UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 17 TAHUN 2006
 

TENTANG


PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 

Menimbang

:

a.

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan;

 

 

b.

bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sudah tidak sesuai dengan penyelenggaraan kepabeanan sehingga perlu dilakukan perubahan;

 

 

c.

bahwa dalam upaya untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, untuk mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu pengaturan yang lebih jelas dalam pelaksanaan kepabeanan;

 

 

d.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);

 

 

3.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995, Nomor 3612);

   

 

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN.

 

 

Pasal I

 

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) diubah sebagai berikut:

 

 

1.

Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 17 diubah dan ditambah 4 (empat) angka, yaitu angka 15a, angka 19, angka 20, dan angka 21 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 1

 

 

 

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

 

 

 

1.

Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.

 

 

 

2.

Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang ini.

 

 

 

3.

Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

 

 

 

4.

Kantor pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

 

 

 

5.

Pos pengawasan pabean adalah tempat yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor.

 

 

 

6.

Kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini.

 

 

 

7.

Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

 

 

 

8.

Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

 

 

 

9.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

 

 

 

10.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai.

 

 

 

11.

Pejabat bea dan cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang ini.

 

 

 

12.

Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

 

 

 

13.

Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.

 

 

 

14.

Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.

 

 

 

15.

Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.

 

 

 

15a

Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang ekspor.

 

 

 

16.

Tempat penimbunan sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.

 

 

 

17.

Tempat penimbunan berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.

 

 

 

18.

Tempat penimbunan pabean adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu, yang disediakan oleh pemerintah di kantor pabean, yang berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara berdasarkan Undang-Undang ini.

 

 

 

19.

Barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh instansi teknis terkait sebagai barang yang pengangkutannya di dalam daerah pabean diawasi.

 

 

 

20.

Audit kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

 

 

 

21.

Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar.

    2.

Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 2

 

 

 

1.

Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk.

 

 

 

2.

Barang yang telah dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor.

 

 

 

3.

Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan barang ekspor dalam hal dapat dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk dibongkar di suatu tempat dalam daerah pabean.

 

 

3.

Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 pasal yaitu Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 2A

(1)

Terhadap barang ekspor dapat dikenakan bea keluar.

 

 

 

(2)

Bea keluar dikenakan terhadap barang ekspor dengan tujuan untuk:

a

menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;

b.

melindungi kelestarian sumber daya alam;

 

 

 

 

c.

mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau

d.

menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.

 

 

 

(3)

Ketentuan mengenai pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

 

 

4.

Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 3

(1)

Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean.

 

 

 

(2)

Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang.

 

 

 

(3)

Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara selektif.

 

 

 

(4)

Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

 

 

5.

Pasal 4 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 4 sehingga Penjelasan Pasal 4 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.

 

 

6.

Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 4A

 

 

 

(1)

Terhadap barang tertentu dilakukan pengawasan pengangkutannya dalam daerah pabean.

 

 

 

(2)

Instansi teknis terkait, melalui menteri yang membidangi perdagangan, memberitahukan jenis barang yang ditetapkan sebagai barang tertentu kepada Menteri.

 

 

 

(3)

Ketentuan mengenai pengawasan pengangkutan barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

 

 

7.

Ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

 

 

 

(1)

Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean.

 

 

 

(2)

Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean.

 

 

 

(3)

Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean.

 

 

 

(4)

Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri.

 

 

8.

Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 5A yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 5A

 

 

 

(1)

Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik.

 

 

 

(2)

Penetapan kantor pabean tempat penyampaian pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik dilakukan oleh Menteri.

 

 

 

(3)

Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini.

 

 

 

(4)

Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

 

 

9.

Ketentuan Pasal 6 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 6

 

 

 

(1)

Terhadap barang yang diimpor atau diekspor berlaku segala ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

 

 

 

(2)

Dalam hal pengawasan pengangkutan barang tertentu tidak diatur oleh instansi teknis terkait, pengaturannya didasarkan pada ketentuan Undang-Undang ini.

 

 

10.

Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 6A yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 6A

 

 

 

(1)

Orang yang akan melakukan pemenuhan kewajiban pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapat nomor identitas dalam rangka akses kepabeanan.

 

 

 

(2)

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) orang yang melakukan pemenuhan kewajiban pabean tertentu.

 

 

 

(3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

11.

 Judul BAB II diubah sehingga BAB II berbunyi sebagai berikut:

 

 

BAB II
PENGANGKUTAN BARANG, IMPOR,
DAN EKSPOR
 

 

 

12.

Judul BAB II Bagian Pertama diubah sehingga BAB II Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut:

 

 

Bagian Pertama
Pengangkutan Barang

 

 

13.

Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 diubah sehingga BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 berbunyi sebagai berikut:

 

 

Paragraf 1
Kedatangan Sarana Pengangkut

14.

Pasal 7 dihapus.

 

 

15.

Di antara Pasal 7 dan BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 7A

(1)

Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan datang dari:

a.

luar daerah pabean; atau 

 

 

 

 

b.

dalam daerah pabean yang mengangkut barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal daerah pabean yang diangkut ke tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean,

 

 

 

 

wajib memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkut ke kantor pabean tujuan sebelum kedatangan sarana pengangkut, kecuali sarana pengangkut darat.

 

 

 

(2)

Pengangkut yang sarana pengangkutnya memasuki daerah pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam manifesnya.

 

 

 

(3)

Pengangkut yang sarana pengangkutnya datang dari luar daerah pabean atau datang dari dalam daerah pabean dengan mengangkut barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan pemberitahuan pabean mengenai barang yang diangkutnya sebelum melakukan pembongkaran.

 

 

 

(4)

Dalam hal tidak segera dilakukan pembongkaran, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan:

 

 

 

 

a.

paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui laut;

 

 

 

 

b.

paling lambat 8 (delapan) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui udara; atau

 

 

 

 

c.

pada saat kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui darat.

 

 

 

(5)

Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan bagi pengangkut yang berlabuh paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak melakukan pembongkaran barang.

 

 

 

(6)

Dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat, pengangkut dapat membongkar barang impor terlebih dahulu dan wajib:

 

 

 

 

a.

melaporkan keadaan darurat tersebut ke kantor pabean terdekat pada kesempatan pertama; dan

 

 

 

 

b.

menyerahkan pemberitahuan pabean paling lambat 72 (tujuh puluh dua) jam sesudah pembongkaran.

 

 

 

(7)

Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

 

 

 

(8)

Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau ayat (6) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 

 

 

(9)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

 

 

16.

Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 diubah sehingga BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 berbunyi sebagai berikut:

 

 

Paragraf 2
Pengangkutan Barang

17.

Pasal 8 dihapus.

 

 

18.

Di antara Pasal 8 BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 disisipkan 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 8A, Pasal 8B, dan Pasal 8C yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 8A

 

 

 

(1)

Pengangkutan barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat dengan tujuan tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat lainnya wajib diberitahukan ke kantor pabean.

 

 

 

(2)

Pengusaha atau importir yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

 

 

 

(3)

Pengusaha atau importir yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

 

 

 

(4)

Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Pasal 8B

 

 

 

(1)

Pengangkutan tenaga listrik, barang cair, atau gas untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi atau saluran pipa yang jumlah dan jenis barangnya didasarkan pada hasil pengukuran di tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean.

 

 

 

(2)

Pengiriman peranti lunak dan/atau data elektronik untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi elektronik.

 

 

 

(3)

Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Pasal 8C

 

 

 

(1)

Barang tertentu wajib diberitahukan oleh pengangkut baik pada waktu keberangkatan maupun kedatangan di kantor pabean yang ditetapkan.

 

 

 

(2)

Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilindungi dokumen yang sah dalam pengangkutannya.

 

 

 

(3)

Pengangkut yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlahnya kurang atau lebih dari yang diberitahukan dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

 

 

 

(4)

Pengangkut yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

 

 

 

(5)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

 

 

19.

Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 diubah sehingga BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 berbunyi sebagai berikut:

 

 

Paragraf 3
Keberangkatan Sarana Pengangkut

20.

Pasal 9 dihapus.

 

 

21.

Di antara Pasal 9 dan BAB II Bagian Kedua disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut:

 

 

Pasal 9A

(1)

Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan berangkat menuju:

a.

ke luar daerah pabean;

 

 

 

 

b.

ke dalam daerah pabean yang mengangkut barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal daerah pabean yang diangkut ke tempat lain di dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean,

wajib menyerahkan pemberitahuan pabean atas barang yang diangkutnya sebelum keberangkatan sarana pengangkut.

(2)

Pengangkut yang sarana pengangkutnya menuju ke luar daerah pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam manifesnya.

(3)

Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(4)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

22.

Judul BAB II Bagian Kedua diubah sehingga BAB II Bagian Kedua berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kedua
Impor

23.

Pasal 10 dihapus.

24.

BAB II Bagian Kedua ditambah 3 (tiga) paragraf, yaitu Paragraf 1, Paragraf 2, dan Paragraf 3 yang berbunyi sebagai berikut:

Paragraf 1
Pembongkaran, Penimbunan,
dan Pengeluaran

Pasal 10A

(1)

Barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean.

(2)

Barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) dapat dibongkar ke sarana pengangkut lainnya di laut dan barang tersebut wajib dibawa ke kantor pabean melalui jalur yang ditetapkan.

