PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2004


TENTANG


PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT
DAN PEMERINTAHAN DAERAH

Umum

Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan Negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Dengan demikian, Pasal ini merupakan landasan filosofis dan landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA merekomendasikan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar melakukan perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejalan dengan amanat TAP MPR tersebut serta adanya perkembangan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Keuangan Negara yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menyebabkan terjadinya perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam sistem Keuangan Negara. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 perlu diperbaharui serta diselaraskan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.

Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.

Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah, sedangkan fungsi alokasi oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat. Pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.

Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan  pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat yang didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas Pembantuan.

Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan Pemerintahan Daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.

Pendapatan Asli Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antardaerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh.

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang ini merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang ini dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH.

DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar Daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. DAU suatu Daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu Daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah.

Undang-undang ini juga mengatur hibah yang berasal dari Pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli, dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.

Dalam lain-lain pendapatan selain hibah, Undang-Undang ini juga mengatur pemberian Dana Darurat kepada Daerah karena bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi dengan dana APBD. Di samping itu,  Pemerintah juga dapat memberikan Dana Darurat pada Daerah yang mengalami krisis solvabilitas, yaitu Daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan. Untuk menghindari menurunnya pelayanan kepada masyarakat setempat, Pemerintah dapat memberikan Dana Darurat kepada Daerah tersebut setelah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber Pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi Keuangan Daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu, Pinjaman Daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi Pinjaman Daerah yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Dalam Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa Daerah dilarang  melakukan pinjaman langsung keluar negeri. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Di lain pihak, pinjaman Daerah tidak hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang menghasilkan Penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek pembangunan prasarana dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan Penerimaan. Selain itu, dilakukan pembatasan pinjaman dalam rangka pengendalian defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman Pemerintahan Daerah.

Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah dengan persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang mendapatkan persetujuan Pemerintah. Segala bentuk akibat atau risiko yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah menjadi tanggung jawab Daerah sepenuhnya.

Pengelolaan keuangan dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan yang  sudah menjadi tuntutan masyarakat. Semua Penerimaan dan pengeluaran yang menjadi hak dan kewajiban Daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD. Dalam pengadministrasian Keuangan Daerah, APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Surplus APBD digunakan untuk membiayai Pengeluaran Daerah tahun anggaran berikutnya, membentuk Dana Cadangan. dan penyertaan modal dalam Perusahaan Daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut.

Pengaturan Dana Dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah. Dana Tugas Pembantuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang ditugaskan kepada Daerah.

Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pengadministrasian Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan melalui mekanisme APBN, sedangkan pengadministrasian Dana Desentralisasi mengikuti mekanisme APBD. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.

Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Desentralisasi berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, diperlukan adanya dukungan Sistem Informasi Keuangan Daerah. Sistcm tersebut antara lain dimaksudkan untuk perumusan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional.

Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka pokok-pokok muatan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:

a.

Penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan;

b.

Penambahan jenis Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan Panas Bumi, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21;

c.

Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula termasuk dalam komponen Dana Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil;

d.

Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum;

e.

Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus;

f.

Penambahan pengaturan Hibah dan Dana Darurat;

g.

Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme Pinjaman Daerah, termasuk Obligasi Daerah;

h.

Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan;

i.

Penegasan pengaturan Sistem Informasi Keuangan Daerah; dan

j.

Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam Undang-Undang ini dipertegas dengan pemberian sanksi.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

 

Cukup jelas.

Pasal 2

 

Ayat (1)

 

 

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem Keuangan Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan yang diserahkan, dilimpahkan, dan ditugasbantukan kepada Daerah.

 

Ayat (2)

 

 

Yang dimaksud dengan stabilitas pada ayat ini adalah stabilitas kondisi perekonomian nasional.

 

 

Yang dimaksud dengan keseimbangan fiskal pada ayat ini adalah keseimbangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah serta antar-Daerah.

 

Ayat (3)

 

 

Perimbangan keuangan dilaksanakan sejalan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, pengaturan perimbangan keuangan tidak hanya mencakup aspek pendapatan Daerah tetapi juga mengatur aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya.

