MENTERI KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 76/PMK. 011/2012

TENTANG


PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 176/PMK. 011/2009 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK
ATAS IMPOR MESIN SERTA BARANG DAN BAHAN UNTUK PEMBANGUNAN
ATAU PENGEMBANGAN INDUSTRI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

:

a.

bahwa untuk mendukung pengembangan industri perakitan kendaraan bermotor, perlu diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dalam rangka penanaman modal;

 

 

b.

bahwa untuk memberikan kepastian hukum bagi perusahaan yang telah memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk dalam rangka pembangunan dan/atau pengembangan tetapi belum merealisasikan seluruh importasi barang dan bahan dalam jangka waktu 4 (empat) tahun dikarenakan adanya ketentuan tata niaga impor berupa kuota impor, perlu diberikan tambahan jangka waktu pengimporan barang dan bahan bagi perusahaan tersebut;

 

 

c.

bahwa untuk meningkatkan pengawasan terhadap barang yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dalam rangka penanaman modal guna menghindari penyalahgunaan terhadap pemberian fasilitas tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap pengaturan mengenai pemindahtanganan atas mesin dan/atau barang dan bahan, kewajiban penyampaian laporan realisasi impor, dan mekanisme pengawasan terhadap barang tersebut;

 

 

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.011/2009 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang Dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal;

Mengingat

:

1.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4661);

 

 

2.

Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

 

 

3.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.011/2009 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang Dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal;

 

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 176/PMK.011/2009 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR MESIN SERTA BARANG DAN BAHAN UNTUK PEMBANGUNAN ATAU PENGEMBANGAN INDUSTRI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL.

 

 

Pasal I

   

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.011/2009 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang Dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal diubah sebagai berikut:

   

1.

Ketentuan ayat (1) Pasal 5 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

     

Pasal 5

 

 

 

(1)

Perusahaan yang melakukan Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), sepanjang menggunakan Mesin produksi dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai Mesin, dapat diberikan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atas impor Barang dan Bahan untuk keperluan produksi/keperluan tambahan produksi selama 4 (empat) tahun sesuai kapasitas terpasang, dengan jangka waktu pengimporan selama 4 (empat) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.

 

 

 

(2)

Penggunaan dan komposisi Mesin produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang perindustrian atau pejabat yang ditunjuk.

 

 

2.

Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5A yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 5A

 

 

 

(1)

Terhadap Perusahaan yang telah memperoleh fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tetapi belum merealisasikan seluruh importasi Barang dan Bahan dalam jangka waktu 4 (empat) tahun dikarenakan adanya ketentuan tata niaga impor berupa kuota impor berdasarkan peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan, dapat diberikan perpanjangan jangka waktu importasi selama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan keputusan persetujuan perpanjangan, dengan jumlah sebesar sisa alokasi impor yang belum direalisasikan.

 

 

 

(2)

Perpanjangan jangka waktu importasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu) kali.

 

 

 

(3)

Pemberian perpanjangan jangka waktu importasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan memperhitungkan jumlah Barang dan Bahan guna kebutuhan produksi selama 1 (satu) tahun dan memperhatikan penetapan alokasi kuota yang diberikan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan.

 

 

3.

Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 6

 

 

 

Fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, berlaku juga untuk industri perakitan kendaraan bermotor termasuk industri komponen kendaraan bermotor.

 

 

4.

Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 7

 

 

 

(1)

Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor Mesin dan/atau Barang dan Bahan untuk Pembangunan industri, Perusahaan mengajukan permohonan yang ditandatangani oleh pimpinan Perusahaan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

 

 

 

(2)

Permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor Mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri dengan :

 

 

 

 

a.

Akta pendirian Perusahaan;

 

 

 

 

b.

Surat Persetujuan Penanaman Modal;

 

 

 

 

c.

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tanda terima pengajuan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

 

 

 

 

d.

Nomor Identitas Kepabeanan (NIK);

 

 

 

 

e.