(3)

Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

(4)

Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(5)

Barang impor, sementara menunggu pengeluarannya dari kawasan pabean, dapat ditimbun di tempat penimbunan sementara.

(6)

Dalam hal tertentu, barang impor dapat ditimbun di tempat lain yang diperlakukan sama dengan tempat penimbunan sementara.

(7)

Barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) setelah dipenuhinya kewajiban pabean untuk:

a.

diimpor untuk dipakai;

b.

diimpor sementara;

c.

ditimbun di tempat penimbunan berikat;

d.

diangkut ke tempat penimbunan sementara di kawasan pabean lainnya;

e.

diangkut terus atau diangkut lanjut; atau

f.

diekspor kembali.

(8)

Orang yang mengeluarkan barang impor dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6), setelah memenuhi semua ketentuan tetapi belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

(9)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Paragraf 2
Impor Untuk Dipakai

Pasal 10B

(1)

Impor untuk dipakai adalah:

a.

memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai; atau

b.

memasukkan barang ke dalam daerah pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia.

(2)

Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor untuk dipakai setelah:

a.

diserahkan pemberitahuan pabean dan dilunasi bea masuknya;

b.

diserahkan pemberitahuan pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; atau

c.

diserahkan dokumen pelengkap pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.

(3)

Barang impor yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau pelintas batas ke dalam daerah pabean pada saat kedatangannya wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai.

(4)

Barang impor yang dikirim melalui pos atau jasa titipan hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan pejabat bea dan cukai.

(5)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

(6)

Orang yang tidak melunasi bea masuk atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau huruf c dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari bea masuk yang wajib dilunasi.

Pasal 10C

(1)

Importir dapat mengajukan permohonan perubahan atas kesalahan data pemberitahuan pabean yang telah diserahkan sepanjang kesalahan tersebut terjadi karena kekhilafan yang nyata.

(2)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak apabila:

a.

barang telah dikeluarkan dari kawasan pabean;

b.

kesalahan tersebut merupakan temuan pejabat bea dan cukai; atau

c.

telah mendapatkan penetapan pejabat bea dan cukai.

(3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

Paragraf 3
Impor Sementara

Pasal 10D

(1)

Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 (tiga) tahun.

(2)

Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali berada dalam pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(3)

Barang impor sementara dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk.

(4)

Barang impor sementara yang diberikan keringanan bea masuk, setiap bulan dikenai bea masuk paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

(5)

Orang yang terlambat mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

(6)

Orang yang tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan wajib membayar bea masuk dan dikenai sanksi administrasi berupa denda 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

(7)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

25.

Judul BAB II Bagian Ketiga diubah sehingga BAB II Bagian Ketiga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga
Ekspor

26.

Pasal 11 dihapus.

27.

Di antara Pasal 11 dan BAB III disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11A

(1)

Barang yang akan diekspor wajib diberitahukan dengan pemberitahuan pabean.

(2)

Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu.

(3)

Pemuatan barang ekspor dilakukan di kawasan pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di tempat lain dengan izin kepala kantor pabean.

(4)

Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor, sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun di tempat penimbunan sementara atau tempat lain dengan izin kepala kantor pabean.

(5)

Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika ekspornya dibatalkan wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan cukai.

(6)

Eksportir yang tidak melaporkan pembatalan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(7)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

28.

Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1)

Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap:

a.

barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional; atau

b.

barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan.

(2)

Tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

29.

Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1)

Untuk penetapan tarif bea masuk dan bea keluar, barang dikelompokkan berdasarkan sistem klasifikasi barang.

(2)

Ketentuan tentang klasifikasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

30.

Ketentuan Pasal 15 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3a) sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

(1)

Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan.

(2)

Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang dari barang identik.

(3)

Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa.

(3a)

Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan ketentuan pada ayat (4) dan ayat (5) secara berurutan, kecuali atas permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan mendahului ayat (4).

(4)

Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode deduksi.

(5)

Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode komputasi.

(6)

Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atau metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan dengan menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) berdasarkan data yang tersedia di daerah pabean dengan pembatasan tertentu.

(7)

Ketentuan mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

31.

Ketentuan Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16

(1)

Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif terhadap barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean.

(2)

Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean barang impor untuk penghitungan bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean.

(3)

Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1), importir wajib melunasi bea masuk yang kurang dibayar sesuai dengan penetapan.

(4)

Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

(5)

Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kelebihan pembayaran bea masuk, pengembalian bea masuk dibayar sebesar kelebihannya.

(6)

Ketentuan mengenai penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

32.

Ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1)

Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean.

(2)

Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir untuk:

a.

melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau

b.

mendapatkan pengembalian bea masuk yang lebih dibayar.