Pasal 3

 

Cukup jelas.

Pasal 4

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

 

 

Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini disesuaikan dengan besarnya beban kewenangan yang dilimpahkan dan/atau Tugas Pembantuan yang diberikan.

Pasal 5

 

Cukup jelas.

Pasal 6

 

Ayat (1)

 

 

Huruf a

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Huruf b

 

 

 

Termasuk hasil dari pelayanan Badan Layanan Umum (BLU) Daerah.

 

 

Huruf c

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Huruf d

 

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 7

 

Huruf a

 

 

Yang dimaksud dengan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi adalah Peraturan Daerah yang mengatur pengenaan Pajak dan Retribusi oleh Daerah terhadap objek-objek yang telah dikenakan pajak oleh Pusat dan Provinsi, sehingga menyebabkan menurunnya daya saing Daerah.

 

Huruf b

 

 

Contoh pungutan yang dapat menghambat kelancaran mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar-Daerah, dan kegiatan impor/ekspor antara lain adalah Retribusi izin masuk kota dan Pajak/Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah lain.

Pasal 8

 

Ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diarahkan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Daerah dalam perpajakan dan Retribusi Daerah melalui perluasan basis Pajak dan Retribusi dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif Pajak dan Retribusi tersebut.

 

Perluasan basis Pajak tersebut antara lain dengan menambah jenis Pajak dan Retribusi baru dan diskresi penetapan tarif dilakukan dengan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Daerah dalam menetapkan tarif sesuai tarif maksimal yang ditetapkan dalam Undang-Undang.

Pasal 9

 

Cukup jelas.

Pasal 10

 

Ayat (1)

 

 

Dana Perimbangan yang terdiri atas 3 (tiga) jenis sumber dana, merupakan pendanaan pelaksanaan Desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena masing-masing jenis Dana Perimbangan tersebut saling mengisi dan melengkapi.

 

Ayat (2)

 

 

Pencantuman Dana Perimbangan dalam APBN dimaksudkan untuk memberikan kepastian pendanaan bagi Daerah.

Pasal 11

 

Cukup jelas.

Pasal 12

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Huruf a

 

 

 

Pembagian tersebut dimaksudkan dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah.

 

 

Huruf b

 

 

 

Pemberian insentif ini dimaksudkan untuk mendorong intensifikasi pemungutan PBB. Yang dimaksud dengan sektor tertentu adalah Penerimaan PBB dari sektor perkotaan dan perdesaan.

 

Ayat (4)

 

 

Yang dimaksud dengan Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh Penerimaan Daerah dan membayar seluruh Pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.

 

 

Rekening Kas Umum Daerah ini dikelola oleh Kepala satuan kerja pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah.

 

Ayat (5)

 

 

Pembagian tersebut dimaksudkan dalam rangka pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah.

 

Ayat (6)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 13

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Bagian daerah dari Penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 dan PPh Pasal 21 untuk kabupaten/kota sebesar 60% (enam puluh persen) dan bagian propinsi sebesar 40% (empat puluh persen) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 14

 

Huruf a

 

 

Cukup jelas.

 

Huruf b

 

 

Cukup jelas.

 

Huruf c

 

 

Cukup jelas.

 

Huruf d

 

 

Cukup jelas.

 

Huruf e

 

 

Cukup jelas.

 

Huruf f

 

 

Cukup jelas.

 

Huruf g

 

 

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,  Penerimaan Negara Bukan Pajak dari hasil pengusahaan sumber daya panas bumi terdiri atas :

 

 

1)

Penerimaan Negara Bukan Pajak dari kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ditetapkan, berasal dari setoran bagian Pemerintah setelah dikurangi dengan kewajiban perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

2)

Penerimaan Negara Bukan Pajak dari kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sesudah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ditetapkan, berasal dari Iuran Tetap dan Iuran Produksi.

Pasal 15

 

Cukup jelas.

Pasal 16

 

Cukup jelas.

