Menimbang
|
:
|
bahwa dalam upaya
untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib
Pajak serta agar
lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu
dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994;
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Mengingat
|
:
|
1.
|
Pasal 5 ayat (1),
Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama
Tahun 1999;
|
|
|
|
|
|
2.
|
Undang-undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3566);
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
|
|
|
|
|
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN
UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan
dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) diubah sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 1
diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal 1
Dalam Undang-undang
ini, yang dimaksud dengan:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Wajib Pajak adalah
orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut
pajak atau pemotong pajak tertentu.
|
|
|
|
|
|
2.
|
Badan adalah sekumpulan
orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan
lainnya.
|
|
|
|
|
|
3.
|
Pengusaha adalah
orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
Pabean.
|
|
|
|
|
|
4.
|
Pengusaha Kena Pajak
adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
|
|
|
|
|
|
5.
|
Nomor Pokok Wajib
Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
|
|
|
|
|
|
6.
|
Masa Pajak adalah
jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka
waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama
3 (tiga) bulan takwim.
|
|
|
|
|
|
7.
|
Tahun Pajak adalah
jangka waktu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
|
|
|
|
|
|
8.
|
Bagian Tahun Pajak
adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
|
|
|
|
|
|
9.
|
Pajak yang terutang
adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam
Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
|
|
|
|
|
10.
|
Surat Pemberitahuan
adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau
harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
|
|
|
|
11.
|
Surat Pemberitahuan
Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
|
|
|
|
|
|
12.
|
Surat Pemberitahuan
Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak.
|
|
|
|
|
|
13.
|
Surat Setoran Pajak
adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran
atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan
atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau
tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
|
|
|
|
|
|
14.
|
Surat ketetapan pajak
adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.
|
|
|
|
|
|
15.
|
Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah
pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
|
|
|
|
|
|
16.
|
Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan
atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
|
|
|
|
|
|
17.
|
Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak
yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
|
|
|
|
|
|
18.
|
Surat Ketetapan Pajak
Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak
ada kredit pajak.
|
|
|
|
|
|
19.
|
Surat Tagihan Pajak
adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi
berupa bunga dan atau denda.
|
|
|
|
|
|
20.
|
Surat Paksa adalah
surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
|
|
|
|
|
|
21.
|
Kredit pajak untuk
Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah
dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah
dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari
pajak yang terutang.
|
|
|
|
|
|
22.
|
Kredit pajak untuk
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah
dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan
pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan
yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
|
|
|
|
|
|
23.
|
Pekerjaan bebas adalah
pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus
sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu
hubungan kerja.
|
|
|
|
|
|
24.
|
Pemeriksaan adalah
serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau
keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
|
|
|
|
|
25.
|
Penanggung Pajak
adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran
pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib
Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
|
|
|
|
26.
|
Pembukuan adalah
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir.
|
|
|
|
|
|
27.
|
Penelitian adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian
Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
kebenaran penulisan dan penghitungannya.
|
|
|
|
|
|
28.
|
Penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta
menemukan tersangkanya.
|
|
|
|
|
|
29.
|
Surat Keputusan Pembetulan
adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung,
dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak,
Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan
Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak.
|
|
|
|
|
|
30.
|
Surat Keputusan Keberatan
adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau
terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh
Wajib Pajak.
|
|
|
|
|
|
31.
|
Putusan Banding adalah
putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan
yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|
|
|
|
|
32.
|
Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu."
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Judul BAB II diubah,
sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"BAB
II
NOMOR POKOK
WAJIB PAJAK,
PENGUKUHAN
PENGUSAHA KENA PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN,
DAN TATA CARA
PEMBAYARAN
PAJAK"
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Ketentuan Pasal 2
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan
Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal
2
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Setiap Wajib Pajak
wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Setiap Wajib Pajak
sebagai Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkan:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
tempat pendaftaran
dan atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan dalam ayat (1) dan
ayat (2);
|
|
|
|
|
|
b.
|
tempat pendaftaran
pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kegiatan usaha dilakukan, di samping tempat mendaftarkan diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau mengukuhkan Pengusaha
Kena Pajak secara jabatan, apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
atau ayat (2).
|
|
|
|
|
|
(5)
|
Jangka waktu pendaftaran
dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
|
|
|
|
|
4.
|
Ketentuan Pasal 3
diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu
ayat (1a), serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat
yaitu ayat (5a), sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal
3
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Setiap Wajib Pajak
wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan
huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan.
|
|
|
|
|
|
(1a)
|
Bagi Wajib Pajak
yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah
yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (1a) harus mengambil sendiri Surat Pemberitahuan
di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Batas waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan adalah:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
untuk Surat Pemberitahuan
Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
|
|
|
|
|
|
b.
|
untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Direktur Jenderal
Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b
untuk paling lama 6 (enam) bulan.
|
|
|
|
|
|
(5)
|
Permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan
mengenai penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak
dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.
