PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 94 TAHUN 2010

TENTANG

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


 

Menimbang

:

a.

bahwa dengan dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan;

 

 

b.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan. Perat.uran Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan. dalam Tahun Berjalan;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

 

 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.

 

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

 

Pasal 1

 

 

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:

 

 

1.

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 

 

2.

Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

 

 

3.

Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

 

 

BAB II

OBJEK PAJAK

 

 

Pasal 2

 

 

Objek pajak berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal. 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:

 

 

a.

kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan

 

 

b.

kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang.Pajak Penghasilan.

 

 

Pasal 3

 

 

Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.

 

 

Pasal 4

 

 

(1)

Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar saham clan nilai nominal saham, tidak termasuk objek pajak.

 

 

(2)

Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham, bukan merupakan pengurang dari penghasilan bruto.

 

 

Pasal 5

 

 

(1)

Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai objek pajak.

 

 

(2)

Ketentuan terhadap bagian laba termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan Subjek Pajak luar negeri.

 

 

Pasal 6

 

 

Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

 

Pasal 7

 

 

(1)

Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas surplus Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

Pasal 8

 

 

(1)

Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:

 

 

 

a.

usaha;

 

 

 

b.

pekerjaan; atau

 

 

 

c.

kepemilikan atau penguasaan.

 

 

(2)

Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belch pihak.

 

 

(3)

Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.

 

 

(4)

Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi apabila terdapat:

 

 

 

a.

penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau

 

 

 

b.

hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

 

BAB III

PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

 

 

Pasal 9

 

 

(1)

Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

 

 

(2)

Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:

 

 

 

a.

dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau

 

 

 

b.

tidak termasuk objek pajak,

 

 

 

tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.

 

 

(3)

Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak berkaitan langsung dengan usaha. Wajib Pajak yang:

 

 

 

a.

dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, atau

 

 

 

b.

tidak termasuk objek pajak,

 

 

 

diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

 

 

Pasal 10

 

 

(1)

Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut:

 

 

 

a.

benar-benar telah dibayar; dan

 

 

 

b.

berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

 

 

(2)

Pajak Masukan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, harus dikapitalisasi dengan pengeluaran atau biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

 

 

Pasal  11

 

 

(1)

Biaya pengembangan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan pada saat hasil tanaman industri dijual.

 

 

(2)

Biaya pemeliharaan ternak yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pemeliharaan dan merupakan bagian dari harga pokok penjualan pada saat ternak dijual.

 

 

Pasal 12

 

 

(1)

Pinjamart tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas diperkenankan apabila:

 

 

 

a.

pinjaman tersebut berasal dari dance milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;

 

 

 

b.

modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;

 

 

 

c.

pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan

 

 

 

d.

perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.

 

 

(2)

Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pinjaman tersebut terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.

 

 

Pasal 13

 

 

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:

 

 

a.

biaya untuk mendapatkan, menagih, clan memelihara penghasilan yang:

 

 

 

1)

bukan merupakan objek pajak;

 

 

 

2)

pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau

 

 

 

3)

dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

 

b.

Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.

 

 

BAB IV

PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

 

 

Pasal 14

 

 

Orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib:

 

 

a.

memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

 

 

b.

melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan; dan

 

 

c.

melaporkan penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

 

 

BAB V

PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN

 

 

Pasal 15

 

 

(1)

Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada akhir bulan.

 

 

 

a.

terjadinya pembayaran; atau

 

 

 

b.

terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

 

 

(2)

Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada saat:

 

 

 

a.

pembayaran; atau

 

 

 

b.

tertentu lainnya yang diatur oleh Menteri Keuangan.

 

 

(3)

Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:

 

 

 

a.

dibayarkannya penghasilan;

 

 

 

b.

disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau

 

 

 

c.

jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,

 

 

 

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

 

 

(4)

Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:

 

 

 

a.

dibayarkannya penghasilan;

 

 

 

b.

disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau

 

 

 

c.

jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,

 

 

 

tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

 

 

Pasal 16

 

 

Dalam hal pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan pada tahun pajak yang berbeda dengan tahun pajak pengakuan penghasilan, maka atas Pajak Penghasilan yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan pada tahun pajak dilakukan pemotongan.

