PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  21  TAHUN  1997


TENTANG


BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

 

UMUM

Bagi Negara Republik Indonesia yang sedang meningkatkan pembangunan di segala bidang menuju masyarakat adil dan makmur, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan kewajiban perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional guna tercapainya masyarakat adil dan makmur, dan sejahtera.

Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial, di samping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di sampirg itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Namun, pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan menurut Undang-undang ini telah memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat terutama masyarakat golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yaitu dengan mengatur nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak.

Pada masa lalu ada pungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas  setiap perjanjian pcmindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia.

Yang dimaksud dengan harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undangundang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak-hak kebendaan yang dimaksud diatas tidak berlaku lagi, karena semuanya sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Dengan demikian, sejak diundangkannya Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas hak harta tidak dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas akta pendaftaran dan pemindahan kapal yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 masih tetap berlaku.

Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai pengganti Bea Balik nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diundangkannya Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Tarif yang ditetapkan menurut Undang-undang ini adalah sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. Dengan demikian, semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan di luar ketentuan Undang-undang ini tidak diperkenankan.

Prinsip yang dianut dalam Undang-undang ini adalah :

a.

pemenuhan kewajiban Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah berdasarkan sistem self assesment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya;

b.

Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak;

c.

agar pelaksanaan Undang-undang ini dapat berlaku secara efektif, maka baik kepada Wajib Pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang ini, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d.

hasil penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatkan daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi daerah;

e.

semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan di luar ketentuan Undang-undang ini tidak diperkenankan.

Dalam pembentukan Undang-undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diperhatikan, diacu, dan dikaitkan dengan undang-undang lainnya, yaitu :

1.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);

2.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);

3.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569);

4.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318);

5.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684).

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)

 

 

Objek  pajak  adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dapat berupa :

a.

tanah, termasuk tanaman di atasnya;

b.

tanah dan bangunan;

c.

bangunan.

 

 

Yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan, antara lain :

a.

gedung;

b.

rumah;

c.

kolam renang;

d.

tempat olah raga;

e.

silo.

Ayat (2)

Huruf a

Angka 1)

Cukup jelas

Angka 2)

Cukup jelas

Angka 3)

Cukup jelas

Angka 4)

 

 

 

 

Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Angka 5)

 

 

 

 

Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai pernyataan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.

Angka 6)

 

 

 

 

Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.

Angka 7)

 

 

 

 

Penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemegang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang.

Angka 8)

 

 

 

 

Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dan orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.

Angka 9)

 

 

 

 

Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah, Akta yang dibuat dapat berupa akta hibah.

Huruf b

Angka 1)

 

 

 

 

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah tanah yang berasal dari pelepasan hak.

Angka 2)

 

 

 

 

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (3)

Huruf a

 

 

 

Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Huruf b

 

 

 

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.

Huruf c

 

 

 

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Huruf d

 

 

 

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Huruf e

 

 

 

Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

Huruf f

 

 

 

Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Pasal 3

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

 

 

 

Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk penylenggaraan pemerintahan baik oleh pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

 

 

 

Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah.

Contoh :

 

 

 

Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru.

 

 

 

Yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama.

Contoh :

Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB).

Huruf e

 

 

 

Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apa pun.

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

 

 

 

Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Huruf b

 

 

 

Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual-beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.

 

 

 

Dalam hal tukar-menukar kedua belah pihak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Ayat (3)

Contoh :

 

 

Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga transaksi) Rp 30.000.000,00. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar Rp 35.000.000,00 maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Rp 35.000.000,00 dan bukan Rp 30.000.000,00.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Contoh :

1.

Pada tanggal 2 Januari 1998, Wajib Pajak "A"

membeli tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak  .........

Rp

22.000.000,00

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ...................

Rp

30.000.000,00

 

 

 

Karena Nilai Perolehan Objek Pajak berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, maka perolehan hak atas tanah tersebut tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2.

Pada tanggal 1 Februari 1998, Wajib Pajak "A"

membeli tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak ..........

Rp

50.000.000,00

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ...................

Rp

30.000.000,00 (-)

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ...............................

Rp

20.000.000,00

Ayat (2)

 

 

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum tanah dan atau bangunan.

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Contoh :

Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan

dengan Nilai Perolehan Objek Pajak .............................................

Rp

35.000.000,00

Nilai Perotehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ...........................

Rp

30.000.000,00 (-)

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ......................................

Rp

  5.000.000,00

Pajak yang terutang = 5% x Rp 5.000.000,00 = Rp 250.000.000,00

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a sampai dengan huruf e

 

 

 

Yang dimaksud dengan sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.

