MENTERI KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 145/PMK.07/2013


TENTANG


PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

a.

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah, telah diatur mekanisme pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah;

 

 

b.

bahwa untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan pengalokasian anggaran Tranfer ke Daerah, perlu mengatur kembali mekanisme pengalokasian anggaran Transfer ke Daerah;

 

 

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah;

       

Mengingat

:

1.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884);

 

 

2.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

 

 

3.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

 

 

4.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);

 

 

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);

 

 

6.

Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5178);

 

 

7.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.02/2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga;

 
MEMUTUSKAN:
     
Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH.

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

 

 

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

 

 

1.

Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

 

2.

Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

 

 

3.

Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

4.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

 

 

5.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

 

 

6.

Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan Transfer ke Daerah.

 

 

7.

Rencana Dana Pengeluaran Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Dana Pengeluaran adalah rencana kerja dan anggaran yang memuat rincian kebutuhan dana dalam rangka pelaksanaan Transfer ke Daerah.

 

 

8.

Transfer ke Daerah adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian.

 

 

9.

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.

 

 

10.

Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

 

 

11.

Dana Bagi Hasil Pajak yang selanjutnya disebut DBH Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan Pajak Penghasilan Pasal 21.

 

 

12.

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat DBH CHT adalah bagian dari Anggaran Transfer ke Daerah yang dibagikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau.

 

 

13.

Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan.

 

 

14.

Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang selanjutnya disebut PPh WPOPDN adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan yang berlaku kecuali Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.

 

 

15.

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan.

 

 

16.

Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang selanjutnya disebut PBB Migas adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam wilayah kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Migas yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.

 

 

17.

Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan panas bumi yang selanjutnya disebut PBB Panas Bumi adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam wilayah kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Panas Bumi yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pengusaha Panas Bumi.

 

 

18.

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari perpajakan.

 

 

19.

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan SDA kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

 

 

20.

Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat PNBP SDA adalah bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Sumber Daya Alam kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

 

 

21.

Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama.

 

 

22.

Pengusaha Panas Bumi adalah Pertamina atau perusahaan penerusnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kontraktor kontrak operasi bersama (joint operation contract), dan pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi.

 

 

23.

Kurang Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH adalah selisih kurang antara DBH yang diperhitungkan berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosa realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.

 

 

24.

Lebih Bayar Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH adalah selisih lebih antara DBH yang diperhitungkan berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH yang telah disalurkan ke daerah atau DBH yang dihitung berdasarkan prognosa realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.

 

 

25.

Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

 

 

26.

Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

 

 

27.

Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah.

 

 

28.

Dana Penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang terdiri atas Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah, Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah, Bantuan Operasional Sekolah, dan Dana Insentif Daerah.

 

 

29.

Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang selanjutnya disebut TP Guru PNSD adalah tunjangan profesi yang diberikan kepada Guru PNSD yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

30.

Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang selanjutnya disebut DTP Guru PNSD adalah tambahan penghasilan yang diberikan kepada Guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi Guru PNSD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

31.

Bantuan Operasional Sekolah yang selanjutnya disingkat BOS adalah dana yang digunakan terutama untuk biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar dan dapat dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai petunjuk teknis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

 

 

32.

Dana Insentif Daerah yang selanjutnya disingkat DID adalah Dana Penyesuaian dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan kemampuan keuangan negara untuk melaksanakan fungsi pendidikan dengan mempertimbangkan kriteria daerah berprestasi yang memenuhi Kriteria Utama, Kriteria Kinerja, dan Batas Minimum Kelulusan Kinerja sebagai dasar untuk menentukan daerah penerima alokasi DID dan perhitungan besaran alokasi DID.

 

BAB II

RUANG LINGKUP

Pasal 2

 

 

(1)

Anggaran Transfer ke Daerah meliputi Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian.

 

 

(2)

Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas DBH, DAU, dan DAK.

 

 

(3)

Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh.

 

 

(4)

Dana Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas TP Guru PNSD, DTP Guru PNSD, BOS, dan DID.

 

 

(5)

Ruang lingkup pengalokasian anggaran Transfer ke Daerah meliputi:

 

 

 

a.

penganggaran anggaran Transfer ke Daerah;

 

 

 

b.

penyediaan data anggaran Transfer ke Daerah; dan

 

 

 

c.

perhitungan dan penetapan alokasi anggaran Transfer ke Daerah.

 

BAB III

DANA BAGI HASIL

Bagian Kesatu
Penganggaran

Pasal 3

 

 

(1)

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun:

 

 

 

a.

Indikasi Kebutuhan Dana DBH Pajak, DBH CHT, dan DBH SDA; dan

 

 

 

b.

Rencana Dana Pengeluaran DBH Pajak, DBH CHT, dan DBH SDA,

 

 

 

berdasarkan perkiraan penerimaan Pajak, Cukai Hasil Tembakau, dan PNBP SDA yang dibagihasilkan.

 

 

(2)

Penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran, Badan Kebijakan Fiskal, dan kementerian/instansi terkait.

 

 

(3)

Indikasi Kebutuhan Dana DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai dasar penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara.

 

 

(4)

Rencana Dana Pengeluaran DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai dasar penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 

 

(5)

Penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Kedua
Penyediaan Data

Paragraf 1

Rencana Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak
dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

Pasal 4

 

 

(1)

Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN, Direktur Jenderal Pajak menetapkan:

 

 

 

a.

rencana penerimaan PBB sektor Perdesaan, Perkotaan, Perkebunan, Kehutanan, dan Pertambangan (Minyak Bumi, Gas Bumi, Panas Bumi, dan pertambangan lainnya);

 

 

 

b.

rencana penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN; dan

 

 

 

c.

rencana insentif PBB per kabupaten/kota.

 

 

(2)

Rencana penerimaan PBB, penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN, serta insentif PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan ketentuan sebagai berikut:

 

 

 

a.

rencana penerimaan PBB dan rencana penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah Undang-Undang mengenai APBN ditetapkan; dan

 

 

 

b.

rencana insentif PBB disampaikan paling lambat akhir bulan Maret tahun anggaran bersangkutan.

 

 

(3)

Rencana penerimaan PBB dan penerimaan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dirinci per kabupaten/kota.

 

 

(4)

Rencana penerimaan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a khusus untuk PBB Migas dirinci berdasarkan:

 

 

 

a.