(3)

Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali.

(4)

Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

33.

Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17A

Berdasarkan permohonan, Direktur Jenderal dapat menetapkan klasifikasi barang dan nilai pabean atas barang impor sebagai dasar penghitungan bea masuk sebelum diajukan pemberitahuan pabean.

34.

Judul BAB IV diubah sehingga BAB IV berbunyi sebagai berikut:

BAB IV
BEA MASUK ANTI DUMPING,
BEA MASUK IMBALAN,
BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN,
DAN BEA MASUK PEMBALASAN

35.

Pasal 20 dihapus.

36.

Pasal 23 dihapus.

37.

BAB IV ditambahkan 3 (tiga) bagian, yaitu Bagian Ketiga, Bagian Keempat, dan Bagian Kelima yang berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga
Bea Masuk Tindakan Pengamanan

Pasal 23A

Bea masuk tindakan pengamanan dapat dikenakan terhadap barang impor dalam hal terdapat lonjakan barang impor baik secara absolut maupun relatif terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan barang impor tersebut:

a.

menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut dan/atau barang yang secara langsung bersaing; atau

b.

mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing.

Pasal 23B

(1)

Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri.

(2)

Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).

Bagian Keempat
Bea Masuk Pembalasan

Pasal 23C

(1)

Bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif.

(2)

Bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).

Bagian Kelima
Pengaturan dan Penetapan

Pasal 23D

(1)

Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

(2)

Besar tarif bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

38.

Ketentuan Pasal 25 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

(1)

Pembebasan bea masuk diberikan atas impor:

a.

barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

b.

barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia;

c.

buku ilmu pengetahuan;

d.

barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;

e.

barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam;

f.

barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

g.

barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;

h.

persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

i.

barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

j.

barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;

k.

peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;

l.

barang pindahan;

m.

barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu;

n.

obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;

o.

barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian;

p.

barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas pada saat diekspor;

 

 

 

 

q.

bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan.

(2)

Dihapus.

(3)

Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

(4)

Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

39.

Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

(1)

Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor:

a.

barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman modal;

b.

mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri;

c.

 barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri untuk jangka waktu tertentu;

d.

peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;

e.

bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau perikanan;

f.

hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin;

g.

barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke dalam daerah pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk dipakai;

h.

barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;

i.

barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh induk organisasi olahraga nasional;

j.

barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar negeri;

k.

barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.

(2)

Dihapus.

(3)

Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

(4)

Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

(40)

Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

(1)

Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah dibayar atas:

a.

kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha;

b.

impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26;

c.

impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai;

d.

impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah; atau

e.

kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan Pengadilan Pajak.

(2)

Ketentuan tentang pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

41.

Ketentuan Pasal 30 diubah dengan menambah 2 (dua) ayat, yaitu ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30

(1)

Importir bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang sejak tanggal pemberitahuan pabean atas impor.

(2)

Bea masuk yang harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean atas Impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

(3)

Bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah.

(4)

Ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea masuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

42.

Ketentuan Pasal 32 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 32

(1)

Pengusaha tempat penimbunan sementara bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementara.

(2)

Pengusaha tempat penimbunan sementara dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementaranya:

a.

musnah tanpa sengaja;

b.

telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara; atau

c.

telah dipindahkan ke tempat penimbunan sementara lain, tempat penimbunan berikat atau tempat penimbunan pabean.

(3)

Perhitungan bea masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk golongan barang yang tertera dalam pemberitahuan pabean pada saat barang tersebut ditimbun di tempat penimbunan sementara dan nilai pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai.

(4)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk tata cara penagihan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

43.

Judul BAB VII diubah sehingga BAB VII berbunyi sebagai berikut:

BAB VII
PEMBAYARAN, PENAGIHAN UTANG,
DAN JAMINAN

44.

Judul BAB VII Bagian Pertama diubah sehingga BAB VII Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut:

Bagian Pertama
Pembayaran

45.

Ketentuan Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36

(1)

Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang terutang kepada negara menurut Undang-Undang ini, dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri.

(2)

Bea masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah.

(3)

Ketentuan mengenai tata cara pembayaran, penerimaan, penyetoran bea masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pembulatan jumlahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

46.

Ketentuan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37

(1)

Bea masuk yang terutang wajib dibayar paling lambat pada tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean.

(2)

Kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penundaan dalam hal pembayarannya ditetapkan secara berkala atau menunggu keputusan pembebasan atau keringanan.

(2a)

Penundaan kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2):

a.

tidak dikenai bunga sepanjang pembayarannya ditetapkan secara berkala;

b.

dikenai bunga sepanjang permohonan pembebasan atau keringanan ditolak.

