PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2005
TENTANG
PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM
I UMUM
Paket undang-undang bidang keuangan negara merupakan paket reformasi yang signifikan,di bidang keuangan negara yang kita alami sejak kemerdekaan. Salah satu dari reformasi yang paling menonjol adalah pergeseran dari pengganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja. Dengan basis kinerja ini, mulai dirintis arah yang jelas bagi penggunaan dana pemerintah, berpindah dari sekedar membiayai masukan (inputs) atau proses ke pembayaran terhadap apa yang akan dihasilkan (outputs).
Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran yang lebih rasional untuk
mempergunakan sumber daya yang dimiliki pemerintah mengingat tingkat kebutuhan
dana yang makin tinggi, sementara sumber dana yang tersedia tetap terbatas. Hal
ini semakin mendesak lagi dengan kenyataan bahwa beban pembiayaan pemerintahan
yang bergantung pada pinjaman semakin dituntut pengurangannya demi keadilan
antargenerasi. Dengan demikian, pilihan rasional oleh publik sudah seyogianya
menyeimbang lain prioritas dengan kendala dana yang tersedia.
Orientasi pada outputs semakin menjadi praktik yang dianut luas oleh
pemerintahan modern di berbagai negara. Mewiraswastakan pemerintah
(enterprising the government) adalah paradigma yang memberi arah yang tepat
bagi keuangan sektor publik. Dalam kaitan ini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, yang menekankan basis kinerja dalam penganggaran,
memberi landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja ini di lingkungan pemerintah.
Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 dari undang-undang tersebut, instansi pemerintah
yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada rnasyarakat dapat
menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan
produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Instansi demikian, dengan sebutan
umum sebagai Badan Layanan Umum (BLU), diharapkan menjadi contoh konkrit yang
menonjol dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil kinerja).
Peluang ini secara. khusus disediakan kesempatannya bagi satuan-satuan kerja,
pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik (seperti layanan
kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, dan lisensi), untuk membedakannya
dari fungsi pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan. Praktik
ini telah berkembang luas di manca negara berupa upaya pengagenan (agencification)
aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi murni, tetapi
diselenggarakan oleh instansi yang dikelola ala bisnis (business like)
sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.
Di lingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat banyak satuan kegiatan yang
berpotensi untuk dikelola lebih efektif melalui pola Badan Layanan Umum. Di
antara mereka ada yang memperoleh imbalan dari masyarakat dalam proporsi
signifikan sehubungan dengan layanan yang diberikan, dan ada pula yang
bergantung sebagian besar pada dana yang disediakan oleh APBN/APBD. Kepada
mereka, terutama yang selama ini mendapatkan hasil pendapatan dari layanannya
dalam porsi signifikan, dapat diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya
untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan.
Dengan pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka
pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan
kas, dan pengadaan barang/jasa. Kepada BLU juga diberikan kesempatan untuk
mempekerjakan tenaga profesional non PNS serta kesempatan pemberian imbalan jasa
kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya. Tetapi sebagai pengimbang, BLU
dikendalikan secara ketat dalam perencanaan dan penganggarannya, serta dalam
pertanggungjawabannya, Dalam Peraturan Pemerintah ini, BLU wajib menghitung
harga pokok dari layanannya dengan kualitas dan kuantitas yang distandarkan
oleh menteri teknis pembina. Demikian pula dalam pertanggungjawabannya, BLU
harus mampu menghitung dan menyajikan anggaran yang digunakannya dalam kaitannya
dengan layanan yang telah direalisasikan. Oleh karena itu, BLU berperan sebagai
agen dari menteri/pimpinan lembaga induknya. Kedua belah pihak menandatangani
kontrak kinerja (a contractual performance agreement), di mana menteri/pimpinan
lembaga induk bertanggung jawab atas kebijakan layanan yang hendak dihasilkan,
dan BLU bertanggung jawab untuk menyajikan layanan yang diminta.
Dengan sifat-sifat tersebut, BLU tetap menjadi instansi pemerintah yang tidak
dipisahkan. Dan karenanya, seluruh pendapatan. yang diperolehnya dari non APBN/APBD
dilaporkan dan dikonsolidasikan dalam pertanggungjawaban APBN/APBD.
Sehubungan dengan privilese yang diberikan dan tuntutan khusus yang diharapkan
dari BLU, keberadaannya harus diseleksi dengan tata kelola khusus. Untuk itu,
menteri/pimpinan lembaga/satuan kerja dinas terkait diberi kewajiban untuk
membina aspek tektis BLU, sementara Menteri Keuangan/PPKD berfungsi sebagai
pembina di bidang pengelolaan keuangan.
Pola BLU tersedia untuk diterapkan oleh setiap instansi pemerintah yang secara
fungsional menyelenggarakan kegiatan yang bersifat operasional, Instansi
dimaksud dapat berasal dari, dan berkedudukan pada berbagai jenjang eselon atau
non eselon. Sehubungan dengan itu, organisasi dan struktur instansi pemerintah
yang berkehendak menerapkan PPK-BLU kemungkinan memerlukan penyesuaian dengan
memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Dengan demikian, BLU diharapkan tidak sekedar sebagai format baru dalam
pengelolaan APBN/APBD, tetapi BLU diharapkan untuk menyuburkan pewadahan baru
bagi pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan
pemerintah kepada masyarakat.
II |
PASAL DEMI PASAL |
|||
|
Pasal 1 |
|
||
|
|
Cukup jelas |
||
|
Pasal 2 |
|||
|
|
Tujuan yang dimaksud dalam ayat ini termasuk perwujudan efisiensi dan efektivitas pelayanan masyarakat serta pengamanan aset negara yang dikelola oleh instansi terkait. |
||
|
Pasal 3 |
|
||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang didelegasikann kepada BLU. Oleh karena itu, kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah harus menjalankan peran pengawasan terhadap kinerja layanan dan pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan. |
|
|
|
Ayat(2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat(3) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat(4) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat(5) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat(6) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (7) |
||
|
|
|
Dalam rangka mewujudkan konsep bisnis yang sehat, BLU harus senantiasa meningkatkan efisiensi dan produktivitas, antara lain dengan kewenangan merencanakan dan menetapkan kebutuhan sumber daya yang dibutuhkan. |
|
|
Pasal 4 |
|||
Ayat (1) | ||||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Bidang layanan umum yang diselenggarakan oleh instansi
dengan PPK-BLU, meliputi kegiatan pemerintah yang bersifat operasional dalam
menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan semi barang/jasa publik
(quasi public goods). |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Instansi yang hendak diusulkan menjadi BLU harus memperhatikarl persyaratan teknis yang berlaku pada sektor masing-masing. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Huruf a |
|
|
|
|
|
Pernyataan kesanggupan dibuat, oleh pimpinan instansi yang mengajukam usulan sebagai BLU dan diketahui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD. |
|
|
|
Huruf b |
|
|
|
|
|
Pola tata kelola (corporate governance) BLU yang dimaksud adalah peraturan internal yang antara lain menetapkan organisasi dan tata laksana, akuntabilitas, dan tranparansi. |
|
|
|
Huruf c |
|
|
|
|
|
Rencana strategis bisnis mencakup antara lain pernyataan visi, misi, program strategis, dan pengukuran pencapaian kinerja. |
|
|
|
Huruf d |
|
|
|
|
|
Laporan keuangan pokok yang dimaksud adalah laporan keuangan yang berlaku bagi instansi tersebut, termasuk laporan realisasi, anggaran/laporan operasional keuangan, laporan posisi keuangan, laporan arus kas (dalam hal berlaku), dan catatan atas laporan keuangan, serta neraca/prognosa neraca. |
|
|
|
Huruf e |
|
|
|
|
|
Standar pelayanan minimum yang dimaksud adalah prognosa standar pelayanan minimum BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD. |
|
|
|
Huruf f |
|
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (6) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 5 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
BLU-Bertahap diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu berkaitan dengan jumlah dana yang dapat dikelola langsung, pengelolaan barang, pengelolaan piutang, serta perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan. Fleksibilitas tidak diberikan dalam pengelolaan investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan barang dan jasa. Batas-batas fleksibilitas yang diberikan dan yang tidak diberikan. tersebut selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan/gubernur/ bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (6) |
||
|
|
|
BLU-Bertahap harus memenuhi seluruh persyaratan secara memuaskan untuk ditetapkaa menjadi BLU secara penuh dalam periode tersebut pada ayat ini. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, maka status BLU-Bertahap dibatalkan. |
|
|
|
Ayat (7) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 6 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 7 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 8 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Standar pelayanan minimum bertujuan untuk memberikan batasan layanan minimum yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah. Agar fungsi standar pelayanan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka standar layanan BLU semestinya memenuhi persyaratan SMART (Specific, Measurable, Attainable, Reliable, and Timely), yaitu : |
