PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 45 TAHUN 2013


TENTANG


TATA CARA PELAKSANAAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang

:

bahwa untuk dapat melaksanakan pendapatan dan belanja negara, serta penerimaan dan pengeluaran negara yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara secara lebih profesional, terbuka, dan bertanggung jawab, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

       

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

   

2.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

 

MEMUTUSKAN:

     

Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA.

 

BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1

   

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:

   

1.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

   

2.

Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

   

3.

Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

   

4.

Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.

   

5.

Penerimaan Negara adalah uang yang masuk ke Kas Negara.

   

6.

Pengeluaran Negara adalah uang yang keluar dari Kas Negara.

   

7.

Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, untuk menampung seluruh Penerimaan Negara dan membayar seluruh Pengeluaran Negara.

   

8.

Penerimaan Perpajakan adalah semua Penerimaan Negara yang terdiri atas pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.

   

9.

Pendapatan Hibah adalah Penerimaan Negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri.

   

10.

Belanja Hibah adalah setiap pengeluaran Pemerintah berupa pemberian yang tidak diterima kembali, dalam bentuk uang, barang, jasa, dan/atau surat berharga, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.

   

11.

Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

   

12.

Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah dan/atau hak Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

   

13.

Utang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah dan/atau kewajiban Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.

   

14.

Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran menurut nomenklatur Kementerian/Lembaga dan menurut fungsi Bendahara Umum Negara.

   

15.

Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian Negara/ Lembaga yang bersangkutan.

   

16.

Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/ lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.

   

17.

Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

   

18.

Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

   

19.

Satuan Kerja adalah unit organisasi lini Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Nonkementerian dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.

   

20.

Dokumen adalah data, catatan, dan/atau keterangan yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain, maupun terekam dalam bentuk/corak apapun.

   

21.

Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa Satuan Kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumberdaya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/ jasa.

   

22.

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai acuan PA dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.

   

23.

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.

   

24.

Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.

   

25.

Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.

   

26.

Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.

   

27.

Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh KPA/PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

   

28.

Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.

   

29.

Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

   

30.

Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh Penerimaan Negara dan membayar seluruh Pengeluaran Negara pada bank sentral.

   

31.

Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang Pendapatan Negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Nonkementerian.

   

32.

Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Nonkementerian.

   

33.

Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah orang yang ditunjuk untuk membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.

   

34.

Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

   

35.

Uang Persediaan adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satuan Kerja atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.

   

36.

Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pejabat Negara yang ditentukan oleh undang-undang.

   

37.

Pejabat Lainnya adalah pejabat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang selain Pejabat Negara.

   

38.

Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

   

39.

Likuidasi adalah tindakan penyelesaian seluruh aset dan kewajiban sebagai akibat berakhirnya Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja.

   

40.

Surplus Anggaran adalah selisih lebih antara pendapatan dan belanja selama 1 (satu) periode pelaporan.

 

BAB II
PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA


Bagian Kesatu
Pengguna Anggaran


Paragraf 1
Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran


Pasal 2

   

(1)

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku penyelenggara urusan tertentu dalam pemerintahan bertindak sebagai PA atas bagian anggaran yang disediakan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan kewenangannya tersebut.

   

(2)

Menteri Keuangan, selain sebagai PA atas bagian anggaran untuk kementerian yang dipimpinnya, juga bertindak selaku PA atas bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian Negara/Lembaga tertentu.

 

Pasal 3

   

Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mengatur lebih lanjut pelaksanaan anggaran atas bagian anggaran yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang Keuangan Negara.

 

Pasal 4

   

(1)

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA bertanggung jawab secara formal dan materiil kepada Presiden atas pelaksanaan kebijakan anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(2)

Tanggung jawab formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya.

   

(3)

Tanggung jawab materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab atas penggunaan anggaran dan hasil yang dicapai atas beban anggaran negara.

   

(4)

Pelaksanaan tanggung jawab Menteri Keuangan selaku PA atas bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian Negara/Lembaga tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diatur:

     

a.

dalam hal kegiatan yang dibiayai bukan merupakan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan hanya bertanggung jawab secara formal; dan

     

b.

dalam hal kegiatan yang dibiayai merupakan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan bertanggung jawab secara formal dan materiil sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 5

   

(1)

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA berwenang:

     

a.

menunjuk kepala Satuan Kerja yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga sebagai KPA; dan

     

b.

menetapkan Pejabat Perbendaharaan Negara lainnya.

   

(2)

Kewenangan PA untuk menetapkan Pejabat Perbendaharaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilimpahkan kepada KPA.

   

(3)

Dalam hal tertentu, PA dapat menunjuk pejabat selain kepala Satuan Kerja sebagai KPA.

 

Pasal 6

   

(1)

Penunjukan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan ayat (3) bersifat ex-officio.

   

(2)

Penunjukan KPA tidak terikat periode tahun anggaran.

   

(3)

Dalam hal tidak terdapat perubahan pejabat yang ditunjuk sebagai KPA pada saat pergantian periode tahun anggaran, penunjukan KPA tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku.

   

(4)

Penunjukan KPA berakhir apabila tidak teralokasi anggaran untuk program yang sama pada tahun anggaran berikutnya.

 

Pasal 7

   

(1)

Penunjukan KPA atas pelaksanaan dana urusan bersama dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas usul Gubernur/Bupati/Walikota.

   

(2)

Penunjukan KPA atas pelaksanaan dana dekonsentrasi dilakukan oleh gubernur selaku pihak yang dilimpahi sebagian urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan Kementerian Negara/Lembaga.

   

(3)

Penunjukan KPA atas pelaksanaan tugas pembantuan dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas usul Gubernur/Bupati/ Walikota.

   

(4)

Dalam rangka percepatan pelaksanaan anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mendelegasikan penunjukan KPA atas pelaksanaan urusan bersama dan tugas pembantuan kepada Gubernur/Bupati/Walikota.

 

Pasal 8

   

Dalam rangka pelaksanaan anggaran, KPA memiliki tugas dan wewenang:

   

a.

menyusun DIPA;

   

b.

menetapkan PPK dan PPSPM;

   

c.

menetapkan panitia/pejabat yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan dan anggaran;

   

d.

menetapkan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana pencairan dana;

   

e.

melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran Belanja Negara;

   

f.

melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran atas beban anggaran negara;

   

g.

memberikan supervisi, konsultasi, dan pengendalian pelaksanaan kegiatan dan anggaran;

   

h.

mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran; dan

   

i.

menyusun laporan keuangan dan kinerja sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 9

   

Dalam kondisi tertentu, jabatan PPK atau PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dapat dirangkap oleh KPA.

 

Pasal 10

   

(1)

KPA bertanggung jawab secara formal dan materiil kepada PA atas pelaksanaan Kegiatan yang berada dalam penguasaannya.

   

(2)

Tanggung jawab formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

   

(3)

Tanggung jawab materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab atas penggunaan anggaran dan keluaran (output) yang dihasilkan atas beban anggaran negara.

 

Paragraf 2
Pejabat Pembuat Komitmen
Pasal 11

   

(1)

PPK melaksanakan kewenangan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf e.

   

(2)

PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan lebih dari 1 (satu).

   

(3)

Penetapan PPK tidak terikat periode tahun anggaran.

   

(4)

Dalam hal tidak terdapat perubahan pejabat yang ditetapkan sebagai PPK pada saat penggantian periode tahun anggaran, penetapan PPK tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku.

   

(5)

Jabatan PPK tidak boleh dirangkap oleh PPSPM dan bendahara.

   

(6)

Dalam hal penunjukan KPA berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), penunjukan PPK secara otomatis berakhir.

 

Pasal 12

   

(1)

Dalam rangka melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran Belanja Negara, PPK memiliki tugas dan wewenang:

     

a.

menyusun rencana pelaksanaan Kegiatan dan rencana pencairan dana;

     

b.

menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;

     

c.

membuat, menandatangani dan melaksanakan perjanjian dengan Penyedia Barang/Jasa;

     

d.

melaksanakan Kegiatan swakelola;

     

e.

memberitahukan kepada Kuasa BUN atas perjanjian yang dilakukannya;

     

f.

mengendalikan pelaksanaan perikatan;

     

g.

menguji dan menandatangani surat bukti mengenai hak tagih kepada negara;

     

h.

membuat dan menandatangani SPP atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPP;

     

i.

melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Kegiatan kepada KPA;

     

j.

menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan Kegiatan kepada KPA dengan Berita Acara Penyerahan;

     

k.

menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Kegiatan; dan

     

l.

melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran Belanja Negara.

   

(2)

Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan dengan membandingkan kesesuaian antara surat bukti yang akan disahkan dan barang/jasa yang diserahterimakan/diselesaikan serta spesifikasi teknis yang dipersyaratkan dalam dokumen perikatan.

   

(3)

Ketentuan mengenai tata cara pemberitahuan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 13

   

PPK bertanggung jawab atas kebenaran materiil dan akibat yang timbul dari penggunaan bukti mengenai hak tagih kepada negara.

 

Paragraf 3
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar


Pasal 14

   

(1)

PPSPM melaksanakan kewenangan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f.

   

(2)

PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya ditetapkan 1 (satu) PPSPM.

   

(3)

Penetapan PPSPM tidak terikat periode tahun anggaran.

   

(4)

Dalam hal tidak terdapat perubahan pejabat yang ditetapkan sebagai PPSPM pada saat penggantian periode tahun anggaran, penetapan PPSPM tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku.

