PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989
TENTANG
PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang | : | a. | bahwa dalam rangka meningkatkan penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, perlu meningkatkan peran serta koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan dalam penyediaan tenaga listrik; | |||
b. | bahwa untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah di bidang ketenagalistrikan perlu memberikan peran Pemerintah Daerah dalam penyediaan tenaga listrik; | |||||
c. | bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b serta dalam rangka menciptakan kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang ketenagalistrikan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik; | |||||
Mengingat | 1. | Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; | ||||
2. | Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3317); | |||||
3. | Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); | |||||
4. | Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3394); | |||||
MEMUTUSKAN: |
||||||
Menetapkan | : |
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1989 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN
TENAGA LISTRIK. |
||||
“Pasal I |
||||||
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3394), diubah sebagai berikut : |
||||||
1. |
Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 2 |
||||||
(1) | Penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik dilaksanakan berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional. | |||||
(2) | Menteri menetapkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dengan mempertimbangkan masukan dari Pemerintah Daerah dan masyarakat. | |||||
(3) | Penyediaan tenaga listrik dilakukan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin sumber energi primer yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. | |||||
(4) |
Guna menjamin ketersediaan energi primer untuk
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, diprioritaskan penggunaan
sumber energi setempat dengan kewajiban mengutamakan pemanfaatan sumber
energi terbarukan.” |
|||||
2. |
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 2A, sehingga berbunyi sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 2A |
||||||
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyediakan
dana pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik untuk membantu kelompok
masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di
daerah yang belum berkembang, pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil,
perbatasan antar negara dan pembangunan listrik perdesaan.” |
||||||
3. |
Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 3 |
||||||
(1) | Usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh Negara dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. | |||||
(2) |
Menteri menetapkan daerah usaha dan/atau bidang
usaha Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan.” |
|||||
4. |
Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 5 |
||||||
(1) | Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik disusun berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional. | |||||
(2) | Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman pelaksanaan penyediaan tenaga listrik bagi Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum. | |||||
(3) | Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan wajib membuat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik di daerah usahanya untuk disahkan oleh Menteri. | |||||
(4) | Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang memiliki daerah usaha wajib membuat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik di daerah usahanya yang disahkan oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi pemberian izin usaha ketenagalistrikan serta digunakan sebagai sarana pengawasan berkala atas pelaksanaan kegiatan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan yang bersangkutan. | |||||
(5) | Menteri menetapkan pedoman penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. | |||||
(6) |
Dalam hal Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan
untuk Kepentingan Umum tidak membuat dan/atau tidak melaksanakan Rencana
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota
sesuai kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif berupa : |
|||||
a. | peringatan tertulis; | |||||
b. | penangguhan kegiatan; atau | |||||
c. |
pencabutan izin.” |
|||||
5. |
Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 6 |
||||||
(1) | Sepanjang tidak merugikan kepentingan Negara, Izin Usaha Ketenagalistrikan diberikan kepada koperasi dan badan usaha lain untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum atau usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri. | |||||
(2) | Badan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum meliputi Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat dan perorangan. | |||||
(3) | Badan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri meliputi Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat, perorangan atau lembaga negara lainnya. | |||||
(4) |
Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk
Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikeluarkan
oleh: |
|||||
a. | Bupati/Walikota, untuk usaha penyediaan tenaga listrik baik sarana maupun energi listriknya berada dalam daerahnya masing-masing yang tidak terhubung ke dalam Jaringan Transmisi Nasional. | |||||
b. | Gubernur, untuk usaha penyediaan tenaga listrik lintas kabupaten atau kota baik sarana maupun energi listriknya yang tidak terhubung ke dalam Jaringan Transmisi Nasional. | |||||
