"Pasal 7

(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar :
a. Rp. 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupaiah) untu diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp. 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1);
d. Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Beasarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut pada ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan."
9. Ketentuan Pasal 8 disempurnakan dan ditambah dengan beberapa ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :

" Pasal 8

(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya, yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-istri dikenakan pajak secara terpisah apabila:
a. suami-istri hidup berpisah;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
(3) Penghasilan neto suami-istri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami istri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami istri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf c.«
10. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :


" Pasal 9

(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutusan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A."
11. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 10

(1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
(3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
(4) Apabila terjadi pengalihan harta :
a. yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b. yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama."
12. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :

" Pasal 11

(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada tahun dilakukannnya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimuali pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakuakn penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut :

Kelompok
Harta
Berwujud

Masa Manfaat

Tarif Penyusutan
sebagaimana
dimaksud pada

Ayat (1)

Ayat (2)

I.






II.
Bukan bangunan

Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4

Bangunan

Permanen
Tidak Permanen



4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun



20 tahun
10 tahun



25%
12,5%
6,25%
5%



5%
10%



50%
25%
12,5%
10%



-
-

(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tetentu, ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebabnya lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaiman dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
13. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 11 dan Pasal 12 yang dijadikan Pasal 11 A, yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 11A

(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut :

Kelompok
Harta Tak
Berwujud

Masa Manfaat

Tarif Amortisasi
berdasarkan metode

Garis
Lurus

Saldo
Menurun

Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4

4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun

25%
12,5%
6,25%
5%

50%
25%
12,5%
10%

(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasikan sesuai
dengan ayat (2)
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak seperti tersebut pada ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.«
14.

15.

16.
Ketentuan Pasal 12 dihapus.

Ketentuan Pasal 13 dihapus.

Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:


" Pasal 14

(1) Norma Penghitungan Peredaran Bruto untuk menentukan peredaran bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupaiah), boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan peredaran bruto atau tidak memperlihatkan pembukuan atau pencatatan peredaran bruto atau bukti-bukti pendukungnya, sehingga tidak diketahui besarnya peredaran bruto yang sebenarnya, maka peredaran bruto dan penghasilan netonya di hitung berdasarkan norma penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, atau tidak memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya tetapi dapat diketahui peredaran bruto yang sebenarnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan keputusan Menteri Keuangan."
17. Ketentuan Pasal 15 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :

" Pasal 15

Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan."
18. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :


" Pasal 16

(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.
(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dihitung dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan mengurangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d dan huruf e.
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan."
19. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :


" Pasal 17

(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak

sampai dengan Rp. 25.000.000,00

(dua puluh lima juta rupiah)

di atas Rp. 25.000.000,00

(dua puluh lima juta rupiah) s/d

Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

di atas Rp. 50.000.000,00

(lima puluh juta rupiah)

Tarif Pajak

10%

(sepuluh persen)

15%

(lima belas persen)



30%

(tiga puluh persen)

(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diturunkan menjadi serendah-randahnya 25% (dua puluh lima persen).
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah dengan keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)."
20. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :


" Pasal 18

(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal sebesar 50% (limapuluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila :
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
(5) Apabila Wajib Pajak badan dalam negeri memiliki penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak dalam negeri lainnya, maka lapisan tarif rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 hanya diterapkan pada 1 (satu) Wajib Pajak saja.
21. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :


" Pasal 19

(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena pekembangan harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan keputusan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)."
22. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :





PASAL 20 ..................