   

(5)

Jabatan PPSPM tidak boleh dirangkap oleh PPK dan bendahara.

   

(6)

Dalam hal penunjukan KPA berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), penunjukan PPSPM secara otomatis berakhir.

 

Pasal 15

   

Dalam rangka melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran, PPSPM memiliki tugas dan wewenang:

   

a.

menguji kebenaran SPP atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPP beserta dokumen pendukung;

   

b.

menolak dan mengembalikan SPP, apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;

   

c.

membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah disediakan;

   

d.

menerbitkan SPM atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM;

   

e.

menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;

   

f.

melaporkan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA; dan

   

g.

melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran.

 

Pasal 16

   

PPSPM bertanggung jawab terhadap:

   

a.

kebenaran administrasi;

   

b.

kelengkapan administrasi; dan

   

c.

keabsahan administrasi,

   

dokumen hak tagih pembayaran yang menjadi dasar penerbitan SPM dan akibat yang timbul dari pengujian yang dilakukan.

 

Bagian Kedua
Bendahara Umum Negara


Pasal 17

   

(1)

Menteri Keuangan bertindak sebagai BUN.

   

(2)

Menteri Keuangan selaku BUN mengangkat Kuasa BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan.

   

(3)

Dalam rangka melaksanakan tugas kebendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kuasa BUN memiliki tugas dan wewenang paling sedikit:

     

a.

melaksanakan penerimaan dan pengeluaran Kas Negara dalam rangka pengendalian pelaksanaan anggaran negara;

     

b.

memerintahkan penagihan Piutang Negara kepada pihak ketiga sebagai penerimaan anggaran;

     

c.

melakukan pembayaran tagihan pihak ketiga sebagai pengeluaran anggaran.

   

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Kuasa BUN diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Ketiga
Bendahara Penerimaan/Pengeluaran


Pasal 18

   

(1)

Dalam melaksanakan anggaran pendapatan pada kantor/Satuan Kerja di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengangkat Bendahara Penerimaan.

   

(2)

Kewenangan mengangkat Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada kepala Satuan Kerja.

   

(3)

Pengangkatan Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku BUN.

   

(4)

Pengangkatan Bendahara Penerimaan tidak terikat periode tahun anggaran.

   

(5)

Dalam hal tidak terdapat perubahan pejabat yang diangkat sebagai Bendahara Penerimaan pada saat pergantian periode tahun anggaran, pengangkatan Bendahara Penerimaan tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku.

   

(6)

Jabatan Bendahara Penerimaan tidak boleh dirangkap oleh KPA atau Kuasa BUN.

 

Pasal 19

   

Bendahara Penerimaan bertugas:

   

a.

menerima dan menyimpan uang Pendapatan Negara;

   

b.

menyetorkan uang Pendapatan Negara ke rekening Kas Negara secara periodik sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

   

c.

menatausahakan transaksi uang Pendapatan Negara di lingkungan Kementerian/Lembaga/ Satuan Kerja;

   

d.

menyelenggarakan pembukuan transaksi uang Pendapatan Negara;

   

e.

mengelola rekening tempat penyimpanan uang Pendapatan Negara; dan

   

f.

menyampaikan laporan pertanggungjawaban bendahara kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Kuasa BUN.

Pasal 20

   

(1)

Bendahara Penerimaan bertanggung jawab secara pribadi atas uang Pendapatan Negara yang berada dalam pengelolaannya.

   

(2)

Bendahara Penerimaan bertanggung jawab secara fungsional atas pengelolaan uang Pendapatan Negara yang menjadi tanggung jawabnya kepada Kuasa BUN.

 

Pasal 21

   

(1)

Bendahara Penerimaan merupakan pejabat fungsional.

   

(2)

Pejabat/pegawai yang akan diangkat sebagai Bendahara Penerimaan harus memiliki sertifikat Bendahara yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk.

 

Pasal 22

   

(1)

Dalam melaksanakan anggaran belanja pada kantor/Satuan Kerja dilingkungan Kementerian Negara/Lembaga, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengangkat Bendahara Pengeluaran.

   

(2)

Kewenangan mengangkat Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada kepala Satuan Kerja.

   

(3)

Pengangkatan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan setelah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku BUN.

   

(4)

Pengangkatan Bendahara Pengeluaran tidak terikat periode tahun anggaran.

   

(5)

Dalam hal tidak terdapat perubahan pejabat yang diangkat sebagai Bendahara Pengeluaran pada saat pergantian periode tahun anggaran, pengangkatan Bendahara Pengeluaran tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku.

   

(6)

Jabatan Bendahara Pengeluaran tidak boleh dirangkap oleh KPA atau Kuasa BUN.

 

Pasal 23

   

(1)

Bendahara Pengeluaran melaksanakan tugas kebendaharaan atas uang persediaan.

   

(2)

Pelaksanaan tugas kebendaharaan atas uang persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

     

a.

menerima dan menyimpan uang persediaan;

     

b.

melakukan pengujian tagihan yang akan dibayarkan melalui uang persediaan;

     

c.

melakukan pembayaran yang dananya berasal dari uang persediaan berdasarkan perintah KPA;

     

d.

menolak perintah pembayaran apabila tagihan tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;

     

e.

melakukan pemotongan/pemungutan dari pembayaran yang dilakukannya atas kewajiban kepada Negara;

     

f.

menyetorkan pemotongan/pemungutan kewajiban kepada Negara ke Rekening Kas Umum Negara;

     

g.

menatausahakan transaksi uang persediaan;

     

h.

menyelenggarakan pembukuan transaksi uang persediaan;

     

i.

mengelola rekening tempat penyimpanan uang persediaan;

     

j.

menyampaikan laporan pertanggungjawaban bendahara kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Kuasa BUN; dan

     

k.

menjalankan tugas kebendaharaan lainnya.

 

Pasal 24

   

(1)

Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas uang/surat berharga yang berada dalam pengelolaannya.

   

(2)

Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara fungsional atas pengelolaan uang/surat berharga yang menjadi tanggung jawabnya kepada Kuasa BUN.

 

Pasal 25

   

(1)

Bendahara Pengeluaran merupakan pejabat fungsional.

   

(2)

Pejabat/pegawai yang akan diangkat sebagai Bendahara Pengeluaran harus memiliki sertifikat bendahara yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk.

 

Pasal 26

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat pengangkatan, pembinaan karier, pengenaan sanksi, dan pemberhentian Bendahara Penerimaan dan Pengeluaran diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 27

   

(1)

Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan anggaran belanja, kepala Satuan Kerja dapat mengangkat Bendahara Pengeluaran Pembantu.

   

(2)

Pejabat/pegawai yang akan diangkat sebagai Bendahara Pengeluaran Pembantu harus memiliki sertifikat bendahara yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang ditunjuk.

   

(3)

Bendahara Pengeluaran Pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Bendahara Pengeluaran dalam melaksanakan tugas kebendaharaan.

   

(4)

Bendahara Pengeluaran Pembantu bertanggung jawab kepada Bendahara Pengeluaran.

   

(5)

Bendahara Pengeluaran Pembantu bertanggung jawab secara pribadi atas uang/surat berharga yang berada dalam pengelolaannya.

   

(6)

Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat, pengangkatan, tugas, pengenaan sanksi, dan pemberhentian Bendahara Pengeluaran Pembantu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 28

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), sertifikasi Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), dan sertifikasi Bendahara Pengeluaran Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), diatur dengan Peraturan Presiden.

 

BAB III
DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN


Bagian Kesatu
Penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran


Pasal 29

   

(1)

Setelah APBN ditetapkan, rincian anggaran belanja Pemerintah Pusat ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

   

(2)

Sebelum ditetapkannya rincian anggaran belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat memberitahukan kepada seluruh Menteri/Pimpinan Lembaga untuk menyusun DIPA masing-masing Kementerian Negara/ Lembaga.

   

(3)

Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun DIPA untuk Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya berdasarkan rincian anggaran belanja Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

   

(4)

Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan selaku BUN paling lambat pada minggu pertama bulan Desember, guna memperoleh pengesahan.

   

(5)

Penyampaian DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) oleh Kementerian Negara/Lembaga yang memiliki Badan Layanan Umum dilampiri rencana kerja dan anggaran Badan Layanan Umum.

 

Pasal 30

   

(1)

DIPA disusun berdasarkan anggaran berbasis kinerja.

   

(2)

DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci menurut klasifikasi fungsi, organisasi, dan jenis belanja.

 

Pasal 31

   

DIPA paling sedikit memuat:

   

a.

sasaran yang hendak dicapai;

   

b.

pagu anggaran yang dialokasikan;

   

c.

fungsi, program, Kegiatan, dan jenis belanja;

   

d.

lokasi Kegiatan;

   

e.

kantor bayar;

   

f.

rencana penarikan dana; dan

   

g.

rencana penerimaan dana.

 

Pasal 32

   

Rencana penarikan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf f paling sedikit memuat:

   

a.

rencana pelaksanaan Kegiatan, keluaran, dan jenis belanja;

   

b.

periode penarikan; dan

   

c.

jumlah nominal penarikan.

 

Pasal 33

   

Rencana penerimaan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf g paling sedikit memuat:

   

a.

jenis penerimaan;

   

b.

periode penyetoran; dan

   

c.

jumlah nominal penerimaan.

 

Pasal 34

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan DIPA diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kedua
Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran


Pasal 35

   

(1)

Menteri Keuangan selaku BUN mengesahkan DIPA yang diterima dari Kementerian Negara/Lembaga.