c. |
Menteri, untuk usaha penyediaan tenaga listrik
lintas provinsi baik sarana maupun energi listriknya yang tidak terhubung ke
dalam Jaringan Transmisi Nasional atau usaha penyediaan tenaga listrik yang
terhubung ke dalam Jaringan Transmisi Nasional. |
|||||
(5) |
Jaringan Transmisi Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf a dan huruf b ditetapkan dengan Peraturan Menteri. |
|||||
(6) |
Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan
Sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dikeluarkan oleh: |
|||||
a. | Bupati/Walikota, untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang fasilitas instalasinya berada di dalam daerah kabupaten/kota; | |||||
b. | Gubernur, untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang fasilitas instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi; | |||||
c. |
Menteri, untuk usaha penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan sendiri yang fasilitas instalasinya mencakup lintas
provinsi. |
|||||
(7) |
Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan
Sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) hanya dapat
diberikan di suatu daerah usaha Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam hal : |
|||||
a. | Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum tersebut nyata-nyata belum dapat menyediakan tenaga listrik dengan mutu dan keandalan yang baik atau belum dapat menjangkau seluruh daerah usahanya, atau | |||||
b. |
pemohon Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk
Kepentingan Sendiri dapat menyediakan listrik secara lebih ekonomis. |
|||||
(8) |
Permohonan Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk
Kepentingan Umum dan Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri
diajukan dengan melengkapi persyaratan administratif dan teknis. |
|||||
(9) |
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) meliputi : |
|||||
a. | identitas pemohon; | |||||
b. | akta pendirian perusahaan; | |||||
c. | profil perusahaan; | |||||
d. | Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan | |||||
e. |
kemampuan pendanaan. |
|||||
(10) |
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(8) meliputi : |
|||||
a. | studi kelayakan; | |||||
b. | lokasi instalasi termasuk tata letak (gambar situasi); | |||||
c. | diagram satu garis (single line diagram); | |||||
d. | jenis dan kapasitas usaha; | |||||
e. | keterangan/gambar daerah usaha dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik; | |||||
f. | jadwal pembangunan; | |||||
g. | jadwal pengoperasian; dan | |||||
h. |
izin dan persyaratan lain sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. |
|||||
(11) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf
e dan ayat (10) huruf e tidak berlaku bagi permohonan Izin Usaha
Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Sendiri. |
|||||
(12) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf
b dan huruf c tidak berlaku bagi pemohon Izin Usaha Ketenagalistrikan oleh
swadaya masyarakat dan perorangan. |
|||||
(13) |
Izin Usaha Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dialihkan kepada pihak lain sesudah mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya. |
|||||
(14) |
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara perizinan
ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.” |
|||||
6. |
Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 11 |
||||||
(1) |
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang memiliki jaringan transmisi tenaga listrik wajib membuka kesempatan pemanfaatan bersama jaringan transmisi. |
|||||
(2) |
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang memiliki daerah usaha harus menjamin kecukupan pasokan tenaga listrik di dalam masing-masing daerah usahanya. |
|||||
(3) |
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang memiliki daerah usaha, dalam melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dapat melakukan pembelian tenaga listrik dan/atau sewa jaringan dari koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan setelah mendapat persetujuan Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. |
|||||
(4) |
Koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memiliki Izin Usaha Ketenagalistrikan sesuai dengan jenis usahanya. |
|||||
(5) |
Pembelian tenaga listrik dan/atau sewa jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui pelelangan umum. |
|||||
(6) |
Pembelian tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui penunjukan langsung dalam hal: |
|||||
a. | pembelian tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan, gas marjinal, batubara di mulut tambang, dan energi setempat lainnya; | |||||
b. | pembelian kelebihan tenaga listrik; atau | |||||
c. |
sistem tenaga listrik setempat dalam kondisi
krisis penyediaan tenaga listrik. |
|||||
(7) |
Kondisi krisis penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya atas usul Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum. |
|||||
(8) |
Pembelian tenaga listrik dan/atau sewa jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) tetap memperhatikan kaidah-kaidah bisnis yang sehat dan transparan. |
|||||
(9) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pembelian tenaga listrik dan/atau sewa jaringan ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.” |
|||||
7. |
Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 13 |
||||||
(1) |
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk
Kepentingan Sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3)
yang mempunyai kelebihan tenaga listrik dapat menjual kelebihan tenaga
listriknya kepada Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin
Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum atau masyarakat setelah
mendapat persetujuan Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya. |
|||||
(2) |
Penjualan kelebihan tenaga listrik kepada
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal
daerah tersebut belum terjangkau oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan
atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum.” |
|||||
8. |
Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 15 |
||||||
(1) |
Tenaga listrik yang disediakan untuk kepentingan
umum, wajib diberikan dengan mutu dan keandalan yang baik. |
|||||
(2) |
Ketentuan tentang mutu dan keandalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.” |
|||||
9. |
Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 21 |
||||||
(1) | Setiap usaha penyediaan tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan. | |||||
(2) | Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standardisasi, pengamanan instalasi tenaga listrik dan pengamanan pemanfaat tenaga listrik untuk mewujudkan kondisi andal dan aman bagi instalasi dan kondisi aman dari bahaya bagi manusia serta kondisi akrab lingkungan. | |||||
(3) | Pekerjaan instalasi ketenagalistrikan untuk penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik harus dikerjakan oleh Badan Usaha Penunjang Tenaga Listrik yang disertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi. | |||||
(4) | Dalam hal di suatu daerah belum terdapat Badan Usaha Penunjang Tenaga Listrik yang telah disertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menunjuk Badan Usaha Penunjang Tenaga Listrik. | |||||
(5) | Dalam hal belum ada lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menunjuk lembaga sertifikasi. | |||||
(6) | Pemeriksaan dan pengujian instalasi penyediaan tenaga listrik dan instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi dan tegangan menengah dilaksanakan oleh lembaga inspeksi teknik yang diakreditasi oleh lembaga yang berwenang. | |||||
(7) | Pemeriksaan instalasi pemanfaatan tenaga listrik konsumen tegangan rendah dilaksanakan oleh suatu lembaga inspeksi independen yang sifat usahanya nirlaba dan ditetapkan oleh Menteri. | |||||
(8) | Pemeriksaan instalasi tegangan rendah yang dimiliki oleh konsumen tegangan tinggi dan/atau konsumen tegangan menengah dilakukan oleh lembaga inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6). | |||||
(9) | Setiap tenaga teknik yang bekerja dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi sesuai peraturan perundang-undangan. | |||||
(10) |
Untuk jenis-jenis usaha penunjang tenaga listrik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berkaitan dengan jasa konstruksi
diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan di bidang Jasa
Konstruksi.” |
|||||
10. |
Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 22 |
||||||
(1) |
Instalasi ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia Bidang Ketenagalistrikan. |
|||||
(2) |
Setiap instalasi ketenagalistrikan sebelum dioperasikan wajib memiliki sertifikat laik operasi.” |
|||||
11. |
Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 23 |
||||||
Ketentuan mengenai perencanaan, pemasangan,
pengamanan, pemeriksaan, pengujian dan uji laik operasi instalasi
ketenagalistrikan diatur dengan Peraturan Menteri.” |
||||||
12. |
Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 23A, sehingga berbunyi sebagai berikut: |
|||||
“Pasal 23A |
||||||
Pemanfaatan instalasi ketenagalistrikan untuk
kepentingan di luar penyaluran tenaga listrik harus mendapat izin Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (4).” |
||||||
13. |
Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 24 |
||||||
(1) |
Menteri dapat memberlakukan Standar Nasional Indonesia di bidang ketenagalistrikan sebagai standar wajib. |
|||||
(2) |
Setiap peralatan tenaga listrik wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan wajib dan dibubuhi tanda SNI. |
|||||
(3) |
Setiap pemanfaat tenaga listrik wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan wajib dan dibubuhi Tanda Keselamatan. |
|||||
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembubuhan tanda SNI dan Tanda Keselamatan diatur dengan Peraturan Menteri.” |
|||||
14. |
Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 25 |
||||||
(1) |
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam
menyediakan tenaga listrik berhak untuk : |
|||||
a. | memeriksa instalasi ketenagalistrikan yang diperlukan oleh masyarakat, baik sebelum maupun sesudah mendapat sambungan tenaga listrik; | |||||
b. | mengambil tindakan atas pelanggaran perjanjian penyambungan listrik oleh konsumen; dan | |||||
c. |
mengambil tindakan penertiban atas pemakaian
tenaga listrik secara tidak sah. |
|||||
(2) |
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum tidak
bertanggung jawab atas bahaya terhadap kesehatan, nyawa, dan barang yang
timbul karena penggunaan tenaga listrik yang tidak sesuai dengan
peruntukannya atau salah dalam pemanfaatannya. |
|||||
(3) |
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam
menyediakan tenaga listrik wajib : |
|||||
a. | memberikan pelayanan yang baik; | |||||
b. | menyediakan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik; | |||||
c. | memberikan perbaikan, apabila ada gangguan tenaga listrik; | |||||
d. | bertanggung jawab atas segala kerugian atau bahaya terhadap nyawa, kesehatan, dan barang yang timbul karena kelalaiannya; dan | |||||
e. |
melakukan pengamanan instalasi ketenagalistrikan
terhadap bahaya yang mungkin timbul.” |
|||||
15. |
Ketentuan Pasal 32 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 32 |