PBB Migas dari areal daratan (onshore) per KKKS per kabupaten/kota;

 

 

 

b.

PBB Migas dari areal perairan lepas pantai (offshore) per KKKS; dan

 

 

 

c.

PBB Migas dari tubuh bumi per KKKS.

 

 

(5)

Rincian rencana penerimaan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibedakan untuk:

 

 

 

a.

PBB Migas yang ditanggung Pemerintah; dan

 

 

 

b.

PBB Migas yang dibayar langsung oleh KKKS ke bank persepsi.

 

 

(6)

Rencana penerimaan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a khusus untuk PBB Panas Bumi dirinci per Pengusaha Panas Bumi per kabupaten/kota.

 
Pasal 5

 

 

(1)

Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan:

 

 

 

a.

realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau yang dibuat di Indonesia tahun sebelumnya yang dirinci per daerah; dan

 

 

 

b.

rencana penerimaan Cukai Hasil Tembakau yang dibuat di Indonesia sesuai dengan pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN,

 

 

 

kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

 

(2)

Realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.

 

 

(3)

Rencana penerimaan Cukai Hasil Tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah Undang-Undang mengenai APBN ditetapkan.

 

 

(4)

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyampaikan data rata-rata produksi tembakau kering untuk 3 (tiga) tahun sebelumnya kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.

 

Paragraf 2

Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Perhitungan
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam

Pasal 6

 

 

(1)

Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan surat penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, Pertambangan Panas Bumi, dan Pertambangan Umum periode tahun anggaran bersangkutan untuk masing-masing provinsi, kabupaten, dan kota penghasil.

 

 

(2)

Surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kontrak pengusahaan panas bumi sebelum dan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

 

 

(3)

Surat penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil untuk SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.

 

 

(4)

Surat penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil untuk SDA Pertambangan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.

 
Pasal 7

 

 

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyampaikan data estimasi distribusi revenue dan entitlement Pemerintah per KKKS kepada Direktur Jenderal Anggaran setelah berkoordinasi dengan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.

 

Pasal 8

 

 

(1)

Direktur Jenderal Pajak menyampaikan data PBB Migas yang dirinci per KKKS untuk masing-masing PBB Minyak Bumi dan PBB Gas Bumi kepada Direktur Jenderal Anggaran sebagai faktor pengurang dalam penghitungan PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi.

 

 

(2)

Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan data perkiraan PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi per KKKS dan Panas Bumi per pengusaha yang sudah memperhitungkan data perkiraan komponen pengurang pajak dan pungutan lainnya kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

 

 

(3)

PNBP SDA Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

 

 

 

a.

Setoran Bagian Pemerintah bagi kontrak pengusahaan panas bumi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

 

 

 

b.

Iuran Tetap dan Iuran Produksi bagi kontrak pengusahaan panas bumi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.

 

 

(4)

Data perkiraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya secara lengkap dokumen berupa:

 

 

 

a.

faktor pengurang PBB, reimbursement Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi per KKKS dan Pertambangan Panas Bumi per pengusaha yang diperhitungkan untuk PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dan Pertambangan Panas Bumi menggunakan data realisasi PBB Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dan Pertambangan Panas Bumi tahun anggaran sebelumnya;

 

 

 

b.

surat penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian daerah SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dan Pertambangan Panas Bumi untuk masing-masing provinsi, kabupaten, dan kota periode tahun anggaran bersangkutan; dan

 

 

 

c.

data estimasi distribusi revenue dan entitlement Pemerintah per KKKS untuk SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dan per pengusaha untuk SDA Pertambangan Panas Bumi.

 

Pasal 9

 

 

(1)

Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN:

 

 

 

a.

Menteri Kehutanan menerbitkan surat penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian daerah penghasil PNBP SDA Kehutanan tahun anggaran bersangkutan; dan

 

 

 

b.

Menteri Kelautan dan Perikanan menyusun data pendukung dan dasar perhitungan PNBP SDA Perikanan tahun anggaran bersangkutan.

 

 

(2)

Surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan oleh Menteri Kehutanan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.

 

 

(3)

Data pendukung dan dasar perhitungan PNBP SDA Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.

 

Pasal 10

 

 

(1)

Dalam hal terdapat perubahan data sebagai berikut:

 

 

 

a.

rencana penerimaan PBB, penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN, dan insentif PBB  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);

 

 

 

b.

rencana penerimaan Cukai Hasil Tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b; atau

 

 

 

c.

data perkiraan PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi per KKKS dan Panas Bumi per pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),

 

 

 

perubahan data dimaksud disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea Cukai, atau Direktur Jenderal Anggaran kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Oktober tahun anggaran bersangkutan.

 

 

(2)

Dalam hal terdapat perubahan data sebagai berikut:

 

 

 

a.

surat penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil untuk SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);

 

 

 

b.

surat penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian daerah penghasil PNBP SDA Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a; atau

 

 

 

c.

Data pendukung dan dasar perhitungan PNBP SDA Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b,

 

 

 

perubahan data dimaksud disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kehutanan, atau Menteri Kelautan dan Perikanan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat bulan Oktober tahun anggaran bersangkutan.

 

 

(3)

Perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disebabkan oleh:

 

 

 

a.

perubahan APBN;

 

 

 

b.

perubahan daerah penghasil dan/atau dasar perhitungan bagian daerah penghasil DBH SDA dan PNBP SDA; dan/atau

 

 

 

c.

salah hitung.

 

Paragraf 3

Prognosa Realisasi Penerimaan Pajak

Pasal 11

 

 

(1)

Direktur Jenderal Pajak melakukan perhitungan:

 

 

 

a.

prognosa realisasi penerimaan PBB Migas dan Panas Bumi; dan

 

 

 

b.

prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN per kabupaten/kota.

 

 

(2)

Prognosa realisasi penerimaan PBB Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dirinci berdasarkan:

 

 

 

a.

PBB Migas yang ditanggung Pemerintah; dan

 

 

 

b.

PBB Migas yang dibayar langsung oleh KKKS ke bank persepsi.

 

 

(3)

PBB Migas yang ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan PBB Migas yang dibayarkan melalui pemindahbukuan dana dari Rekening Migas ke rekening bank persepsi.

 

 

(4)

Prognosa realisasi penerimaan PBB Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci berdasarkan:

 

 

 

a.

PBB Migas dari areal daratan (onshore) per KKKS per kabupaten/kota; dan

 

 

 

b.