(3)

Ketentuan mengenai penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

47.

Di antara Pasal 37 dan Bagian Kedua BAB VII disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37A

(1)

Kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau denda administrasi yang terutang wajib dibayar paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan.

(2)

Atas permintaan orang yang berutang, Direktur Jenderal dapat memberikan persetujuan penundaan atau pengangsuran kewajiban membayar bea masuk dan/atau denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 12 (dua belas) bulan.

(3)

Penundaan kewajiban membayar bea masuk dan/atau denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan.

(4)

Ketentuan mengenai penundaan pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

48.

Ketentuan Pasal 38 diubah dengan menambah 1 (satu), yaitu ayat (3) sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38

(1)

Utang atau tagihan kepada negara berdasarkan Undang-Undang ini yang tidak atau kurang dibayar dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan.

(2)

Penghitungan utang atau tagihan kepada negara menurut Undang-Undang ini dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah.

(3)

Jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut:

a.

dalam hal tagihan negara kepada pihak yang terutang yaitu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1);

b.

dalam hal tagihan pihak yang berpiutang kepada negara yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat keputusan pengembalian oleh Menteri.

49.

Pasal 41 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 41 sehingga penjelasan Pasal 41 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal dalam Undang-Undang ini.

50.

Ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (1a) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44

(1)

Dengan persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat, atau bangunan dapat ditetapkan sebagai tempat penimbunan berikat dengan mendapatkan penangguhan bea masuk untuk:

a.

menimbun barang impor guna diimpor untuk dipakai, dikeluarkan ke tempat penimbunan berikat lainnya atau diekspor;

b.

menimbun barang guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai;

c.

menimbun barang impor, dengan atau tanpa barang dari dalam daerah pabean, guna dipamerkan;

d.

menimbun, menyediakan untuk dijual dan menjual barang impor kepada orang dan/atau orang tertentu;

e.

menimbun barang impor guna dilelang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai;

f.

menimbun barang asal daerah pabean guna dilelang sebelum diekspor atau dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean; atau

g.

menimbun barang impor guna didaur ulang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.

(1a)

Menteri dapat menetapkan suatu kawasan, tempat, atau bangunan untuk dilakukannya suatu kegiatan tertentu selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai tempat penimbunan berikat.

(2)

Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pendirian penyelenggaraan, pengusahaan, dan perubahan bentuk tempat penimbunan berikat diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

51.

Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga Pasal 45 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45

(1) 

Barang dapat dikeluarkan dari tempat penimbunan berikat atas persetujuan pejabat bea dan cukai untuk:

a.

diimpor untuk dipakai;

b.

diolah;

c.

diekspor sebelum atau sesudah diolah;

d.

diangkut ke tempat penimbunan berikat lain atau tempat penimbunan sementara;

e.

dikerjakan dalam daerah pabean dan kemudian dimasukkan kembali ke tempat penimbunan berikat dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri; atau

f.

dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean.

(2)

Barang dari tempat penimbunan berikat yang diimpor untuk dipakai berupa:

a.

barang yang telah diolah atau digabungkan;

b.

barang yang tidak diolah; dan/atau

c.

barang lainnya,

dipungut bea masuk berdasarkan tarif dan nilai pabean yang ditetapkan dengan peraturan menteri.

(3)

Orang yang mengeluarkan barang dari tempat penimbunan berikat sebelum diberikan persetujuan oleh pejabat bea dan cukai tanpa bermaksud mengelakkan kewajiban pabean, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

(4)

Pengusaha tempat penimbunan berikat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang seharusnya berada di tempat tersebut wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

52.

Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 49

Importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan wajib menyelenggarakan pembukuan.

53.

Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50

(1)

Atas permintaan pejabat bea dan cukai, orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan untuk kepentingan audit kepabeanan.

(2)

Dalam hal orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat, kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan beralih kepada yang mewakili.

54.

Ketentuan Pasal 51 diubah dan ditambah 3 (tiga) ayat, yaitu ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51

(1)

Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib diselenggarakan dengan baik agar menggambarkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, dan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, pendapatan, dan biaya.

(2)

Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, mata uang rupiah, dan bahasa Indonesia, atau dengan mata uang asing dan bahasa asing yang diizinkan oleh menteri.

(3)

Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya di Indonesia.

(4)

Ketentuan mengenai pedoman penyelenggaraan pembukuan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

55.

Ketentuan Pasal 52 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52

(1)

Orang yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2)

Orang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)

56.

