"Pasal 9

(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak disamping melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak disamping melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(8) Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara yang diatur pada ayat (2) bagi pengeluaran untuk :
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutan pajaknya berupa Faktur Pajak Sederhana;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 (6);
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
(10) Apabila pada akhir tahun buku terdapat kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka atas kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian.
(11) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan ekspor Barang Kena Pajak, atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak, sepanjang Pajak Masukan tersebut berasal dari perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Barang Kena Pajak yang diekspor.
(12) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak, sepanjang Pajak Masukan tersebut berasal dari perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(13) Penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), ayat (11), dan ayat (12) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(14) Apabila terjadi perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak, maka :
a. Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan dan yang telah dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan perubahan bentuk usaha atau oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penggabungan usaha atau oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan seluruh aktiva perusahaan, tetap dapat dikreditkan dan tidak harus dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut;
b. Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan dan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak lama, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang baru, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan."
14. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 10

(1) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut berdasarkan Undang undang ini.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar pada waktu perolehan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut."
15. Ketentuan Pasal 11 diubah, dan ditambah dengan ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), sehingga Pasal 11 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 11

(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak atau pada saat impor Barang Kena Pajak atau pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
(3) Atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, terutangnya pajak terjadi pada saat Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut mulai dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean.
(4) Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh orang pribadi atau badan di dalam Daerah Pabean ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(5) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran."
16. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, dan ditambah dengan ayat (4), sehingga Pasal 12 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai beriku :

"Pasal 12

(1) Pengusaha Kena Pajak terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan satu tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Bagi orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Derah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan huruf e, terutangnya pajak terjadi di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak."
17. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (7) diubah, dan ayat (8) dihapus, sehingga Pasal 13 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 13

(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c.
(2) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim.
(3) Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
(4) Saat pembuatan bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang meliputi :
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, serta nomor dan tanggal pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Nama, alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. Macam, jenis, kuantum, harga satuan, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
f. Tanggal penyerahan atau tanggal pembayaran;
g. Nomor dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;
h. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangi Faktur Pajak.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen-dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak
(7) Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana yang persyaratannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak."
18. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 14

(1) Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
(2) Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara."
19. Ketentuan Pasal 15 dihapus.
20. Ketentuan Pasal 16 dihapus
21. Menambah BAB baru di antara BAB V tentang Saat dan Tempat Pajak Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak dan BAB VI tentang Ketentuan Lain-lain, yang dijadikan BAB VA tentang Ketentuan Khusus, yang berbunyi sebagai berikut :

"BAB VA

KETENTUAN KHUSUS"

22. Menambah 4 (empat) ketentuan baru di antara Pasal 16 dan Pasal 17 yang dijadikan Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, dan Pasal 16D dalam Bab VA tentang Ketentuan Khusus, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 16A

(1) Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 16B

(1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu ataupun untuk selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau peyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Derah Pabean.
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.

Pasal 16C

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

            Pasal 16D

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

23. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 17

Hal-hal yang menyangkut pengertian dan tata cara pemungutan berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini, yang secara khusus belum diatur dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya."

" Pasal II

Dengan berlakunya Undang-undang ini :
a. penundaan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah diberikan sebelum berlakunya Undang-undang ini, akan berakhir sesuai dengan jangka waktu penundaan yang telah diberikan, paling lambat tanggal 31 Desember 1999;
b. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan berakhir.

Pasal III

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984."

Pasal IV

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 9 Nopember 1994

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 61