Huruf f

 

 

 

Yang dimaksud dengan sejak tanggal penunjukan pemenang lelang adalah tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau Kantor Lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Huruf j

Cukup jelas

Huruf k

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

 

 

Pada dasarnya sistem pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah self assesment dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak.

Ayat (2)

 

 

Bank Persepsi adalah bank pemerintah dan bank swasta devisa yang ditunjuk oleh Menteri untuk menerima pembayaran pajak dari Wajib Pajak.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

 

 

Menurut ketentuan ini bilamana berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.

Ayat (2)

Contoh :

Wajib Pajak memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 29 Maret 1998.

Nilai Perolehan Objek Pajak ............................................................

Rp

110.000.000,00

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ............................

Rp

  30.000.000,00 (-)

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ........................................

Rp

  80.000.000,00

Pajak yang terutang = 5% x Rp 80.000.000,00 = Rp 4.000.000,00

 

 

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 30 Desember 1998, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukkan bahwa Nilai Perolehan Objek Pajak sebenarnya adalah Rp 160.000.000,00 maka pajak yang seharusnya terutang adalah sebagai berikut :

Nilai Perolehan Objek Pajak .............................................................

Rp

160.000.000,00

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ............................

Rp

  30.000.000,00 (-)

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ........................................

Rp

130.000.000,00

Pajak yang seharusnya terutang = 5% x Rp 130.000.000,00 = ......

Rp

    6.500.000,00

Pajak yang telah dibayar ...................................................................

Rp

    4.000.000,00 (-)

Pajak yang kurang dibayar ...............................................................

Rp

    2.500.000,00

 

 

Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 1998 sampai dengan 30 Desember 1998 = 10 x 2% x Rp 2.500.000,00 = Rp 500.000,00 jadi, jumlah pajak yang harus dibayar sebesar Rp 2.500.000,00 + Rp 500.000,00 = Rp 3.000.000,00.

Pasal 12

Ayat (1)

 

 

Contoh sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2), 5 (lima) tahun kemudian, yaitu pada tahun pajak 2003, kepada Wajib Pajak yang bersangkutan dapat diterbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan dalam hal ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

 

 

Penerbitan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak yaitu 29 Maret 2003, dan bukan 30 Desember 2003.

Ayat (2)

Contoh :

 

 

 

Pada tahun pajak 2003, dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain diperoleh data baru bahwa nilai perolehan objek pajak sebagaimana tersebut dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) ternyata adalah Rp 200.000.000,00 maka pajak yang seharusnya terutang adalah sebagai berikut :

Nilai Perolehan Objek Pajak ...................................................

Rp

200.000.000,00

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ..................

Rp

  30.000.000,00 (-)

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ..............................

Rp

170.000.000,00

Pajak yang seharusnya terutang = 5% x Rp 170.000.000,00=

Rp

    8.500.000,00

Pajak yang telah dibayar ..........................................................

Rp

    6.500.000,00 (-)

Pajak yang kurang dibayar ......................................................

Rp

    2.000.000,00

Sanksi administrasi berupa

kenaikan = 100% x Rp 2.000.000.00 = Rp 2.000.000.00

 

 

 

Jadi, jumlah pajak yang harus dibayar sebesar Rp 2.000.000,00 + Rp 2.000.000,00 = Rp 4.000.000,00

Pasal 13

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud pemeriksaan pada ayat ini adalah pemeriksaan kantor.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (2)

 

 

Ayat ini mengaturpengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diterbitkan karena :

a.

pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

 

 

b.

pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menghasilkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan atau salah hitung.

Contoh :

1.

Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.

 

 

 

Dari perolehan tanah dan bangunan pada tanggal 21 September 1998, Wajib Pajak "A" terutang pajak sebesar Rp 5.000.000,00. Pada saat terjadinya perolehan tersebut, pajak dibayar sebesar Rp 4.000.000,00. Atas kekurangan pajak tersebut diterbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tanggal 23 Desember 1998 dengan penghitungan sebagai berikut :

Kekurangan bayar ......................................................................

Rp

1.000.000,00

Bunga = 4 x 2% x Rp 1.000.000,00 =

Rp

     80.000,00 (+)

 

 

 

Jumlah yang harus dibayar dalam Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ..............................

Rp

1.080.000,00

2.

Hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Wajib Pajak "B" memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 18 Juni 1998. Berdasarkan pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang disampaikan Wajib Pajak "B", ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan pajak kurang dibayar sebesar Rp 1.500.000,00. Atas kekurangan pajak tersebut diterbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pada tanggal 23 September 1998 dengan penghitungan sebagai berikut :

Kekurangan bayar ......................................................................