 

 

Pasal 17

 

 

Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu sesuai dengan kebijakan Pemerintah.

 

 

Pasal 18

 

 

(1)

Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dilakukan dengan cara bagi hasil dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai dasar pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran royalti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

Pasal 19

 

 

Dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

 

Pasal  20

 

 

Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut berdasarkan tarif pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5a), Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. setelah Wajib Pajak tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

 

 

Pasal 21

 

 

(1)

Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena:

 

 

 

a.

mengalami kerugian fiskal;

 

 

 

b.

berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal; atau

 

 

 

c.

Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,

 

 

 

dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.

 

 

(2)

Wajib Pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final, dapat mengajukan permohonan pernbebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan kepada Direktur Jenderal Pajak.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan  oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan. Direktur Jenderal Pajak.

 

 

Pasal 22

 

 

Dalam menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terhadap bentuk usaha tetap yang terutang Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian fiskal tidak dapat dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan.

 

 

Pasal 23

 

 

(1)

Pajak Penghasilan yang terutang dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

 

 

(2)

Dalam hal Wajib Pajak bentuk usaha tetap memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas sebelum penyampaian pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

 

 

BAB VI

PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
MENGENAI PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
DAN PERTUKARAN INFORMASI

 

 

Pasal 24

 

 

(1)

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang merupakan Subjek Pajak:

 

 

 

a.

dalam negeri dari Indonesia; dan/atau

 

 

 

b.

dari negara mitra persetujuan penghindaran pajak berganda,

 

 

 

yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili.

 

 

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

Pasal 25

 

 

(1)

Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan kesepakatan dengan negara mitra dalam rangka pertukaran informasi, prosedur persetujuan bersama, dan bantuan penagihan.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai tata cara penyampaian pertukaran informasi, pelaksanaan prosedur persetujuan bersama, dan pelaksanaan bantuan penagihan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

 

 

Pasal 26

 

 

(1)

Dalam hal terdapat ketentuan perpajakan yang diatur dalam perjanjian internasional yang berbeda dengan ketentuan perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlakuan perpajakannya didasarkan pada ketentuan dalam perjanjian tersebut sampai dengan berakhiniya perjanjian dimaksud, dengan syarat perjanjian tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional.

 

 

(2)

Pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

 

 

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perlakuan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

BAB VII

PEMBUKUAN TERPISAH DAN PERUBAHAN TAHUN BUKU

 

 

Pasal 27

 

 

(1)

Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:

 

 

 

a.

memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak final;

 

 

 

b.

menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau

 

 

 

c.

mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

 

(2) 

Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara proporsional.

 

 

Pasal 28

 

 

(1)

Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, harus melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersendiri untuk Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.

 

 

(2)

Sisa rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan yang berasal dari tahun-tahun pajak sebelum perubahan tahun buku dapat dikompensasikan dengan penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak dan Tahun Pajak berikutnya.

 

 

BAB VIII

FASILITAS PEMBEBASAN ATAU PENGURANGAN
PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL

 

 

Pasal 29

 

 

(1)

Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman Modal.

 

 

(2)

Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan ekstemalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, Berta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

 

 

Pasal 30

 

 

Ketentuan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

 

BAB IX

KETENTUAN LAIN-LAIN

 

 

Pasal 31

 

 

Penghitungan pajak bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2009 dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

 

 

Pasal 32

 

 

Penghitungan pajak dalam tahun bedalan sampai dengan December 2008, untuk tahun pajak 2009, bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

 

 

Pasal 33

 

 

Fasilitas perpajakan dengan jangka waktu yang terbatas yang diperoleh Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2009 tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu fasilitas perpajakan tersebut.

 

 

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

 

 

Pasal 34

 

 

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

 

Pasal 35

 

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

             

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

             

 

 

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta

 

 

 

 

 

 

pada tanggal 30 Desember 2010

 

 

 

 

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

             
             

 

 

 

 

 

 

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

 

pada tanggal 30 Desember 2010

 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

 

             
             

PATRIALIS AKBAR

 

             
             

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 161