|
|
|
|
|
|
(5a)
|
Apabila Surat Pemberitahuan
tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), diterbitkan Surat Teguran.
|
|
|
|
|
|
(6)
|
Bentuk dan isi Surat
Pemberitahuan serta keterangan dan atau dokumen yang harus dilampirkan
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
|
|
|
|
|
(7)
|
Surat Pemberitahuan
dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen
sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
|
|
|
|
|
|
(8)
|
Dikecualikan dari
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak
Penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5.
|
Ketentuan Pasal 4
ayat (4) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (5), sehingga keseluruhan
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal
4
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Wajib Pajak wajib
mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas,
dan menandatanganinya.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak
adalah badan, Surat Pemberitahuan harus ditandatangani oleh pengurus atau
direksi.
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Dalam hal Surat Pemberitahuan
diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan Wajib Pajak, harus dilampiri
surat kuasa khusus.
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Pengisian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan
harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba
rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak.
|
|
|
|
|
|
(5)
|
Tata cara penerimaan
dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6.
|
Ketentuan Pasal 6
ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai
berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal
6
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Surat Pemberitahuan
yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal
Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk untuk
itu, sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan juga bukti
penerimaan.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Penyampaian Surat
Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui Kantor Pos secara tercatat atau
dengan cara lain yang diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Tanda bukti dan tanggal
pengiriman untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap dianggap
sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan."
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7.
|
Ketentuan Pasal 7
diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (2),
sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal
7
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Apabila Surat Pemberitahuan
tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenakan sanksi administrasi
berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa dan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Pengenaan sanksi
administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan
terhadap Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan."
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8.
|
Ketentuan Pasal 8
ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan ditambah 1 (satu)
ayat yaitu ayat (6), sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal
8
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan
dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan
syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak
membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak
menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan
tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu.
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Sekalipun telah dilakukan
tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan
mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut
tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan
kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang
dibayar.
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Sekalipun jangka
waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan
surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan
dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan, yang mengakibatkan:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
pajak-pajak yang
masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau
|
|
|
|
|
|
b.
|
rugi berdasarkan
ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau
|
|
|
|
|
|
c.
|
jumlah harta menjadi
lebih besar; atau
|
|
|
|
|
|
d.
|
jumlah modal menjadi
lebih besar.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(5)
|
Pajak yang kurang
dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) beserta sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak
yang kurang dibayar, harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum laporan
tersendiri dimaksud disampaikan.
|
|
|
|
|
|
(6)
|
Sekalipun jangka
waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan, Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima
Keputusan Keberatan atau Putusan Banding mengenai surat ketetapan pajak
tahun pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dari ketetapan
pajak yang diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan banding,
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Keputusan Keberatan
atau Putusan Banding tersebut."
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
9.
|
Ketentuan Pasal 9
diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu
ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal
9
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Menteri Keuangan
menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang
untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak
berakhir.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Kekurangan pembayaran
pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan harus dibayar
lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak
atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan.
|
|
|
|
|
|
(2a)
|
Apabila pembayaran
atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau ayat (2)
dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak,
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran,
dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus
dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Direktur Jenderal
Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
10.
|
Ketentuan Pasal 10
diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal
10
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Wajib Pajak wajib
membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara melalui Kantor
Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik
Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Tata cara pembayaran,
penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda
pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. "
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
11.
|
Ketentuan Pasal 11
diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal 11
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Atas permohonan Wajib
Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
Pasal 17B, atau Pasal 17C dikembalikan, namun apabila ternyata Wajib Pajak
mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih
dahulu utang pajak tersebut.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan paling lama
1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17C.
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Apabila pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan,
Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas kelambatan
pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat berlakunya batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat dilakukan
pembayaran kelebihan.
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Tata cara penghitungan
dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan. "
|
|
|
|
|
12.
|
Ketentuan Pasal 12
diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2)
dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal
12
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Setiap Wajib Pajak
wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Jumlah pajak yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak
adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Apabila Direktur
Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak benar, maka
Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya."
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
13.
|
Ketentuan Pasal 14
diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
"Pasal
14
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
|
Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
a.
|
Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
|
|
|
|
|
|
b.
|
Dari hasil penelitian
Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan atau salah hitung;
|
|
|
|
|
|
c.
|
Wajib Pajak dikenakan
sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
|
|
|
|
|
|
d.
|
Pengusaha yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
|
|
|
|
|
|
e.
|
Pengusaha yang tidak
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak;
|
|
|
|
|
|
f.
|
Pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur
Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(2)
|
Surat Tagihan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan surat ketetapan pajak.
|
|
|
|
|
|
(3)
|
Jumlah kekurangan
pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
|
|
|
|
|
|
(4)
|
Terhadap Pengusaha
atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d,
huruf e, dan huruf f, masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak."
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
14.
|
Ketentuan Pasal 15
ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15
berbunyi sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|