PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2011


TENTANG


PINJAMAN DAERAH


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

a.

bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pinjaman daerah serta menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dalam rangka pelaksanaan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;

   

b.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 171 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Pasal 65 Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pinjaman Daerah;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

   

2.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

   

3.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

   

4.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

   

MEMUTUSKAN:

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PINJAMAN DAERAH.

   

BAB I
KETENTUAN UMUM

   

Pasal 1 

   

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

   

1.

Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.

   

2.

Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi Pinjaman Dalam Negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu sesuai dengan masa berlakunya.

   

3.

Pinjaman Luar Negeri adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

   

4.

Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri adalah kesepakatan tertulis mengenai pinjaman antara Pemerintah dan pemberi Pinjaman Dalam Negeri.

   

5

Perjanjian Pinjaman Luar Negeri adalah kesepakatan tertulis mengenai pinjaman antara Pemerintah dan Pemberi Pinjaman Luar Negeri.

   

6.

Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri adalah kesepakatan tertulis antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai penerusan Pinjaman Dalam Negeri yang diperoleh Pemerintah.

   

7.

Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri adalah kesepakatan tertulis antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai penerusan Pinjaman Luar Negeri yang diperoleh Pemerintah.

   

8.

Perjanjian Pinjaman Daerah adalah kesepakatan tertulis antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai Pinjaman Daerah yang dananya tidak berasal dari penerusan Pinjaman Dalam Negeri atau penerusan Pinjaman Luar Negeri.

   

9.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

   

10.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

   

11.

Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal.

   

12.

Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

   

13.

Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

   

14.

Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

   

15.

Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

   

16.

Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri, adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

   

17.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

   

Pasal 2

   

(1)

Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah.

   

(2)

Pinjaman Daerah harus merupakan inisiatif Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan.

   

(3)

Pinjaman Daerah merupakan alternatif pendanaan APBD yang digunakan untuk menutup:

     

a.

defisit APBD;

     

b.

pengeluaran pembiayaan; dan/ atau

     

c.

kekurangan arus kas.

   

(4)

Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah diberikan dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.

   

(5)

Pemerintah Daerah dapat meneruskan Pinjaman Daerah sebagai pinjaman, hibah, dan/atau penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintahan Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah.

   

Pasal 3

   

Pengelolaan Pinjaman Daerah harus memenuhi prinsip:

   

a.

taat pada peraturan perundang-undangan;

   

b.

transparan;

   

c.

akuntabel;

   

d.

efisien dan efektif; dan

   

e.

kehati-hatian.

   

Pasal 4

   

Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.

   

Pasal 5

   

(1)

Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.

   

(2)

Pendapatan Daerah dan/ atau barang milik daerah tidak dapat dijadikan jaminan Pinjaman Daerah.

   

(3)

Kegiatan yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.

   

Pasal 6

   

(1)

Pinjaman Daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemberi pinjaman dan Pemerintah Daerah sebagai penerima pinjaman yang dituangkan dalam perjanjian pinjaman.

   

(2)

Gubernur, bupati, walikota, atau pejabat yang diberi kewenangan oleh gubernur, bupati, walikota menandatangani perjanjian pinjaman bertindak atas nama Pemerintah Daerah.

   

(3)

Perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan berakhirnya masa perjanjian pinjaman.

   

Pasal 7

   

(1)

Menteri menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah secara keseluruhan paling lambat bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.

   

(2)

Penetapan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional serta batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

   

Pasal 8

   

(1)

Seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan dalam APBD.

   

(2)

Keterangan yang memuat rincian penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam lampiran dokumen APBD.

   

Pasal 9

   

Setiap penerimaan Pinjaman Daerah:

   

a.

disetor ke Rekening Kas Umum Daerah; atau

   

b.

dibukukan dalam Rekening Kas Umum Daerah.

   

BAB II
SUMBER, JENIS, DAN PENGGUNAAN

   

Pasal 10

   

(1)

Pinjaman Daerah bersumber dari:

     

a.

Pemerintah;

     

b.

