PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80 TAHUN 2007


TENTANG

 

TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983

 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007
 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
 

Menimbang

:

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);

 

 

MEMUTUSKAN : 

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007.

 

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

 

Pasal 1

 

 

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 

 

 

1.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

 

2.

Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui.

 

 

3.

Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 

 

BAB II

NOMOR POKOK WAJIB PAJAK BAGI WANITA KAWIN,

SURAT PEMBERITAHUAN, DAN PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN
Bagian Kesatu
Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Wanita Kawin

 

 

Pasal 2

 

 

(1)

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

 

 

(2)

Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

 

 

(3)

Wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan tidak hidup terpisah atau tidak melakukan pemisahan penghasilan dan harta, hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan suaminya.

 

 

(4)

Wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.

 

 

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak bagi wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

Bagian Kedua

 Surat Pemberitahuan

 

 

Pasal 3

 

 

(1)

Wajib Pajak dengan kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan, dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis.

 

 

(2)

Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan.

 

 

(3)

Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

Pasal 4

 

 

(1)

Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang, dengan menyampaikan pernyataan tertulis.

 

 

(2)

Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan rugi fiskal berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan.

 

 

(3)

Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau putusan Peninjauan Kembali.

 

 

(4)

Jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung sejak tanggal stempel pos pengiriman, atau dalam hal diterima secara langsung, jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Wajib Pajak.

 

 

(5)

Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan rugi fiskal menurut surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penerbitan surat ketetapan pajak.

 

 

(6)

Apabila Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam Surat Pemberitahuan Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

 

 

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

Bagian Ketiga

Pengungkapan Ketidakbenaran

 

 

Pasal 5

 

 

(1)

Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

 

 

(2)

Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan :

 

 

 

a.

penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang dalam format Surat Pemberitahuan;

 

 

 

b.

Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak; dan

 

 

 

c.

Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen).

 

 

(3)

Terhadap Wajib Pajak yang telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dan sekaligus melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak akan dilakukan penyidikan, sepanjang tidak ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut.

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

Pasal 6 

 

 

(1)

Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang, sepanjang pemeriksa pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.

 

 

(2)

Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan : 

 

 

 

a.

penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan;

 

 

 

b.

Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan

 

 

 

c.

Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen).

 

 

(3)

Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut beserta pelunasan pajak yang telah dibayar.

 

 

(4)

Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tersebut.

 

 

(5)

Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak.

 

 

(6)

Pelunasan pajak yang kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat diperhitungkan sebagai pembayaran atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berdasarkan permohonan Wajib Pajak.

 

 

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

BAB III

PENETAPAN DAN KETETAPAN

 

 

Pasal 7

 

 

(1)

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan :

 

 

 

a.

hasil Penelitian terhadap keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang;

 

 

 

b.

hasil Pemeriksaan terhadap:

 

 

 

 

1)

Surat Pemberitahuan; atau

 

 

 

 

2)

kewajiban perpajakan Wajib Pajak karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang, dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;

 

 

 

c.

hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap :

 

 

 

 

1)

Wajib Pajak yang melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 13A Undang-Undang;

 

 

 

 

2)

Wajib Pajak badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-Undang, tetapi tidak ditemukan bukti permulaan bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

 

 

(2)

Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk :

 

 

 

a.

risalah mengenai data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;

 

 

 

b.

risalah mengenai temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan pembuatan laporan sumir dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan;

 

 

 

c.

risalah mengenai temuan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dalam hal penyidikan dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang;

 

 

 

d.

Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

 

 

(3)

Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat Direktur Jenderal Pajak tetap dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil Penelitian terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

 

 

Pasal 8

 

 

(1)

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan :

 

 

 

a.

hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang termasuk data yang semula belum terungkap; atau

 

 

 

b.

hasil Penelitian atas Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

 

 

(2)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.

 

 

(3)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.

 

 

(4)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat juga diterbitkan setelah jangka waktu 5 (lima) tahun terlampaui sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.

 

 

Pasal 9 

 

 

(1)

Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) atau ayat (3) ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar tersebut.

 

 

(2)

Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar tersebut.

 

 

Pasal 10

 

 

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil berdasarkan hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.

 

 

Pasal 11

 

 

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan:

 

 

a.

hasil Penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;

 

 

b.

hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang; atau

 

 

c.

hasil Pemeriksaan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

 

 

Pasal 12

 

 

(1)

Hasil Penelitian, Pemeriksaan, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 11, dituangkan dalam laporan Penelitian, Laporan Hasil Pemeriksaan, atau Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

 

 

(2)

Berdasarkan Laporan Penelitian, Laporan Hasil Pemeriksaan, atau Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat nota penghitungan.

 

 

(3)

Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal Laporan Penelitian, Laporan Hasil Pemeriksaan, atau Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

 

 

(4)

Berdasarkan nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal pembuatan nota penghitungan.

 

 

Pasal 13

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 14

 

 

(1)

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian TahunPajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. 

 

 

(2)

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.

 

 

(3)

Surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) danlatau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, kecuali terhadap Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 15 

 

 

(1)

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan/Banding setelah menerima Putusan Banding.