   

(2)

Kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada pejabat yang ditunjuk.

   

(3)

Pengesahan DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah adanya kesesuaian isi DIPA.

   

(4)

Kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi:

     

a.

kesesuaian unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf a sampai dengan huruf d dengan rincian belanja Pemerintah yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden;

     

b.

kesesuaian rencana penarikan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf f dengan rencana Kegiatan yang akan dilaksanakan; dan

     

c.

kesesuaian rencana penerimaan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf g dengan target Pendapatan Negara dan penerimaan pembiayaan pada APBN.

   

(5)

Pengesahan DIPA oleh Menteri Keuangan selaku BUN merupakan pernyataan kesiapan BUN untuk menyediakan uang dalam melaksanakan anggaran sesuai dengan rencana penarikan dana yang tercantum dalam DIPA.

 

Pasal 36

   

(1)

Menteri Keuangan selaku BUN menyampaikan DIPA yang telah disahkan kepada PA/KPA, Kuasa BUN, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

   

(2)

DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh PA/KPA sebagai dasar pelaksanaan pembayaran.

   

(3)

DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Kuasa BUN sebagai dasar dalam pencairan dana.

 

Pasal 37

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan DIPA diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Ketiga
Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran


Pasal 38

   

(1)

DIPA dapat direvisi karena:

     

a.

alasan administratif;

     

b.

alasan alokatif;

     

c.

perubahan rencana penarikan dana; dan/atau

     

d.

perubahan rencana penerimaan dana.

   

(2)

Revisi DIPA karena alasan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

     

a.

perubahan kantor bayar;

     

b.

perubahan jenis belanja sebagai akibat kesalahan penggunaan akun, sepanjang dalam peruntukan dan sasaran yang sama; dan

     

c.

perubahan lainnya akibat kekeliruan pencantuman dalam DIPA.

   

(3)

Revisi DIPA karena alasan alokatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

     

a.

penambahan /pengurangan alokasi pagu anggaran; dan

     

b.

perubahan atau pergeseran rincian pagu anggaran.

   

(4)

Revisi karena alasan alokatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat mengurangi pagu anggaran yang dialokasikan untuk belanja pegawai.

   

(5)

Revisi pengurangan pagu anggaran belanja pegawai dapat dilakukan dalam hal untuk pergeseran pagu anggaran belanja pegawai antar DIPA dalam lingkup Kementerian Negara/Lembaga yang sama.

   

(6)

Revisi DIPA karena perubahan rencana penarikan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam rangka menyesuaikan dengan realisasi belanja dan perubahan rencana Kegiatan.

   

(7)

Revisi DIPA karena perubahan rencana penerimaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dalam rangka menyesuaikan dengan realisasi Penerimaan Negara dan perubahan target Penerimaan Negara.

 

Pasal 39

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai revisi DIPA diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

BAB IV
PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN


Pasal 40

   

Pendapatan Negara terdiri atas:

   

a.

Penerimaan Perpajakan;

   

b.

Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan

   

c.

Pendapatan Hibah.

 

Pasal 41

   

(1)

Pendapatan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 harus disetorkan ke Kas Negara.

   

(2)

Pendapatan Negara yang diterima Kementerian Negara /Lembaga tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran.

   

(3)

Penyetoran Pendapatan Negara menggunakan sistem Penerimaan Negara.

 

Pasal 42

   

Dalam hal Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) mempunyai Satuan Kerja yang telah menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum, Satuan Kerja tersebut dapat menggunakan secara langsung PNBP yang dipungut tanpa terlebih dahulu menyetorkan ke Kas Negara.

Pasal 43

   

Pendapatan Negara disetorkan ke Kas Negara melalui:

   

a.

bank sentral; atau

   

b.

Bank Umum dan badan lainnya.

 

Pasal 44

   

(1)

Penyetoran melalui bank sentral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a hanya dapat dilakukan untuk Pendapatan Negara tertentu.

   

(2)

Ketentuan mengenai penyetoran Pendapatan Negara tertentu melalui bank sentral diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan bank sentral.

 

Pasal 45

   

(1)

Bank Umum dan badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b merupakan Bank Umum dan badan lainnya yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

   

(2)

Ketentuan mengenai tata cara penunjukan Bank Umum dan badan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 46

   

(1)

Pendapatan Negara harus disetor ke Kas Negara pada waktu yang ditetapkan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(2)

Penyetoran Pendapatan Negara yang dilakukan melampaui waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda.

   

(3)

Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku terhadap keterlambatan penyetoran yang diakibatkan oleh keadaan kahar.

   

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan dan penyetoran denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 47

   

(1)

Setiap PA/KPA dan/atau Bendahara yang melakukan pembayaran atas beban APBN ditetapkan sebagai wajib pungut pajak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(2)

Wajib pungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:

     

a.

memperhitungkan perpajakan atas tagihan kepada negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

     

b.

menyetorkan seluruh Penerimaan Perpajakan yang dipungut ke rekening penerimaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan

     

c.

melaporkan seluruh Penerimaan Perpajakan yang dipungut sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 48

   

(1)

Menteri/Pimpinan Lembaga yang memiliki sumber PNBP bertanggung jawab melakukan pemungutan PNBP dalam lingkungan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya.

   

(2)

Dalam melaksanakan tanggung jawab pemungutan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian Negara/Lembaga harus:

     

a.

mengintensifkan perolehan PNBP;

     

b.

mengintensifkan penagihan dan pemungutan Piutang PNBP;

     

c.

melakukan pemungutan dan penuntutan denda yang telah diperjanjikan;

     

d.

melakukan penatausahaan atas PNBP yang dipungutnya; dan

     

e.

menyampaikan laporan atas realisasi PNBP yang dipungutnya.

   

(3)

Dalam melaksanakan tanggung jawab pemungutan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri/Pimpinan Lembaga berwenang menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan PNBP.

 

Pasal 49

   

(1)

Seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara.

   

(2)

Dalam keadaan tertentu, penyetoran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui Bendahara Penerimaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetoran PNBP melalui Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 50

   

(1)

Bendahara Penerimaan menatausahakan setoran yang diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2).

   

(2)

Bendahara Penerimaan harus menyetorkan seluruh penerimaannya pada akhir hari kerja melalui Bank Umum dan badan lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

   

(3)

Dalam keadaan tertentu, penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan melebihi waktu 1 (satu) hari kerja setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

 

Pasal 51

   

Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) dilarang menyimpan uang dalam penguasaannya pada rekening atas nama pribadi.

 

Pasal 52

   

Dalam menatausahakan PNBP yang menjadi tanggung jawabnya, setiap Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) dan/atau pejabat yang bertugas melakukan pemungutan Penerimaan Negara, secara berkala menyampaikan laporan realisasi PNBP kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.

 

Pasal 53

   

(1)

Dalam mengefektivitaskan pemungutan PNBP, KPA dapat memperhitungkan PNBP yang terutang dari pembayaran yang dilakukannya.

   

(2)

KPA bertanggung jawab atas penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

   

(3)

Dalam menatausahakan PNBP yang menjadi tanggung jawabnya, setiap KPA wajib menyampaikan laporan realisasi PNBP kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.

 

Pasal 54

   

Laporan realisasi PNBP Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 ayat (3) disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA kepada Menteri Keuangan selaku BUN.

Pasal 55

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai penatausahaan PNBP diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 56

   

(1)

Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal bertanggung jawab atas pelaksanaan pendapatan hibah.

   

(2)

Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan menyelenggarakan penatausahaan pendapatan hibah.

   

(3)

Pendapatan hibah harus dikelola dalam APBN.

   

(4)

Pendapatan hibah disetorkan ke rekening Kas Negara.

   

(5)

Dalam hal Kementerian Negara/Lembaga menerima langsung pendapatan hibah, Kementerian Negara/Lembaga dapat menggunakan pendapatan hibah tanpa harus disetor ke Kas Negara terlebih dahulu berdasarkan mekanisme yang diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

BAB V
PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA


Bagian Kesatu
Pelaksanaan Komitmen


Pasal 57

   

(1)

Dalam melaksanakan anggaran belanja, PPK membuat dan melaksanakan komitmen sesuai batas anggaran yang telah ditetapkan dalam DIPA.

   

(2)

Anggaran yang sudah terikat dengan komitmen tidak dapat digunakan untuk kebutuhan lain.

 

Pasal 58

   

(1)

Pembuatan komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 untuk pengadaan barang/jasa Pemerintah dilakukan dalam bentuk perjanjian.

   

(2)

Pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang pengadaan barang jasa Pemerintah.

 

Pasal 59

   

(1)

Proses pengadaan sebelum adanya penandatanganan perjanjian dapat dilakukan sebelum tahun anggaran dimulai setelah rencana kerja dan anggaran disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

   

(2)

Penandatanganan perjanjian dilakukan setelah DIPA disahkan dan berlaku efektif.

   

(3)

Untuk keperluan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PA memberitahukan kepada KPA rincian Kegiatan dan jumlah alokasi pagu setiap Satuan Kerja dalam lingkungan Kementerian Negara/Lembaga.

   

(4)

Pendanaan untuk proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibebankan pada tahun anggaran berjalan sepanjang dananya dialokasikan dalam DIPA.

 

Pasal 60

   

Bentuk perjanjian untuk pengadaan barang dan jasa sampai dengan batas nilai tertentu sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dapat berupa bukti pembelian/pembayaran.

