PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 138 TAHUN 2000
 

TENTANG


PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN

DALAM TAHUN BERJALAN


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

bahwa dalam rangka memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

 

 

2.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);

 

 

3.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);

 

 

4.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);

 

 

MEMUTUSKAN : 

Menetapkan
 

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.

BAB I
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

 

 

Pasal 1

 

 

Dalam menghitung penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari :

 

 

a.

Kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal/membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan

 

 

b.

Kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan.

 

 

Pasal 2 

 

 

Biaya pengembangan hutan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga pokok produk yang diproduksi atau dijual.

 

 

Pasal 3

 

 

(1)

Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali :

 

 

 

a.

Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sepanjang tidak dapat dibuktikan bahwa Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar;

 

 

 

b.

Pajak Masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan.

 

 

(2)

Pajak Masukan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11.A Undang-undang Pajak Penghasilan, terlebih dulu harus dikapitalisasi dengan pengeluaran/biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

 

 

Pasal 4

 

 

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk :

 

 

a.

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak;

 

 

b.

biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final;

 

 

c.

biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang Pajak Penghasilan;

 

 

d.

Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak; dan

 

 

e.

kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

 

 

Pasal 5 

 

 

Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.

 

 

Pasal 6

 

 

(1)

Laba bruto usaha dalam suatu tahun pajak yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang berusaha di bidang jasa konstruksi yang proses pekerjaan fisiknya meliputi masa beberapa tahun pajak dihitung berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan.

 

 

(2)

Untuk menghitung penghasilan neto, laba bruto usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi dengan biaya atau pengeluaran lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan.

 

 

Pasal 7

 

 

Dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu dan atau bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah.

 

 

BAB II
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN

 MELALUI PIHAK LAIN

 

 

Pasal 8

 

 

(1)

Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Pajak Pengbasilan terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

 

 

(2)

Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada saat pembayaran, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

 

 

(3)

Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

 

 

(4)

Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

 

 

Pasal 9 

 

 

(1)

Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan, kecuali Wajib Pajak tersebut mendapat kemudahan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpanjangan yang berlaku.

 

 

(2)

Dalam hal Wajib Pajak memperoleh izin perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir bersamaan dengan pengajuan permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

 

 

(3)

Dalam hal Wajib Pajak memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan, angsuran atau penundaan tersebut juga berlaku untuk pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4).

 

 

Pasal 10

 

 

(1)

Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal atau berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal, atau Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.

 

 

(2)

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri yang bersifat final.

 

 

(3)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

BAB III
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN

OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

 

 

Pasal 11

 

 

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sebagaimana di maksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, wajib memiliki NPWP dan melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

 

 

BAB IV

KETENTUAN LAIN-LAIN

 

 

Pasal 12

 

 

(1)

Dalam hal Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku, yang baru harus dilaporkan dengan Surat Pemberit.ahuan tersendiri dengan melampirkan neraca dan laporan laba-rugi.

 

 

(2)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

 

 

Pasal 13

 

 

(1)

Terhadap Wajib Pajak yang tahun pajak/tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim, ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 berlaku sampai dengan tahun pajak/tahun buku 2000 yang berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2001, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

 

 

(2)

Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan sebelum atau pada tanggal 31 Desember 2000 yang jangka waktunya terbatas, dapat menikmati fasilitas tersebut sampai dengan jangka waktu tersebut habis.

 

 

Pasal 14

 

 

Kewajiban pajak dalam tahun berjalan untuk tahun pajak/tahun buku 2001 yang meliputi masa pajak/pembukuan sampai dengan Desember 2000 dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), tetap dihitung berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta Perubahannya sebelum diubah berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

 

 

BAB VI

KETENTUANPENUTUP

 

 

Pasal 15

 

 

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3579) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3798), dinyatakan tidak berlaku.

 

 

Pasal 16

 

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta

 

 

 

 

 

 

pada tanggal 21 Desember 2000

 

 

 

 

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Diundangkan di Jakarta

 

ABDURRAHMAN WAHID

pada tanggal 21 Desember 2000

 

 

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

 

 

 

DJOHAN EFFENDI

 

 

 

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 253

Penjelasan.................