PBB Migas dari areal perairan lepas pantai (offshore) dan PBB Migas dari tubuh bumi per KKKS.

 

 

(5)

Prognosa realisasi penerimaan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dirinci per pengusaha per kabupaten/kota.

 

 

(6)

Prognosa realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran bersangkutan.

 

Paragraf 4

Prognosa Realisasi Penerimaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam

Pasal 12

 

 

(1)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kehutanan, dan Menteri Kelautan dan Perikanan melakukan perhitungan prognosa realisasi penerimaan PNBP SDA yang dibagihasilkan pada tahun anggaran yang bersangkutan untuk masing-masing provinsi, kabupaten/kota penghasil.

 

 

(2)

Perhitungan prognosa realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rekonsiliasi data antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Keuangan, dan daerah penghasil, kecuali untuk DBH SDA Perikanan.

 

 

(3)

Prognosa realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kehutanan, dan Menteri Kelautan dan Perikanan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran bersangkutan.

 

 

(4)

Hasil rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi yang ditandatangani oleh wakil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Keuangan dan daerah penghasil.

 
Pasal 13

 

 

(1)

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan perhitungan prognosa realisasi lifting Minyak Bumi dan Gas Bumi pada tahun anggaran yang bersangkutan untuk masing-masing provinsi, kabupaten/kota penghasil.

 

 

(2)

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan perhitungan prognosa realisasi produksi Panas Bumi pada tahun anggaran yang bersangkutan untuk masing-masing provinsi, kabupaten/kota penghasil.

 

 

(3)

Perhitungan prognosa realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui rekonsiliasi data antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Kementerian Keuangan dan daerah penghasil.

   

(4)

Hasil rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi yang ditandatangani oleh wakil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Kementerian Keuangan dan daerah penghasil.

   

(5)

Prognosa realisasi lifting Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu ketiga bulan September tahun anggaran bersangkutan.

   

(6)

Prognosa realisasi produksi Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kepada Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu ketiga bulan September tahun anggaran bersangkutan.

   

(7)

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyampaikan prognosa distribusi revenue dan entitlement pemerintah per KKKS pada tahun anggaran yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat minggu ketiga bulan September tahun anggaran bersangkutan.

 
Pasal 14
   

(1)

Berdasarkan prognosa realisasi lifting Minyak Bumi dan Gas Bumi, prognosa realisasi produksi Panas Bumi, dan prognosa distribusi revenue dan entitlement pemerintah per KKKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7), Direktur Jenderal Anggaran melakukan perhitungan:

     

a.

prognosa realisasi PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Pertambangan Gas Bumi per KKKS; dan

     

b.

prognosa realisasi PNBP SDA Pertambangan Panas Bumi per pengusaha.

   

(2)

Prognosa realisasi PNBP SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah memperhitungkan data faktor pengurang pajak dan pungutan lainnya.

   

(3)

Prognosa realisasi PNBP SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Anggaran kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran bersangkutan.

 

Paragraf 5

Realisasi Penerimaan Pajak, Cukai Hasil Tembakau,
dan Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam

Pasal 15

   

(1)

Direktur Jenderal Pajak menyampaikan data realisasi penerimaan PBB dan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN per kabupaten/kota kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) minggu setelah hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

   

(2)

Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau per kabupaten/kota kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) minggu setelah hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

   

(3)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan realisasi PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, Pertambangan Panas Bumi, Pertambangan Umum, Kehutanan, dan Perikanan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 1 (satu) minggu setelah hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

 

Bagian Ketiga
Penetapan Perkiraan Alokasi

Paragraf 1
Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan

Pasal 16

   

(1)

DBH PBB terdiri atas:

     

a.

PBB Bagian provinsi/kabupaten/kota;

     

b.

Biaya Pemungutan PBB Bagian provinsi/kabupaten/kota;

     

c.

PBB Bagi Rata kabupaten/kota; dan

     

d.

Insentif PBB.

   

(2)

Berdasarkan rencana penerimaan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan perkiraan alokasi DBH PBB sebagaimana di maksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c.

   

(3)

Direktorat Jenderal Pajak melakukan perhitungan perkiraan besaran insentif PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.

   

(4)

Perkiraan alokasi DBH PBB Bagian provinsi/kabupaten/kota dan Biaya Pemungutan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dihitung berdasarkan rencana penerimaan PBB yang ditetapkan per daerah.

   

(5)

Biaya Pemungutan PBB Bagian provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan persentase pembagian antara provinsi dan kabupaten/kota.

   

(6)

DBH PBB Bagi Rata untuk kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dihitung sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari rencana penerimaan PBB dan dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota.

   

(7)

Insentif PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dibagikan kepada kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui target.

   

(8)

Persentase pembagian antara provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 
Pasal 17
   

(1)

Besaran insentif PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) ditetapkan sebesar 3,5% (tiga koma lima persen) dari rencana penerimaan PBB tahun anggaran bersangkutan dan dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:

     

a.

35% (tiga puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada kabupaten/kota yang berhak atas insentif; dan

     

b.

65% (enam puluh lima persen) dibagikan dengan menggunakan formula kepada kabupaten/kota yang berhak atas insentif.

   

(2)

Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebagai berikut:

       

Insentif PBB

=

(20% x RPSLR) + (20% x RPRP) + (15% x RSLRP) + (15% x RNRP) + (10% x RLW) + (10% x RJP) + (10% x RJPM)

Keterangan    :

 

 

RPSLR

=

rasio persentase selisih lebih realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan daerah yang bersangkutan terhadap rencana penerimaan dengan total persentase selisih lebih realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan terhadap rencana penerimaan seluruh daerah penerima insentif.

RPRP

=

rasio persentase realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan daerah yang bersangkutan terhadap ketetapan pokok pajaknya dengan total persentase realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan terhadap ketetapan pokok pajak seluruh daerah penerima insentif.

RSLRP

=

rasio selisih lebih realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan daerah yang bersangkutan terhadap rencana penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan daerah yang bersangkutan dengan total selisih lebih realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan terhadap rencana penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan seluruh daerah penerima insentif.

RNRP

=

rasio nominal realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan daerah yang bersangkutan dengan total nominal realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan seluruh daerah penerima insentif.

RLW

=

rasio luas wilayah daerah yang bersangkutan dengan total luas wilayah seluruh daerah penerima insentif.

