MENTERI KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 406/KMK.06/2004
 

TENTANG


USAHA JASA PENILAI BERBENTUK PERSEROAN TERBATAS
 

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
 

Menimbang

:

a.

bahwa jasa penilai mempunyai peranan penting dalam meningkatkan efisiensi perekonomian nasional dan perlindungan kepentingan umum;

 

 

b.

bahwa untuk Usaha jasa Penilai berbentuk Perseroan Terbatas diperlukan pengaturan, pembinaan dan pengawasan yang berkesinambungan;

 

 

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Usaha Jasa Penilai Berbentuk Perseroan Terbatas.

Mengingat

:

1.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3582);

 

 

2.

Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;

 

 

3.

Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 35 Tahun 2004;

 

 

4.

Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2004;

 

 

5.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan;

 

 

6.

Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri       Keuangan       Nomor  423/MPP/Kep/7/2004     tentang

327/KMK.06/2004

 

 

 

Pelimpahan Tugas dan Wewenang Menteri Perindustrian dan Perdagangan Mengenai Pembinaan dan Pengawasan Usaha Jasa Penilai Kepada Menteri Keuangan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

:

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG USAHA JASA PENILAI BERBENTUK PERSEROAN TERBATAS.

 

 

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :

1.

Menteri adalah Menteri Keuangan.

 

 

2.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan.

 

 

3.

Direktur adalah Direktur Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan.

 

 

4.

Standar Penilaian Indonesia adalah pedoman dasar dalam melakukan penilaian.

 

 

5.

Penilai adalah orang yang dengan keahliannya menjalankan kegiatan penilaian dan telah memperoleh izin penilai dari Menteri.

 

 

6.

Penilaian adalah proses pekerjaan yang dilakukan oleh Penilai untuk memberikan estimasi dan pendapat atas nilai ekonomis suatu harta pada saat tertentu sesuai dengan Standar Penilaian Indonesia.

 

 

7.

Kode Etik Penilai Indonesia adalah pedoman moral bagi Penilai dalam melakukan Penilaian.

 

 

8.

Usaha Jasa Penilai, atau disingkat UJP, adalah usaha di bidang penilaian dan jasa-jasa lainnya yang terkait dengan Penilaian sesuai dengan keahlian yang dimiliki.

 

 

9.

Badan Usaha Jasa Penilai Asing, atau disingkat BUJPA, adalah badan usaha di bidang penilaian yang memiliki izin dan otoritas di negara yang bersangkutan.

 

 

10.

Perusahaan Jasa Penilai, atau disingkat PJP, adalah Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan telah memiliki Surat Izin Usaha Perusahaan jasa Penilaian (SIUPP) yang telah diterbitkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan, untuk melakukan kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan ini.

 

 

11.

Asosiasi UJP adalah organisasi yang menghimpun perusahaan Penilai.

 

 

12.

Cabang PJP adalah unit atau bagian dan PJP yang diberikan kewenangan oleh kantor pusat untuk melakukan penilaian dan kegiatan lain yang berkaitan dengan penilaian.

 

 

13.

Kantor Perwakilan PJP adalah unit atau bagian dari PJP yang diberikan kewenangan oleh kantor pusat untuk melakukan fungsi Pemasaran.

 

 

BAB II
TATA CARA PERIZINAN
Bagian Pertama
lzin Usaha PJP
Pasal 2

(1)

Menteri berwenang memberikan izin usaha PJP.

 

 

(2)

Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 3

 

 

(1)

PJP yang telah berakhir masa berlaku SIUPP-nya, dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal untuk memperoleh izin usaha PJP.

 

 

(2)

Izin usaha PJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan 31 Desember 2009.