|
|
|
|
a. |
fokus pada jenis layanan; |
|
|
|
b. |
dapat diukur; |
|
|
|
c. |
dapat dicapai; |
|
|
|
d. |
relevan dari dapat diandalkan; dan |
|
|
|
e. |
tepat waktu. |
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Kualitas layanan meliputi teknis layanan, proses layanan, tata cara, dan waktu tunggu untuk mendapatkan layanan. |
|
|
Pasal 9 |
|
||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini, termasuk imbal hasil (return) yang wajar dari investasi dana, dapat bertujuan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya per unit layanan. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Tarif layanan dalam ketentuan ini dapat berupa besaran tarif atau pola tarif sesuai jenis layanan BLU yang bersangkutan. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Tarif layanan dalam ketentuan ini dapat berupa besaran tarif atau pola tarif sesuai jenis layanan BLU yang bersangkutan. Dalam rangka penetapan tarif dimaksud Menteri Keuangan/gubernur/bupati /walikota, sesuai dengan kewenangannya, dibantu oleh suatu tim dengan nara sumber yang berasal dari sektor terkait. |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 10 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
RBA memuat antara lain kondisi kinerja BLU tahun berjalan, asumsi makro dan mikro, target kinerja (output yang terukur), analisis dan perkiraan biaya per output dan agregat, perkiraan harga, anggaran, serta prognosa laporan keuangan. RBA juga memuat perkiraan maju (forward estimate) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. RBA tersebut disusun dengan menganut pola anggaran fleksibel (flexible budget) dengan suatu persentase ambang batas tertentu. RBA dimaksud merupakan refleksi program dan kegiatan dari kementerian negara/lembaga /SKPD/pemerintah daerah. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Dalam hal BLU pemerintah daerah ditunjuk sebagai pelaksana anggaran dekonsentrasi/tugas pembantuan, proses pengelolaan keuangannya diselenggarakan secara terpisah berdasarkan ketentuan yang berlaku. dalam pelaksanaan APBN. |
|
|
Pasal 11 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan, RBA BLU dikonsolidasikan dengan RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 12 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Sebagai manifestasi dari hubungan kerja antara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota dengan pimpinan BLU, kedua belah pihak menandatangani perjanjian kinerja (a contractual performance agreement). Dalam perjanjian tersebut, pihak terdahulu menugaskan pihak terakhir untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen pelaksanaan anggaran, dan pihak yang terakhir, berhak mengelola dana sebagaimana tertuang dalam dokumen pelaksanaan anggaran tersebut. |
|
|
|
Ayat (6) |
||
|
|
|
BLU berhak rnenarik dana secara berkala sebesar selisih (mismatch) antara jumlah kas yang tersedia ditambah dengan aliran kas masuk yang diharapkan dengan jumlah pengeluaran yang diproyeksikan, dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). |
|
|
Pasal 13 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 14 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Penerimaan anggaran yang dimaksud pada ayat ini adalah penerimaan yang berasal dari otorisasi kredit anggaran kementerian negara /lembaga/pemerintah daerah, bukan dari kegiatan pembiayaan APBN /APBD. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Peruntukan hibah terikat dapat ditujukan untuk membiayai kegiatan operasional, aset tetap, investasi keuangan (endowment funds), atau pembebasan kewajiban, tergantung tujuan pemberian hibah. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Hasil yang dimaksud pada ayat ini dapat diperoleh dari kerjasama operasional, sewa-menyewa, dan usaha lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan tugas pokok dan fungsi BLU. |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (6) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 15 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan fleksibel adalah bahwa belanja dapat bertambah atau berkurang dari yang dianggarkan sepanjang pendapatan terkait bertarnbah atau berkurang setidaknya proposional (flexible budget). |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Besaran ambang batas belanja ditentukan dengan mempertimbangkan fluktuasi kegiatan operasional. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (6) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 16 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 17 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Piutang BLU yang sulit ditagih dapat dilimpahkan penagihannya kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 18 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (6) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (7) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (8) |
||
|
|
|
Jatuh tempo dihitung sejak 1 Januari tahun berikutnya. |
|
|