 

 

(2)

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali setelah menerima Putusan Peninjauan Kembali.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Banding atau Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

BAB IV

PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

 

 

Pasal 16

 

 

(1)

Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.

 

 

(2)

Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengelolaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 17 

 

 

(1)

Wajib Pajak yang diperiksa wajib :

 

 

 

a.

memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;

 

 

 

b.

memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau

 

 

 

c.

memberikan keterangan lain yang diperlukan.

 

 

(2)

Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.

 

 

(3)

Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajaknya dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

 

(4)

Dalam hal Wajib Pajak badan yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, terhadap Wajib Pajak diusulkan untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

 

 

Pasal 18

 

 

(1)

Hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak yang pemeriksaannya dilaksanakan tanpa melalui prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang dapat dibatalkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

 

(2)

Hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses pemeriksaannya dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan/atau Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

 

 

BAB V

KEBERATAN, PEMBETULAN, PENGURANGAN,

PENGHAPUSAN, DAN PEMBATALAN
Bagian Kesatu
Keberatan

 

 

Pasal 19

 

 

(1)

Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak.

 

 

(2)

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

 

 

(3)

Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan :

 

 

 

a.

keberatan;

 

 

 

b.

pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; dan

 

 

 

c.

pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.

 

 

Pasal 20

 

 

(1)

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :

 

 

 

a.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

 

 

 

b.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;

 

 

 

c.

Surat Ketetapan Pajak Nihil;

 

 

 

d.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau

 

 

 

e.

pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

 

(2)

Wajib Pajak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan permohonan :

 

 

 

a.

pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang¬undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karen a kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

 

 

 

b.

pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; atau

 

 

 

c.

pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:

 

 

 

 

1.

penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; atau

 

 

 

 

2.

pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

 

 

(3)

Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh Wajib Pajak.

 

 

(4)

Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.

 

 

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 21

 

 

(1)

Dalam hal pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

 

 

(2)

Sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal keputusan keberatan atas pengajuan keberatan Wajib Pajak menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.

 

 

Bagian Kedua

Pembetulan

 

 

Pasal 22

 

 

(1)

Atas permohonan Wajib Pajak, atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

 

(2)

Kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

 

 

 

a.

kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau

 

 

 

b.

kesalahan hitung yang diakibatkan oleh adanya penerbitan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan lain yang terkait dengan bidang perpajakan.

 

 

(3)

Terhadap Pajak Pertambahan Nilai, pembetulan kekeliruan dalam pengkreditan pajak hanya dapat dilakukan apabila terdapat perbedaan Pajak Masukan yang menjadi kredit pajak dan Pajak Masukan tersebut tidak mengandung sengketa antara fiskus dan Wajib Pajak.

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

Bagian Ketiga
Pengurangan, Penghapusan, atau Pembatalan

 

 

Pasal 23 

 

 

(1)

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:

 

 

 

a.

mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak, atau bukan karena kesalahannya;

 

 

 

b.

mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

 

 

 

c.

mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang, yang tidak benar; atau

 

 

 

d.

membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa ;

 

 

 

 

1.

penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; atau

 

 

 

 

2.

Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak.

 

 

(2)

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak apabila ;

 

 

 

a.

Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak; atau

 

 

 

b.

Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi keberatannya tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan.

 

 

(3)

Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat diajukan dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3).

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan, penghapusan, dan pembatalan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

BAB VI

IMBALAN BUNGA

 

 

Pasal 24

 

 

(1)

Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan .

 

 

(2)

Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

 

 

(3)

Apabila terdapat Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1a) Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

 

 

(4)

Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

 

 

(5)

Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan terhadap :

 

 

 

a.

kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang seluruhnya disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

 

 

 

b.

kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas sebagian jumlah pajak yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, namun dibayar sebelum pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, atau sebelum diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

 

 

(6)

Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut :

 

 

 

a.

dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak;

 

 

 

b.

dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Putusan Banding tidak diajukan permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung;

 

 

 

c.

dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga diberikan apabila Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung.

 

 

BAB VII

PENAGIHAN

 

 

Pasal 25

 

 

(1)

Ketentuan mengenai jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (4), dan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan.

 

 

(2)

Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Banding atau Surat Keputusan Pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) atau ayat (2) juga diterbitkan akibat Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan pembayaran atas pajak yang seharusnya tidak dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

 

Pasal 26 

 

 

Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran, jangka waktu hak mendahulu selama 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) huruf b Undang-Undang, dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan atau sejak tanggal jatuh tempo angsuran terakhir.

 

 

Pasal 27

 

 

(1)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

 

 

(2)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

 

 

(3)

Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang.

 

 

(4)

Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang-Undang.

 

 

(5)

Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih dibayar dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran.

 

 

(6)

Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).

 

 

(7)

Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.

 

 

(8)

Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan permohonan banding.

 

 

(9)

Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding.

 

 

(10)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus dibayar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

BAB VIII
KUASA WAJIB PAJAK DAN RAHASIA JABATAN

 

 

Pasal 28

 

 

(1)

Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

 

(2)

Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konsultan pajak dan bukan konsultan pajak.

