bea masuk tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 adalah: |
a. | Penanaman Modal Asing (PMA); | ||||||||||||||
b. | Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN); | ||||||||||||||
c. | Non PMA/PMDN; |
yang melakukan penanaman investasi untuk restrukturisasi sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari besarnya investasi untuk mesin/peralatan yang tercantum dalam Izin Usaha Tetap yang pertama. |
(1) | Untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka restrukturisasi, perusahaan yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan cq. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dengan melampirkan: |
a. | Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). | ||||||||||||||||||
b. | Surat Ijin Usaha Tetap yang dikeluarkan oleh BPKM atau Departemen Perindustrian, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah, Surat Tanda Pendaftaran Industri Kecil (STPIK) yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian. | ||||||||||||||||||
c. | Jumlah, jenis, dan spesifikasi mesin dan peralatan yang akan diimpor. | ||||||||||||||||||
d. | Jumlah dan jenis bahan baku/penolong yang akan diimpor. |
(2) | Tembusan dari permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada : |
a. | Menteri teknis cq. Direktorat Jenderal teknis yang bersangkutan bagi perusahaan Non PMA/PMDN; | ||||||||||||||||||
b. | Ketua BKPM, bagi PMA dan PMDN. |
Terhadap impor barang dalam rangka restrukturisasi dalam keadaan bukan baru harus dibuktikan dengan Certificate of Inspection dari Surveyor yang ditunjuk Pemerintah, yang menyatakan bahwa barang tersebut bukan scrap atau besi tua. |
Direktur Jenderal Bea dan Cukai diinstruksikan untuk dan atas nama Menteri Keuangan melaksanakan ketentuan dalam Keputusan ini. |
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 390/KMK.01/1983 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 850/KMK.01/1987 dinyatakan tidak berlaku. |
Ketentuan dalam Keputusan ini tidak berlaku bagi industri otomotif. |
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. |
. | Pada tanggal :23 Mei 1995 MENTERI KEUANGAN, MAR'IE MUHAMMAD |