Pasal 4

 

 

Untuk mendapatkan izin  usaha PJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Direktur Utama PJP mengajukan permohonan terlulis kepada Direktur Jenderal u.p Direktur, dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut :

 

 

a.

fotokopi akte notaris tentang pendirian PJP dan perubahannya yang antara lain mencakup modal dasar perusahaan sekurang-kurangnya sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah);

 

 

b.

fotokopy bukti pengesahan Badan Hukum (PT) dari instansi yang berwenang;

c.

fotokopi surat pendaftaran SIUPP; 

d.

asli  SIUPP;

e.

fotokopi izin Penilai dari salah seorang direksi;

f.

fotokopi kartu tanda penduduk Dewan Direksi dan Komisaris PJP;

 

 

g.

fotokopi kartu tanda penduduk bagi pemegang saham perorangan dan atau copy bukti pengesahan badan hukum Indonesia dan instansi berwenang bagi pemegang saham badan usaha yang berbentuk badan hukum;

 

 

h.

laporan keuangan perusahaan yang ditandatangani oleh Direktur Utama;

i.

skema organisasi dan nama direksi PJP;

 

 

j.

daftar 2(dua) orang atau lebih asisten Penilai yang dimiliki Perusahaan;

 

 

k.

daftar inventaris kantor dan peralatan operasional teknis yang diperlukan;

l.

fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) PJP;

m.

surat keterangan domisili perusahaan; dan

 

 

n.

formulir PJP-01 sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri Keuangan ini, yang telah dilengkapi.

Pasal 5

 

 

(1)

Izin usaha PJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diterbitkan dalam jangka waktu 20 (dua puluh} hari kerja sejak permohonan izin diterima.

 

 

(2)

Permohonan ditolak apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 melalui pemberitahuan tertulis dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin diterima.

 

 

(3)

Permohonan yang ditolak dapat diajukan kembali dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

 

 

Bagian Kedua
Izin Pembukaan Cabang PJP
Pasal 6

 

 

(1)

PJP dapat membuka cabang di seluruh wilayah Republik Indonesia setelah mendapat izin pembukaan cabang.

 

 

(2)

Cabang PJP dipimpin oleh seorang Penilai yang berdomisili di tempat kedudukan cabang yang bersangkutan.

 

 

(3)

Lingkup kegiatan usaha Cabang PJP harus dalam lingkup kegiatan usaha PJP.

Pasal 7

(1)

Menteri berwenang memberikan izin pembukaan Cabang PJP.

 

 

(2)

Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

 

(3)

Untuk mendapatkan izin pembukaan Cabang PJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Utama mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal u.p Direktur dengan melampirkan:

a.

fotokopi SIUPP atau izin usaha PJP;

b.

fotokopi surat pendaftaran SIUPP;

 

 

 

c.

fotokopi surat keputusan direksi tentang pembukaan Cabang PJP dan penunjukan pemimpin Cabang PJP;

d.

fotokopi izin Penilai dari pemimpin Cabang PJP;

e.

daftar 2 (dua) orang atau lebih asisten penilai pada Cabang PJP;

f.

fotokopi kartu tanda penduduk pemimpin Cabang PJP;

 

 

 

g.

daftar inventaris kantor dan peralatan operasional teknis yang diperlukan Cabang PJP;

h.

fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Cabang PJP;

i.

surat keterangan domisili Cabang PJP; dan

 

 

 

j.

formulir PJP-02 sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri Keuangan ini, yang telah dilengkapi.

Pasal 8

 

 

(1)

Izin pembukaan Cabang PJP diterbitkan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin diterima.

 

 

(2)

Permohonan ditolak apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) melalui pemberitahuan tertulis dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan izin diterima.

 

 

(3)

Permohonan yang ditolak dapat diajukan kembali setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).

 

 

Bagian Ketiga
Perwakilan PJP
Pasal 9

 

 

(1)

PJP dapat membuka kantor perwakilan diseluruh wilayah Republik Indonesia.

 

 

(2)

Kantor Perwakilan PJP hanya dapat melakukan kegiatan pemasaran dalam lingkup kegiatan usaha PIP.