 

 

(3)

Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 

 

 

 

a.

menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

 

 

 

b.

memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;

 

 

 

c.

memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

 

 

 

d.

telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir; dan

 

 

 

e.

tidak pemah dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan.

 

 

 (4) 

Surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit memuat:

 

 

 

a.

nama, alamat, dan tandatangan di atas meterai serta Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak pemberi kuasa;

 

 

 

b.

nama, alamat, dan tandatangan serta Nomor Pokok Wajib Pajak penerima kuasa; dan

 

 

 

c.

hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan.

 

 

Pasal 29 

 

 

(1)

Seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain.

 

 

(2)

Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan, dengan surat penunjukan, seorang kuasa hanya dapat meminta orang lain atau karyawannya untuk menyampaikan dan/atau menerima dokumen perpajakan tertentu yang diperlukan kepada dan/atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak.

 

 

(3)

Orang lain atau karyawan yang ditunjuk oleh seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus menyerahkan surat penunjukan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak pada saat melaksanakan tugasnya.

 

 

Pasal 30 

 

 

(1)

Seorang kuasa hanya mempunyai hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan Wajib Pajak sesuai dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf b.

 

 

(2)

Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu, seorang kuasa wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 

 

(3)

Seorang kuasa tidak dapat melaksanakan hak dan/atau kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya apabila dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakannya :

 

 

 

a.

melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

 

 

 

b.

menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; atau

 

 

 

c.

dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya.

 

 

Pasal 31

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat serta hak dan kewajiban konsultan pajak yang dapat ditunjuk sebagai kuasa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 32

 

 

(1)

Setiap pejabat dan tenaga ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.

 

 

(2)

Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) supaya memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak tertentu yang ditunjuk dalam izin tertulis Menteri Keuangan tersebut.

 

 

(3)

Pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) :

 

 

 

a.

hanya dapat meminta keterangan dan/atau bukti tertulis mengenai keterangan dan/atau bukti tertulis yang tercantum dalam izin tertulis Menteri Keuangan;

 

 

 

b.

wajib merahasiakan segala keterangan dan/atau bukti tertulis yang diketahui atau diperoleh dari Pejabat dan/atau Tenaga Ahli; dan

 

 

 

c.

hanya dapat memanfaatkan keterangan dan/atau bukti tertulis sesuai dengan tujuan diajukannya permintaan keterangan dan/atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak.

 

 

(4)

Apabila pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak tertentu tersebut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(5)

Pejabat dan/atau tenaga ahli yang memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

 

 

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

BAB IX

KETENTUAN LAIN-LAIN

 

 

Pasal 33

 

 

(1)

Wajib Pajak yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007 yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, di berikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.

 

 

(2)

Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar.

 

 

(3)

Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan Pemeriksaan, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

 

 

(4)

Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Maret 2009.

 

 

(5)

Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan cara tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak.

 

 

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan sanksi administrasi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

BAB X

PENYIDIKAN

 

 

Pasal 34

 

 

(1)

Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.

 

 

(2)

Permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila Wajib Pajak telah melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang seharusnya tidak dikembalikan.

 

 

(3)

Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah jumlah kerugian negara yang tercantum dalam berkas perkara atau jumlah kerugian negara yang dihitung oleh Penyidik sebelum dilakukan pelunasan dalam rangka pengajuan permintaan penghentian penyidikan oleh Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 35

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. 

 

 

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

 

 

Pasal 36

 

 

(1)

Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.

 

 

(2)

Terhadap hak dan kewajiban perpajakan yang berkaitan dengan :

 

 

 

a.

penyelesaian permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang dan/atau penyelesaian permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (9) Undang-Undang untuk permohonan yang diterima secara lengkap setelah tanggal 31 Desember 2007;

 

 

 

b.

penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang melalui penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang untuk permohonan yang diterima secara lengkap setelah tanggal 31 Desember 2007;

 

 

 

c.

pembetulan terhadap Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang untuk penerbitan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga setelah tanggal 31 Desember 2007;

 

 

 

d.

batas waktu bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang untuk pengajuan permohonan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007;

 

 

 

e.

permohonan pembatalan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang untuk pemeriksaan yang dimulai setelah tanggal 31 Desember 2007;

 

 

 

f.

proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 26A Undang-Undang untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007;

 

 

 

g.

pengajuan gugatan terhadap penerbitan surat ketetapan pajak berdasarkan pemeriksaan yang dimulai setelah tanggal 31 Desember 2007 yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; atau 

 

 

 

h.

pengajuan gugatan terhadap penerbitan Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007, berlaku ketentuan berdasarkan Undang-Undang.

 

 

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

 

 

Pasal 37

 

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta

 

 

 

 

 

 

pada tanggal 28 Desember 2007

 

 

 

 

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

 

 

pada tanggal 28 Desember 2007

 

 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

 

 

ANDI MATTALATTA

 

 

 

 

 

 

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 169

 

Penjelasan.........