Pemerintah Daerah lain;

     

c.

lembaga keuangan bank;

     

d.

lembaga keuangan bukan bank; dan

     

e.

masyarakat.

   

(2)

Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan melalui Menteri.

   

(3)

Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berasal dari APBN termasuk dana investasi Pemerintah, penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau penerusan Pinjaman Luar Negeri.

   

(4)

Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui pasar modal.

   

Pasal 11

   

Jenis Pinjaman Daerah terdiri atas:

   

a.

Pinjaman Jangka Pendek;

   

b.

Pinjaman Jangka Menengah; dan

   

c.

Pinjaman Jangka Panjang.

   

Pasal 12

   

(1)

Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun anggaran.

   

(2)

Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan / atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang berkenaan.

   

(3)

Pinjaman Jangka Pendek bersumber dari:

     

a.

Pemerintah Daerah lain;

     

b.

lembaga keuangan bank; dan

     

c.

lembaga keuangan bukan bank.

   

(4)

Pinjaman Jangka Pendek digunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas.

   

Pasal 13

   

(1)

Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran.

   

(2)

Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan gubernur, bupati, atau walikota yang bersangkutan.

   

(3)

Pinjaman Jangka Menengah bersumber dari:

     

a.

Pemerintah;

     

b.

Pemerintah Daerah lain;

     

c.

lembaga keuangan bank; dan

     

d.

lembaga keuangan bukan bank.

   

(4)

Pinjaman Jangka Menengah digunakan untuk membiayai pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan.

   

Pasal 14

   

(1)

Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran.

   

(2)

Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/ atau kewajiban lain seluruhnya harus dilunasi pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.

   

(3)

Pinjaman Jangka Panjang bersumber dari:

     

a.

Pemerintah;

     

b.

Pemerintah Daerah lain;

     

c.

lembaga keuangan bank;

     

d.

lembaga keuangan bukan bank; dan

     

e.

masyarakat.

   

(4)

Pinjaman Jangka Panjang yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan bukan bank digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/ atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang:

     

a.

menghasilkan penerimaan langsung berupa pendapatan bagi APBD yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan sarana tersebut;

     

b.

menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan terhadap belanja APBD yang seharusnya dikeluarkan apabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan; dan/ atau

     

c.

memberikan manfaat ekonomi dan sosial.

   

(5)

Pinjaman Jangka Panjang yang bersumber dari masyarakat digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/ atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut.

   

BAB III
PERSYARATAN PINJAMAN DAERAH

   

Pasal 15

   

(1)

Dalam melakukan Pinjaman Daerah, Pemerintah Daerah wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

     

a.

jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;

     

b.

memenuhi ketentuan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman yang ditetapkan oleh Pemerintah; dan

     

c.

persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh calon pemberi pinjaman.

   

(2)

Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal Pinjaman Daerah diajukan kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah juga wajib memenuhi persyaratan tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersumber dari Pemerintah.

   

(3)

Pinjaman Jangka Menengah dan Pinjaman Jangka Panjang wajib mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

   

Pasal 16

   

(1)

Menteri menetapkan nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b.

   

(2)

Penetapan nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 2,5 (dua koma lima) dengan memperhatikan perkembangan perekonomian nasional dan kapasitas fiskal daerah.

   

BAB IV
PINJAMAN DAERAH YANG BERSUMBER DARI PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Umum

   

Pasal 17

   

Menteri selaku Bendahara Umum Negara dapat memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah berdasarkan usulan Pinjaman Daerah yang diajukan Pemerintah Daerah.

   

Bagian Kedua
Prosedur Pengajuan dan
Penilaian Usulan Pinjaman Daerah

   

Pasal 18

   

(1)

Usulan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diajukan oleh gubernur, bupati, atau walikota kepada Menteri.

   

(2)

Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa Penerusan Pinjaman Dalam Negeri merupakan usulan yang sudah tercantum dalam daftar kegiatan prioritas yang dapat dibiayai dari Pinjaman Dalam Negeri.

   

(3)

Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa Penerusan Pinjaman Luar Negeri merupakan usulan yang sudah tercantum dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah.

