(7)
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(8)
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
a.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c.
perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
f.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
g.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
h.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
i.
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
(10)
dihapus.
(11)
dihapus.
(12)
dihapus.
(13)
Penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(14) dihapus."
12. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 10

(1)
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2)
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu perolehan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut."
13. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 11

(1)
Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a.
penyerahan Barang Kena Pajak;
b.
impor Barang Kena Pajak;
c.
penyerahan Jasa Kena Pajak;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d;
e.
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau
f. ekspor Barang Kena Pajak.
(2)
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
(3)
dihapus.
(4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
(5) dihapus."
14. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 12

(1)
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c dan huruf f terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan satu tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
(3)
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4)
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha." 
15. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 13

(1)
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c.
(2)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim.
(3)
Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
(4)
Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a
Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c.
Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e.
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
f.
Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(6)
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak.
(7) Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana yang persyaratannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
16. Ketentuan Pasal 16A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16A berbunyi sebagai berikut: 

"Pasal 16A

(1)
Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan." 
17. Ketentuan Pasal 16 B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 16B

(1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
a.
kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b.
penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c.
impor Barang Kena Pajak tertentu;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan." 
18. Ketentuan Pasal 16C diubah, sehingga keseluruhan Pasal 16C berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 16C

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

 

PASAL II

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984".

 

PASAL III

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Diundangkan di Jakarta.

pada tanggal 2 Agustus 2000

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DJOHAN EFFENDI

 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 128

Penjelasan .....................