Judul BAB X diubah sehingga BAB X berbunyi sebagai berikut:

BAB X
LARANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR
ATAU EKSPOR, PENANGGUHAN IMPOR
ATAU EKSPOR BARANG HASIL
PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN
INTELEKTUAL, DAN PENINDAKAN ATAS
BARANG YANG TERKAIT DENGAN
TERORISME DAN/ATAU
KEJAHATAN LINTAS NEGARA

57.

Ketentuan Pasal 53 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53

(1)

Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis yang menetapkan peraturan larangan dan/atau pembatasan atas impor atau ekspor wajib memberitahukan kepada Menteri.

(2)

Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

(3)

Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir:

a.

dibatalkan ekspornya;

b.

diekspor kembali; atau

c.

dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4)

Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

58.

Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54

Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, ketua pengadilan niaga dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada pejabat bea dan cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia.

59.

Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga Pasal 56 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 56

Berdasarkan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, pejabat bea dan cukai:

a.

memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan ekspor;

b.

melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dari kawasan pabean terhitung sejak tanggal diterimanya perintah tertulis ketua pengadilan niaga.

60.

Ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57

(1)

Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.

(2)

Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dengan perintah tertulis ketua pengadilan niaga.

(3)

Perpanjangan penangguhan terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.

61.

Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58

(1)

Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta yang meminta perintah penangguhan, ketua pengadilan niaga dapat memberi izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penangguhan pengeluarannya.

(2)

Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan niaga setelah mendengarkan dan mempertimbangkan penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya.

62.

Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59

(1)

Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), pejabat bea dan cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, pejabat bea dan cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini.

(2)

Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor wajib secepatnya melaporkannya kepada pejabat bea dan cukai yang menerima perintah dan melaksanakan penangguhan barang impor atau ekspor.

(3)

Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diberitahukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2), pejabat bea dan cukai mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini.

63.

Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60

Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan niaga untuk memerintahkan secara tertulis kepada pejabat bea dan cukai agar mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan menyerahkan jaminan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.

64.

Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga Pasal 61 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61

(1)

Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa barang impor atau ekspor tersebut tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau pemegang hak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut.

(2)

Pengadilan niaga yang memeriksa dan memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai pembayaran atau bagian pembayaran ganti rugi yang harus dibayarkan.

65.

Di antara Pasal 64 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bagian, yaitu Bagian Ketiga yang berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga
Penindakan Atas Barang yang Terkait dengan
Terorisme dan/atau Kejahatan Lintas Negara

Pasal 64A

(1)

Barang yang berdasarkan bukti permulaan diduga terkait dengan tindakan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara dapat dilakukan penindakan oleh pejabat bea dan cukai.

(2)

Ketentuan mengenai tata cara penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

66.

Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah sehingga Pasal 75 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75

(1)

Pejabat bea dan cukai dalam melaksanakan pengawasan terhadap sarana pengangkut di laut atau di sungai menggunakaan kapal patroli atau sarana lainnya.

(2)

Kapal patroli atau sarana lain yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan senjata api yang jumlah dan jenisnya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

67.

Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga Pasal 76 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 76

(1)

Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya.

(2)

Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya berkewajiban untuk memenuhinya.

68.

Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78

Pejabat bea dan cukai berwenang untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan terhadap barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dan barang ekspor atau barang lain yang harus diawasi menurut Undang-Undang ini yang berada di sarana pengangkut, tempat penimbunan atau tempat lain.

69.

Ketentuan Pasal 82 ayat (4) dihapus dan ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 82 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82

(1)

Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan pabean atas barang impor atau barang ekspor setelah pemberitahuan pabean diserahkan.

(2)

Pejabat bea dan cukai berwenang meminta importir, eksportir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk diperiksa, membuka sarana pengangkut atau bagiannya, dan membuka setiap bungkusan atau pengemas yang akan diperiksa.

(3)

Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi:

a.

pejabat bea dan cukai berwenang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas risiko dan biaya yang bersangkutan; dan

b.

yang bersangkutan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

(4)

Dihapus.

(5)

Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1.000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

(6)

Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas ekspor yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang kurang dibayar dan paling banyak 1.000% (seribu persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang kurang dibayar.

70.

Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan satu pasal, yaitu Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82A

(1)

Untuk kepentingan pengawasan, pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan karena jabatan atas fisik barang impor atau barang ekspor sebelum atau sesudah pemberitahuan pabean disampaikan.

(2)

Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

71.

Ketentuan Pasal 85 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85

(1)

Pejabat bea dan cukai memberikan persetujuan impor atau ekspor setelah pemberitahuan pabean yang telah memenuhi persyaratan diterima dan hasil pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan pemberitahuan pabean.

(2)

Pejabat bea dan cukai berwenang menunda pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal pemberitahuan pabean tidak memenuhi persyaratan.