RJP

=

rasio jumlah penduduk daerah yang bersangkutan dengan total jumlah penduduk seluruh daerah penerima insentif.

RJPM

=

rasio jumlah penduduk miskin daerah yang bersangkutan dengan total jumlah penduduk miskin seluruh daerah penerima insentif.

 

   

(3)

Persentase selisih lebih realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan daerah yang bersangkutan terhadap rencana penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibatasi paling banyak 20% (dua puluh persen).

   

(4)

Persentase realisasi penerimaan PBB sektor Perdesaan/Perkotaan terhadap pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibatasi paling banyak 100% (seratus persen).

 
Pasal 18

 

 

(1)

Perhitungan perkiraan alokasi DBH PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b untuk PBB sektor Migas dan Panas Bumi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

 

 

 

a.

PBB Migas onshore dan Panas Bumi ditatausahakan berdasarkan letak dan kedudukan objek pajak untuk selanjutnya dibagi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

 

 

 

b.

PBB Migas offshore dan PBB Migas tubuh bumi ditatausahakan per kabupaten/kota dengan menggunakan formula dan selanjutnya dibagi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

   

(2)

Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebagai berikut:

     

a.

Untuk PBB Migas yang ditanggung oleh Pemerintah menggunakan formula:

       

 

Keterangan:

JP

=

Jumlah Penduduk

LW

=

Luas Wilayah

PAD

=

Pendapatan Asli Daerah.

 

     

b.

Untuk PBB Migas yang dibayar langsung oleh KKKS ke bank persepsi menggunakan formula:

     

 

 

 

   

(3)

Perhitungan PBB Migas offshore dan PBB Migas tubuh bumi per kabupaten/kota dari PBB Migas yang ditanggung Pemerintah ditetapkan sebagai berikut:

 

 

 

a.

10% (sepuluh persen) menggunakan formula sebagaimana diatur pada ayat (2) huruf a; dan

     

b.

90% (sembilan puluh persen) dibagi secara proporsional sesuai dengan realisasi PBB Migas tahun anggaran sebelumnya.

   

(4)

Dalam hal data prognosa realisasi PBB Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a tidak disampaikan sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6), proporsi yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b menggunakan rencana penerimaan PBB Migas tahun anggaran sebelumnya.

 
Pasal 19
   

(1)

Rasio jumlah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, dihitung dengan membagi jumlah penduduk masing-masing kabupaten/kota dengan total jumlah penduduk seluruh kabupaten/kota.

   

(2)

Rasio luas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, dihitung dengan membagi luas wilayah masing-masing kabupaten/kota dengan total luas wilayah seluruh kabupaten/kota.

   

(3)

Rasio invers PAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, dihitung dengan membagi invers PAD masing-masing kabupaten/kota dengan total invers PAD seluruh kabupaten/kota  dengan total invers PAD seluruh kabupaten/kota

   

(4)

Rasio lifting Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), dihitung dengan membagi lifting Migas masing-masing kabupaten/kota penghasil dengan total lifting Migas seluruh kabupaten/kota penghasil.

 

Pasal 20

   

(1)

Data jumlah penduduk, luas wilayah, dan PAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a merupakan data yang digunakan dalam perhitungan DAU untuk tahun anggaran bersangkutan.

   

(2)

Penggunaan data lifting Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

     

a.

untuk perkiraan alokasi PBB Migas menggunakan data prognosa lifting Migas tahun sebelumnya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; dan

     

b.

untuk perubahan perkiraan alokasi PBB Migas menggunakan data realisasi lifting Migas tahun sebelumnya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

 

Paragraf 2

Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan

Pasal 21

   

Berdasarkan rencana penerimaan PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan perkiraan alokasi DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN dengan persentase pembagian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 22

   

(1)

Perkiraan alokasi DBH PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan perkiraan alokasi DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya rencana penerimaan PBB dan rencana penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).

   

(2)

Dalam hal rencana penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berbeda sangat signifikan dengan realisasi penerimaan tahun sebelumnya, penetapan perkiraan alokasi DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan realisasi penerimaan tahun-tahun sebelumnya.

   

(3)

Dalam hal rencana penerimaan PBB dan rencana penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN tidak disampaikan sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, perhitungan perkiraan alokasi DBH PBB dan DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN dapat dilakukan berdasarkan data penerimaan PBB dan data penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN tahun sebelumnya.

   

(4)

Dalam hal prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN tidak disampaikan sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6), ketetapan mengenai perkiraan alokasi DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN menjadi dasar penyaluran DBH PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN pada triwulan IV.

 

Paragraf 3

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

Pasal 23

 

 

(1)

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan alokasi DBH CHT per provinsi berdasarkan formula pembagian sebagai berikut:

       

DBH CHT per-provinsi

=

(58% x CHT) + (38% x TBK) + (4% x IPM)

 

 

 

Keterangan     :

 

 

CHT

=

persentase realisasi penerimaan cukai hasil tembakau suatu provinsi tahun sebelumnya terhadap realisasi penerimaan cukai hasil tembakau nasional

TBK

=

persetase rata-rata produksi tembakau kering suatu provinsi selama tiga tahun terakhir terhadap rata-rata produksi tembakau kering nasional

IPM

=

Persentase invers indeks pembangunan manusia suatu provinsi tahun sebelumnya terhadap invers indeks pembangunan manusia seluruh provinsi penerima cukai hasil tembakau

       

 

 

(2)

Alokasi DBH CHT per provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Gubernur untuk digunakan sebagai dasar pembagian kepada provinsi, kabupaten/kota di masing-masing provinsi yang bersangkutan paling lambat 14 (empat belas hari kerja) setelah diterimanya realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).

 
Pasal 24

 

 

(1)

Berdasarkan alokasi DBH CHT per provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Gubernur mengalokasikan DBH CHT berdasarkan variabel penerimaan cukai dan/atau produksi tembakau di masing-masing kabupaten/kota penghasil.

 

 

(2)

Dalam mengalokasikan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur dapat menambahkan variabel lainnya yang memberikan kontribusi secara langsung terhadap penerimaan cukai.

 

 

(3)

Berdasarkan alokasi DBH CHT per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur menetapkan pembagian DBH CHT dengan ketentuan sebagai berikut:

 

 

 

a.

30% (tiga puluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan;

 

 

 

b.

40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan; dan

 

 

 

c.

30% (tiga puluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya.