 

Pasal 61

   

(1)

Perjanjian atas pengadaan barang/jasa dilaksanakan membebani 1 (satu) tahun anggaran.

   

(2)

Dalam hal perjanjian atas pengadaan barang/jasa membebani lebih dari 1 (satu) tahun anggaran, perjanjian dimaksud dapat dibuat dan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan pejabat yang berwenang.

   

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian atas pengadaan barang/jasa yang membebani lebih dari 1 (satu) tahun anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 62

   

(1)

Perjanjian dalam pelaksanaan anggaran dapat dibiayai sebagian atau seluruhnya dari:

     

a.

pinjaman dan/atau hibah dalam negeri; atau

     

b.

pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

   

(2)

Perjanjian yang sumber pembiayaannya berasal dari pinjaman dan/atau hibah dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(3)

Perjanjian yang  sumber  pembiayaannya  berasal dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi ketentuan:

     

a.

mencantumkan tahun anggaran pembebanan dana;

     

b.

nilai perjanjian dalam bentuk valuta asing tidak dapat diubah dalam bentuk mata uang Rupiah;

     

c.

nilai perjanjian dalam bentuk mata uang Rupiah tidak dapat diubah dalam bentuk valuta asing;

     

d.

nilai perjanjian dalam bentuk valuta asing, tidak dapat membebani dana Rupiah murni; dan

     

e.

perjanjian yang berkaitan dengan penggunaan barang/jasa produksi dalam negeri tidak dapat dilakukan dalam valuta asing.

   

(4)

Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang dilaksanakan membebani lebih dari 1 (satu) tahun anggaran tidak memerlukan persetujuan pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2).

   

(5)

Perjanjian yang tidak mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

   

(6)

Perjanjian yang dibiayai sebagian atau seluruhnya dengan pinjaman luar negeri melalui fasilitas kredit ekspor dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(7)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 63

   

(1)

PA/KPA dapat melakukan kebijakan perjanjian menggunakan valuta asing yang dananya bersumber dari Rupiah murni.

   

(2)

Pelaksanaan pembayaran atas perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan dalam DIPA dengan nilai ekuivalen valuta asing.

   

(3)

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pembayaran atas perjanjian pengadaan barang/jasa menggunakan valuta asing yang dananya bersumber dari Rupiah murni diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 64

   

(1)

Komisi, rabat, potongan, dan penerimaan lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dapat dinilai dengan uang, yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan Kegiatan penjualan dan/atau pengadaan/penggunaan barang/jasa dalam rangka pelaksanaan APBN, merupakan hak negara.

   

(2)

Hak negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam bentuk uang, harus disetor ke Kas Negara dan dibukukan sebagai Pendapatan Negara.

   

(3)

Hak negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam bentuk barang, diserahkan kepada negara dan dicatat sebagai Barang Milik Negara.

 

Bagian Kedua
Penyelesaian Tagihan kepada Negara


Pasal 65

   

(1)

Penyelesaian tagihan kepada Negara atas beban anggaran Belanja Negara yang tertuang dalam APBN dilaksanakan berdasarkan hak dan bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran.

   

(2)

Pembayaran atas tagihan kepada Negara dilakukan secara langsung dari Rekening Kas Umum Negara kepada yang berhak.

   

(3)

Dalam hal pembayaran secara langsung kepada yang berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dapat dilaksanakan, pembayaran secara langsung atas tagihan kepada Negara dapat dilaksanakan melalui Bendahara Pengeluaran.

 

Pasal 66

   

(1)

Dalam hal pembayaran secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat dilaksanakan, pembayaran atas tagihan kepada Negara dilakukan melalui mekanisme Uang Persediaan.

   

(2)

Uang Persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Bendahara Pengeluaran dan digunakan untuk kelancaran pelaksanaan tugas Kementerian Negara/Lembaga.

   

(3)

 Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari Uang Persediaan yang dikelolanya setelah melakukan:

     

a.

meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh KPA;

     

b.

pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, paling sedikit meliputi:

       

1.

pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;

       

2.

nilai tagihan yang harus dibayar; dan

       

3.

jadwal waktu pembayaran;

     

c.

menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;

     

d.

pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen penerimaan barang/jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen perjanjian; dan

     

e.

pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan klasifikasi anggaran.

   

(4)

Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari KPA apabila persyaratan pada ayat (3) tidak dipenuhi.

 

Pasal 67

   

(1)

Berdasarkan tagihan kepada negara, PPK menerbitkan dan menandatangani SPP.

   

(2)

SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan bukti hak tagih kepada negara.

   

(3)

Bukti hak tagih kepada negara yang berupa bukti pembelian/pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus disahkan oleh PPK.

   

(4)

SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada PPSPM untuk diuji.

   

(5)

Pengujian SPP yang dilakukan oleh PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:

     

a.

pemeriksaan secara rinci kelengkapan dokumen pendukung SPP;

     

b.

penelitian ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA;

     

c.

pemeriksaan kesesuaian keluaran antara yang tercantum dalam dokumen perjanjian dengan keluaran yang tercantum dalam DIPA;

     

d.

pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, paling sedikit meliputi:

       

1.

pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;

       

2.

nilai tagihan yang harus dibayar; dan

       

3.

jadwal waktu pembayaran.

     

e.

pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen penerimaan barang/jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen perjanjian; dan

     

f.

pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan klasifikasi anggaran.

   

(6)

Pagu anggaran dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b merupakan jumlah pagu anggaran dikurangi dengan:

     

a.

jumlah dana yang telah direalisasikan;

     

b.

jumlah dana yang telah dibuatkan perjanjian untuk aktivitas di luar pencairan dana; dan

     

c.

uang persediaan yang belum dipertanggungjawabkan oleh Bendahara Pengeluaran.

   

(7)

PPSPM menerbitkan SPM atas SPP yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan  hasil  pengujian   sebagaimana  dimaksud pada ayat (5).

   

(8)

SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dilengkapi:

     

a.

pernyataan kebenaran perhitungan dan tagihan; dan/atau

     

b.

data perjanjian.

   

(9)

 KPA menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada Kuasa BUN.

   

(10)

Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memenuhi persyaratan PPSPM wajib menolak menerbitkan SPM.

 

Pasal 68

   

(1)

Pembayaran atas beban APBN tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima.

   

(2)

Dalam hal tertentu, pembayaran atas beban APBN dapat dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima.

   

(3)

Pembayaran atas beban APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah penyedia barang dan/atau jasa menyampaikan jaminan atas pembayaran yang akan dilakukan.

   

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran atas beban APBN yang dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima termasuk bentuk jaminan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 69

   

Dalam pelaksanaan penyelesaian tagihan kepada Negara, KPA memperhitungkan kewajiban penerima hak tagihan apabila penerima hak tagihan masih memiliki kewajiban kepada Negara.

 

Pasal 70

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian tagihan kepada Negara diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Ketiga
Penatausahaan Komitmen


Pasal 71

   

(1)

PPK harus menatausahakan setiap komitmen yang telah dilakukannya.

   

(2)

Dalam menatausahakan setiap komitmen, PPK atas nama KPA menyampaikan data komitmen kepada Kuasa BUN.

   

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penatausahaan komitmen diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Keempat
Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana


Pasal 72

   

Dalam pencairan dana atas SPM yang diajukan oleh KPA, Kuasa BUN menerbitkan SP2D.

 

Pasal 73

   

(1)

Dalam penerbitan SP2D, Kuasa BUN melakukan pengujian terhadap SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.

   

(2)

Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

     

a.

meneliti kelengkapan dokumen pendukung SPM;

     

b.

menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBN yang tercantum dalam SPM;

     

c.

menguji kesesuaian SPM dengan DIPA yang menjadi dasar pembayaran; dan

     

d.

menguji ketersediaan jumlah dana dalam DIPA.

   

(3)

Jumlah dana dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan jumlah pagu dana dikurangi dengan:

     

a.

jumlah dana yang telah direalisasikan;

     

b.

jumlah dana yang telah dibuatkan perjanjian untuk aktivitas di luar pencairan dana; dan

     

c.

uang persediaan yang belum dipertanggungjawabkan oleh Bendahara Pengeluaran.

   

(4)

Kuasa BUN menerbitkan SP2D atas SPM yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pemindahbukuan dari rekening pengeluaran ke rekening yang dituju dalam SPM.

   

(5)

Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi persyaratan, Kuasa BUN berwenang menolak menerbitkan SP2D.

 

Pasal 74

   

Ketentuan mengenai tata cara pengujian dan pencairan dana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kelima
Waktu Penyelesaian Hak Tagihan Kepada Negara


Pasal 75

   

(1)

Hak tagihan kepada Negara diselesaikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak bukti tagihan diterima secara lengkap.

   

(2)

Ketentuan mengenai waktu penyelesaian hak tagihan kepada Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 76

   

(1)

Keterlambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan pelaksanaan belanja dapat mengakibatkan pengenaan denda kepada Negara.

   

(2)

Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap keterlambatan pembayaran yang diakibatkan oleh keadaan kahar.

   

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Keenam
Jenis Belanja


Paragraf 1
Belanja Pegawai


Pasal 77

   

(1)

Belanja pegawai paling sedikit terdiri atas:

     

a.

kompensasi dalam bentuk uang atau barang yang diberikan kepada pejabat/pegawai yang bertugas di dalam negeri atau di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan;

     

b.

belanja pensiun dan uang tunggu; dan

     

c.

kontribusi sosial lainnya.

   

(2)

Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak termasuk pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.