   

(4)

Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan paling sedikit dokumen:

     

a.

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir;

     

b.

APBD tahun berkenaan;

     

c.

perhitungan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman;

     

d.

rencana penarikan pinjaman; dan

     

e.

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

   

(5)

Dalam hal usulan berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Luar Negeri, selain melampirkan dokumen  sebagaimana  dimaksud  pada   ayat (4), Pemerintah Daerah harus juga melampirkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.

   

(6)

Kegiatan yang akan dibiayai dari Pinjaman Daerah harus sesuai dengan dokumen perencanaan daerah.

   

(7)

Pemerintah Daerah bertanggung jawab sepenuhnya atas kegiatan yang diusulkan kepada Menteri.

   

Pasal 19

   

(1)

Menteri melakukan penilaian atas usulan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan memperhatikan:

     

a.

kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan secara berkala oleh Menteri;

     

b.

kebutuhan riil pinjaman Pemerintah Daerah;

     

c.

kemampuan membayar kembali; dan

     

d.

batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah.

   

(2)

Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait.

   

Pasal 20

   

(1)

Menteri dapat menyetujui atau menolak usulan Pinjaman Daerah berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).

   

(2)

Dalam hal Menteri menyetujui usulan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan ketentuan dan persyaratan perjanjian pinjaman kepada gubernur, bupati, atau walikota.

   

Pasal 21

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan penilaian usulan Pinjaman Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

   

Bagian Ketiga
Perjanjian Pinjaman
Pasal 22 

   

(1)

Perjanjian pinjaman ditandatangani oleh Menteri atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri dan gubernur, bupati, atau walikota.

   

(2)

Perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

     

a.

jumlah;

     

b.

peruntukan;

     

c.

hak dan kewajiban; dan

     

d.

ketentuan dan persyaratan.

   

(3)

Perjanjian pinjaman yang dananya berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Dalam Negeri dituangkan dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri.

   

(4)

Perjanjian pinjaman yang dananya berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Luar Negeri dituangkan dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri.

   

(5)

Perjanjian pinjaman yang dananya bersumber dari Pemerintah selain yang berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Dalam Negeri dan/ atau peneruspinjaman Pinjaman Luar Negeri dituangkan dalam Perjanjian Pinjaman Daerah.

   

Pasal 23

   

(1)

Penandatanganan perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dilakukan setelah usulan Pinjaman Daerah disetujui Menteri.

   

(2)

Dalam hal pinjaman berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri ditandatangani setelah ada Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri.

   

(3)

Dalam hal pinjaman berasal dari peneruspinjaman Pinjaman Luar Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri ditandatangani setelah ada Perjanjian Pinjaman Luar Negeri.

   

Pasal 24

   

(1)

Ketentuan dan persyaratan pinjaman dalam Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri atau Perjanjian Pinjaman Luar Negeri menjadi acuan dalam menetapkan ketentuan dan persyaratan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri atau Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri.

   

(2)

Mata uang yang dicantumkan dalam Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri dapat berupa mata uang rupiah atau mata uang asing.

   

Pasal 25

   

(1)

Menteri atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri dan/atau gubernur, bupati, atau walikota dapat mengajukan usulan perubahan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri, atau Perjanjian Pinjaman Daerah.

   

(2)

Perubahan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri, atau Perjanjian Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara Menteri atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri dan gubernur, bupati, atau walikota.

   

(3)

Dalam hal perubahan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan perubahan Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri, Menteri terlebih dahulu mengajukan usulan perubahan Perjanjian Pinjaman Dalam Negeri kepada pemberi Pinjaman Dalam Negeri.

   

(4)

Dalam hal perubahan Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan perubahan Perjanjian Pinjaman Luar Negeri, Menteri terlebih dahulu mengajukan usulan perubahan Perjanjian Pinjaman Luar Negeri kepada pemberi Pinjaman Luar Negeri.

   

Pasal 26

   

Kementerian Keuangan dan Pemerintah Daerah menyampaikan salinan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri, Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri, dan Perjanjian Pinjaman Daerah kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

   

Pasal 27

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan perjanjian pinjaman diatur dengan Peraturan Menteri.