 

 

(3)

Pembukaan kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaporkan oleh Direktur Utama PJP secara tertulis kepada Direktur Jenderal u.p Direktur paling lambat 1 (satu) bulan sejak pembukaan kantor perwakilan dimaksud dengan melampirkan:

a.

fotokopi surat pendaftaran SIUPP;

b.

fotokopi SIUPP atau izin usaha PJP;

 

 

 

c.

fotokopi Kartu Tanda Penduduk penanggung jawab Kantor Perwakilan PJP;

 

 

 

d.

surat keputusan Direktur Utama tentang pembukaan Kantor Perwakilan PJP; dan

e.

surat keterangan domisili Kantor Perwakilan PJP.

 

 

BAB III
LINGKUP KEGIATAN USAHA
Pasal 10

(1)

Lingkup kegiatan usaha PJP meliputi:

a.

penilaian harta berwujud maupun tidak berwujud;

b.

penilaian usaha;

c.

penilaian proyek; dan atau

d.

monitoring pembiayaan proyek.

 

 

(2)

PJP dapat melakukan kegiatan usaha lain yang berkaitan dengan kegiatan penilaian, antara lain:

a.

konsultansi pengembangan properti;

b.

desain sistem informasi aset;

c.

pengelolaan properti; dan atau

d.

studi kelayakan usaha.

 

 

BAB IV
KERJASAMA DENGAN BADAN USAHA JASA PENILAIAN ASING
Pasal 11

 

 

(1)

PJP dapat melakukan kerja sama teknis di bidang usaha jasa penilai dengan BUJPA.

 

 

(2)

PJP yang melakukan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mencantumkan nama BUJPA yang bersangkutan bersama-sama dengan nama PJP setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal.

 

 

(3)

Persetujuan pencantuman nama BUJPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya diberikan apabila PJP telah memiliki perjanjian kerjasama dengan BUJPA.

 

 

(4)

Perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya memuat :

 

 

 

a.

klausula tentang identitas para pihak yang melakukan kerja sama;

 

 

 

b.

klausula tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan perjanjian kerja sama;

 

 

 

c.

klausula bahwa PJP tidak sedang melakukan perjanjian kerjasama dengan BUJPA lain;

 

 

 

d.

klausula bahwa BUJPA tidak sedang melakukan perjanjian kerjasama dengan PJP lain atau usaha jasa penilai yang berbentuk usaha sendiri atau usaha kerjasama;

 

 

 

e.

klausula bahwa kerjasama bersifat berkelanjutan yaitu tidak terbatas hanya untuk suatu penugasan tertentu;

f.

klausula tentang review mutu bersama secara periodik;

 

 

 

g.

klausula tentang lingkup kerjasama yang sekurang-kurangnya mencakup bidang Penilaian, dan

 

 

 

h.

klausula bahwa BUJPA membantu PJP sesuai dengan lingkup perjanjian kerjasama.

 

 

(5)

Permohonan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis oleh Direktur Utama PJP kepada Direktur Jenderal u.p Direktur dengan melampirkan :

a.

profil BUJPA;

 

 

 

b.

salinan perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

 

 

(6)

Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibatalkan apabila PJP tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

 

 

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 12

(1)

Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PJP

 

 

(2)

Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal.

 

 

(3)

Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal dapat meminta pendapat dan atau masukan dari asosiasi UJP.

Pasal 13

 

 

(1)

Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, Direktur Jenderal melakukan pemeriksaan secara berkala dan atau sewaktu-waktu terhadap PJP dan atau Cabang PJP.

 

 

(2)

Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal dapat bekerjasama dengan Asosiasi UJP.

 

 

(3)

PJP dan atau Cabang PJP dilarang menolak, menghindari, dan atau menghambat kelancaran pemeriksaan.

 

 

(4)

PJP dan atau Cabang PJP yang diperiksa wajib memperlihatkan buku, catatan, dokumen atau memberikan keterangan yang diperlukan dalam pemeriksaan kepada pemeriksa.