Pasal 17

 

Ayat (1)

 

 

Huruf a

 

 

 

Yang dimaksud dengan Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) adalah seluruh Penerimaan iuran yang diterima Negara sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan Umum. Eksplorasi, atau Eksploitasi pada suatu wilayah Kuasa Pertambangan.

 

 

Huruf b

 

 

 

Yang dimaksud dengan Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (Royalti) adalah Iuran Produksi yang diterima Negara dalam hal Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan Eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi (Royalti) satu atau lebih bahan galian.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 18

 

Ayat (1)

 

 

Huruf a

 

 

 

Yang dimaksud dengan Pungutan Pengusahaan Perikanan adalah pungutan Negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang memperoleh Izin Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas kesempatan yang  diberikan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha perikanan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia.

 

 

Huruf b

 

 

 

Yang dimaksud dengan Pungutan Hasil Perikanan adalah pungutan Negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang diperoleh.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 19

 

Ayat (1)

 

 

Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi berasal dari kegiatan Operasi Pertamina itu sendiri, kegiatan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), dan kontrak kerja sama selain Kontrak Bagi Hasil.

 

 

Komponen Pajak adalah pajak-pajak dalam kegiatan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dan pungutan-pungutan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 20

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Huruf a

 

 

 

Bagian untuk provinsi harus digunakan untuk menunjang pemenuhan sarana pendidikan dasar.

 

 

Huruf b

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Huruf c

 

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 21

 

Ayat (1)

 

 

Huruf a

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Huruf b

 

 

 

Yang dimaksud dengan iuran tetap adalah iuran yang dibayarkan kepada Negara sebagai imbalan atas kesempatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja.

 

 

 

Yang dimaksud dengan iuran produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada Negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan Panas Bumi.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 22

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dasar penghitungan dan daerah penghasil diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

 

Cukup jelas.

Pasal 24

 

Ayat (1)

 

 

Penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan, penghitungannya didasarkan pada realisasi harga minyak dan gas bumi. Realisasi harga minyak dan gas bumi tersebut tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi yang ditetapkan dalam APBN tahun berjalan.

 

Ayat (2)

 

 

Apabila realisasi harga minyak bumi dan gas bumi melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi yang ditetapkan dalam APBN tahun berjalan, kelebihan Dana Bagi Hasil berasal dari Penerimaan sektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi dibagikan ke Daerah sebagai DAU tambahan melalui Penerimaan Dalam Negeri Neto dengan menggunakan formulasi DAU.

Pasal 25

 

Cukup jelas.

Pasal 26

 

Muatan Peraturan Pemerintah antara lain mengatur kewenangan masing-masing instansi yang terlibat di dalam penetapan daerah penghasil, dasar penghitungan, perkiraan dana bagi hasil, jangka waktu proses penetapan, mekanisme konsultasi dengan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah, tata cara penyaluran, pelaporan, dan pertanggungjawaban.

Pasal 27

 

Ayat (1)

 

 

Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah Penerimaan Negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan Penerimaan Negara yang dibagihasilkan kepada Daerah.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

 

 

Yang dimaksud dengan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah gaji pokok ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 28

 

Ayat (1)

 

 

Yang dimaksud dengan layanan dasar publik antara lain adalah penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan infrastruktur, dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

 

Ayat (2)

 

 

Jumlah penduduk merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap Daerah.

 

 

Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah.

 

 

Indeks Kemahalan Konstruksi merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relatif antar-Daerah.

Produk Domestik Regional Bruto merupakan cerminan potensi dan aktivitas perekonomian suatu Daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output produksi kotor dalam suatu wilayah.

 

 

Indeks Pembangunan Manusia merupakan variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan.

 

 

Kebutuhan pendanaan suatu Daerah dihitung dengan pendekatan total pengeluaran rata-rata nasional.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 29

 

Cukup jelas.

Pasal 30

 

Cukup jelas.

Pasal 31

 

Cukup jelas.

