TAMBAHAN
LEMBARAN - NEGARA R.I.
No.3312 | FINEK. PAJAK AGRARIA Bangunan. Ekonomi. Uang. (Penjelasan atas Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68) |
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1985
TENTANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
1. | UMUM |
Dalam Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dan perekonomiannya
sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk perairan dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya mempunyai fungsi penting dalam membangun masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak. Sebelum berlakunya Undang-undang ini, terhadap tanah yang tunduk pada hukum adat telah dipungut pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 dan terhadap tanah yang tunduk pada hukum barat dipungut pajak berdasarkan ordonansi Verponding Indonesia 1923, dan Ordonansi Verponding 1928 Di samping itu terdapat pula pungutan pajak atas tanah serta lain-lain pungutan daerah atas tanah dan bangunan. Sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan kekayaan telah menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya sehingga mengakibatkan beban pajak berganda bagi masyarakat. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapat masyarakat. Oleh karena itu Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi Pajak Kekayaan 1923, Ordonansi Pajak Jalan 1942, Pasal 14 huruf j, huruf k, dan huruf l Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), dan lain-lain peraturan perundang-undangan tentang pungutan daerah sepanjang mengenai tanah dan bangunan perlu dicabut. Peraturan Perundang-undangan lainnya terutama yang selama ini menjadi dasar bagi penyelenggaraan pungutan oleh Daerah, khususnya seperti pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor masih berlaku. Dengan mengadakan pembaharuan sistem perpajakan melalui penyederhanaan yang meliputi macam-macam pungutan atas tanah dan/atau bangunan, tarif pajak dan cara pembayarannya, diharapkan kesadaran perpajakan dari masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan pajak akan meningkat pula. Obyek Pajak dalam Undang-undang ini adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah Republik Indonesia. Dalam mencerminkan keikutsertaan dan kegotongroyongan masyarakat di bidang pembiayaan pembangunan, maka semua obyek pajak dikenakan pajak. Dalam Undang-undang ini, bumi dan/atau bangunan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dikenakan pajak. Penentuan pengetahuan Pajak Bumi dan Bangunan atas obyek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Hasil penerimaan pajak ini diarahkan kepada tujuan untuk kepentingan masyarakat di daerah yang bersangkutan, maka sebagian besar hasil penerimaan pajak ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Penggunaan pajak yang demikian oleh daerah akan merangsang masyarakat untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak mereka sekaligus mencerminkan sifat kegotongroyongan rakyat dalam pembiayaan pembangunan. Karena Pajak Bumi dan Bangunan sebagian besar akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah maka dirasa perlu untuk menetapkan tempat-tempat pembayaran yang lebih mudah dan dekat sehingga Pemerintah Daerah yang bersangkutan dapat segera memanfaatkan hasil penerimaan pajak guna membiayai pembangunan dimasing-masing wilayahnya. Tempat yang lebih dekat tersebut adalah seperti Bank, Kantor Pos dan Giro serta tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Bagi wajib pajak dimungkinkan memperoleh pengurangan atas pembayaran pajaknya, karena sebab-sebab tertentu atau dalam hal obyek pajak ditimpa bencana alam atau sebab lain yang luar biasa, sehingga wajib pajak tidak mampu membayar hutang pajaknya. |
- | obyek pajak dengan luas dan nilai jual. | ||
- | luas obyek pajak menurut SPOP. | ||
- | Pokok pajak | = |
Rp 1000.000,- |
- | Sanksi adminitrasi 25% x Rp 1.000.000,- | = |
Rp. 250.000,- |
Jumlah pajak yang terhutang dalam SKP | = |
Rp 1.250.000,- |
Contoh : | 1. | Nilai jual bangunan ........................................... Batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak ............ Nilai jual bangunan kena pajak ......................... |
Rp. 1.800.000,- Rp N i h i l |
2. | Nilai jual bangunan ........................................... Batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak ............ Nilai jual bangunan kena pajak ......................... |