 

 

(5)

Pemeriksa wajib menjaga kerahasiaan dokumen pemeriksaan kepada Pihak lain yang tidak berhak dan tidak berwenang.

Pasal 14

 

 

(1)

Direksi Penilai atau karyawan suatu PJP dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan, direksi, Penilai atau karyawan pada Perusahaan lain.

 

 

(2)

Larangan merangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Direksi PJP yang merupakan Penilai untuk menjadi pimpinan pada 1(satu) UJP berbentuk usaha perseorangan, persekutuan perdata atau persekutuan firma.

 

 

(3)

Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat menggunakan 1 (satu) bentuk badan usaha dalam mengikuti lelang pengadaan jasa.

Pasal 15

(1)

Laporan penilaian wajib ditandatangani oleh Penilai.

 

 

(2)

Dalam hal laporan penilaian ditandatangani oleh Penilai yang tidak menjabat sebagai direksi, maka laporan penilaian tersebut wajib ditandatangani juga oleh direksi yang merupakan Penilai.

 

 

(3)

Dalam hal laporan penilaian diterbitkan oleh Cabang PJP, maka laporan penilaian tersebut wajib ditandatangani juga oleh Direksi yang merupakan Penilai atau Pemimpin Cabang PJP yang mendapat kuasa tertulis dari Direksi PJP yang merupakan Penilai.

Pasal 16

 

 

(1)

Direksi PJP wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha, laporan keuangan dan laporan penggunaan tenaga asing untuk tahun takwim sebelumnya selambat-lambatnya pada akhir bulan Mei kepada Direktur Jenderal u.p Direktur.

 

 

(2)

Direksi PJP wajib melaporkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal u.p Direktur selambat-lambatnya 1(satu) bulan sejak terjadinya:

 

 

 

a.

perubahan pemegang saham dengan melampirkan fotokopi perubahan akte perusahaan;

 

 

 

b.

perubahan nama PJP dengan melampirkan fotokopi perubahan akte perusahaan;

 

 

 

c.

perubahan susunan direksi dan atau komisaris dengan melampirkan fotokopi perubahan akte perusahaan;

d.

perubahan alamat PJP atau Cabang atau Kantor Perwakilan PJP;

e.

perubahan pemimpin Cabang PJP;

 

 

 

f.

perubahan atau berakhirnya perjanjian kerja sama teknis dengan BUJPA;

g.

perubahan susunan Penilai; atau

h.

penutupan Kantor Perwakilan PJP.

Pasal 17

(1)

PJP wajib:

a.

mempunyai sekurang-kurangnya 1(satu) orang Penilai yang menjabat Direksi;

b.

mempunyai sekurang-kurangnya 2(dua) orang asisten penilai;

c.

menjadi anggota asosiasi UJP;

d.

memiliki modal dasar perusahaan sekurang-kurangnya Rp.200.000.000; (dua ratus juta rupiah);

e.

memiliki inventaris kantor dan peralatan operasional teknis yang diperlukan;

f.

memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan; dan

g.

memiliki kantor tetap.

(2)

Cabang PJP wajib:

a.

mempunyai pemimpin cabang yang merupakan Penilai;

b.

mempunyai sekurang-kurangnya 2(dua) orang asisten penilai;

c.

memiliki inventaris kantor dan peralatan operasional teknis yang diperlukan;

d.

memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Cabang PJP; dan

e.

memiliki kantor tetap.

Pasal 18

(1)

PJP dan atau Cabang PJP dalam melakukan kegiatan usaha jasa pendai wajib mematuhi:

a.

Standar Penilaian Indonesia (SPI);

b.

Kode Etik Penilai Indonesia, dan

c.

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jasa yang diberikan.

(2)

Standar Penilaian Indonesia dan Kode Etik Penilai Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).

Pasal 19

PJP bersama-sama dengan Penilai yang menandatangani laporan penilaian, bertanggung jawab terhadap laporan penilaian.

Pasal 20

(1)

Penutupan PJP atau Cabang PJP wajib mendapatkan izin Menteri.