Rp

1.500.000,00

Bunga = 4 x 2 % x Rp 1.500.000,00 = ........................................

Rp

   120.000,00  (+)

Jumlah yang harus dibayar dalam Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ..............................

Rp

1.620.000,00

Ayat (3)

Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dipersamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak, sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa.

Pasal 14

Ayat (1)

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 15

Yang dimaksud dengan Surat Paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan alasan-alasan yang jelas adalah mengemukakan dengan data atau bukti bahwa jumlah pajak yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar.

Ayat (3)

Pengertian di luar kekuasaannya adalah keterlambatan Wajib Pajak mengajukan keberatan yang bukan karena kesalahannya, misalnya Wajib Pajak sedang sakit atau kena musibah.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Tanda bukti penerimaan Surat Keberatan sangat diperlukan untuk memenuhi ketentuan formal.

Diterima atau tidaknya hak mengajukan Surat Keberatan dimaksud, tergantung dipenuhinya ketentuan batas waktu sebagaimana dimakwd pada ayat (3), yang dihitung mulai diterbitkannya surat ketetapan pajak sampai saat diterimanya Surat Keberatan tersebut oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Tanda bukti penerimaan tersebut oleh Wajib Pajak dapat juga digunakan sebagai alat kontrol baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) berakhir.

Tanda bukti penerimaan itu diperlukan untuk memastikan bahwa keberatannya dikabulkan, apabila dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak tidak menerima surat keputusan dari Direktur Jenderal Pajak atas Surat Keberatan yang diajukan.

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Dalam keputusan keberatan tidak tcrtutup kemungkinan utang pajaknya bertambah berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain karena ada data baru yang tadinya belum terungkap atau belum dilaporkan.

Ayat (4)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi, yaitu apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Keberatan. Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan, berarti keberatan tersebut dikabulkan.

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar.

Pasal 20

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu adalah dalam hal tanah dan atau bangunan digunakan untuk tujuan tertentu yaitu untuk kegiatan sosial dan pendidikan yang semata-mata tidak bertujuan mencari keuntungan atau kondisi tertentu tanah dan atau bangunan yang ada hubungannya dengan Wajib Pajak.

Contoh :

a.

Tanah dan atau bangunan digunakan untuk mendirikan panti asuhan, panti jompo, rumah sakit, sekolah.

b.

Seorang Wajib Pajak yang memiliki tanah dibebaskan oleh Pemerintah untuk kepentingan Negara atau kepentingan umum dan terhadap Wajib Pajak tersebut diberikan ganti rugi yang jumlahnya lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, dan kemudian Wajib Pajak membeli tanah dan atau bangunan baru. Terhadap Wajib Pajak ini dapat diberi pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan mengajukan permohonan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, antara lain, dalam hal :

a.

pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang;

b.

pajak yang terutang yang dibayarkan oleh Wajib Pajak sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal.

Ayat (2)

Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa kurang bayar dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau berupa lebih bayar dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau mengukuhkan pajak yang terutang tetap dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.

Pasal 22

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah :

a.

pemeriksaan kantor;

b.

pemeriksaan lapangan.

Ayat (2)

Ayat ini memberikan kepastian hukum baik kepada Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi perpajakan. Oleh karena itu, permohonan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)

Bagian Pemerintah Pusat digunakan untuk perbaikan administrasi pertahanan khususnya sertipikasi tanah. Sejalan dengan peningkatan penyelesaian sertipikasi tanah yang makin meningkat, maka bagian Pemerintah Daerah secara bertahap dapat ditingkatkan.

Ayat (2)

Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ini diarahkan untuk pembangunan daerah, khususnya untuk mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II, maka sekurang-kurangnya 80% (delapan puluh persen) dari bagian Pemerintah Daerah merupakan hak Pemerintah Daerah Tingkat II.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak (Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan menunjukkan aslinya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan pendaftaran hak atas tanah dalam Pasal ini adalah pendaftaran hak atas tanah pada buku tanah sebagai syarat lahirnya hak atas tanah yang berasal dan pemberian hak atas tanah. Pendaftaran peralihan hak atas tanah adalah pendaftaran hak atas tanah pada buku tanah yang terjadi karena pemindahan hak atas tanah.

Pasal 25

Ayat (1)

Contoh :

Semua peralihan hak pada bulan Januari 1998 oleh Pejabat yang bersangkutan harus dilaporkan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan Februari 1998 kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat dalam Pasal ini, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3688