Pasal 65

Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau
seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya.

Pasal 66

Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.



Pasal 67

Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala
tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan
putusan pengadilan dalam acara cepat.

Pasal 68

Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya.

BAB VII
BANTUAN HUKUM

Pasal 69

Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan
pada semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang ditentukan dalam
undang-undang ini.

Pasal 70

(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan
berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu
untuk kepentingan pembelaan perkaranya.
(2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya
dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan,
penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi
peringatan kepada penasihat hukum.
(3) Apabila pemeriksaan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut
diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat (2).
(4) Apabila setelah diawasi, maka haknya masih disalahgunakan, maka hubungan
tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah
itu tetap dilanggar maka hubungan selanjutnya dilarang.

Pasal 71

(1) Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan
tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga
pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1)
dapat mendengar isi pembicaraan.

Pasal 72

Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan
memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.

Pasal 73

Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali
dikehendaki olehnya.

Pasal 74

Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana
tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71 dilarang,
setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk
disidangkan, yang tembusan suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat
hukumnya serta pihak lain dalam proses.

BAB VIII
BERITA ACARA

Pasal 75

(1) Berita acara untuk setiap tindakan tentang :
a. pemeriksaan tersangka;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. pemasukan rumah;
f. penyitaan benda;
g. pemeriksaan surat;
h. pemeriksaan saksi
i. pemeriksaan di tempat kejadian;
j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan
tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
(3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2)
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut
pada ayat (1).

BAB IX
SUMPAH ATAU JANJI

Pasal 76

(1) Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan
adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai
peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik
mengenai isinya maupun mengenai tatacaranya.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka
sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum.

BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI

Bagian Kesatu
Praperadilan

Pasal 77

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Pasal 78

(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 adalah praperadilan.
(2) Pra peradilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

Pasal 79

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Pasal 80

Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga
yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Pasal 81

Permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan
oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan
negeri dengan menyebut alasannya.

Pasal 82

(1) Acara pemeriksaan pra peradilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut :
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk
menetapkan sidang;
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan,
permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan, akibat tidak sahnya penghentian penyidikan
atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat
pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon
maupun dari pejabat yang berwenang;
c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh
harihakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum
selesai, maka permintaan tersebut gugur;
e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan
untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan
oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas
dasar dan alasannya.
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga
memuat hal sebagai berikut :
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan
tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat
pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib
dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak
sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan
rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan,
maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak
termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan bahwa benda tersebut harus
segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 dan Pasal 95.

Pasal 83

(1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.
(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan pra peradilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk
itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum
yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Pengadilan Negeri

Pasal 84

(1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana
yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
(2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,
berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang
mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar
saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada
tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu
dilakukan.
(3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum
pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing
berwenang mengadili perkara pidana itu.
(4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan
dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri,
diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka
kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

Pasal 85

Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk
mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala
kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri
Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang
tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.

Pasal 86

Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili
menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
berwenang mengadilinya.

Bagian Ketiga
Pengadilan Tinggi

Pasal 87

Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan
negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.



Bagian Keempat
Mahkamah Agung

Pasal 88

Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.

BAB XI
KONEKSITAS

Pasal 89

(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk
lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur
militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-
masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
(3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan
bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.

Pasal 90

(1) Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian
bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer
tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2).
(2) Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang
ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang
pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu
dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh oditur
militer atau oditur militer tinggi kepada Oditur Jenderal Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia.

Pasal 91

(1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik
berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira penyerah perkara
segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui
oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk
dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang
berwenang.
(2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara
pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer,
maka pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar
bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk
mengusulkan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan, agar dengan persetujuan
Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang
menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
(3) Surat keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah
perkara dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada
mahkamah militer atau mahkamah militer tinggi.

Pasal 92

(1) Apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut
umum yang mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil alih
olehnya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur
militer atau oditur militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan
kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Pasal 93

(1) Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1)
terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau
oditur militer tinggi, mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan
pendapat itu secara tertulis, dengan disertai berkas perkara yang
bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur
Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang
menentukan.

Pasal 94

(1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1)
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan
peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang
terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim.
(2) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri
dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-
masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara
berimbang.
(3) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili
perkara pidana tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari,
hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota secara
berimbang dari masing-masing lingkungan peradilan militer dan dari peradilan
umum yang diberi pangkat militer tituler.
(4) Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan
tingkat banding.
(5) Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik
mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan ayat (4).

BAB XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI

Bagian Kesatu
Ganti Kerugian

Pasal 95

(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan
atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan negeri, diputus di sidang pra peradilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh
tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang
berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada
ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah
mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4)
mengikuti acara praperadilan.

Pasal 96

(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua
hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.

Bagian Kedua
Rehabilitasi

Pasal 97

(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas
atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah
mempunyai hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim
praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

BAB XIII
PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN
GANTI KERUGIAN

Pasal 98

(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain,
maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam
hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya
sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Pasal 99

(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri
menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang
kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili
gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
(3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap,
apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.

Pasal 100

(1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka
penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat
banding.
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding,
maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.

Pasal 101

Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian
sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain.

BAB XIV
PENYIDIKAN

Bagaian Kesatu
Penyelidikan

Pasal 102

(1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib
segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah perintah penyidik,
penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka
penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2)
penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik
sedaerah hukum.

Pasal 103

(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani
oleh pelapor atau pengadu.
(2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh
penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.
(3) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan
sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut.

Pasal 104


Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda
pengenalnya.


Pasal 105


Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan
diberi petunjuk oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.


Bagian Kedua
Penyidikan

Pasal 106


Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya
suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan
tindakan penyidikan yang diperlukan.