(2)

Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Permohonan penutupan PJP atau Cabang PJP disampaikan secara tertulis oleh Direktur Utama kepada Direktur Jenderal u.p Direktur dengan melampirkan:

a.

surat pernyataan penutupan PJP yang disepakati dalam rapat umum pemegang saham.

b.

surat pernyataan yang ditandangani oleh Direksi mengenai penyelesaian perikatan antara PJP dan atau Cabang PJP dengan kliennya.

c.

asli Surat Izin Usaha Perusahaan Jasa Penilailan (SIUPP) atau Surat Izin Usaha PJP dan atau Cabang PJP.

BAB VI

SANKSI
 

Pasal 21

(1)

Pelanggaran terhadap Keputusan Menteri Keuangan ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi peringatan tertulis, pembekuan izin atau pencabutan izin.

(2)

Menteri mengenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada:

a.

PJP; atau

b.

Cabang PJP.

(3)

Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.

(4)

Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak harus dikenakan secara berurutan.

(5)

Sanksi pembekuan izin sebagaimana dimaksud Pada ayat dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(6)

Sanksi berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Pasal 22

(1)

PJP dikenakan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) apabila:

a.

melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1);

b.

melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) atau ayat (3); 

c.

melanggar ketentuan Pasal 10;

d.

melanggar ketentuan Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 ayat (3) atau (4), Pasal 14 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), atau Pasal 20 ayat (1);

e.

melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) yang tidak berpengaruh terhadap laporan penilaian dan atau laporan penugasan lainnya;

f.

Melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), atau ayat (7); atau

g.

dikenakan sanksi peringatan tertulis oleh Asosiasi UJP.

(2)

Cabang PJP dikenakan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) apabila: 

a.

melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 10, Pasal 13 ayat (3) atau ayat (4), atau Pasal 17 ayat (2); atau

b.

melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) yang tidak berpengaruh terhadap laporan penilaian dan atau laporan penugasan lainnya.

(3)

Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dikenakan maksimum 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan.

(4)

PJP yang telah dikenakan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi pembekuan izin apabila atas pelanggaran berikutnya terkena sanksi peringatan.

(5)

Cabang PJP yang telah dikenakan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi pembekuan izin apabila atas pelanggaran berikutnya terkena sanksi peringatan.

Pasal 23

(1)

PJP dikenakan sanksi pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) apabila:

a.

melanggar ketentuan Pasal 14 ayat (3);

b.

melanggar ketentuan Pasal 15 ayat (1) atau ayat (2);

c.

melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) yang berpotensi berpengaruh terhadap laporan penilaian dan atau laporan penugasan lainnya;

d.

memenuhi ketentuan Pasal 22 ayat (4);

e.

melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1); atau

f.

dikenakan sanksi pembekuan keanggotaan oleh Asosiasi UJP.

(2)

Cabang PJP dikenakan sanksi pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) apabila:

a.

PJP dikenakan sanksi pembekuan izin;

b.

melanggar ketentuan Pasal 15 ayat (3);

c.

melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) yang berpotensi berpengaruh terhadap laporan penilaian dan atau laporan penugasan lainnya; atau

d.

memenuhi ketentuan Pasal 22 ayat (5).

(3)

Sanksi pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) hanya dikenakan 1 (satu) kali.

(4)

PJP yang telah dikenakan sanksi pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi pencabutan izin apabila atas pelanggaran berikutnya terkena sanksi pembekuan izin.

(5)

Cabang PJP yang telah dikenakan sanksi pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi pencabutan izin apabila atas pelanggaran berikutnya terkena sanksi pembekuan izin.

Pasal 24

(1)

PJP dikenakan sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), apabila:

a.

melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) yang berpotensi berpengaruh signifikan terhadap laporan penilaian dan atau laporan penugasan 1ainnya;

b.

memenuhi ketentuan Pasal 23 ayat (4);

c.

dikenakan sanksi pencabutan keanggotaan oleh Asosiasi UJP; atau

d.

dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2)

Cabang PJP dikenakan sanksi pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), apabila:

a.