Rp. 10.000.000,- Rp. 8.000.000,- |
|
3. | Nilai jual bangunan ........................................... Batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak ............ Nilai jual bangunan kena pajak ......................... |
Rp. 500.000.000,- Rp. 498.000.000,- |
1. | Nilai jual tanah : 800 x Rp 300.000,- | = |
Rp 240.000.000,- |
||
nilai jual bangunan | |||||
a. | Rumah dan garasi | ||||
400 x Rp.350.000,- |
= |
Rp 140.000.000,- |
|||
b. | Taman mewah | ||||
200 x Rp 50.000,- |
= |
Rp 10.000.000,- |
|||
c. | Pagar mewah | ||||
(120 x 1,5) x Rp 175.000,- |
= |
Rp 31.500.000,- |
|||
Rp 181.500.000,- |
|||||
Batas nilai jual bangunan tidak kena pajak | |||||
Rp 2.000.000,- |
|||||
Nilai Jual bangunan | = |
Rp 179.500.000,- |
|||
Nilai jual tanah dan bangunan | = |
Rp 419.500.000,- |
2. | Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang : | ||||
a. | Atas tanah | = | 0,5% x 20% x Rp 240.000.000,- | ||
Rp 240.000,- | |||||
b. | Atas bangunan | = | 0,5% x 20% x Rp 179.500.000,- | ||
Rp 179.500,- | |||||
Jumlah pajak yang terhutang | = |
Rp 419.500,- |
|
||||||||||||||||||||||||
Yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, apabila belum dilunasi wajib pajak, penagihannya dilakukan berdasarkan surat pemberitahuan Pajak terhutang tersebut. | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 11 | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (1) | ||||||||||||||||||||||||
Contoh : Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 1986. |
||||||||||||||||||||||||
Ayat (2) | ||||||||||||||||||||||||
Contoh : Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 1986. |
||||||||||||||||||||||||
Ayat (3) | ||||||||||||||||||||||||
Menurut ketentuan ini pajak yang terhutang pada saat jatuh
tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi
2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar,
tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Contoh : SPPT tahun pajak 1986 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 1986 dengan pajak yang terhutang sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah). Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 1986. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) yakni : 2% X Rp 100.000,- = Rp 2.000,- Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 1986 adalah:
Bila wajib pajak tersebut baru membayar hutang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 1986, maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni : 4% x Rp 100.000,- = Rp 4.000,- Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 1986 adalah :
|
||||||||||||||||||||||||
Ayat (4) | ||||||||||||||||||||||||
Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti tersebut pada contoh penjelasan ayat (3), ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut. | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (5) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (6) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 12 | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 13 | ||||||||||||||||||||||||
Dalam hal tagihan pajak yang terhutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihan dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa. | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 14 | ||||||||||||||||||||||||
Pelimpahan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, bukanlah pelimpahan urusan penagihan, tetapi hanya sebagai pemungut pajak, sedangkan pendataan obyek pajak dan penetapan pajak yang terhutang tetap menjadi kewenangan Menteri Keuangan. Dalam hal jumlah pajak yang terhutang sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang tidak sesuai dengan obyek pajak di lapangan, maka pemungut pajak tidak dibenarkan mengubah jumlah pajak yang terhutang, tetapi harus melaporkan hal tersebut kepada Menteri Keuangan dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak. | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 15 | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (1) | ||||||||||||||||||||||||
Keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dan Surat Ketetapan Pajak harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak. | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (2) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (3) | ||||||||||||||||||||||||
Ketentuan ini dimasukkan untuk memberi waktu yang cukup
kepada wajib pajak untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasan-alasannya.
Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak karena keadaan diluar kekuasaanya ("force mayeur") maka tenggang waktu tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak. |
||||||||||||||||||||||||
Ayat (4) | ||||||||||||||||||||||||
Contoh : Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 1986. |
||||||||||||||||||||||||
Ayat (5) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (6) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 16 | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (1) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (2) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (3) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (4) | ||||||||||||||||||||||||
Ketentuan ini mengharuskan wajib pajak membuktikan ketidakbenaran
ketetapan pajak, dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan terhadap ketetapan
secara jabatan. Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secara jabatan itu, maka keberatannya ditolak. |
||||||||||||||||||||||||
Ayat (5) | ||||||||||||||||||||||||
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak, yaitu apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya surat keberatan, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan yang diajukan berarti keberatan tersebut diterima. | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 17 | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (1) | ||||||||||||||||||||||||
Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak yang kurang puas terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan untuk mengajukan banding ke badan peradilan pajak, dalam hal ini seperti yang ada sekarang yaitu Majelis Pertimbangan Pajak. | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (2) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (3) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 18 | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (1) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (2) | ||||||||||||||||||||||||
Karena penerimaan pajak ini diarahkan untuk kepentingan masyarakat di Daerah Tingkat II yang bersangkutan, maka sebagian besar penerimaan pajak ini diberikan kepada Daerah Tingkat II | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (3) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 19 | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (1) | ||||||||||||||||||||||||
Huruf a | ||||||||||||||||||||||||
Kondisi tertentu obyek pajak ada hubungannya dengan subyek pajak dan sebab-sebab tertentu lainnya, berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan yang ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan wajib pajak tertentu, lahan yang nilai jualnya meningkat sebagai akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan serta yang pemanfaatannya belum sesuai dengan peruntukan lingkungan. | ||||||||||||||||||||||||
Huruf b | ||||||||||||||||||||||||
- Yang dimaksud dengan bencana alam adalah gempa bumi, banjir, tanah
longsor.
- Yang dimaksud dengan sebab lain yang luar biasa adalah seperti : - kebakaran; |
||||||||||||||||||||||||
Pasal 20 | ||||||||||||||||||||||||
Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk meminta pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), dan ayat (4), kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruh denda administrasi dimaksud. | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 21 | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (1) | ||||||||||||||||||||||||
- | Pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyek pajak adalah : Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan Pejabat Pembuat Akta tanah. | |||||||||||||||||||||||
- | Laporan tertulis tentang mutasi obyek pajak misalnya antara lain jual beli, hibah, warisan, harus disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak. | |||||||||||||||||||||||
Ayat (2) | ||||||||||||||||||||||||
Pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) misalnya antara lain
: Kepala Kelurahan atau Kepala Desa, Pejabat Dinas Tata Kota, Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan, Pejabat Agraria, Pejabat Balai Harta Peninggalan. |
||||||||||||||||||||||||
Ayat (3) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (4) | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 22 | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 22 Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
pejabat dalam pasal ini ialah antara lain : Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Staatsblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris. |
||||||||||||||||||||||||
Pasal 23 | ||||||||||||||||||||||||
Yang dimaksud dengan peraturan peundang-undangan lainnya adalah antara lain Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa. | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 24 | ||||||||||||||||||||||||
Kealpaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini berarti tidak
sengaja, lalai, dan kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut mengakibatkab
kerugian bagi negara. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak harus dikembalikan/disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) |
||||||||||||||||||||||||
Pasal 25 | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (1) | ||||||||||||||||||||||||
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja merupakan tindak pidana kejahatan, karena itu diancam dengan pidana yang lebih berat. | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (2) | ||||||||||||||||||||||||
Yang dimaksud dengan bukan wajib pajak dalam ayat ini yaitu pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan obyek pajak ataupun pihak lainnya. | ||||||||||||||||||||||||
Ayat (3) | ||||||||||||||||||||||||
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana perpajakan maka bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesai menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda, dikenakan pidana lebih berat ialah 2 (dua) kali lipat dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 26 | ||||||||||||||||||||||||
Penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kewajiban menyimpan dokumen perpajakan yang lamanya 10 (sepuluh) tahun . | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 27 | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 28 | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 29 | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 30 | ||||||||||||||||||||||||
Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap obyek yang digunakan dalam rangka Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya yang perjanjiannya ditandatangani sejak berlakunya Undang-undang ini yaitu tanggal 1 Januari 1986, sedangkan untuk Kontrak karya dan Kontrak Bagi Hasil yang telah ada tetap berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kontrak karya dan Bagi Hasil tersebut. | ||||||||||||||||||||||||
Pasal 31 | ||||||||||||||||||||||||
Cukup jelas |