   

(4)

Pembagian DBH CHT kepada kabupaten/kota lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan secara merata atau menggunakan variabel yang terkait dengan indikator tingkat kesejahteraan masyarakat.

   

(5)

Tata cara pembagian dan besaran alokasi pembagian DBH CHT untuk provinsi dan kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan ditetapkan dalam Peraturan Gubernur.

 
Pasal 25

 

 

(1)

Gubernur menyampaikan penetapan pembagian DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan kepada bupati/walikota di wilayahnya paling lambat minggu kedua bulan November tahun anggaran sebelumnya.

 

 

(2)

Menteri Keuangan memberikan persetujuan atas penetapan pembagian DBH CHT per kabupaten/kota yang disampaikan oleh Gubernur.

 

 

(3)

Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan hasil evaluasi atas kesesuaian penetapan Gubernur atas pembagian DBH CHT per kabupaten/kota terhadap ketentuan pembagian sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(4)

Dalam hal gubernur tidak menyampaikan ketetapan pembagian DBH CHT per kabupaten/kota sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan menetapkan pembagian berdasarkan proporsi pembagian tahun sebelumnya.

 

 

(5)

Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penetapan pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan paling lambat bulan Desember tahun anggaran sebelumnya.

 

Paragraf 4

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi

Pasal 26

 

 

(1)

Berdasarkan data sebagai berikut:

 

 

 

a.

surat penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); dan

 

 

 

b.

data perkiraan PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi per KKKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),

 

 

 

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan perkiraan alokasi PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi per daerah penghasil.

 

 

(2)

Dalam hal PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi per KKKS mencakup dua daerah atau lebih, maka perhitungan perkiraan alokasi PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

 

 

 

a.

untuk minyak bumi, PNBP per daerah penghasil dihitung berdasarkan rasio prognosa lifting minyak bumi per daerah penghasil per jenis minyak bumi dikalikan dengan PNBP per KKKS per jenis minyak;

 

 

 

b.

untuk gas bumi, PNBP per daerah penghasil dihitung berdasarkan rasio prognosa lifting gas bumi per daerah penghasil dikalikan dengan PNBP per KKKS; dan

 

 

 

c.

untuk minyak bumi dan gas bumi yang bersumber dari PT Pertamina EP, PNBP per daerah penghasil dihitung berdasarkan rasio prognosa lifting minyak bumi dan gas bumi per daerah penghasil dikalikan dengan PNBP per KKKS.

 

 

(3)

Berdasarkan perkiraan alokasi PNBP SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi per daerah penghasil, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan perkiraan alokasi DBH SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk provinsi, kabupaten, dan kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

(4)

Perkiraan alokasi DBH SDA Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

 

Paragraf 5

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Pertambangan Panas Bumi

Pasal 27

 

 

(1)

Perhitungan DBH SDA Pertambangan Panas Bumi untuk kontrak pengusahaan panas bumi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

 

 

 

a.

Berdasarkan data sebagai berikut:

       

1.

surat penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil SDA Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); dan

 

 

 

 

2.

data perkiraan PNBP SDA Pertambangan Panas Bumi per pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),

 

 

 

 

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan perkiraan alokasi PNBP SDA Pertambangan Panas Bumi per daerah penghasil.

 

 

 

b.

Perkiraan alokasi PNBP SDA Pertambangan Panas Bumi per daerah penghasil sebagaimana dimaksud pada huruf a dihitung berdasarkan rasio bagian daerah penghasil dikalikan dengan PNBP per pengusaha.

 

 

 

c.

Berdasarkan perkiraan alokasi PNBP SDA Pertambangan Gas Bumi per daerah penghasil, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan perkiraan alokasi DBH SDA Pertambangan Panas Bumi untuk provinsi, kabupaten, dan kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

 

d.

Perkiraan alokasi DBH SDA Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya data sebagaimana dimaksud pada huruf a.

 

 

(2)

Perhitungan DBH SDA Pertambangan Panas Bumi untuk kontrak pengusahaan panas bumi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

 

 

 

a.

Berdasarkan data sebagai berikut:

 

 

 

 

1.

surat penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil SDA Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); dan

 

 

 

 

2.

data perkiraan PNBP SDA Pertambangan Panas Bumi per pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),

 

 

 

 

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan perkiraan alokasi DBH SDA Pertambangan Panas Bumi untuk provinsi, kabupaten, dan kota.

 

 

 

b.

Perkiraan alokasi DBH SDA Pertambangan Panas Bumi untuk provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya data sebagaimana dimaksud pada huruf a.

 

Paragraf 6

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Pertambangan Umum, Kehutanan, dan Perikanan

Pasal 28

 

 

(1)

Berdasarkan data sebagai berikut:

 

 

 

a.

surat penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil untuk SDA Pertambangan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4);

 

 

 

b.

surat penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian daerah penghasil PNBP SDA Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2); dan

 

 

 

c.

data pendukung dan dasar perhitungan PNBP SDA Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3),

 

 

 

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan perkiraan alokasi DBH SDA Pertambangan Umum Kehutanan dan Perikanan untuk provinsi, kabupaten, dan kota.

 

 

(2)

Perkiraan alokasi DBH SDA Pertambangan Umum, Kehutanan dan Perikanan untuk provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya data sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 
Pasal 29

 

 

(1)

Penetapan perkiraan alokasi DBH SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf b, dan Pasal 28 ayat (2) dapat dilakukan rasionalisasi dengan mempertimbangkan realisasi PNBP per daerah paling kurang 3 (tiga) tahun terakhir.

 

 

(2)

Penetapan perkiraan alokasi DBH SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan di bawah pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN.

 

Bagian Keempat

Perubahan Perkiraan Alokasi

Pasal 30

 

 

(1)

Dalam hal terdapat:

 

 

 

a.

perubahan rencana penerimaan pajak dan PNBP yang mengakibatkan perubahan alokasi DBH dalam Undang-Undang mengenai APBN Perubahan lebih besar atau sama dengan 10% (sepuluh persen);

 

 

 

b.

prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh WPOPDN;

 

 

 

c.

prognosa PNBP SDA yang mengakibatkan perubahan alokasi DBH SDA melebihi 5% (lima persen) perkiraan alokasi secara nasional;

 

 

 

d.

perubahan data daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil DBH SDA dan PNBP SDA; dan/atau

 

 

 

e.

kesalahan hitung,

 

 

 

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan perubahan perkiraan alokasi DBH.