   

Bagian Keempat
Penganggaran dalam APBN serta
Penarikan dan Penyaluran Pinjaman Daerah

   

(1)

Menteri menyusun rencana alokasi pengeluaran pembiayaan dan estimasi penerimaan pembiayaan Bendahara Umum Negara dalam rangka pemberian pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah untuk dialokasikan dalam APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

   

(2)

Rencana alokasi pengeluaran pembiayaan Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan rencana tahunan pencairan dan / atau penyaluran pinjaman.

   

(3)

Rencana estimasi penerimaan pembiayaan Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup anggaran penerimaan pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah Daerah dalam APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

   

(4)

Anggaran penerimaan pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun berdasarkan tahapan dan/ atau jadwal rencana pembayaran kembali pinjaman.

   

Pasal 29

   

(1)

Menteri melakukan penyaluran pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah setelah penandatanganan Perjanjian Pinjaman Daerah dan penetapan alokasi anggaran dalam APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan.

   

(2)

Menteri melakukan penarikan dan penyaluran pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah yang dananya berasal dari Pinjaman Dalam Negeri setelah penandatanganan Perjanjian Penerusan Pinjaman Dalam Negeri dan penetapan alokasi anggaran dalam APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(3)

Menteri melakukan penarikan dan penyaluran pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah yang dananya berasal dari Pinjaman Luar Negeri setelah penandatanganan Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri dan penetapan alokasi anggaran dalam APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

   

Pasal 30

   

Penarikan dan/atau penyaluran pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dilakukan secara bertahap sesuai dengan pencapaian kinerja.

   

Pasal 31

   

Penarikan dan/ atau penyaluran pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan melalui:

   

a.

pembayaran langsung;

   

b.

rekening khusus;

   

c.

pemindahbukuan ke Rekening Kas Umum Daerah;

   

d.

Letter af Credit (L/C); atau

   

e.

pembiayaan pendahuluan.

   

Pasal 32

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran dalam APBN, penarikan, dan penyaluran Pinjaman Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

   

BAB V
PINJAMAN DAERAH YANG BERSUMBER DARI
PEMERINTAH DAERAH LAIN, LEMBAGA KEUANGAN BANK,
DAN LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK

   

Pasal 33

   

Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan bukan bank sepanjang memenuhi persyaratan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

   

Bagian Kesatu
Pengajuan dan Penilaian Usulan
Pinjaman Jangka Pendek

   

Pasal 34

   

(1)

Pemerintah Daerah mengajukan usulan Pinjaman Jangka Pendek kepada calon pemberi pinjaman.

   

(2)

Calon pemberi pinjaman melakukan penilaian atas usulan Pinjaman Jangka Pendek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan dan persyaratan pemberi pinjaman.

   

(3)

Pemerintah Daerah memilih ketentuan dan persyaratan pemberi pinjaman yang paling menguntungkan Pemerintah Daerah.

   

(4)

Pinjaman Jangka Pendek dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh gubernur, bupati, walikota, atau pejabat yang diberi kewenangan oleh gubernur, bupati, atau walikota dan pemberi pinjaman.

   

Bagian Kedua
Pengajuan dan Penilaian Usulan
Pinjaman Jangka Menengah dan
Pinjaman Jangka Panjang

   

Pasal 35

   

(1)

Sebelum mengajukan usulan Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang kepada calon pemberi pinjaman, gubernur harus menyampaikan rencana Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapat pertimbangan.

   

(2)

Sebelum mengajukan usulan Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang kepada calon pemberi pinjaman, bupati atau walikota harus menyampaikan rencana Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pertimbangan dan tembusannya disampaikan kepada gubernur.

   

(3)

Penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit melampirkan:

     

a.

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

     

b.

salinan berita acara pelantikan gubernur, bupati, atau walikota;

     

c.

pernyataan tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah;

     

d.

kerangka acuan kegiatan;

     

e.

perhitungan tentang rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman;

     

f.