Pasal 32

 

Ayat (1)

 

 

Contoh perhitungan : Kebutuhan Fiskal sama dengan Kapasitas Fiskal

 

 

Kebutuhan Fiskal

=

Rp 100 miliar

 

 

Kapasitas Fiskal

=

Rp 100 miliar

 

 

Alokasi Dasar

=

Rp 50 miliar

 

 

Celah Fiskal

=

Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal

 

 

 

=

Rp 100 miliar - Rp 100 miliar = 0

 

 

DAU

=

Alokasi Dasar

 

 

Total DAU = Rp 50 miliar

 

Ayat (2)

 

 

Dalam hal celah fiskal negatif maka jumlah DAU yang diterima Daerah adalah sebesar Alokasi Dasar setelah diperhitungkan dengan celah fiskalnya.

 

 

Contoh perhitungan:

 

 

Kebutuhan Fiskal

=

Rp 100 miliar

 

 

Kapasitas Fiskal

=

Rp 125 miliar

 

 

Alokasi Dasar

=

Rp 50 miliar

 

 

Celah Fiskal

=

Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal

 

 

 

=

Rp 100 miliar - 125 miliar

 

 

 

=

Rp -25 miliar (negatif)

 

 

DAU

=

Alokasi Dasar + Celah Fiskal

 

 

Total DAU = Rp 50 miliar - Rp 25 miliar

 

 

 

=

 Rp 25 miliar

 

Ayat (3)

 

 

Contoh perhitungan : Celah Fiskal (negatif) melebihi Alokasi Dasar

 

 

Kebutuhan Fiskal

=

Rp 100 miliar

 

 

Kapasitas Fiskal

=

Rp 175 miliar

 

 

Alokasi Dasar

=

Rp 50 miliar

 

 

Celah Fiskal

=

Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal

 

 

 

=

Rp 100 miliar - Rp 175 miliar

 

 

 

=

Rp -75 miliar (negatif)

 

 

DAU

=

Celah Fiskal + Alokasi Dasar

 

 

Total DAU = Rp -75 miliar + Rp 50 miliar

 

 

 

=

Rp -25 miliar atau disesuaikan menjadi Rp0 (nol)

Pasal 33

 

Cukup jelas.

Pasal 34

 

Cukup jelas.

Pasal 35

 

Cukup jelas.

Pasal 36

 

Cukup jelas.

Pasal 37

 

Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur bobot variabel, persentase imbangan DAU antara provinsi dan kabupaten/kota, dan tata Cara penyaluran.

Pasal 38

 

Cukup jelas.

Pasal 39

 

Ayat (1)

 

 

Yang dimaksud dengan Daerah tertentu adalah Daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua Daerah mendapatkan alokasi DAK.

 

Ayat (2)

 

 

Yang dimaksud dengan fungsi dalam rincian Belanja Negara antara lain terdiri atas layanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial.

Pasal 40

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan Daerah yang dicerminkan dari Penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai.

 

 

Kemampuan Keuangan Daerah

=

Penerimaan Umum APBD - belanja pegawai Daerah

 

 

Penerimaan Umum

=

PAD + DAU + (DBH - DBHDR)

 

 

Belanja Pegawai Daerah

=

Belanja PNSD

 

Ayat (3)

 

 

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah Undang-Undang yang mengatur tentang kekhususan suatu Daerah.

 

 

Yang dimaksud dengan karakteristik Daerah antara lain adalah daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan Negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yang termasuk rawan banjir dan longsor, serta daerah yang termasuk daerah ketahanan pangan.

 

Ayat (4)

 

 

Kriteria teknis antara lain meliputi standar kualitas/kuantitas konstruksi, serta perkiraan manfaat lokal dan nasional yang menjadi indikator dalam perhitungan teknis.

Pasal 41

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Yang dimaksud Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu adalah Daerah yang selisih antara Penerimaan Umum APBD dan belanja pegawainya sama dengan nol atau negatif.

Pasal 42

 

Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain kriteria umum, kriteria khusus, kriteria teknis, mekanisme pengalokasian, tata cara penyaluran, penganggaran di Daerah, pemantauan dan pengawasan, evaluasi, dan pelaporan.

Pasal 43

 

Cukup jelas.