   

(3)

Belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan huruf c dikelola oleh penyelenggara jaminan sosial sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(4)

Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pembayaran kompensasi kepada pejabat/pegawai yang bertugas di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan Presiden.

   

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan belanja pensiun, uang tunggu, dan kontribusi sosial lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 78

   

Pelaksanaan pembayaran belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dilakukan berdasarkan surat keputusan kepegawaian dan/atau Peraturan Perundang-undangan di bidang kepegawaian.

 

Pasal 79

   

(1)

PA/KPA berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan dan penatausahaan pembayaran belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a dan huruf b.

   

(2)

Dalam mengelola belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA dapat menunjuk petugas untuk mengelola dan menatausahakan pembayaran belanja pegawai.

   

(3)

Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada KPA.

 

Pasal 80

   

(1)

Kompensasi kepada pejabat/pegawai yang bertugas di dalam negeri atau di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a berupa gaji dan/atau tunjangan atau dalam bentuk lainnya.

   

(2)

Pembayaran kompensasi berupa gaji dan/atau tunjangan atau dalam bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setiap bulan berdasarkan surat keputusan kepegawaian dan/atau berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang kepegawaian.

   

(3)

Pelaksanaan pembayaran kompensasi berupa pembayaran gaji dan/atau tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setiap bulan pada hari kerja pertama.

   

(4)

Dalam kondisi tertentu pelaksanaan pembayaran kompensasi berupa pembayaran gaji dan/atau tunjangan dapat dikecualikan dari pengaturan pada ayat (3).

   

(5)

Ketentuan mengenai tata cara pembayaran gaji dan/atau tunjangan dalam kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 81

   

(1)

Presiden atau Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan surat keputusan kepegawaian yang mengakibatkan pembebanan pada anggaran Belanja Negara.

   

(2)

Presiden atau Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk pejabat di lingkungan Kementerian/Lembaga untuk menandatangani surat keputusan kepegawaian.

 

Pasal 82

   

(1)

Tunjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dapat berupa tunjangan pangan/beras.

   

(2)

Menteri Keuangan menetapkan satuan harga dan bentuk pemberian tunjangan pangan/beras sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 83

   

(1)

Pembayaran gaji dan tunjangan kepada pegawai negeri dan Pejabat Negara dilakukan dengan memperhitungkan kewajiban pegawai negeri dan Pejabat Negara kepada penyelenggara jaminan sosial sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(2)

KPA bertanggung jawab dalam memperhitungkan kewajiban pegawai negeri dan Pejabat Negara kepada penyelenggara jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Pasal 84

   

(1)

Pembayaran belanja pegawai kepada pegawai negeri, Pejabat Negara, dan/atau Pejabat Lainnya dilaksanakan secara langsung ke rekening tiap pegawai.

   

(2)

Belanja pegawai kepada pegawai negeri, Pejabat Negara, dan/atau Pejabat Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan melalui Bendahara Pengeluaran setelah mendapat persetujuan dari Kuasa BUN.

 

Pasal 85

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembayaran belanja pegawai diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Paragraf 2
Belanja Barang dan Belanja Modal


Pasal 86

   

Dalam menunjang tugas dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga, dalam APBN disediakan alokasi anggaran belanja barang dan/atau belanja modal.

 

Pasal 87

   

(1)

Belanja barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 paling sedikit meliputi:

     

a.

belanja barang dan/atau jasa;

     

b.

belanja pemeliharaan;

     

c.

belanja perjalanan dinas; dan

     

d.

belanja barang untuk diserahkan ke masyarakat.

   

(2)

Belanja barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai dengan peruntukannya paling sedikit untuk membiayai:

     

a.

keperluan kantor sehari-hari;

     

b.

pekerjaan yang bersifat nonfisik;

     

c.

pengadaan barang yang habis pakai; dan/atau

     

d.

pengadaan barang untuk diserahkan ke masyarakat.

 

Pasal 88

   

(1)

Belanja barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a dapat berupa honorarium.

   

(2)

Kepada pegawai negeri, Pejabat Negara, dan/atau Pejabat Lainnya yang terlibat dalam tim/panitia/kelompok kerja dapat diberikan honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang besarannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(3)

Ketentuan mengenai tata cara pemberian honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 89

   

(1)

Dalam mempertahankan kondisi aset tetap dan aset lainnya dalam kondisi normal, dalam APBN disediakan alokasi belanja pemeliharaan.

   

(2)

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan anggaran belanja pemeliharaan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 90

   

(1)

Belanja perjalanan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c diberikan kepada pegawai negeri, Pejabat Negara, Pejabat Lainnya, dan/atau pihak lain yang melaksanakan perjalanan dinas berdasarkan perintah pejabat yang berwenang.

   

(2)

Perjalanan dinas ke luar negeri terlebih dahulu memerlukan izin Presiden atau pejabat yang ditunjuk.

   

(3)

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan perjalanan dinas diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 91

   

(1)

Pegawai yang dipindahkan dapat diberi uang pesangon pindah kecuali di tempat yang baru mendapat perumahan.

   

(2)

Ketentuan mengenai pedoman dan pelaksanaan pemberian uang pesangon pindah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 92

   

(1)

Dalam pelaksanaan Kegiatan yang bersifat strategis dan khusus, pimpinan lembaga negara dan Menteri/Pimpinan Lembaga disediakan anggaran dana operasional yang besarannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

   

(2)

Penggunaan atas dana operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara fleksibel dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran serta prinsip efektif dan efisien.

   

(3)

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan dana operasional bagi pimpinan lembaga negara, Menteri/Pimpinan Lembaga diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 93

   

(1)

Belanja modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 merupakan pengeluaran anggaran untuk memperoleh atau menambah nilai aset tetap dan/atau aset lainnya.

   

(2)

Aset tetap dan/atau aset lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

     

a.

memberi manfaat lebih dari satu tahun;

     

b.

memenuhi batasan minimal kapitalisasi; dan

     

c.

dipergunakan untuk operasional Kegiatan atau dipergunakan untuk kepentingan umum.

   

(3)

Belanja modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk di dalamnya segala biaya yang timbul dari Kegiatan pendukung dalam pembentukan aset tetap dan/atau aset lainnya.

   

(4)

Ketentuan mengenai batas minimal kapitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Paragraf 3
Belanja Subsidi


Pasal 94

   

(1)

Dalam rangka memenuhi hajat hidup orang banyak, dalam APBN disediakan alokasi belanja subsidi.

   

(2)

Belanja subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

     

a.

belanja subsidi energi; dan

     

b.

belanja subsidi non energi.

 

Pasal 95

   

(1)

Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal berwenang mengelola anggaran belanja subsidi.

   

(2)

Dalam rangka pengelolaan anggaran belanja subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri Keuangan bertindak selaku PA atas anggaran belanja subsidi.

   

(3)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran belanja subsidi menunjuk pejabat setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menjalankan fungsi PA.

   

(4)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran belanja subsidi menetapkan pejabat pada Kementerian Negara/Lembaga yang membidangi fungsi pelaksanaan pemberian subsidi selaku KPA.

 

Pasal 96

   

Penyusunan dan pengesahan DIPA atas anggaran belanja subsidi dapat dilakukan dalam tahun anggaran berjalan sesuai dengan:

   

a.

perencanaan; dan/atau

   

b.

permintaan penyediaan dana subsidi yang disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang membidangi fungsi pelaksanaan pemberian subsidi kepada Menteri Keuangan selaku PA atas belanja subsidi.

 

Pasal 97

   

(1)

Pembayaran atas belanja subsidi dilakukan berdasarkan perhitungan besaran subsidi yang telah disalurkan kepada yang berhak menerima.

   

(2)

Besaran subsidi yang belum dapat diperhitungkan sampai dengan akhir tahun anggaran yang seharusnya menjadi beban tahun anggaran berjalan, pembayarannya dilakukan berdasarkan DIPA tahun anggaran berikutnya.

 

Pasal 98

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan belanja subsidi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Paragraf 4
Bantuan Sosial


Pasal 99

   

(1)

Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi, dan/atau kesejahteraan masyarakat, dalam APBN disediakan alokasi belanja bantuan sosial.

   

(2)

Pembayaran belanja bantuan sosial dapat dilakukan dalam bentuk:

     

a.

bantuan sosial yang bersifat konsumtif;

     

b.

bantuan sosial yang bersifat produktif; dan

     

c.

bantuan sosial melalui lembaga pendidikan, kesehatan, dan lembaga tertentu.

   

(3)

Belanja bantuan sosial yang bersifat konsumtif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum masyarakat sebagai jaring pengaman sosial.

   

(4)

Belanja bantuan sosial yang bersifat produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditujukan untuk membantu permodalan masyarakat ekonomi lemah.

   

(5)

Belanja bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan transfer uang, transfer barang, dan/atau transfer jasa dari Pemerintah kepada lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, dan lembaga tertentu guna membantu mengurangi beban masyarakat.

 

Pasal 100

   

(1)

Belanja bantuan sosial yang bersifat produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (4) dapat dikelola melalui pembentukan dana masyarakat dalam mekanisme bergulir.

   

(2)

Dana masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh masyarakat secara mandiri dan berkesinambungan dengan memperhatikan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

   

(3)

Masyarakat dapat secara proaktif melakukan pemantauan dan pengawasan atas pengelolaan dana masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 

Pasal 101

   

(1)

Pelaksanaan pembayaran belanja bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf a dan huruf b dilaksanakan secara langsung kepada masyarakat dan/atau kelompok masyarakat.