Laporan Keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir;

     

g.

Rancangan APBD tahun berkenaan;

     

h.

perbandingan sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya; dan

     

i.

rencana keuangan pinjaman.

   

(4)

Menteri Dalam Negeri memberikan pertimbangan kepada gubernur, bupati, atau walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) setelah berkoordinasi dengan Menteri.

   

Pasal 36

   

(1)

Pemerintah Daerah mengajukan usulan Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang kepada calon pemberi pinjaman setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4).

   

(2)

Calon pemberi pinjaman melakukan penilaian atas usulan Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan serta ketentuan dan persyaratan pemberi pinjaman.

   

(3)

Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh gubernur, bupati, atau walikota dan pemberi pinjaman.

   

(4)

Salinan perjanjian Pinjaman Jangka Menengah atau Pinjaman Jangka Panjang yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, dan Menteri Dalam Negeri.

   

BAB VI
OBLIGASI DAERAH
Bagian Kesatu
Umum

   

Pasal 37

   

Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah sepanjang memenuhi persyaratan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

   

Pasal 38

   

Penerbitan Obligasi Daerah wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

   

Pasal 39

   

Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat dilakukan di pasar modal domestik dan dalam mata uang Rupiah.

   

Pasal 40

   

Obligasi Daerah merupakan efek yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dan tidak dijamin oleh Pemerintah.

   

Pasal 41

   

Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.

   

Pasal 42

   

Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan Pelayanan Publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/ atau sarana tersebut.

   

Pasal 43

   

(1)

Perjanjian pinjaman Obligasi Daerah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan dan ditandatangani oleh gubernur, bupati, atau walikota dan Wali Amanat sebagai wakil pemegang obligasi/pemberi pinjaman.

   

(2)

Setiap perjanjian pinjaman Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan:

     

a.

nilai nominal;

     

b.

tanggal jatuh tempo;

     

c.

tanggal pembayaran bunga;

     

d.

tingkat bunga (kupon);

     

e.

frekuensi pembayaran bunga;

     

f.

cara perhitungan pembayaran bunga;

     

g.

ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; dan

     

h.

ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.

   

Bagian Kedua
Prosedur Penerbitan Obligasi Daerah

   

Pasal 44

   

(1)

Rencana penerbitan Obligasi Daerah disampaikan kepada Menteri dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

   

(2)

Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengenai rencana penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran pokok dan bunga yang timbul sebagai akibat penerbitan Obligasi Daerah dimaksud.

   

(3)

Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan atas nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan pada saat penetapan APBD.

   

(4)

Selain memberikan persetujuan atas hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memberikan persetujuan atas segala biaya yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah.

   

(5)

Menteri melakukan penilaian terhadap rencana penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan persyaratan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

   

(6)

Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

   

(7)

Tata cara penerbitan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pemantauan Obligasi Daerah dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

   

Pasal 45

   

(1)

Pemerintah Daerah dapat membeli kembali Obligasi Daerah yang diterbitkannya.

   

(2)

Obligasi Daerah yang dibeli kembali dapat diperlakukan sebagai pelunasan atas Obligasi Daerah tersebut atau disimpan untuk dapat dijual kembali (treasury bonds).

   

(3)

Dalam hal Obligasi Daerah yang dibeli kembali diperhitungkan sebagai treasury bonds, hak-hak yang melekat pada Obligasi Daerah batal demi hukum.

   

Bagian Ketiga
Kewajiban Pembayaran

   

Pasal 46

   

(1)

Pemerintah Daerah wajib membayar:

     

a.

pokok dan bunga setiap Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo; dan 

     

b.

denda atas keterlambatan kewajiban pembayaran pokok dan bunga Obligasi Daerah.

   

(2)

Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.

   

(3)

Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari pendapatan daerah yang berasal dari penerimaan kegiatan yang dibiayai dengan Obligasi Daerah tersebut.

   

(4)

Dalam hal kegiatan belum menghasilkan dana yang cukup untuk membayar pokok, bunga, dan denda Obligasi Daerah, kewajiban pembayaran dibayarkan dari pendapatan daerah lainnya.