Pasal 44

 

Ayat (1)

 

 

Dalam menerima hibah, Daerah tidak boleh melakukan ikatan yang secara politis dapat mempengaruhi kebijakan Daerah.

 

Ayat (2)

 

 

Pemberian hadiah yang bersumber dari luar negeri dituangkan dalam naskah perjanjian hibah yang ditandatangani oleh Pemerintah dan pemberi hibah luar negeri.

 

Ayat (3)

 

 

Yang dimaksud dengan pemberi hibah dalam ayat ini adalah Pemerintah selaku pihak yang menerushibahkan kepada Daerah.

 

Ayat (4)

 

 

Hibah yang diterima oleh Daerah antara lain dapat digunakan untuk menunjang peningkatan fungsi pemerintahan dan layanan dasar umum, serta pemberdayaan aparatur Daerah.

Pasal 45

 

Cukup jelas.

Pasal 46

 

Ayat (1)

 

 

Pada dasarnya biaya penanggulangan bencana nasional dibiayai dari APBD, tetapi apabila APBD tidak mencukupi untuk menanggulangi bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa lainnya Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang bersumber dari APBN.

 

Ayat (2)

 

 

Yang dengan bencana nasional dan atau peristiwa luar biasa lainnya adalah bencana yang menimbulkan dampak yang luas sehingga mengganggu kegiatan perekonomian dan sosial.

Pasal 47

 

Ayat (1)

 

 

Krisis solvabilitas adalah krisis keuangan berkepanjangan yang dialami Daerah selama 2 (dua) tahun anggaran dan tidak dapat diatasi melalui APBD.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 48

 

Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur kriteria penetapan bencana nasional atau peristiwa luar biasa, kriteria dan persyaratan pengajuan, tata cara penyaluran, dan pertanggungjawabannya.

Pasal 49

 

Cukup jelas.

Pasal 50

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Dana Perimbangan yang dapat dilakukan penundaan penyaluran dan/atau pemotongan adalah Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum.

Pasal 51

 

Ayat (1)

 

 

Huruf a

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Huruf b

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Huruf c

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Huruf d

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Huruf e

 

 

 

Yang dimaksud dengan masyarakat adalah orang pribadi dan/atau badan yang melakukan investasi di pasar modal.

 

Ayat (2)

 

 

Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah berasal dari APBN atau pinjaman luar negeri Pemerintah yang diteruspinjamkan kepada Daerah.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 52

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Pinjaman jangka pendek tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan, misalnya pelunasan kewajiban atas pengadaan/pembelian barang dan/atau jasa tidak dilakukan pada saat barang dan atau jasa dimaksud diterima.

 

 

Yang termasuk biaya lain misalnya biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi, dan denda.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 53

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Yang dimaksud dengan layanan umum adalah layanan yang menjadi tanggung jawab Daerah.

 

Ayat (3)

 

 

Yang dimaksud dengan menghasilkan Penerimaan adalah hasil Penerimaan yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan sarana yang dibiayai dari pinjaman yang bersangkutan.

 

Ayat (4)

 

 

Persetujuan DPRD dimaksud termasuk dalam hal pinjaman tersebut diteruspinjamkan kepada BUMD.

Pasal 54

 

Huruf (a)

 

 

Yang dimaksud dengan Penerimaan umum APBD tahun sebelumnya adalah seluruh Penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu.

 

Huruf (b)

 

 

Rasio kemampuan keuangan Daerah dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, dan Dana Alokasi Umum setelah dikurangi belanja wajib dibagi dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga, dan biaya lain yang jatuh tempo.

 

 

Yang dimaksud dengan belanja wajib adalah belanja pegawai dan belanja anggota DPRD

 

 

 

 

 

 

{PAD +DAU + (DBH - DBHDR)} - Belanja Wajib

 

 

 

 

 

 

 

Pokok pinjaman + Bunga + Biaya Lain

 

 

DSCR

=

Debt Service Coverage Ratio atau Rasio Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman;

 

 

PAD

=

Pendapatan Asli Daerah;

 

 

DAU

=

Dana Alokasi Umum;

 

 

DBH

=

Dana Bagi Hasil; dan

 

 

DBHDR

=

Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi.