Angka Pengenal Impor (API/APIT/API-P);

 

 

 

 

f.

Daftar Mesin meliputi jumlah, jenis, spesifikasi teknis secara rinci per pelabuhan tempat pemasukan; dan

 

 

 

 

g.

Uraian ringkas proses produksi bagi industri yang menghasilkan barang atau uraian ringkas kegiatan usaha bagi industri jasa.

 

 

 

(3)

Permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri dengan:

 

 

 

 

a.

Surat pernyataan dari instansi teknis terkait yang berisi keterangan tentang komposisi Mesin telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dalam hal Perusahaan menggunakan Mesin produksi buatan dalam negeri;

 

 

 

 

b.

Daftar Barang dan Bahan meliputi jumlah, jenis, spesifikasi teknis secara rinci per pelabuhan tempat pemasukan; dan

 

 

 

 

c.

Pemberitahuan pabean impor Mesin atau faktur pembelian Mesin dalam negeri atas Pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

 

 

5.

Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 8

 

 

 

(1)

Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor Mesin dan/atau Barang dan Bahan untuk Pengembangan industri, Perusahaan mengajukan permohonan yang ditandatangani oleh pimpinan Perusahaan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

 

 

 

(2)

Permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor Mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri dengan:

 

 

 

 

a.

Akta pendirian Perusahaan;

 

 

 

 

b.

Surat Persetujuan Penanaman Modal;

 

 

 

 

c.

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

 

 

 

 

d.

Daftar Mesin meliputi jumlah, jenis, spesifikasi teknis secara rinci per pelabuhan tempat pemasukan;

 

 

 

 

e.

Nomor Identitas Kepabeanan (NIK);

 

 

 

 

f.

Angka Pengenal Impor (API/APIT/API-P); dan

 

 

 

 

g.

Uraian ringkas proses produksi bagi industri yang menghasilkan barang atau uraian ringkas kegiatan usaha bagi industri jasa.

 

 

 

(3)

Permohonan untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:

 

 

 

 

a.

Surat pernyataan dari instansi teknis terkait yang berisi keterangan tentang komposisi Mesin telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dalam hal Perusahaan menggunakan Mesin produksi buatan dalam negeri;

 

 

 

 

b.

Daftar Barang dan Bahan meliputi jumlah, jenis, spesifikasi teknis secara rinci per pelabuhan tempat pemasukan; dan

 

 

 

 

c.

Pemberitahuan pabean impor Mesin atau faktur pembelian Mesin dalam negeri atas Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

 

 

6.

Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 9 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), ayat (2) dan ayat (4) Pasal 9 diubah, di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 9 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4a), dan ayat (5) Pasal 9 dihapus, sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 9

 

 

 

(1)

Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan.

 

 

 

(1a)

Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.

 

 

 

(2)

Dalam hal permohonan disetujui, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri menerbitkan keputusan pembebasan bea masuk beserta lampirannya berupa daftar yang paling sedikit memuat jumlah, jenis, spesifikasi, dan perkiraan harga dari Mesin dan/atau Barang dan Bahan yang diberikan pembebasan bea masuk secara rinci per pelabuhan tempat pemasukan.

 

 

 

(3)

Dalam hal permohonan ditolak, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri membuat surat penolakan permohonan dengan menyebutkan alasan penolakan.

 

 

 

(4)

Salinan keputusan pembebasan bea masuk beserta lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain ditujukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan Kepala Kantor Pabean tempat pemasukan barang.

 

 

 

(4a)

Salinan keputusan pembebasan bea masuk beserta lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dikirimkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan Kepala Kantor Pabean tempat pemasukan barang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak keputusan pembebasan bea masuk diterbitkan.

 

 

 

(5)

Dihapus.

 

 

7.

Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 9A

 

 

 

Penerbitan keputusan pembebasan bea masuk oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dilakukan berdasarkan pendelegasian wewenang sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal.

 

 

8.

Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 13

 

 

 

(1)

Perusahaan yang mendapatkan pembebasan bea masuk harus menyampaikan laporan realisasi impor kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah realisasi impor.

 

 

 

(2)

Dalam hal Perusahaan tidak memenuhi ketentuan mengenai penyampaian laporan realisasi impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan tersebut dapat dikenai sanksi administratif yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

 

 

9.

Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 14

 

 

 

(1)

Mesin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, dapat dilakukan Pemindahtanganan setelah digunakan paling singkat selama 2 (dua) tahun sejak tanggal pemberitahuan pabean impor.

 

 

 

(2)

Ketentuan jangka waktu Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:

 

 

 

 

a.

terjadi Keadaan Darurat (force majeure);

 

 

 

 

b.

Mesin diekspor kembali; atau

 

 

 

 

c.

Mesin dilakukan Pemindahtanganan kepada Perusahaan yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk untuk Pembangunan atau Pengembangan industri dalam rangka Penanaman Modal.

 

 

 

(3)

Pemindahtanganan Mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan setelah mendapatkan izin dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri.

 

 

 

(4)

Terhadap Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan dalam jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, mengakibatkan batalnya fasilitas pembebasan bea masuk yang diberikan dan Perusahaan wajib membayar bea masuk yang terutang.

 

 

 

(5)

Dibebaskan dari kewajiban membayar bea masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam hal:

 

 

 

 

a.

Pemindahtanganan Mesin dilakukan setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pemberitahuan pabean impor; atau

 

 

 

 

b.

Pemindahtanganan Mesin dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 

 

 

(6)

Dalam hal Pemindahtanganan Mesin dilakukan tidak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan wajib membayar:

 

 

 

 

a.

bea masuk yang terutang atas Mesin asal impor; dan

 

 

 

 

b.

sanksi administrasi berupa denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

 

 

 

(7)

Ketentuan mengenai pembebasan bea masuk dari kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku terhadap Mesin dalam hal terjadi Keadaan Darurat (force majeure) namun Mesin tersebut masih mempunyai nilai ekonomis.

 

 

 

(8)

Pembayaran bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berdasarkan harga penyerahan dengan tarif:

 

 

 

 

a.

jika tarif bea masuknya sebesar 5% (lima persen) atau lebih dikenakan tarif 5% (lima persen); atau

 

 

 

 

b.

jika tarif bea masuknya di bawah 5% (lima persen) dikenakan tarif sesuai jenis barang.

 

 

10.

Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 14A, Pasal 14B, dan Pasal 14C yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 14A

 

 

 

(1)

Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, tidak dapat dipindahtangankan kecuali dalam hal terjadi Keadaan Darurat (force majeure).

 

 

 

(2)

Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dapat diekspor kembali atau dimusnahkan.

 

 

 

(3)

Pemindahtanganan Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan ekspor kembali atau pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mendapatkan izin dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri.

 

 

 

(4)

Pemindahtanganan Barang dan Bahan dan pelaksanaan ekspor kembali atau pemusnahan Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dibebaskan dari kewajiban untuk membayar bea masuk yang terutang atas impor Barang dan Bahan.

 

 

 

(5)

Pembebasan dari kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku terhadap Barang dan Bahan dalam hal terjadi Keadaan Darurat (force majeure) atau pemusnahan, namun Barang dan Bahan yang mengalami kondisi Keadaan Darurat (force majeure) atau setelah dilakukan pemusnahan tersebut masih mempunyai nilai ekonomis.

 

 

 

(6)

Pembayaran bea masuk untuk Barang dan Bahan dalam keadaan rusak dalam hal terjadi Keadaan Darurat (force majeure) atau setelah dilakukan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan harga penyerahan dengan tarif sebagai berikut:

 

 

 

 

a.

jika tarif bea masuknya sebesar 5% (lima persen) atau lebih dikenakan tarif 5% (lima persen); atau

 

 

 

 

b.

jika tarif bea masuknya di bawah 5% (lima persen) dikenakan tarif sesuai jenis barang.