   

(5)

Dalam hal kewajiban pembayaran bunga Obligasi Daerah yang telah jatuh tempo melebihi dana yang dianggarkan, gubernur, bupati, atau walikota tetap melakukan pembayaran sebesar jumlah kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut.

   

(6)

Realisasi kewajiban pembayaran bunga Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggarkan dalam perubahan APBD dan /atau dicantumkan dalam laporan realisasi anggaran.

   

Bagian Keempat
Pengelolaan Obligasi Daerah
Pasal 47 

   

Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh gubernur, bupati, atau walikota.

   

Pasal 48

   

Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sekurang-kurangnya meliputi:

   

a.

penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk kebijakan pengendalian risiko;

   

b.

perencanaan dan penetapan struktur portofolio Pinjaman Daerah;

   

c.

penerbitan Obligasi Daerah;

   

d.

penjualan obligasi Daerah melalui lelang;

   

e.

pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;

   

f.

pelunasan pada saat jatuh tempo; dan

   

g.

pertanggungjawaban.

   

Pasal 49

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan dan pertanggungjawaban Obligasi Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

   

BAB VII
PENGADAAN BARANG DAN JASA
Pasal 50

   

Pengadaan barang dan jasa untuk kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang dan jasa.

   

BAB VIII
KEWAJIBAN PEMBAYARAN
Pasal 51 

   

(1)

Pemerintah Daerah wajib melakukan kewajiban pembayaran sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian pinjaman.

   

(2)

Dalam hal Pinjaman Daerah bersumber dari Pemerintah, kewajiban pembayaran yang berupa cicilan pokok, bunga, dan kewajiban lainnya disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara atau rekening lain yang ditunjuk oleh Menteri.

   

Pasal 52

   

(1)

Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Pendek yang berupa bunga, dan/ atau biaya  lainnya  dibebankan pada belanja APBD.

   

(2)

Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam perubahan APBD atau dicantumkan dalam laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun anggaran berkenaan.

   

Pasal 53

   

(1)

Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Menengah dan Pinjaman Jangka Panjang dianggarkan dalam APBD dan dibayarkan pada tahun anggaran berkenaan.

   

(2)

Dalam hal kewajiban pembayaran Pinjaman Jangka Menengah dan Pinjaman Jangka Panjang yang telah jatuh tempo melebihi dana yang dianggarkan, gubernur, bupati, atau walikota tetap melakukan pembayaran sebesar jumlah kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut.

   

(3)

Realisasi kewajiban pembayaran Pinjaman Jangka Menengah dan Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam perubahan APBD dan/atau dalam laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tahun anggaran berkenaan.

   

Pasal 54

   

Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah dilakukan dalam mata uang sesuai yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman.

   

BAB IX
PENATAUSAHAAN, PEMANTAUAN, EVALUASI,
PELAPORAN, DAN PUBLIKASI


Bagian Kesatu
Penatausahaan

   

Pasal 55

   

(1)

Menteri melakukan penatausahaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah atas:

     

a.

penarikan dan/atau penyaluran Pinjaman Daerah; dan

     

b.

penerimaan kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah.

   

(2)

Gubernur, bupati, atau walikota melakukan penatausahaan Pinjaman Daerah atas:

     

a.

penerimaan dan penggunaan Pinjaman Daerah; dan

     

b.

kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah.

   

(3)

Gubernur, bupati, atau walikota melakukan penatausahaan atas:

     

a.

penerimaan dan penggunaan dana atas penerbitan Obligasi Daerah;

     

b.

penerimaan dan penggunaan dana atas kegiatan yang dibiayai dari penerbitan Obligasi Daerah; dan

     

c.

pembayaran kewajiban atas penerbitan Obligasi Daerah.

   

Bagian Kedua
Pemantauan dan Evaluasi


Pasal 56

   

(1)

Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi atas penarikan, penyaluran, dan penerimaan kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah.