||||||
(1) | Harga jual tenaga listrik untuk konsumen diatur dan ditetapkan dengan memperhatikan kepentingan dan kemampuan masyarakat. | |||||
(2) | Harga jual tenaga listrik untuk konsumen yang disediakan oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri. | |||||
(3) | Harga jual tenaga listrik untuk konsumen yang disediakan oleh Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4). | |||||
(4) |
Menteri dalam mengusulkan harga jual tenaga
listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperhatikan
hal-hal sebagai berikut : |
|||||
a. | kaidah-kaidah industri dan niaga yang sehat; | |||||
b. | biaya produksi; | |||||
c. | efisiensi pengusahaan; | |||||
d. | kelangkaan sumber energi primer yang digunakan; | |||||
e. | skala pengusahaan dan interkoneksi sistem yang dipakai; dan | |||||
f. |
tersedianya sumber dana untuk investasi.” |
|||||
(5) |
Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota dalam
menetapkan harga jual tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), memperhatikan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a sampai dengan huruf f. |
|||||
(6) |
Dalam menentukan harga jual tenaga listrik untuk
konsumen tidak mampu, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya selain memperhatikan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a sampai dengan huruf f, mempertimbangkan juga kemampuan
masyarakat.” |
|||||
16. |
Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 32A, sehingga berbunyi sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 32A |
||||||
(1) |
Harga jual tenaga listrik atau harga sewa jaringan
tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dinyatakan
dengan mata uang rupiah. |
|||||
(2) |
Harga jual tenaga listrik atau harga sewa jaringan
tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan
berdasarkan perubahan unsur biaya tertentu atas dasar kesepakatan bersama
yang dicantumkan dalam perjanjian jual beli tenaga listrik atau perjanjian
sewa jaringan tenaga listrik. |
|||||
(3) |
Harga jual tenaga listrik atau harga sewa jaringan
tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan
persetujuan Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.” |
|||||
17. |
Ketentuan Pasal 35 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 35 |
||||||
(1) |
Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) melakukan
pengawasan umum terhadap usaha penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik. |
|||||
(2) |
Pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: |
|||||
a. | keselamatan pada keseluruhan sistem penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik; | |||||
b. | aspek lindungan lingkungan; | |||||
c. | pemanfaatan teknologi yang bersih, ramah lingkungan dan berefisiensi tinggi pada pembangkitan tenaga listrik; | |||||
d. | kompetensi tenaga teknik; | |||||
e. | keandalan dan keamanan penyediaan tenaga listrik; | |||||
f. |
tercapainya standardisasi dalam bidang
ketenagalistrikan. |
|||||
(3) |
Dalam rangka pengawasan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Menteri menetapkan Pedoman Umum Pengawasan Ketenagalistrikan.” |
|||||
18. |
Ketentuan Pasal 36 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut: |
|||||
“Pasal 36 |
||||||
(1) |
Dalam melakukan pengawasan umum, Menteri, Gubernur,
atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya melakukan pemeriksaan atas
dipenuhinya syarat-syarat keselamatan ketenagalistrikan baik oleh Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan
maupun pemanfaat tenaga listrik. |
|||||
(2) |
Dalam melakukan pengawasan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya menugaskan kepada Inspektur Ketenagalistrikan untuk melakukan
pemeriksaan atas dipenuhinya syarat-syarat aman, andal dan akrab lingkungan
pada instalasi ketenagalistrikan. |
|||||
(3) |
Pengawasan atas pemenuhan syarat keselamatan kerja
dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.” |
|||||
19. |
Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut: |
|||||
“Pasal 37 |
||||||
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya
mengadakan koordinasi dengan instansi lain yang bidang tugasnya berkaitan
dengan usaha penyediaan tenaga listrik. |
||||||
20. |
Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 37A, sehingga berbunyi sebagai berikut : |
|||||
“Pasal 37A |
||||||
(1) |
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan wajib
melaporkan kegiatan usahanya setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri. |
|||||
(2) |
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk
Kepentingan Umum dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan
Sendiri wajib melaporkan kegiatan usahanya setiap 3 (tiga) bulan kepada
Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.” |
|||||
Pasal II |
||||||
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini,
peraturan pelaksanaan di bidang ketenagalistrikan yang telah dikeluarkan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diubah dengan
Peraturan Pemerintah ini. |
||||||
Pasal III |
||||||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan. |
||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia. |
||||||
Ditetapkan di Jakarta | ||||||
pada tanggal 16 Januari 2005 |
||||||
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
||||||
ttd. | ||||||
Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO |
||||||
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 5 |
||||||
Diundangkan di Jakarta | ||||||
pada tanggal 16 Januari 2005 |
||||||
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, |
||||||
ttd. | ||||||
Dr. HAMID AWALUDIN |