PJP yang bersangkutan dikenakan sanksi pencabutan izin;

b.

melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) yang berpotensi berpengaruh signifikan terhadap laporan penilaian dan atau laporan penugasan lainnya, atau

c.

memenuhi ketentuan dalam Pasal 23 ayat (5).

(3)

Dalam hal PJP melakukan kerjasama dengan BUJPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan dikenakan sanksi pencabutan izin, maka PJP lain dilarang melakukan kerjasama dengan BUJPA dimaksud.

Pasal 25

(1)

Sanksi pembekuan izin dan pencabutan izin usaha PJP atau Cabang PJP diumumkan kepada masyarakat.

(2)

Sanksi peringatan tertulis terhadap PJP atau Cabang PJP dapat diberitahukan kepada masyarakat.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26

(1)

Surat Izin Usaha Perusahaan Penilaian (SIUPP) yang masih berlaku pada saat Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri Keuangan Nomor 423/MPP/Kep/7/2004

327/KMK.06/2004

tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Menteri Perindustrian dan Perdagangan Mengenai Pembinaan dan Pengawasan Usaha Jasa Penilai Kepada Menteri Keuangan ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berakhirnya SIUPP yang bersangkutan .

 

    (2) SIUPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan kembali pada Direktur Jenderal u.p Direktur dengan menyampaikan SIUPP dimaksud selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri Keuangan Nomor 423/MPP/Kep/7/2004 ditetapkan.
                                             327/KMK.06/2004

 

 

(3)

Dalam hal PJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki cabang atau kantor perwakilan, Direktur Utama PJP yang bersangkutan wajib mendaftarkan kembali keberadaan  cabang atau Kantor Perwakilan dimaksud kepada Direktur Jenderal u.p Direktur bersamaan dengan pendaftaran SIUPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 

 

(4)

Direktur menerbitkan Surat Pendaftaran SIUPP, Cabang PJP dan atau Kantor Perwakilan PJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3).

 

 

(5)

PJP yang mempunyai cabang wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Keputusan Menteri Keuangan ini ditetapkan.

 

 

(6)

PJP yang tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib mengubah status cabangnya menjadi kantor Perwakilan.

 

 

(7)

PJP yang telah bekerjasama dengan BUJPA dan mencantumkan nama BUJPA yang bersangkutan pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Keputusan Menteri Keuangan ini selambat-lambatnya 6(enam) bulan sejak berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini.

 

 

Pasal 27

 

 

(1)

Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) tidak dapat dipenuhi maka laporan penilaian wajib ditandatangani oleh Direktur Utama dan Penilai dan PJP yang bersangkutan.

 

 

(2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku SIUPP.

 

 

Pasal 28

 

 

(1)

Ketentuan Pasal 22 ayat (3) tetap berlaku bagi PJP atau Cabang PJP yang telah dikenakan sanksi peringatan tertulis oleh instansi yang berwenang.

 

 

(2)

Ketentuan Pasal 23 ayat (3) tetap berlaku bagi PJP atau Cabang PJP yang telah dikenakan sanksi pembekuan SIUPP oleh instansi yang berwenang.

 

 

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29

 

 

Ketentuan yang diperlukan dalam pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal.

 

 

Pasal 30

 

 

SIUPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) atau izin usaha PJP yang diterbitkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

Pasal 31

 

 

izin usaha baru untuk melakukan kegiatan usaha jasa penilai kepada badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas (PT) tidak diterbitkan sejak berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini.

 

 

Pasal 32

 

 

Dengan berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dilarang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) apabila tidak memenuhi ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini.

 

 

Pasal 33

 

 

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

           
          Ditetapkan di Jakarta

 

 

 

 

 

pada tanggal 6 September 2004

          MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
           

 

BOEDIONO