 

Huruf (c)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 55

 

Cukup jelas.

Pasal 56

 

Cukup jelas.

Pasal 57

 

Cukup jelas.

Pasal 58

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Yang dimaksud dengan nilai bersih adalah tambahan atas nilai nominal Obligasi Daerah yang beredar. Tambahan nilai nominal ini merupakan selisih antara nilai nominal Obligasi Daerah yang diterbitkan dengan nilai nominal obligasi yang ditarik kembali dan dilunasi sebelum jatuh tempo dan obligasi yang dilunasi pada saat jatuh tempo selama satu tahun anggaran.

Pasal 59

 

Ketentuan ini menegaskan bahwa segala risiko yang timbul sebagai akibat dari penerbitan Obligasi Daerah tidak dijamin dan/atau ditanggung oleh Pemerintah. 

Pasal 60

 

Cukup jelas.

Pasal 61

 

Ayat (1)

 

 

Persetujuan DPRD atas semua Obligasi Daerah yang diterbitkan secara otomatis merupakan persetujuan atas pembayaran dan pelunasan segala kewajiban keuangan di masa mendatang yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul akibat penerbitan Obligasi dialokasikan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu dialokasikan untuk pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan kepada DPRD untuk diperhitungkan dalam APBD tahun yang bersangkutan.

 

Ayat (4)

 

 

Realisasi pembayaran bunga dapat melebihi proyeksi pembayaran bunga dalam satu tahun anggaran, apabila tingkat bunga yang berlaku dari Obligasi Daerah dengan tingkat bunga mengambang lebih besar daripada asumsi tingkat bunga yang ditetapkan dalam APBD.

Pasal 62

 

Ayat (1)

 

 

Pengelolaan dan pertanggungjawaban Obligasi Daerah dilakukan oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

 

Ayat (2)

 

 

Dalam rangka mencapai biaya obligasi yang paling rendah pada tingkat risiko yang dapat diterima dan dikendalikan,  Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan melaporkan kegiatan yang sekurang-kurangnya seperti disebutkan pada ayat ini.

Pasal 63

 

Ayat (1)

 

 

Tembusan laporan posisi kumulatif dimaksud disampaikan kepada DPRD sebagai pemberitahuan.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 64

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Tata cara pelaksanaan pemotongan dan penundaan Dana Alokasi Umum dan/atau Bagian Daerah dari Penerimaan Negara diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 65

 

Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur tata cara, prosedur, dan persyaratan Obligasi.

Pasal 66

 

Ayat (1)

 

 

Penyelenggaraan Keuangan Daerah wajib mengelola Keuangan Daerah dengan mengacu pada asas-asas yang tercantum dalam ayat ini. Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.

 

 

Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

 

 

Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

 

 

Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

 

 

Fungsi distribusi mengandung arti, bahwa kebijakan anggaran Daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (6)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 67

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Program Pemerintah Daerah dimaksud diusulkan di dalam rancangan Peraturan Daerah tentang APBD serta disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan kemampuan dalam menghimpun Pendapatan Daerah dengan berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.

 

Ayat (4)

 

 

Denda dan/atau bunga dimaksud dapat dikenakan kepada kedua belah pihak.

 

Ayat (5)

 

 

Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

 

Ayat (6)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (7)

 

 

Penggunaan surplus APBD perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antargenerasi, terutama untuk pelunasan utang, pembentukan Dana Cadangan, dan peningkatan jaminan sosial. 

Pasal 68

 

Cukup jelas.

Pasal 69

 

Cukup jelas.

Pasal 70

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Rincian Belanja Daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah.

 

 

Rincian Belanja Daerah menurut fungsi antara lain terdiri atas layanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial.

 

 

Rincian Belanja Daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri atas belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 71

 

Cukup jelas.

Pasal 72

 

Cukup jelas.

Pasal 73

 

Cukup jelas.

Pasal 74

 

Cukup jelas.

Pasal 75

 

Cukup jelas.

Pasal 76

 

Ayat (1)

 

 

Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.