   

(2)

Dalam hal tertentu pembayaran belanja bantuan sosial kepada masyarakat dan/atau kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilaksanakan melalui pihak lain.

   

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan belanja bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Paragraf 5
Belanja Hibah


Pasal 102

   

(1)

Pengeluaran Pemerintah kepada pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan pemerintah asing/lembaga asing, yang spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib, dan tidak mengikat, dalam APBN disediakan alokasi belanja hibah.

   

(2)

Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

     

a.

belanja hibah ke pemerintah daerah;

     

b.

belanja hibah ke BUMN;

     

c.

belanja hibah ke BUMD; dan

     

d.

belanja hibah ke pemerintah asing/lembaga asing.

 

Pasal 103

   

(1)

Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal berwenang mengelola anggaran belanja hibah.

   

(2)

Dalam rangka pengelolaan anggaran belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan bertindak selaku PA atas anggaran belanja hibah.

   

(3)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran belanja hibah menunjuk pejabat setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menjalankan fungsi PA.

   

(4)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran belanja hibah menetapkan pejabat pada Kementerian Keuangan selaku KPA.

 

Pasal 104

   

(1)

Penyusunan dan pengesahan DIPA atas anggaran belanja hibah dapat dilakukan dalam tahun anggaran berjalan.

   

(2)

Penyusunan dan pengesahan DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan:

     

a.

perencanaan; dan/atau

     

b.

permintaan penyediaan dana hibah yang disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan selaku PA atas belanja hibah.

 

Pasal 105

   

Pelaksanaan pembayaran belanja hibah dilakukan secara langsung dari rekening Kas Negara ke rekening penerima yang menjadi tujuan pemberian hibah.

 

Pasal 106

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan belanja hibah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Paragraf 6
Belanja Lain-Lain


Pasal 107

   

(1)

Dalam melaksanakan Kegiatan yang bersifat mendesak, tidak terduga/tidak tersangka, dan strategis serta tidak diharapkan berulang, dan pengeluaran lainnya yang sangat diperlukan, dalam APBN disediakan alokasi anggaran belanja lain-lain.

   

(2)

Belanja lain-lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

     

a.

belanja Pemerintah yang dialokasikan untuk membiayai keperluan lembaga yang belum mempunyai kode bagian anggaran;

     

b.

belanja untuk keperluan yang bersifat tidak terus menerus;

     

c.

belanja untuk membayar kewajiban Pemerintah berupa kontribusi atau iuran kepada organisasi/lembaga keuangan internasional yang belum ditampung dalam bagian anggaran Kementerian Negara/Lembaga;

     

d.

belanja cadangan risiko fiskal;

     

e.

belanja untuk mengantisipasi kebutuhan mendesak;

     

f.

belanja pengeluaran tidak terduga/tidak tersangka; dan

     

g.

belanja pengeluaran lainnya.

 

Pasal 108

   

(1)

Menteri Keuangan selaku BUN berwenang mengelola anggaran belanja lain-lain.

   

(2)

Dalam rangka pengelolaan anggaran belanja lain-lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri Keuangan bertindak selaku PA atas anggaran belanja lain-lain.

   

(3)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran belanja lain-lain menunjuk pejabat setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menjalankan fungsi PA.

   

(4)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran belanja lain-lain menetapkan pejabat pada Kementerian Negara/Lembaga yang menggunakan anggaran belanja lain-lain selaku KPA.

 

Pasal 109

   

Penyusunan dan pengesahan DIPA atas anggaran belanja lain-lain dapat dilakukan dalam tahun anggaran berjalan sesuai dengan:

   

a.

perencanaan; dan/atau

   

b.

permintaan penggunaan dana belanja lain-lain yang disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan selaku PA atas belanja lain.

 

Pasal 110

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan anggaran belanja lain-lain diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 111

   

(1)

Dalam rangka mengurangi risiko fiskal terhadap APBN, Menteri Keuangan dapat melakukan kontrak manajemen risiko untuk memberikan perlindungan terhadap risiko atas guncangan kondisi keuangan, ekonomi dan bencana alam dengan melibatkan lembaga penyedia jasa asuransi dan/atau pengambil alih risiko baik dari dalam ataupun luar negeri untuk menanggung pengeluaran yang mendesak yang diakibatkan dari keadaan yang tidak terduga.

   

(2)

Belanja atas pengeluaran sehubungan dengan keterlibatan lembaga penyedia jasa asuransi dan/atau pengambil alih risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dalam APBN.

   

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perlindungan terhadap risiko atas guncangan kondisi keuangan, ekonomi dan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Paragraf 7
Anggaran Transfer ke Daerah


Pasal 112

   

Dalam melaksanakan perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah, dialokasikan anggaran transfer ke daerah dalam APBN.

 

Pasal 113

   

(1)

Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal berwenang mengelola anggaran transfer ke daerah.

   

(2)

Dalam pengelolaan anggaran transfer ke daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri Keuangan bertindak selaku PA atas anggaran transfer ke daerah.

   

(3)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran transfer ke daerah menunjuk pejabat setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menjalankan fungsi PA.

   

(4)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran transfer ke daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menetapkan pejabat pada Kementerian Keuangan selaku KPA.

 

Pasal 114

   

DIPA atas anggaran transfer ke daerah disusun berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai alokasi anggaran transfer ke daerah.

 

Pasal 115

   

(1)

KPA untuk melaksanakan anggaran transfer ke daerah menerbitkan surat keputusan mengenai rincian alokasi anggaran transfer ke daerah berdasarkan DIPA yang telah disahkan oleh BUN/Kuasa BUN.

   

(2)

Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pelaksanaan penyaluran anggaran transfer ke daerah.

   

(3)

Pelaksanaan penyaluran anggaran transfer ke daerah dilakukan secara langsung dari rekening Kas Negara ke Rekening Kas Umum Daerah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(4)

Dalam melaksanakan penyaluran transfer ke daerah, KPA dapat berkoordinasi dengan Kuasa BUN dan/atau otoritas Penerimaan Negara terkait untuk melakukan penghitungan realisasi Penerimaan Negara.

 

Pasal 116

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan anggaran transfer ke daerah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Paragraf 8
Belanja yang Bersumber dari Hibah


Pasal 117

   

(1)

Belanja untuk kebutuhan Kementerian Negara/Lembaga dapat bersumber dari hibah.

   

(2)

Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima langsung oleh Kementerian Negara/Lembaga dari pemberi hibah.

   

(3)

Pelaksanaan belanja dari hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui tahapan antara lain sebagai berikut:

     

a.

pemberian nomor register;

     

b.

pembukaan rekening hibah;

     

c.

penyesuaian pagu hibah dalam DIPA; dan

     

d.

pengesahan belanja.

   

(4)

Tahapan dalam pelaksanaan belanja yang sumber dananya dari hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya digunakan untuk hibah yang diterima dalam bentuk uang.

 

Pasal 118

   

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan belanja yang bersumber dari hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Ketujuh
Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Untuk Kegiatan Tertentu


Pasal 119

   

Sebagian dana PNBP dapat digunakan untuk Kegiatan tertentu sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang–undangan di bidang PNBP.

 

Pasal 120

   

(1)

Pencairan atas penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk membiayai Kegiatan tertentu dilakukan dengan memperhatikan batas maksimum pencairan yang dihitung berdasarkan proporsi pengeluaran terhadap penerimaan.

   

(2)

Penggunaan sebagian dana Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk membiayai Kegiatan tertentu tidak dapat melampaui pagu dana Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam DIPA Satuan Kerja yang bersangkutan.

   

(3)

Pembayaran dan penatausahaan belanja untuk Kegiatan tertentu yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak dilaksanakan secara terpisah dengan belanja yang bersumber selain dari Penerimaan Negara Bukan Pajak.

   

(4)

Dalam perhitungan batas maksimum pencairan dana, setoran PNBP yang belum digunakan sampai dengan akhir tahun anggaran, dapat dipergunakan untuk membiayai Kegiatan tahun anggaran berikutnya setelah diterimanya DIPA.

 

Pasal 121

   

Ketentuan mengenai tata cara pembayaran atas penggunaan sebagian dana PNBP untuk Kegiatan tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kedelapan
Penyelesaian Atas Keterlanjuran Pembayaran


Pasal 122

   

(1)

Pembayaran atas tagihan kepada negara yang dilakukan kepada pihak yang tidak berhak dan/atau dibayarkan melebihi haknya merupakan keterlanjuran pembayaran.

   

(2)

Keterlanjuran pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disetorkan kembali ke rekening Kas Negara.

   

(3)

Penyetoran kembali ke rekening Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlakukan sebagai koreksi atas keterlanjuran pembayaran dimaksud.

   

(4)

Berdasarkan koreksi atas keterlanjuran pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan pembayaran kembali atas beban rekening Kas Negara.

   

(5)

Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian keterlanjuran pembayaran diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kesembilan
Pembayaran Pengembalian Penerimaan


Pasal 123

   

(1)

Setiap keterlanjuran setoran/kelebihan Penerimaan Negara dapat dimintakan pengembaliannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(2)

Permintaan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat bukti setoran yang sah.

   

(3)

Pembayaran pengembalian keterlanjuran setoran/kelebihan Penerimaan Negara harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pada negara.

