|
(1) |
Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar :
a. |
Rp. 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupaiah)
untu diri Wajib Pajak orang pribadi; |
b. |
Rp. 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) tambahan
untuk Wajib Pajak yang kawin; |
c. |
Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah)
tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan
suami sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1); |
d. |
Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) tambahan
untuk setiap anggota sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak
3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. |
|
|
(2) |
Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau
awal bagian tahun pajak. |
|
(3) |
Beasarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut pada ayat (1) akan
disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan keputusan
Menteri Keuangan." |
9. |
Ketentuan Pasal 8 disempurnakan dan ditambah dengan beberapa
ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : |
|
(1) |
Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada
awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya,
yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh
dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan
Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau
pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya. |
|
(2) |
Penghasilan suami-istri dikenakan pajak secara terpisah apabila:
a. |
suami-istri hidup berpisah; |
b. |
dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan. |
|
|
(3) |
Penghasilan neto suami-istri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami istri,
dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami istri dihitung
sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka. |
|
(4) |
Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang
tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan
usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (4) huruf c.« |
10. |
Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut : |
|
(1) |
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
a. |
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; |
b. |
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota; |
c. |
pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan
untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan; |
d. |
premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; |
e. |
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan pemberian
dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan,
yang ditetapkan dengan keputusan Menteri
Keuangan; |
f. |
jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan; |
g. |
harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b; |
h. |
Pajak Penghasilan; |
i. |
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; |
j. |
gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutusan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; |
k. |
sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan. |
|
|
(2) |
Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan
untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A." |
11. |
Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut: |
|
(1) |
Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta
yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima,
sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima. |
|
(2) |
Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar menukar
harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar. |
|
(3) |
Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga
pasar kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. |
|
(4) |
Apabila terjadi pengalihan harta :
a. |
yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
a dan huruf b, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama
dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; |
b. |
yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf a, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan
nilai pasar dari harta tersebut. |
|
|
(5) |
Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan
sama dengan nilai pasar dari harta tersebut. |
|
(6) |
Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok
dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau
dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama." |
12. |
Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut : |
|
(1) |
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah, yang dimiliki
dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian
yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. |
|
(2) |
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang
menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif
penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa
buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas. |
|
(3) |
Penyusutan dimulai pada tahun dilakukannnya pengeluaran, kecuali untuk
harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimuali pada tahun
selesainya pengerjaan harta tersebut. |
|
(4) |
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan
melakuakn penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta bersangkutan
mulai menghasilkan. |
|
(5) |
Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas
harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut. |
|
(6) |
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut :
Kelompok
Harta
Berwujud
|
Masa Manfaat |
Tarif Penyusutan
sebagaimana
dimaksud pada
|
Ayat (1)
|
Ayat (2)
|
I.
II. |
Bukan bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Bangunan
Permanen
Tidak Permanen |
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
20 tahun
10 tahun
|
25%
12,5%
6,25%
5%
5%
10%
|
50%
25%
12,5%
10%
-
-
|
|
|
(7) |
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ketentuan
tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam
usaha tetentu, ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. |
|
(8) |
Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebabnya lainnya,
maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian
dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh
dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut. |
|
(9) |
Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru
dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaiman dimaksud pada
ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut. |
|
(10) |
Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud,
maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan. |
|
(11) |
Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. |
13. |
Menambah ketentuan baru diantara Pasal 11 dan Pasal 12
yang dijadikan Pasal 11 A, yang berbunyi sebagai berikut : |
|
(1) |
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian
yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku, dan
pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus, dengan syarat dilakukan
secara taat asas. |
|
(2) |
Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan
sebagai berikut :
Kelompok
Harta Tak
Berwujud
|
Masa Manfaat |
Tarif Amortisasi
berdasarkan metode
|
Garis
Lurus
|
Saldo
Menurun
|
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
|
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
|
25%
12,5%
6,25%
5%
|
50%
25%
12,5%
10%
|
|
|
(3) |
Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan
dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasikan sesuai
dengan ayat (2) |
|
(4) |
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. |
|
(5) |
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain
yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan
sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi
setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun. |
|
(6) |
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi
sesuai dengan ayat (2). |
|
(7) |
Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak seperti
tersebut pada ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta
atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima
sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan
tersebut. |
|
(8) |
Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud,
maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan.« |
14.
15.
16. |
Ketentuan Pasal 12 dihapus.
Ketentuan Pasal 13 dihapus.
Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
(1) |
Norma Penghitungan Peredaran Bruto untuk menentukan peredaran bruto
dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto,
dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. |
|
(2) |
Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun
kurang dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupaiah), boleh menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan. |
|
(3) |
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung penghasilan
netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan
pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan. |
|
(4) |
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan. |
|
(5) |
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau
tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan peredaran bruto
atau tidak memperlihatkan pembukuan atau pencatatan peredaran bruto atau
bukti-bukti pendukungnya, sehingga tidak diketahui besarnya peredaran bruto
yang sebenarnya, maka peredaran bruto dan penghasilan netonya di hitung
berdasarkan norma penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
|
(6) |
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan, atau tidak memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti
pendukungnya tetapi dapat diketahui peredaran bruto yang sebenarnya, maka
penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto. |
|
(7) |
Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah
dengan keputusan Menteri Keuangan." |
17. |
Ketentuan Pasal 15 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
berikut : |
|
(1) |
Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak
dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat
(1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e. |
|
(2) |
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, dihitung dengan menggunakan norma penghitungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, dan untuk Wajib Pajak orang
pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1). |
|
(3) |
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan memperhatikan ketentuan
dalam Pasal 4 ayat (1) dengan mengurangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (2) dan ayat (3), pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d dan huruf e. |
|
(4) |
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima
atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan." |
19. |
Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut : |
|
(1) |
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
sampai dengan Rp. 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
di atas Rp. 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah) s/d
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
di atas Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
|
|
|
|
|
Tarif Pajak
10%
(sepuluh persen)
15%
(lima belas persen)
30%
(tiga puluh persen)
|
|
|
(2) |
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diturunkan menjadi serendah-randahnya 25% (dua puluh lima
persen). |
|
(3) |
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diubah dengan keputusan Menteri Keuangan. |
|
(4) |
Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah
penuh. |
|
(5) |
Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak
tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang
terutang untuk 1 (satu) tahun pajak. |
|
(6) |
Untuk keperluan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan
yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari. |
|
(7) |
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri
atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang
tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)." |
20. |
Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut : |
|
(1) |
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan
keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan
untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini. |
|
(2) |
Menteri Keuangan berwenang menetapkan
saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan
modal pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. |
besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut sekurang-kurangnya
50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau |
b. |
secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal sebesar 50% (limapuluh persen) atau lebih dari jumlah
saham yang disetor. |
|
|
(3) |
Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha
yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. |
|
(4) |
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pasal 8 ayat
(4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila :
a. |
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak lain, atau
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara
dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau |
b. |
Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
atau |
c. |
terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. |
|
|
(5) |
Apabila Wajib Pajak badan dalam negeri memiliki penyertaan modal langsung
atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada
Wajib Pajak dalam negeri lainnya, maka lapisan tarif rendah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 hanya diterapkan pada 1 (satu) Wajib Pajak saja. |
21. |
Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut : |