PENJELASAN


ATAS


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 2009


TENTANG


TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG
PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN
HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

I.

UMUM

 

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan lain yang berbeda dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

Materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final, penetapan besaran tarif pajak, dan pemotongan terhadap penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.

 

Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Dengan penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif Pajak Penghasilan maka manfaat yang diperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum.

II.

PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 2

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Karena alasan keuangan, pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dilakukan dalam beberapa kali pembayaran. Pembayaran dalam beberapa kali pembayaran sepanjang dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender dianggap sebagai pembayaran secara sekaligus, dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya.

 

Pasal 3

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Pada dasarnya kewajiban pembayaran Uang Pesangon dilakukan oleh pemberi kerja kepada pegawainya pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Namun ada kalanya, kewajiban pembayaran Uang Pesangon tersebut dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pengalihan dana pesangon secara sekaligus atau secara bertahap atau berkala.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Apabila pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja sudah mempunyai kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon, sehingga pemberi kerja tidak mempuyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut.

 

 

Ayat (4)

 

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 4

 

 

Dengan memperhatikan bahwa besarnya Uang Pesangon dikaitkan dengan masa kerja dan besarnya upah atau penghasilan yang diterima setiap bulan, maka tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dikenai bersifat progresif. Namun untuk memberikan keadilan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi Pegawai yang menerimanya, lapisan tarif progresif yang diberlakukan berbeda dengan lapisan tarif yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

 

Contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan jumlah Rp 175.000.000,00.

 

 

Penghasilan bruto

Rp175,000.000,00

 

 

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang :

 

 

0%   x Rp50.000.000,00

=

Rp                  0,00

 

 

 

5%   x Rp50.000.000,00

=

Rp    2.500.000,00

 

 

 

15% x Rp75.000.000,00

=

Rp  11.250.000,00

 (+)

 

 

 

 

 

 Rp  13.750.000,00

 

 

 

Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya:

 

 

a.

Bulan Desember 2009

 

Rp  50.000.000,00

 

 

 

b.

Bulan April 2010 

Rp125.000.000,00

 (+)

 

 

Jumlah

Rp175.000.000,00

 

 

 

Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp175.000.000,00

 

 

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong:

 

 

Bulan Desember 2009:

 

 

Jumlah penghasilan bruto

Rp50.000.000,00

 

 

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:

 

 

0% x Rp50.000.000,00

=

Rp0,00

 

 

 

Bulan April 2010:

 

 

Jumlah penghasilan bruto

Rp125.000.000,00

 

 

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:

 

 

5%   x Rp50.000.000,00 

=

Rp  2.500.000,00

 

 

 

15% x Rp75.000.000,00  

=

Rp11.250.000,00

 (+)

 

 

Jumlah

 

Rp13.750.000,00

 

 

 

Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong: Rp0,00 + Rp13.750.000,00 = Rp13.750.000,00.

 

Pasal 5

 

 

Berdasarkan pertimbangan bahwa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus merupakan nilai tunai atas Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan secara berkala untuk jangka waktu yang cukup lama, maka penghasilan yang diterima sekaligus tersebut pada dasarnya penghasilan yang seharusnya diterima untuk beberapa tahun pajak. Dengan memperhatikan besarnya Uang Manfaat Pensiun yang berlaku saat ini pada umumnya, maka penghasilan sekaligus tersebut jika dialokasikan dalam beberapa tahun masih berlaku tarif terendah yaitu sebesar 5% (lima persen). Ketentuan ini diberikan untuk memberikan keadilan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum bagi penerima pensiun yang sudah masuk dalam usia tidak produktif.

 

 

Untuk memberikan perlakuan yang sama dengan Uang Pesangon, maka atas jumlah sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 0% (nol persen).

 

 

Contoh perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp150.000.000,00 adalah:

 

 

Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus Rp150.000.000,00

 

 

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang:

 

 

0% x Rp 50.000.000,00 

=

Rp              0,00

 

5% x Rp100.000.000,00  

=

Rp5.000.000,00

 

 

Jumlah 

=

Rp5.000.000,00

 

 

 

Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya:

 

 

Bulan Desember 2009 sebesar

Rp  50.000.000,00

 

 

 

Bulan Februari 2010 sebesar

Rp100.000.000,00

 

 

 

Jumlah

Rp150.000.000,00

 

 

 

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut:

 

 

Bulan Desember 2009:

 

 

0% x Rp50.000.000,00 

=

  Rp              0,00

 

 

 

Bulan Februari 2010:

 

 

5% x Rp100.000.000,00 

=

Rp5.000.000,00

 

 

 

Jumlah 

=

Rp5.000.000,00

 

 

Pasal 6

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Misalkan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp50.000.000,00, jika kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Penerima penghasilan sebagaimana contoh penjelasan ayat (1) yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong sebesar 120% x 5% x Rp50.000.000,00 = Rp3.000.000,00.

 

Pasal 7

 

 

Ayat (1)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (2)

 

 

 

Cukup jelas.

 

 

Ayat (3)

 

 

 

Bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 wajib dibuat meskipun jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang nihil, karena dikenai tarif 0% (nol persen).

 

Pasal 8

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 9

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 10

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 11

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 12

 

 

Cukup jelas.

 

Pasal 13

 

 

Cukup jelas.

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5082