   

(4)

Untuk memberikan keyakinan adanya keterlanjuran setoran/kelebihan Penerimaan Negara, satuan kerja dapat meminta aparat pengawas intern Pemerintah untuk melakukan pemeriksaan dalam menentukan adanya hak tagih kepada negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 124

   

(1)

Pembayaran pengembalian atas keterlanjuran setoran/kelebihan Penerimaan Negara Bukan Pajak dilakukan dengan ketentuan:

     

a.

Wajib bayar menyampaikan permintaan pengembalian kepada PA/KPA.

     

b.

PA/KPA menerbitkan surat ketetapan keterlanjuran setoran/kelebihan Penerimaan Negara Bukan Pajak setelah dilakukan pengujian atas keabsahan surat bukti setoran dan kebenaran perhitungan jumlah pengembalian yang diajukan.

     

c.

Surat ketetapan keterlanjuran setoran/kelebihan Penerimaan Negara Bukan Pajak menjadi dasar penerbitan SPM pengembalian pendapatan.

   

(2)

Pembayaran pengembalian atas keterlanjuran setoran/kelebihan Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun anggaran yang lalu membebani Saldo Anggaran Lebih.

 

Pasal 125

   

(1)

Pembayaran pengembalian atas keterlanjuran setoran/kelebihan pajak dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(2)

Pembayaran Pengembalian atas keterlanjuran setoran/kelebihan pajak tahun anggaran yang lalu membebani penerimaan pajak tahun berjalan.

 

Pasal 126

   

(1)

Pembayaran kelebihan setoran bea dan cukai dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

(2)

Pembayaran pengembalian atas keterlanjuran setoran/kelebihan bea dan cukai tahun anggaran yang lalu membebani penerimaan bea dan cukai tahun berjalan.

 

Pasal 127

   

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran pengembalian atas keterlanjuran setoran/kelebihan Penerimaan Negara diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kesepuluh
Pelaksanaan Anggaran Belanja pada Satuan Kerja/Atase
Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri


Pasal 128

 

 

(1)

Pelaksanaan anggaran belanja pada Satuan Kerja/Atase Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri menggunakan mata uang asing.

 

 

(2)

Anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dalam DIPA dengan nilai ekuivalen valuta asing.

 

 

(3)

Ekuivalen valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan acuan dalam pembayaran dan pencairan dana.

   

(4)

Pencatatan transaksi atas pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan nilai ekuivalen rupiah berdasarkan kurs Bank Indonesia.

 

Pasal 129

 

 

Selisih kurs yang timbul sebagai akibat transaksi pembayaran dan pencairan dana atas Satuan Kerja/Atase Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri diatur sebagai berikut:

 

 

a.

apabila terdapat selisih lebih, selisih lebih tersebut disetor ke rekening Kas Negara; dan

 

 

b.

apabila terdapat selisih kurang, selisih kurang tersebut wajib dipertanggungjawabkan sebagai pengeluaran belanja.

 

Pasal 130

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan belanja pada Satuan Kerja/Atase Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan pengaturan penggunaan kurs Bank Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kesebelas
Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Belanja


Pasal 131

 

 

(1)

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan anggaran belanja Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya.

 

 

(2)

Menteri Keuangan selaku BUN dapat melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan anggaran belanja Kementerian Negara/Lembaga.

 

 

(3)

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA menyampaikan laporan hasil monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan anggaran belanja Kementerian Negara/Lembaga kepada Menteri Keuangan.

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan anggaran belanja diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 132

 

 

(1)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran transfer ke daerah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyerapan dan penggunaan dana transfer ke daerah yang penggunaannya sudah ditentukan.

 

 

(2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyerapan dan penggunaan dana transfer ke daerah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kedua belas
Likuidasi Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja
Dalam Pelaksanaan Anggaran


Pasal 133

 

 

(1)

Setiap Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja yang dilikuidasi harus:

     

a.

menyelesaikan seluruh hak dan kewajibannya dalam rangka pelaksanaan APBN.

     

b.

menyusun laporan pertanggungjawaban.

 

 

(2)

Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

 

 

 

a.

Piutang Negara pada pihak ketiga;

 

 

 

b.

Uang Persediaan yang belum dipertanggungjawabkan;

 

 

 

c.

utang kepada pihak ketiga; dan

 

 

 

d.

hak dan kewajiban lainnya.

 

 

(3)

Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:

 

 

 

a.

laporan kinerja; dan

 

 

 

b.

laporan keuangan.

 

 

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian seluruh hak dan kewajiban serta laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

BAB VI
PELAKSANAAN ANGGARAN PEMBIAYAAN


Bagian Kesatu
Tujuan dan Sumber Pembiayaan


Pasal 134

 

 

(1)

Pembiayaan APBN dilaksanakan dengan tujuan untuk:

 

 

 

a.

menutup defisit;

 

 

 

b.

mengelola portofolio utang;

 

 

 

c.

investasi dan penyertaan modal negara;

 

 

 

d.

pemberian pinjaman dan/atau penjaminan;

 

 

 

e.

penerusan pinjaman; dan

 

 

 

f.

pembiayaan lain.

 

 

(2)

Pembiayaan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:

 

 

 

a.

saldo anggaran lebih tahun anggaran sebelumnya;

 

 

 

b.

pembiayaan utang melalui penarikan pinjaman dan/atau penerbitan surat berharga negara;

 

 

 

c.

pembiayaan non-utang melalui penjualan aset Pemerintah, privatisasi BUMN, dan pengembalian penerusan pinjaman dan pembiayaan non-utang lainnya; dan/atau

 

 

 

d.

Surplus Anggaran.

 

 

(3)

Pembiayaan APBN yang bersumber dari pembiayaan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diutamakan yang paling murah sesuai dengan kondisi pasar dan risiko yang terkendali.

 

Pasal 135

 

 

(1)

Pembayaran atau pencairan dana atas pelaksanaan pembiayaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) huruf f untuk pembangunan proyek infrastruktur melalui penerbitan SBSN dan Kegiatan prioritas yang dibiayai melalui pinjaman, dapat dilakukan melalui pembiayaan pendahuluan.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai tata cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 136

 

 

(1)

Pembiayaan APBN yang bersumber dari surplus anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2) huruf d diutamakan pemanfaatannya untuk:

 

 

 

a.

pengurangan utang;

     

b.

pembentukan cadangan; dan

 

 

 

c.

peningkatan jaminan sosial.

 

 

(2)

Ketentuan mengenai tata cara pemanfaatan surplus anggaran diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 137

 

 

(1)

Dalam pelaksanaan belanja untuk memenuhi pembiayaan APBN melalui utang, PPK melakukan perjanjian dengan pihak ketiga sesuai batas anggaran yang telah ditetapkan dalam DIPA.

 

 

(2)

Proses pengadaan barang/jasa sebelum adanya penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sebelum tahun anggaran dimulai.

 

 

(3)

Penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah DIPA disahkan dan berlaku efektif.

 

 

(4)

Pendanaan untuk proses pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebankan pada tahun anggaran berjalan sepanjang dananya dialokasikan dalam DIPA.

 

 

(5)

Ketentuan mengenai proses pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kedua
Penyelesaian Piutang Negara pada Kementerian Negara/Lembaga


Pasal 138

 

 

(1)

Piutang Negara dapat terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan pengelolaan pendapatan, belanja, dan kekayaan negara yang dilakukan oleh tiap Kementerian Negara/ Lembaga selaku PA/Pengguna BMN.

 

 

(2)

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA/Pengguna BMN wajib melaksanakan penyelesaian Piutang Negara yang berada dalam pengelolaan dan/atau tanggung jawabnya secara tepat waktu.

 

 

(3)

Dalam pelaksanaan penyelesaian Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Negara /Lembaga melakukan pengelolaan Piutang Negara paling sedikit meliputi Kegiatan:

 

 

 

a.

penatausahaan;

 

 

 

b.

penagihan;

 

 

 

c.

pengawasan dan pengendalian;

 

 

 

d.

pelaporan; dan

 

 

 

e.

pertanggungjawaban.

 

 

(4)

Pengelolaan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

 

(5)

Dalam hal upaya penagihan telah dilakukan namun Piutang Negara tidak dilunasi, Menteri/Pimpinan Lembaga menyerahkan pengurusan Piutang Negara yang telah dinyatakan macet kepada instansi yang berwenang mengurus Piutang Negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

 

(6)

Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas pengelolaan Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan selaku BUN.

 

Pasal 139

 

 

(1)

Debitur perorangan maupun lembaga melakukan pembayaran atas Piutang Negara langsung ke rekening Kas Negara.

 

 

(2)

Dalam hal tertentu pembayaran atas Piutang Negara dapat disetorkan ke rekening Kas Negara melalui rekening Bendahara Penerimaan.

 

 

(3)

Ketentuan mengenai tata cara pembayaran atas Piutang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Ketiga
Pengelolaan Portofolio Utang


Pasal 140

 

 

(1)

Pengelolaan portofolio utang dilaksanakan melalui:

 

 

 

a.

Restrukturisasi utang; dan

 

 

 

b.

Transaksi lindung nilai.

 

 

(2)

Biaya yang timbul dalam pengelolaan portofolio utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dalam APBN.

 

 

(3)

Pengelolaan portofolio utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri Keuangan.

 

Bagian Keempat
Pembayaran Kewajiban Utang Negara


Pasal 141

 

 

(1)

Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal berwenang mengelola anggaran utang.

 

 

(2)

Dalam rangka pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri Keuangan bertindak selaku PA atas anggaran utang.

 

 

(3)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran utang menunjuk pejabat setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menjalankan fungsi PA.