Pasal 107

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf
a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pda Pasal 6 ayat (1) huruf b
dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang
dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan
kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum,
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada
Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Pasal 108

(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
(2) Setiap orang yang mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak
milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidk atau
penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui
tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera
melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.
(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani
oleh pelapor atau pengadu.
(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh
penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus
memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang
bersangkutan.

Pasal 109

(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai
hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.

Pasal 110

(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata
masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu
kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi,
penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk
dari penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan itu atau apabila sebelum
batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari
penuntut umum kepada penyidik.

Pasal 111

(1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum
wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti
kepada penyelidik atau penyidik.
(2) Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan
lain dalam rangka penyidikan.
(3) Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang
ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu
selama pemeriksaan di situ belum selesai.
(4) Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai
pemeriksaan dimaksud di atas selesai.

Pasal 112

(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan
secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggao perlu
untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan
tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu
diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang,
penyidik memanggil memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas
untuk membawa kepadanya.

Pasal 113

Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberikan alasan yang patut
dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan
pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.

Pasal 114

Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya
pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang
haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib
didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.

Pasal 115

(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka,
penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta
mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir
dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka.

Pasal 116

(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk
diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
(2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu
dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi
yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam
berita acara.
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan
memeriksa saksi tersebut.

Pasal 117

(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan
dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.
(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah
lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya,
penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata
yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.

Pasal 118

(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang
ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah
mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tandatangannya,
penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

Pasal 119

Dalam hal tersangka atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau
bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan,
pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik
di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.

Pasal 120

(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus.
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik
bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya
kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau
jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk
memberikan keterangan yang diminta.

Pasal 121

Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi
tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu,
tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal
dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau
benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian
perkara.

Pasal 122

Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu
dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh penyidik.

Pasal 123

(1) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas
penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan
penahanan itu.
(2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan
atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu.
(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh
penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu
kepada atasan penyidik.
(4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau
tetap ada dalam jenis tahanan tertentu.
(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di
atas dapat mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat.

Pasal 124

Dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka,
keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri
setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan
atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.

Pasal 125

Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan
tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34.

Pasal 126

(1) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah
kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh
penyidik maupun tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi.
(3) Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya,
hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

Pasal 127

(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan
penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.
(2) Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu
tidak meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.

Pasal 128

Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda
pengenalnya kepada orang darimana benda itu disita.

Pasal 129

(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang darimana benda
itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang
benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi.
(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu
kepada orang darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi
tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang ataupun keluarganya
dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
(3) Dalam hal orang darimana benda itu disita atau keluarganya tidak mau
membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan
menyebut alasannya.
(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya,
orang darimana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.

Pasal 130

(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat atau jumlah menurut jenis
masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan,
identitas orang darimana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian
diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik.
(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang
ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.

Pasal 131

(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan
kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab,
daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan
untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya
dan jika perlu menyitanya.
(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam
Pasal 129 undang-undang ini.

Pasal 132

(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau
dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan
penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari
orang ahli.
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan,
penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang
atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya
ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan
sebagai bahan perbandingan.
(3) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian
serta tidak dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
131, penyidik dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang
ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa,
dengan menyerahkan tanda penerimaan.
(4) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian
dari suatu daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai
surat yang asli diterima kembali yang bagian bawah dari salinan itu
penyimpan mencatat apa sebab salinan itu dibuat.
(5) Dalam hal surat atau daftar itu dibuat tidak dikirimkan dalam waktu yang
ditentukan dalam surat permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang
mengambilnya.
(6) Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan
pada dan sebagai biaya perkara.

Pasal 133

(1) 0Dalam Hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaa keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah
sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan
diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan
mayat.

Pasal 134

(1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat
tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu
kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan
sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut.
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

Pasal 135

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat,
dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan
Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.

Pasal 136

Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh negara.

BAB XV
P E N U N T U T A N

Pasal 137

Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara
ke pengadilan yang berwenang mengadili.

Pasal 138

(1) 0Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera
mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan
kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal
yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak
tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas
perkara itu kepada penuntut umum.

Pasal 139

Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang
lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah
memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkanke pengadilan.

Pasal 140

(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum
menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia
ditahan, wajib segera dibebaskan.
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau
keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik
dan hakim.
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan
penuntutan terhadap tersangka.

Pasal 141

Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu
surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima
beberapa berkas perkara dalam hal :
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan
kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan
tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini
penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Pasal 142

Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak
pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam
ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap
masing-masing terdakwa secara terpisah.

Pasal 143

(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan
agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani
serta berisi :
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf b batal demi hukum.
(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada
tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang
bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan
negeri.

Pasal 144

(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan
hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak
melanjutkan penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali
selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya
kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.

BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Bagian Kesatu
Panggilan dan Dakwaan

Pasal 145

(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah,
apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat temapt
tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di
tempat kediaman terakhir.
(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman
terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah
hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir.
(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya
melalui pejabat rumah tahanan negara.
(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain
atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila tempat tinggal maupun kediaman terakhir tidak dikenal, surat
panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang
berwenang mengadili perkaranya.

Pasal 146

(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat
tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang
harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari
sebelum sidang dimulai.
(2) Penutut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal,
hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah
diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang
dimulai.

Bagian Kedua
Memutus Sengketa Mengenai Wewenang Mengadili

Pasal 147

Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum,
ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang
dipimpimnya.

Pasal 148

(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu
tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk
wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan perkara
tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya
dengan surat penetapan yang memuat alasannya.
(2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum
selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada
kejaksaan negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat
penetapan.
(3) turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
kepada terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.
Halaman berikutnya :