(3)

Pejabat bea dan cukai berwenang menolak memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini.

72.

Di antara Pasal 85 dan BAB XII Paragraf 2 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 85A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85A

(1)

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pejabat bea dan cukai dapat melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu yang diangkut dalam daerah pabean.

(2)

Pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada saat pemuatan, pengangkutan, dan/atau pembongkaran di tempat tujuan.

(3)

Ketentuan mengenai pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

73.

Ketentuan Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (1a), serta ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasal 86 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86

(1)

Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit kepabeanan terhadap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

(1a)

Dalam melaksanakan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai berwenang:

a.

meminta laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan;

b.

meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari orang dan pihak lain yang terkait;

c.

memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, dan barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan; dan

d.

melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan.

(2)

Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan kewenangan audit kepabeanan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

(3)

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

74.

Di antara Pasal 86 dan Paragraf 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 86A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86A

Apabila dalam pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan adanya kekurangan pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan jumlah dan/atau jenis barang, orang wajib membayar bea masuk yang kurang dibayar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (5).

75.

Ketentuan Pasal 88 ayat (2) diubah sehingga Pasal 88 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88

(1)

Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini, pejabat bea dan cukai berwenang memasuki dan memeriksa bangunan atau tempat yang bukan rumah tinggal selain yang dimaksud dalam Pasal 87 dan dapat memeriksa setiap barang yang ditemukan.

(2)

Selama pemeriksaan atas bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atas permintaan pejabat bea dan cukai, pemilik atau yang menguasai bangunan atau tempat tersebut wajib menyerahkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan barang yang berada di tempat tersebut.

76.

Ketentuan Pasal 90 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 90 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90

(1)

Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut serta barang di atasnya.

(2)

Sarana pengangkut yang disegel oleh penegak hukum lain atau dinas pos dikecualikan dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Pejabat bea dan cukai berdasarkan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3) berwenang untuk menghentikan pembongkaran barang dari sarana pengangkut apabila ternyata barang yang dibongkar tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

(4)

Orang yang tidak melaksanakan perintah penghentian pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

77.

Di antara Pasal 92 dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bagian, yaitu Bagian Keempat yang berbunyi sebagai berikut:

Bagian Keempat
Kewenangan Khusus Direktur Jenderal

Pasal 92A

(1)

Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan dapat:

a.

membetulkan surat penetapan tagihan kekurangan pembayaran bea masuk yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan Undang-Undang ini; atau

b.

mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan atau bukan karena kesalahannya.

(2)

Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan, pembetulan, pengurangan, atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

78.

Judul BAB XIII diubah sehingga BAB XIII berbunyi sebagai berikut:

BAB XIII
KEBERATAN DAN BANDING

79.

Ketentuan Pasal 93 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 93 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93

(1)

Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar.

(1a)

Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib diserahkan dalam hal barang impor belum dikeluarkan dari kawasan pabean.

(2)

Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya pengajuan keberatan.

(3)

Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan.

(4)

Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan.

(5)

Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(6)

Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

80.

Di antara Pasal 93 dan Pasal 94 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 93A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93A

(1)

Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan.

(2)

Sepanjang keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut kekurangan pembayaran bea masuk, jaminan wajib diserahkan sebesar tagihan yang harus dibayar.

(3)

Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diserahkan dalam hal barang impor belum di keluarkan dari kawasan pabean.

(4)

Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya pengajuan keberatan.

(5)

Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan.

(6) 

Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan.

(7)

Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan diterima, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(8)

Ketentuan mengenai pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

81.

Ketentuan Pasal 94 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 94 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94

(1)

Orang yang dikenai sanksi administrasi berupa denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan.

(2)

Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan.

(3)

Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan, jaminan dikembalikan.

(4)

Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan.

(5)

Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(6)

Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

82.

Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95

Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi.

83.

Pasal 96 dihapus.

84.

Pasal 97 dihapus.

85.

Pasal 98 dihapus.

86.

Pasal 99 dihapus.

87.

Pasal 100 dihapus.

88.

Pasal 101 dihapus.

89.

Ketentuan BAB XIII Bagian Kedua dihapus.

90.

Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga Pasal 102 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102

Setiap orang yang:

a.

mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2);

b.

membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean;

c.

membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3);

d.

membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan;

e.

menyembunyikan barang impor secara melawan hukum;

f.

mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini;

g.

mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau

h.

dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah,

dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

91.

Di antara Pasal 102 dan Pasal 103 disisipkan 4 (empat) pasal, yaitu Pasal 102A, Pasal 102B, Pasal 102C, dan Pasal 102D yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 102A

Setiap orang yang:

a.

mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean;

b.

dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor;

c.

memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3);

d.

membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean; atau

e.

mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1) dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 102B

Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 102C

Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 102, Pasal 102A, Pasal 102B dilakukan oleh pejabat dan aparat penegak hukum, pidana yang dijatuhkan dengan pidana sebagaimana ancaman pidana dalam Undang-Undang ini ditambah 1/3 (satu pertiga).