 

 

 

(7)

Dalam hal Perusahaan menyalahgunakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

 

 

 

Pasal 14B

 

 

 

(1)

Pengawasan Mesin dan/atau Barang dan Bahan yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk meliputi:

 

 

 

 

a.

pengawasan pada saat proses penerbitan keputusan fasilitas pembebasan bea masuk;

 

 

 

 

b.

pengawasan pada saat importasi Mesin dan/atau Barang dan Bahan yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk; dan

 

 

 

 

c.

pengawasan pada saat penggunaan fasilitas pembebasan bea masuk sesuai dengan tujuan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk.

 

 

 

(2)

Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

 

 

 

 

a.

pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.

 

 

 

 

b.

pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

 

 

 

(3)

Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak menghilangkan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam melakukan pengawasan fasilitas pembebasan bea masuk melalui audit berdasarkan manajemen resiko.

 

 

 

(4)

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai dapat membuat tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

 

 

 

Pasal 14C

 

 

 

Ketentuan mengenai tata cara Pemindahtanganan Mesin dan/atau Barang dan Bahan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

 

 

11.

Ketentuan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Pasal 15 diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 15 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3a), sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 15

 

 

 

(1)

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal menyampaikan laporan secara tertulis yaitu:

 

 

 

 

a.

laporan mengenai persetujuan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk; dan

 

 

 

 

b.

laporan mengenai realisasi impor Mesin dan/atau Barang dan Bahan,

 

 

 

 

kepada Menteri melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai c.q. Direktur Fasilitas Kepabeanan.

 

 

 

(2)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap 6 (enam) bulan, yaitu untuk semester pertama pada bulan Juli tahun berjalan dan untuk semester kedua pada bulan Januari tahun berikutnya.

 

 

 

(3)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan daftar pemberian pembebasan bea masuk dalam periode semester yang bersangkutan yang paling sedikit memuat elemen data sebagai berikut :

 

 

 

 

a.

Nomor dan tanggal Persetujuan Penanaman Modal atau Persetujuan Perluasan;

 

 

 

 

b.

Nama Perusahaan dan Nomor Pokok Wajib Pajak;

 

 

 

 

c.

Jenis sektor industri;

 

 

 

 

d.

Nilai Penanaman Modal;

 

 

 

 

e.

Nomor dan tanggal Surat Keputusan Pembebasan Bea Masuk;

 

 

 

 

f.

Uraian umum jenis Mesin dan/atau Barang dan Bahan yang akan di impor; dan

 

 

 

 

g.

Perkiraan jumlah nilai pabean rencana impor Mesin dan/atau Barang dan Bahan.

 

 

 

(3a)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit memuat jumlah, jenis, spesifikasi, dan harga dari Mesin dan/atau Barang dan Bahan yang diberikan pembebasan bea masuk secara rinci per pelabuhan tempat pemasukan.

 

 

 

(4)

Pelaksanaan Peraturan Menteri ini akan dievaluasi secara periodik dengan memperhatikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

 

12.

Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

 

Pasal 17A

 

 

 

Pemindahtanganan atas Mesin dan/atau Barang dan Bahan yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dalam rangka Penanaman Modal sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.

 

 

Pasal II

 

 

1.

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, terhadap Perusahaan yang jangka waktu importasi Barang dan Bahan yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) telah habis masa berlakunya dan Perusahaan telah menyampaikan permohonan perpanjangan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dapat diberikan perpanjangan jangka waktu importasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A dengan jumlah sebesar sisa alokasi impor yang belum direalisasikan, setelah diterbitkan keputusan persetujuan perpanjangan.

 

 

2.

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diundangkan.

   

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

               
             

Ditetapkan di Jakarta

             

pada tanggal 21 Mei 2012

             

MENTERI KEUANGAN,

             

                ttd.

             

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

               

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 22 Mei 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

           ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 539