 

 

Pembentukan Dana Cadangan dalam APBD diperlakukan sebagai pengeluaran pembiayaan, sedangkan pada saat Dana Cadangan digunakan diperlakukan sebagai penerimaan pembiayaan.

 

 

Peraturan Daerah tentang pembentukan Dana Cadangan sekurang-kurangnya memuat tujuan, jumlah, sumber, periode, jenis pengeluaran, penggunaan, dan penempatan dana.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Dalam tahun pelaksanaan kegiatan yang didanai dengan Dana Cadangan sesuai dengan Peraturan Daerah. Dana Cadangan dicairkan dan merupakan penerimaan pembiayaan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

Pasal 77

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Salah satu contoh portofolio yang memberikan hasil tetap dengan risiko rendah adalah deposito pada bank pemerintah.

Pasal 78

Ayat (1)

Kerja sama dengan pihak lain dilakukan manakala Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan dana dalam menyediakan fasilitas layanan umum. Kerja sama dengan pihak lain meliputi kerja sama antar-Daerah, antara Pemerintah Daerah dan BUMD, serta antara Pemerintah Daerah dengan swasta, yang bertujuan untuk mengoptimalkan aset Daerah tanpa mengganggu layanan umum.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 79

Ayat (1)

Pengeluaran tersebut dalam Pasal ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.

Keadaan darurat sekurang-kurangnya harus memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut:

a.

bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas Pemerintah Daerah dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya;

b.

tidak diharapkan terjadi secara berulang;

c.

berada di luar kendali dan pengaruh Pemerintah Daerah; dan

d.

memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 80

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

 

 

Persentase 50% (lima puluh persen) adalah merupakan selisih (gap) kenaikan antara pendapatan dan belanja dalam APBD.

Pasal 81

 

Ayat (1)

 

 

Pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Daerah.

 

Ayat (2)

 

 

Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja SKPD.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 82

 

Cukup jelas.

Pasal 83

 

Ayat (1)

 

 

Yang dimaksudkan dengan jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD adalah jumlah defisit APBN ditambah jumlah defisit seluruh APBD dalam suatu tahun anggaran. Penetapan batas maksimal kumulatif defisit dimaksudkan dalam rangka prinsip kehati-hatian dan pengendalian fiskal nasional.

 

Ayat (2)

 

 

Jumlah maksimal kumulatif defisit tidak melebihi 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto, sesuai dengan kaidah yang baik (best practice) dalam bidang pengelolaan fiskal.

 

Ayat (3)

 

 

Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal defisit APBD untuk masing-masing Daerah setiap tahun pada bulan Agustus.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 84

 

Pada dasarnya APBD disusun dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah. Dalam hal belanja  diperkirakan lebih besar daripada pendapatan, maka sumber-sumber pembiayaan defisit diperoleh dari penggunaan SiLPA, Dana Cadangan, hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Pinjaman Daerah.

Pasal 85

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Pemeriksaan Keuangan Daerah sekurang-kurangnya meliputi PAD, Dana Perimbangan, Lain-lain Pendapatan,  Pinjaman Daerah, dan Belanja Daerah. Pemeriksaan Keuangan Daerah ini dilakukan secara tahunan dan pada akhir masa jabatan Kepala Daerah dan DPRD.

Pasal 86

 

Cukup jelas.

Pasal 87

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar besaran dana yang dialokasikan harus menjamin terlaksananya penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

 

 

Pemberitahuan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi dimaksudkan untuk sinkronisasi antara kegiatan yang akan dibiayai dari APBD dan kegiatan yang dibiayai dari APBN guna menghindari adanya duplikasi pendanaan.

 

Ayat (6)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (7)

 

 

Kegiatan yang bersifat nonfisik antara lain koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.

Pasal 88

 

Cukup jelas.

Pasal 89

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

 

 

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah ketentuan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 90

 

Ayat (1)

 

 

Pemisahan penatausahaan keuangan antara dana Dekonsentrasi, dana Tugas Pembantuan, dan dana Desentralisasi dimaksudkan agar terwujud penatausahaan yang tertib dan taat asas dalam pengelolaan keuangan. 