   

(2)

Menteri dapat mengambil langkah-langkah penyelesaian atas permasalahan pemberian pinjaman Pemerintah kepada Pemerintah Daerah termasuk pembatalan pinjaman, apabila:

     

a.

penyerapan pinjaman mengalami keterlambatan yang sangat jauh menyimpang dari rencana penarikan; dan/ atau

     

b.

penggunaan pinjaman tidak sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian pinjaman.

   

(3)

Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi untuk melihat indikasi adanya penyimpangan dan/atau ketidaksesuaian antara rencana penerbitan Obligasi Daerah dengan realisasinya.

   

Bagian Ketiga
Pelaporan
Pasal 57

   

(1)

Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Pinjaman Daerah, Menteri menyusun dan menyajikan laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

   

(2)

Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Pinjaman Daerah, Pemerintah Daerah menyusun dan menyajikan laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

   

Pasal 58

   

Pertanggungjawaban atas pengelolaan Obligasi Daerah dan dana atas kegiatan yang dibiayai dari penerbitan Obligasi Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

   

Pasal 59

   

Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri dan Menteri Dalam Negeri setiap semester dalam tahun anggaran berjalan.

   

Bagian Keempat
Publikasi


Pasal 60 

   

(1)

Gubernur, bupati, atau walikota menyelenggarakan publikasi informasi mengenai Pinjaman Daerah secara berkala.

   

(2)

Publikasi informasi mengenai Pinjaman Daerah meliputi:

     

a.

kebijakan tentang Pinjaman Daerah;

     

b.

posisi kumulatif Pinjaman Daerah;

     

c.

jangka waktu Pinjaman Daerah;

     

d.

tingkat bunga Pinjaman Daerah;

     

e.

sumber Pinjaman Daerah;

     

f.

penggunaan Pinjaman Daerah;

     

g.

realisasi penyerapan Pinjaman Daerah; dan

     

h.

pemenuhan kewajiban Pinjaman Daerah.

   

Pasal 61

   

Gubernur, bupati, atau walikota menyelenggarakan publikasi informasi mengenai Obligasi Daerah secara berkala mengenai:

   

a.

kebijakan penerbitan Obligasi Daerah; 

   

b.

rencana penerbitan Obligasi Daerah yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan;

   

c.

pengelolaan Obligasi Daerah;

   

d.

jumlah Obligasi Daerah yang beredar beserta komposisinya, struktur jatuh tempo, dan tingkat bunga;

   

e.

laporan keuangan Pemerintah Daerah;

   

f.

laporan penggunaan dana yang diperoleh melalui penerbitan Obligasi Daerah dan alokasi dana cadangan; dan

   

g.

kewajiban publikasi data dan/atau informasi lainnya yang diwajibkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

   

Pasal 62

   

Setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah merupakan dokumen publik dan diumumkan dalam Berita Daerah.

   

Pasal 63

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penatausahaan, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan publikasi Pinjaman Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

   

BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF


Pasal 64

   

(1)

Dalam hal Pemerintah Daerah melanggar ketentuan Pasal 4, Menteri mengenakan sanksi administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan /atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak Daerah tersebut.

   

(2)

Dalam hal Pemerintah Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) kepada Pemerintah, pembayaran kewajiban diperhitungkan dengan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak Daerah tersebut.

   

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran kewajiban pinjaman kepada Pemerintah melalui perhitungan Dana Alokasi Umum dan/ atau Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

   

Pasal 65

   

Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri dan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Menteri dapat menunda penyaluran Dana Perimbangan. 

   

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 66

   

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

   

a.

perjanjian pinjaman yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya pelunasan pembayaran pinjaman; dan

   

b.

peraturan perundang-undangan yang telah ada dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

   

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 67

   

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian pinjaman Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah lain diatur dengan Peraturan Daerah.

   

Pasal 68

   

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4574) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

   

Pasal 69

   

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

   

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah im dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

             
           

Ditetapkan di Jakarta

           

pada tanggal 6 Juni 2011

           

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

             
                               ttd.
             
           

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

 

pada tanggal 6 Juni 2011

 

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

 
   
              ttd.  
   

PATRIALIS AKBAR

 
             

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 59

s