 

 

(2)

Perubahan perkiraan alokasi DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya perubahan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, prognosa realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6), prognosa realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dan prognosa realisasi PNBP SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3).

 

 

(3)

Dalam hal prognosa realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan prognosa realisasi PNBP SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) tidak disampaikan, Direktur Jenderal Perimbangan dapat melakukan perubahan perkiraan alokasi DBH SDA berdasarkan prognosa realisasi PNBP SDA semester II dalam Laporan Semester Pelaksanaan APBN dan hasil rekonsiliasi dengan kementerian terkait.

 
Pasal 31

 

 

(1)

Perkiraan alokasi DBH atau perubahan perkiraan alokasi DBH menjadi dasar penyaluran DBH dalam satu tahun anggaran.

 

 

(2)

Tata cara penyaluran DBH diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

 

Bagian Kelima

Perhitungan Realisasi Alokasi Dana Bagi Hasil

Pasal 32

 

 

(1)

Berdasarkan data realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan realisasi alokasi DBH untuk masing-masing provinsi, dan kabupaten/kota.

 

 

(2)

Perhitungan realisasi alokasi DBH dilakukan melalui mekanisme rekonsiliasi antara Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan unit/kementerian terkait.

 

 

(3)

Dalam hal realisasi alokasi DBH lebih besar dari perkiraan alokasi dan/atau perubahan perkiraan alokasi DBH, terdapat Kurang Bayar DBH.

 

 

(4)

Dalam hal realisasi alokasi DBH lebih kecil dari perkiraan alokasi dan/atau perubahan perkiraan alokasi DBH, terdapat Lebih Bayar DBH.

 

 

(5)

Kurang Bayar DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup kurang bayar atas perhitungan penerimaan PNBP tahun-tahun sebelumnya yang baru teridentifikasi daerah penghasilnya.

 

 

(6)

Kurang Bayar DBH disampaikan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk dianggarkan dalam Undang-Undang mengenai APBN atau Undang-Undang mengenai APBN Perubahan.

 

 

(7)

Lebih Bayar DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperhitungkan dengan alokasi DBH tahun anggaran berikutnya.

 

 

(8)

Alokasi Kurang Bayar dan Lebih Bayar DBH untuk masing-masing provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

BAB IV

DANA ALOKASI UMUM

Bagian Kesatu
Penganggaran

Pasal 33

 

 

(1)

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DAU nasional setelah berkoordinasi dengan Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Anggaran.

 

 

(2)

Penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DAU nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mempertimbangkan:

 

 

 

a.

perkiraan kebutuhan pagu DAU nasional; dan

 

 

 

b.

kebijakan pemerintah terkait pagu DAU nasional.

 

 

(3)

Indikasi Kebutuhan Dana DAU nasional disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai dasar penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara.

 

 

(4)

Rencana Dana Pengeluaran DAU nasional disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai dasar penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 

 

(5)

Penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DAU nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) termasuk perubahan pagu anggaran akibat adanya perubahan rencana penerimaan dalam negeri.

 

 

(6)

Penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DAU nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
Pasal 34

 

 

(1)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DAU ditetapkan paling kurang 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN.

 

 

(2)

Pendapatan Dalam Negeri Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah.

 

 

(3)

Proporsi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Kedua

Penyediaan Data

Pasal 35

 

 

(1)

Kepala Badan Pusat Statistik menyampaikan data dasar perhitungan DAU yang meliputi:

 

 

 

a.

jumlah penduduk;

 

 

 

b.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM);

 

 

 

c.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita; dan

 

 

 

d.

Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).

 

 

 

kepada Menteri Keuangan paling lambat bulan Juli tahun anggaran sebelumnya.

   

(2)

Menteri Dalam Negeri menyampaikan kode dan data wilayah administrasi pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota kepada Menteri Keuangan paling lambat bulan Juli tahun anggaran sebelumnya.

   

(3)

Kepala Badan Informasi Geospasial menyampaikan data luas wilayah perairan provinsi dan kabupaten/kota kepada Menteri Keuangan paling lambat bulan Juli tahun anggaran sebelumnya.

   

(4)

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyiapkan data Dana Bagi Hasil, Pendapatan Asli Daerah, total belanja, dan gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah paling lambat bulan Juli tahun anggaran sebelumnya.

 

Bagian Ketiga

Perhitungan dan Penetapan Alokasi

Pasal 36

   

(1)

DAU untuk suatu daerah dialokasikan dengan menggunakan formula:

     

DAU = CF + AD

     

Keterangan:

 

 

 

 

DAU

=

Dana Alokasi Umum

CF

=

Celah Fiskal

AD

=

Alokasi Dasar

 

   

(2)

Celah Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan formula:

 

 

 

 

CF = KbF + KpF

Keterangan:

CF

=

Celah Fiskal

KbF

=

Kebutuhan Fiskal

KpF

=

Kapasitas Fiskal

 

   

(3)

Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkiraan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.

   

(4)

Kebutuhan fiskal Daerah diukur/dihitung berdasarkan total belanja daerah rata-rata, jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Kemahalan Konstruksi, dengan menggunakan formula:

     

 

 

 

 

Keterangan :

KbF

=

Kebutuhan Fiskal

TBR

=

Total Belanja Rata-Rata

IP

=

Indeks Jumlah Penduduk

IW

=

Indeks Luas Wilayah

IKK

=

Indeks Kemahalan Konstruksi

=

Invers dari Indeks Pembangunan Manusia

IPDRB per kapita

=

Indeks dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita

 , ,, , dan merupakan bobot masing-masing variabel yang ditentukan berdasarkan hasil uji statistik.

 

   

(5)

Kapasitas fiskal daerah merupakan penjumlahan dari Pendapatan Asli Daerah dan DBH dengan formula:

       

KpF = PAD + DBH SDA +DBH Pajak

Keterangan:

KpF

=

Kapasitas Fiskal

PAD

=

Pendapatan Asli Daerah

DBH SDA

=

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam

DBH Pajak

=

Dana Bagi Hasil Pajak

 

   

(6)

Variabel-variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) digunakan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dalam rangka menghitung alokasi DAU untuk provinsi, kabupaten, dan kota berdasarkan bobot dan persentase tertentu yang ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pemerataan keuangan antar daerah.