Pasal 102D

Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).

92.

Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103

Setiap orang yang:

a.

menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan;

b.

membuat, menyetujui, atau turut serta dalam pemalsuan data ke dalam buku atau catatan;

c.

memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean; atau

d.

menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

93.

Di antara Pasal 103 dan Pasal 104 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 103A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103A

(1)

Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang kepabeanan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2)

Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

94.

Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 104

Setiap orang yang:

a.

mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 102A, atau Pasal 102B;

b.

memusnahkan, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang menurut Undang-Undang ini harus disimpan;

c.

menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari pemberitahuan pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau

d.

menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan pemberitahuan pabean menurut Undang-Undang ini

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun, dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

95.

Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105

Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuka, melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh pejabat bea dan cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

96.

Pasal 106 dihapus.

97.

Pasal 107 tetap dengan perubahan penjelasan pasal 107 sehingga penjelasan Pasal 107 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.

98.

Ketentuan Pasal 108 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 108 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108

(1)

Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut Undang-Undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a.

badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut; dan/atau

b.

mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan pencegahannya.

(2)

Tindak pidana menurut Undang-Undang ini dilakukan juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseoran atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindakan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

(3)

Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu penuntutan diwakili oleh pengurus yang secara hukum dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai bentuk badan hukum yang bersangkutan.

(4)

Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.

99.

Ketentuan Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 109

(1)

Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 103 huruf d, atau Pasal 104 huruf a, barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102A, atau barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D yang berasal dari tindak pidana, dirampas untuk negara.

(2)

Sarana pengangkut yang semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A, dirampas untuk negara.

(2a)

Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D, dapat dirampas untuk negara.

(3) 

Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73.

100.

Di antara BAB XV dan BAB XVI disisipkan 1 (satu) bab, yaitu BAB XV A sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XVA
PEMBINAAN PEGAWAI

Pasal 113A
 

(1)

Sikap dan perilaku pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terikat pada kode etik yang menjadi pedoman pelaksanaan tugas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(2)

Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diselesaikan oleh Komisi Kode Etik.

(3)

Ketentuan mengenai kode etik diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

(4)

Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Komisi Kode Etik diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Pasal 113B

Apabila pejabat bea dan cukai dalam menghitung atau menetapkan bea masuk atau bea keluar tidak sesuai dengan Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan belum terpenuhinya pungutan negara, pejabat bea dan cukai dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 113C

(1)

Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana kepabeanan yang menyangkut pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Menteri dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan bukti permulaan.

(2)

 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Pasal 113D

(1) 

Orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran kepabeanan berhak memperoleh premi.

(2)

Jumlah premi diberikan paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari sanksi administrasi berupa denda dan/atau hasil lelang barang yang berasal dari tindak pidana kepabeanan.

(3)

Dalam hal hasil tangkapan merupakan barang yang dilarang dan/atau dibatasi yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh dilelang, besar nilai barang sebagai dasar perhitungan premi ditetapkan oleh Menteri.

(4)

Ketentuan mengenai pemberian premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

101.

Di antara Pasal 115 dan BAB XVII disisipkan 3 (tiga) pasal, yaitu Pasal 115A, Pasal 115B, dan Pasal 115C yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 115A

(1)

Barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas dapat diawasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.

Pasal 115B

(1)

Berdasarkan permintaan masyarakat, Direktur Jenderal memberikan informasi yang dikelolanya, kecuali informasi yang sifatnya tertentu.

(2)

Ketentuan mengenai pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Pasal 115C

(1)

Setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilarang memberitahukan segala sesuatu yang diketahuinya atau diberitahukan kepadanya oleh orang dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan Undang-Undang ini kepada pihak lain yang tidak berhak.

(2)

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal untuk membantu pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini.

(3)

Menteri secara tertulis berwenang memerintahkan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti dari orang kepada pejabat pemeriksa untuk keperluan pemeriksaan keuangan negara.

(4)

Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana, atas permintaan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Menteri dapat memberi izin tertulis kepada pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk memberikan bukti dan keterangan yang ada padanya kepada hakim.

Pasal II
Ketentuan Peralihan

1.

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a.

peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang kepabeanan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini;

b.

urusan kepabeanan yang pada saat berlakunya Undang-Undang ini belum dapat diselesaikan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan yang meringankan setiap orang.

2.

Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

3.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Nopember 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 93

Penjelasan.......