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

 

 

Yang dimaksud dengan laporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi antara lain meliputi pertanggungjawaban pelaksanaan substansi kewenangan, biaya penyelenggaraan, keluaran, dan hasil pelaksanaan kewenangan yang dilimpahkan.

 

Ayat (5)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 91

 

Cukup jelas.

Pasal 92

 

Cukup jelas.

Pasal 93

 

Cukup jelas.

Pasal 94

 

Ayat (1)

 

 

Penugasan oleh Pemerintah melalui kementerian Negara/lembaga merupakan penugasan dalam lingkup kewenangan Pemerintah.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar besaran dana yang dialokasikan harus menjamin terlaksananya penugasan yang diberikan.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

 

 

Pemberitahuan rencana kerja dan anggaran kementerian Negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Tugas Pembantuan dimaksudkan untuk sinkronisasi antara kegiatan yang akan dibiayai dari APBD dan kegiatan yang dibiayai dari APBN guna menghindari adanya duplikasi pendanaan.

 

Ayat (6)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (7)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 95

 

Cukup jelas.

Pasal 96

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

 

 

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah ketentuan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pasal 97

 

Ayat (1)

 

 

Pemisahan penatausahaan keuangan antara Dana Tugas Pembantuan dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana Desentralisasi dimaksudkan agar terwujud penatausahaan yang tertib dan taat asas dalam pengelolaan keuangan.

 

Ayat (2)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

 

 

Yang dimaksud dengan laporan pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan antara lain meliputi pertanggungjawaban pelaksanaan substansi kewenangan, biaya penyelenggaraan, keluaran, dan hasil pelaksanaan kewenangan  yang ditugaspembantuankan.

 

Ayat (5)

 

 

Cukup jelas.

Pasal 98

 

Cukup jelas.

Pasal 99

 

Cukup jelas.

Pasal 100

 

Cukup jelas.

Pasal 101

 

Ayat (1)

 

 

Sistem Informasi Keuangan Daerah secara nasional adalah sarana bagi Pemerintah untuk mengolah, menyajikan, dan mempublikasikan informasi dan laporan pengelolaan Keuangan Daerah sebagai sarana menunjang tercapainya tata pemerintahan yang baik melalui transparansi dan akuntabilitas.

 

Ayat (2) 

 

 

Cukup jelas.

Pasal 102

 

Ayat (1)

 

 

Yang dimaksud dengan informasi keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah informasi yang bersumber dari Peraturan Daerah tentang APBD, pelaksanaan APBD, dan laporan realisasi APBD.

 

Ayat (2)

 

 

Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah oleh Daerah dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah.

 

Ayat (3)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

 

 

Pemberian sanksi dilakukan setelah adanya teguran tertulis.

 

 

Dana Perimbangan yang ditunda penyalurannya akibat pemberian sanksi dilakukan dengan tidak mengganggu pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Pasal 103

 

Cukup jelas.

Pasal 104

 

Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, mekanisme penyampaian laporan Keuangan Daerah,  prinsip-prinsip penyelenggaraan sistem informasi keuangan di daerah, standar dan format informasi keuangan di Daerah, dan mekanisme penerapan sanksi atas keterlambatan penyampaian laporan.

Pasal 105

 

Cukup jelas.

Pasal 106

 

Cukup jelas.

Pasal 107

 

Ayat (1)

 

 

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

 

 

Formula DAU digunakan mulai tahun anggaran 2006, tetapi sampai dengan tahun anggaran 2007 alokasi DAU yang diberlakukan untuk masing-masing Daerah ditetapkan tidak lebih kecil dari tahun anggaran 2005.

 

 

Sampai dengan tahun anggaran 2007 apabila DAU untuk provinsi tertentu lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada provinsi yang bersangkutan dialokasikan dana penyesuaian yang besarnya sesuai dengan kemampuan dan perekonomian Negara.

Pasal 108

 

Cukup jelas.

Pasal 109

 

Cukup jelas.

Pasal 110

 

Cukup jelas.

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4438