   

(7)

Hasil perhitungan alokasi DAU untuk provinsi, kabupaten, dan kota berdasarkan Rencana Dana Pengeluaran DAU nasional dengan menggunakan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

   

(8)

Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil pembahasan alokasi DAU untuk provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (7), alokasi DAU untuk masing-masing daerah provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

 

BAB V

DANA ALOKASI KHUSUS

Bagian Kesatu
Penganggaran

Pasal 37

 

 

(1)

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DAK setelah berkoordinasi dengan Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Anggaran, dan kementerian/lembaga terkait.

 

 

(2)

Penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mempertimbangkan:

 

 

 

a.

perkiraan alokasi DAK dalam kerangka pembangunan jangka menengah; dan

 

 

 

b.

perkembangan alokasi DAK tahun-tahun sebelumnya.

 

 

(3)

Indikasi Kebutuhan Dana DAK disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai dasar penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara.

 

 

(4)

Rencana Dana Pengeluaran DAK disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai dasar penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 

 

(5)

Penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
Pasal 38

 

 

(1)

Perkiraan alokasi DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a antara lain dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

   

(2)

Penyusunan Rencana Dana Pengeluaran DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dirinci menurut bidang DAK antara lain dengan mempertimbangkan:

     

a.

Indikasi Kebutuhan Dana;

     

b.

prioritas nasional yang dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah;

     

c.

tingkat penyerapan masing-masing bidang DAK tahun sebelumnya;

     

d.

usulan kebutuhan pendanaan masing-masing bidang DAK dari kementerian/lembaga; dan

     

e.

bidang baru yang diusulkan untuk didanai dari DAK.

 

Bagian Kedua

Penyediaan Data

Pasal 39

   

(1)

Menteri/pimpinan lembaga terkait menyampaikan:

     

a.

data kewilayahan sebagai dasar perhitungan kriteria khusus; dan

     

b.

indeksteknis sebagai dasar perhitungan kriteria teknis.

     

kepada Menteri Keuangan paling lambat pada bulan Juli tahun anggaran sebelumnya.

   

(2)

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyiapkan data DBH, DAU, Pendapatan Asli Daerah, gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan realisasi penyerapan DAK paling lambat bulan Juli tahun anggaran sebelumnya.

 

Bagian Ketiga

Perhitungan dan Penetapan Alokasi

Pasal 40

 

 

(1)

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan alokasi DAK per bidang untuk masing-masing daerah berdasarkan Rencana Dana Pengeluaran DAK per bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1).

 

 

(2)

Perhitungan alokasi DAK per bidang untuk masing-masing daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahapan:

 

 

 

a.

penentuan daerah tertentu yang menerima DAK; dan

 

 

 

b.

penetapan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.

 

 

(3)

Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK dan penetapan besaran alokasi DAK masing-masing daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

 

Pasal 41

 

 

(1)

Kriteria umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi dengan belanja gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.

 

 

(2)

Kemampuan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung melalui Indeks Fiskal Neto (IFN).

 

 

(3)

Indeks Fiskal Neto (IFN) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) suatu daerah dihitung berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang bersangkutan dibagi dengan rata-rata kemampuan keuangan daerah secara nasional.

 
Pasal 42

 

 

(1)

Kriteria khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dirumuskan berdasarkan:

 

 

 

a.

ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; dan

 

 

 

b.

karakteristik daerah yang antara lain meliputi daerah tertinggal, daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan darat dengan negara lain, dan daerah rawan bencana.

 

 

(2)

Karakteristik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung dengan menggunakan Indeks Kewilayahan (IKW).

 

Pasal 43

 

 

(1)

Kriteria teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK.

 

 

(2)

Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan melalui Indeks Teknis (IT) oleh menteri/pimpinan lembaga terkait.

 

Pasal 44

 

 

(1)

Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:

 

 

 

a.

daerah yang memiliki Indeks Fiskal Neto (IFN) di bawah rata-rata Indeks Fiskal Neto (IFN) nasional;

 

 

 

b.

daerah yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;

 

 

 

c.

daerah tertinggal;

 

 

 

d.

daerah dengan Indeks Fiskal Wilayah (IFW) berada di atas rata-rata Indeks Fiskal Wilayah (IFW) nasional; atau

 

 

 

e.

daerah dengan Indeks Fiskal Wilayah Teknis (IFWT) berada di atas rata-rata Indeks Fiskal Wilayah Teknis (IFWT) nasional.

 

 

(2)

Indeks Fiskal Wilayah (IFW) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah penjumlahan dari inversi Indeks Fiskal Neto (IFN) dan Indeks Kewilayahan (IKW).

 

 

(3)

Indeks Fiskal Wilayah Teknis (IFWT) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e adalah penjumlahan dari Indeks Fiskal Wilayah (IFW) dan Indeks Teknis (IT).

 
Pasal 45

 

 

(1)

Penetapan besaran alokasi DAK masing-masing daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan bobot DAK per bidang untuk masing-masing daerah dibagi dengan bobot DAK per bidang untuk seluruh daerah dikalikan dengan pagu DAK per bidang.

 

 

(2)

Bobot DAK per bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Indeks Fiskal Wilayah Teknis (IFWT) dikalikan dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).

 

 

(3)

Indeks Fiskal Wilayah Teknis (IFWT) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penjumlahan dari Indeks Fiskal Wilayah (IFW) dan Indeks Teknis (IT).

 

Pasal 46

 

 

(1)

Hasil perhitungan alokasi berdasarkan penentuan daerah dan besaran alokasi DAK untuk masing-masing daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 

 

(2)

Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), alokasi DAK untuk  masing-masing daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

BAB VI

DANA OTONOMI KHUSUS DAN DANA PENYESUAIAN

Pasal 47

 

 

(1)

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian, yang terdiri atas:

 

 

 

a.

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran Dana Otonomi Khusus;

 

 

 

b.

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran TP Guru PNSD dan DTP Guru PNSD;

 

 

 

c.

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran BOS; dan

 

 

 

d.

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DID,

 

 

 

setelah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Anggaran dan Badan Kebijakan Fiskal.

 

 

(2)

Indikasi Kebutuhan Dana Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai dasar penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara.

 

 

(3)

Rencana Dana Pengeluaran Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai dasar penyusunan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 

 

(4)

Penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk perubahan pagu anggaran akibat adanya perubahan rencana penerimaan negara.

 

 

(5)

Penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Kesatu

Dana Otonomi Khusus

Pasal 48

 

 

(1)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a meliputi:

 

 

 

a.

Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; dan

 

 

 

b.

Dana Otonomi Khusus Provinsi Aceh.

 

 

(2)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:

 

 

 

a.

Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh masing-masing setara dengan 2% (dua persen) dari pagu DAU nasional; dan

 

 

 

b.

Tambahan Dana Bagi Hasil SDA Minyak Bumi sebesar 55% (lima puluh lima persen) dan Gas Bumi sebesar 40% (empat puluh persen) dari penerimaan negara yang berasal dari SDA Minyak Bumi dan SDA Gas Bumi dari provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi dengan pajak dan pungutan lainnya.

 
Pasal 49

 

 

(1)

Hasil perhitungan alokasi Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 

 

(2)

Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), alokasi Dana Otonomi Khusus ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kedua

Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah

Pasal 50

 

 

(1)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran TP Guru PNSD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b disusun berdasarkan usulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

 

(2)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran TP Guru PNSD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah guru PNSD yang sudah bersertifikasi profesi dikalikan dengan gaji pokok.

 

 

(3)

Rencana Dana Pengeluaran TP Guru PNSD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 
Pasal 51

 

 

(1)

Hasil pembahasan alokasi TP Guru PNSD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) digunakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai dasar perhitungan alokasi TP Guru PNSD untuk provinsi, kabupaten, dan kota.

 

 

(2)

Perhitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memperhitungkan adanya kurang bayar atau lebih bayar atas penyaluran TP Guru PNSD pada tahun anggaran sebelumnya.

 

 

(3)

Hasil perhitungan alokasi TP Guru PNSD untuk provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Undang-Undang mengenai APBN ditetapkan.

 

 

(4)

Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam  Undang-Undang mengenai APBN dan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), alokasi TP Guru PNSD untuk provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Ketiga

Dana Tambahan Penghasilan Guru
Pegawai Negeri Sipil Daerah

Pasal 52

 

 

(1)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DTP Guru PNSD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b disusun berdasarkan usulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

 

(2)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DTP Guru PNSD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah guru PNSD yang belum bersertifikasi profesi dikalikan dengan alokasi dana tambahan penghasilan per orang per bulan sesuai dengan yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN tahun sebelumnya.

 

 

(3)

Rencana Dana Pengeluaran DTP Guru PNSD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 
Pasal 53

 

 

(1)

Hasil pembahasan alokasi DTP Guru PNSD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) digunakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai dasar perhitungan alokasi DTP Guru PNSD untuk provinsi, kabupaten, dan kota.

 

 

(2)

Perhitungan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memperhitungkan adanya kurang bayar atau lebih bayar atas penyaluran DTP Guru PNSD pada tahun anggaran sebelumnya.

 

 

(3)

Hasil perhitungan alokasi DTP Guru PNSD untuk provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Undang-Undang mengenai APBN ditetapkan.

 

 

(4)

Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam  Undang-Undang mengenai APBN dan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), alokasi DTP Guru PNSD untuk provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Keempat

Bantuan Operasional Sekolah

Pasal 54

 

 

(1)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran BOS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf c disusun berdasarkan usulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

 

(2)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

 

 

 

a.

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran BOS; dan

 

 

 

b.

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran Dana Cadangan BOS.

 

 

(3)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dihitung berdasarkan jumlah siswa dikalikan dengan biaya satuan per siswa.

 

 

(4)

Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran Dana Cadangan BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dihitung berdasarkan proyeksi perubahan jumlah siswa dari perkiraan semula pada tahun anggaran bersangkutan.

 
Pasal 55

 

 

(1)

Rencana Dana Pengeluaran BOS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 

 

(2)

Hasil pembahasan alokasi BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai dasar perhitungan alokasi BOS untuk masing-masing daerah.

 

 

(3)

Perhitungan alokasi BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk memperhitungkan adanya lebih bayar atas penyaluran BOS pada tahun anggaran sebelumnya.

 

 

(4)

Hasil perhitungan alokasi BOS untuk masing-masing daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Undang-Undang mengenai APBN ditetapkan.

 

 

(5)

Berdasarkan pagu  yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN dan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), alokasi BOS untuk masing-masing daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kelima

Dana Insentif Daerah

Pasal 56

 

 

Penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana dan Rencana Dana Pengeluaran DID sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf d antara lain mempertimbangkan perkiraan kebutuhan pagu DID dan kebijakan pemerintah terkait pagu DID.

 
Pasal 57

 

 

(1)

Perhitungan alokasi DID berdasarkan kriteria utama dan kriteria kinerja.

 

 

(2)

Kriteria utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:

 

 

 

a.

ketepatan waktu penyampaian Peraturan Daerah mengenai APBD; dan

 

 

 

b.

opini Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.

 

 

(3)

Kriteria kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Kriteria Kinerja Keuangan, Kriteria Kinerja Pendidikan, dan Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan.

 

 

(4)

Hasil perhitungan kinerja berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menghasilkan nilai kinerja daerah.

 

 

(5)

Nilai kinerja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai dasar penentuan Bobot Daerah.

 

 

(6)

Alokasi DID suatu daerah dihitung berdasarkan Bobot Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikalikan dengan Rencana Dana Pengeluaran DID nasional.

 
Pasal 58

 

 

(1)

Alokasi DID secara nasional berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (6) disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada saat Pembahasan Tingkat I Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang mengenai APBN.

 

 

(2)

Hasil pembahasan alokasi DID sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai dasar perhitungan alokasi DID untuk masing-masing daerah.

 

 

(3)

Berdasarkan  pagu yang  ditetapkan  dalam  Undang-Undang mengenai  APBN dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), alokasi DID untuk masing-masing daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

BAB VII

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 59

 

 

Dalam hal terdapat adanya kebijakan dalam Undang-Undang mengenai APBN terkait dengan alokasi anggaran Transfer ke Daerah selain yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, tata cara pengalokasiannya diatur tersendiri melalui Peraturan Menteri Keuangan.

 

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 60

 

 

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 61

 

 

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014.

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

             

 

 

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta

 

 

 

 

 

 

pada tanggal 1 November 2013

 

 

 

 

 

 

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                   ttd.

 

 

 

 

 

 

 

           

                 MUHAMAD CHATIB BASRI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 1 November 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
                REPUBLIK INDONESIA,

 

                            ttd.

 

                AMIR SYAMSUDIN

 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 1278

 

Lampiran..................