Pasal 19 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Investasi jangka panjang yang dimaksud antara lain adalah penyertaan modal, pemilikan obligasi untuk masa jangka panjang, atau investasi langsung (pendirian perusahaan). Jika BLU mendirikan/membeli badan usaha yang berbadan hukum, kepemilikan badan usaha tersebut ada pada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 20 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
BLU dapat dibebaskan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan yang berlaku umum bagi pengadaan barang/jasa pemerintah bila terdapat alasan efektivitas dan/atau efisiensi. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 21 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Barang inventaris yang dimaksud pada ayat ini adalah barang pakai habis, barang untuk diolah atau dijual, barang lainnya yang tidak memenuhi persyaratan sebagai aset tetap. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Hasil penjualan barang inventaris dimaksud harus diungkapkan secara memadai dalam laporan keuangan BLU. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 22 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan BLU atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum, sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Hasil penjualan aset tetap dimaksud harus diungkapkan secara memadai dalam laporan keuangan BLU. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Peraturan yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik negara/daerah. |
|
|
Pasal 23 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 24 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 25 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 26 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 27 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Laporan realisasi anggaran/laporan operasional yang dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan ketentuan pada standar akuntansi yang berlaku untuk BLU yang bersangkutan. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Yang dimaksud dengan lembar muka laporan keuangan (face of financial statements) adalah lembar laporan realisasi anggaran/operasional, lembar neraca, dan lembar laporan arus kas. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Laporan realisasi anggaran, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan disampaikan setiap triwulanan. Laporan keuangan yang lengkap disampaikan untuk masa semester dan tahunan. |
|
|
|
Ayat (5) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (6) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (7) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (8) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 28 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Tata cara penyusunan ikhtisar kinerja operasional dan pengintegrasiannya dengan laporan keuangan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaporan keuangan dan kinerja. |
|
|
Pasal 29 |
|||
|
|
Surplus anggaran BLU dimaksud adalah selisih lebih antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran. Surplus tersebut diestimasikan dalam RBA tahun anggaran berikut untuk disetujui penggunaannya. |
||
|
Pasal 30 |
|||
|
|
Defisit anggaran BLU dimaksud adalah selisih kurang antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran. |
||
|
Pasal 31 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menetapkan status kelembagaan instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU yang mengakibatkan perubahan satuan kerja struktural atau menjadi non-struktural pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. |
|
|
Pasal 32 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Sebutan pemimpin, pejabat keuangan, dan pejabat teknis dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada instansi pemerintah yang bersangkutan. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (4) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 33 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU tenaga profesional non-pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dapat dipekerjakan secara tetap atau berdasarkan konfrak. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 34 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 35 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 36 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah imbalan kerja yang dapat benupa gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Penetapan remunerasi dalam peraturan dimaksud harus mempertimbangkan prinsip proporsionalitas, kesetaraan, dan kepatutan. |
|
|
Pasal 37 |
|||
|
|
Ayat (1) |
||
|
|
|
Proses peralihan kepemilikan atas nama Menteri Keuangan gubernur/bupati/walikota termasuk kepemilikan atas badan usaha berbentuk yayasan, dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak penetapan BLU. |
|
|
|
Ayat (2) |
||
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Pasal 38 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 39 |
|||
|
|
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perjan menjalankan kegiatan operasionalnya sampai dengan akhir tahun anggaran 2005. |
||
|
Pasal 40 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
Pasal 41 |
|||
|
|
Cukup jelas. |
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4502 |