 

 

(4)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran utang menetapkan pejabat pada Kementerian Keuangan yang membidangi fungsi pelaksanaan pembayaran utang selaku KPA.

 

Pasal 142

 

 

Penyusunan dan pengesahan DIPA atas anggaran utang dapat dilakukan dalam tahun anggaran berjalan sesuai dengan:

 

 

a.

perencanaan; dan/atau

 

 

b.

permintaan penyediaan dana yang disampaikan oleh pejabat pada Kementerian Keuangan.

 

Pasal 143

 

 

(1)

Untuk menjaga kredibilitas negara, pembayaran utang dapat melampaui pagu DIPA, mendahului ditetapkannya revisi DIPA.

 

 

(2)

Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam perubahan APBN atau dalam pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

 

 

(3)

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pembayaran utang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kelima
Pelaksanaan Penjaminan


Pasal 144

 

 

(1)

Menteri Keuangan selaku BUN berwenang memberikan jaminan atas nama Pemerintah.

 

 

(2)

Jaminan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap:

 

 

 

a.

pembayaran kewajiban pihak terjamin sesuai perjanjian pinjaman/kerja sama kepada penerima jaminan; atau

 

 

 

b.

risiko penerima jaminan.

 

 

(3)

Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan bertindak selaku PA atas kewajiban penjaminan Pemerintah.

 

 

(4)

Menteri Keuangan selaku PA atas kewajiban penjaminan Pemerintah menunjuk pejabat setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menjalankan fungsi PA.

 

 

(5)

Menteri Keuangan selaku PA atas kewajiban penjaminan Pemerintah menetapkan pejabat pada Kementerian Keuangan yang membidangi fungsi pemberian jaminan atas nama Pemerintah selaku KPA.

 

 

(6)

Pelaksanaan kewajiban penjaminan Pemerintah dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 145

 

 

Penyusunan dan pengesahan DIPA atas kewajiban penjaminan Pemerintah dapat dilakukan dalam tahun anggaran berjalan sesuai dengan hasil perhitungan kewajiban kontinjensi atas kewajiban penjaminan Pemerintah.

 

Pasal 146

 

 

(1)

Pelaksanaan kewenangan pembuatan komitmen atas kewajiban penjaminan Pemerintah diwujudkan dalam perjanjian penjaminan Pemerintah.

 

 

(2)

Pelaksanaan pembayaran kewajiban penjaminan Pemerintah didasarkan atas berita acara pemeriksaan klaim yang ditandatangani oleh PPK dan penerima jaminan.

 

 

(3)

Pelaksanaan pembayaran kewajiban penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara langsung dari rekening Kas Negara ke rekening penerima jaminan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 147

 

 

(1)

Dalam hal terdapat anggaran kewajiban penjaminan Pemerintah yang telah dialokasikan tidak habis digunakan dalam tahun berjalan, anggaran kewajiban penjaminan Pemerintah dimaksud dapat diakumulasikan ke dalam rekening dana cadangan penjaminan Pemerintah.

 

 

(2)

Rekening dana cadangan penjaminan Pemerintah dibuka atas nama Menteri Keuangan selaku BUN pada bank sentral.

 

 

(3)

Dana yang terdapat dalam rekening dana cadangan penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pembayaran kewajiban penjaminan Pemerintah pada tahun anggaran yang akan datang.

 

Pasal 148

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penjaminan atas nama Pemerintah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Keenam
Penyaluran Pinjaman dan/atau Hibah yang Diteruspinjamkan


Pasal 149

 

 

(1)

Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal berwenang mengelola anggaran pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan.

 

 

(2)

Dalam pengelolaan anggaran penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan bertindak selaku PA atas anggaran pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan.

 

 

(3)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan menunjuk pejabat setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menjalankan fungsi PA.

 

 

(4)

Menteri Keuangan selaku PA atas anggaran pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan menetapkan pejabat pada Kementerian Keuangan yang membidangi fungsi pelaksanaan penerusan pinjaman selaku KPA.

 

Pasal 150

 

 

(1)

KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (4) bertanggung jawab atas pelaksanaan pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan.

 

 

(2)

Gubernur/Bupati/Walikota bertanggung jawab atas penetapan, perhitungan biaya, dan penggunaan anggaran yang berasal dari pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan ke daerah.

 

 

(3)

Direksi BUMN/BUMD bertanggung jawab atas penetapan, perhitungan biaya, dan penggunaan anggaran yang berasal dari pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan ke BUMN/BUMD.

 

Pasal 151

 

 

(1)

Pelaksanaan kewenangan pembuatan komitmen atas belanja pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan diwujudkan dalam suatu naskah perjanjian penerusan pinjaman.

 

 

(2)

Naskah perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan sebagai dasar pelaksanaan penerusan pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan.

 

 

(3)

Pelaksanaan penyaluran dana pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan dilakukan sesuai dengan mekanisme penarikan pinjaman dan/atau hibah yang diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 152

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pinjaman dan/atau hibah yang diteruspinjamkan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Ketujuh
Pelaksanaan Anggaran Investasi Pemerintah


Pasal 153

 

 

(1)

Menteri Keuangan selaku BUN berwenang mengelola investasi Pemerintah.

 

 

(2)

Investasi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan investasi jangka panjang.

 

 

(3)

Dalam pengelolaan investasi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri Keuangan bertindak selaku PA atas bagian anggaran investasi Pemerintah.

 

 

(4)

Menteri Keuangan selaku PA atas bagian anggaran investasi Pemerintah menunjuk pejabat setingkat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan untuk menjalankan fungsi PA.

 

 

(5)

Menteri Keuangan selaku PA atas bagian anggaran investasi Pemerintah menetapkan pejabat pada Kementerian Keuangan atau Kementerian Negara/Lembaga lain selaku KPA sesuai dengan jenis investasi Pemerintah.

 

Pasal 154

 

 

Penyusunan dan pengesahan DIPA atas anggaran investasi Pemerintah dapat dilakukan dalam tahun anggaran berjalan sesuai dengan:

 

 

a.

perencanaan; dan/atau

 

 

b.

kebutuhan investasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

 

Pasal 155

 

 

(1)

Pelaksanaan kewenangan pembuatan komitmen atas belanja investasi Pemerintah diwujudkan dalam suatu naskah perjanjian investasi Pemerintah.

 

 

(2)

Naskah perjanjian investasi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan sebagai dasar pelaksanaan investasi Pemerintah.

 

Pasal 156

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran investasi Pemerintah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

BAB VII
PELAKSANAAN PENERIMAAN DAN PENGELUARAN ANGGARAN NEGARA
PADA AKHIR TAHUN ANGGARAN


Pasal 157

 

 

(1)

Dalam mengendalikan saldo Kas Negara serta persiapan tutup buku pada akhir tahun anggaran, Menteri Keuangan berwenang mengatur Penerimaan Negara dan Pengeluaran Negara pada akhir tahun anggaran.

 

 

(2)

Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi pengaturan terhadap:

 

 

 

a.

batas waktu Penerimaan Negara;

 

 

 

b.

batas waktu penyampaian SPM kepada Kuasa BUN;

 

 

 

c.

penyelesaian sisa Uang Persediaan; dan

 

 

 

d.

tata cara pembayaran atas pekerjaan yang selesainya pada akhir tahun anggaran.

 

Pasal 158

 

 

Pada akhir tahun anggaran, bank sentral, Bank Umum, dan badan lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan wajib menerima setoran Penerimaan Negara selama jam buka pelayanan sesuai yang diatur dalam perjanjian kerjasama.

 

Pasal 159

 

 

Pada akhir tahun anggaran, KPA menyampaikan SPM kepada Kuasa BUN sesuai dengan batas waktu yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

 

Pasal 160

 

 

(1)

Sisa dana Uang Persediaan dan dana yang berasal dari pembayaran langsung tahun anggaran berjalan yang masih berada pada kas bendahara, baik tunai maupun yang masih ada di dalam rekening bank/pos pada akhir tahun anggaran, harus disetorkan ke rekening Kas Negara.

 

 

(2)

Sisa dana Uang Persediaan dan dana yang berasal dari pembayaran langsung tahun anggaran berjalan yang masih berada pada kas bendahara, baik tunai maupun yang masih ada di dalam rekening bank/pos pada akhir tahun anggaran, yang tidak disetorkan ke rekening Kas Negara diatur oleh Menteri Keuangan.

 

Pasal 161

 

 

(1)

Pembayaran atas pelaksanaan Kegiatan yang penyelesaiannya pada akhir tahun anggaran dapat dibayarkan sebelum barang/jasa diterima setelah pihak penyedia barang/jasa menyerahkan jaminan bank atau surat pernyataan kesediaan menyerahkan barang/jasa.

 

 

(2)

Nominal jaminan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang sebesar nilai barang/jasa yang belum diterima.

 

 

(3)

Surat pernyataan kesediaan menyerahkan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai jaminan untuk nilai barang/jasa tertentu yang nilai nominalnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

 

Pasal 162

 

 

(1)

Sisa pagu DIPA yang tidak terealisasi sampai akhir tahun anggaran berakhir tidak dapat digunakan pada periode tahun anggaran berikutnya.

 

 

(2)

Sisa pagu DIPA dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya untuk:

 

 

 

a.

membiayai Kegiatan sumber pendanaannya berasal dari PHLN/PHDN; atau

 

 

 

b.

membiayai Kegiatan tertentu lainnya yang merupakan Kegiatan prioritas nasional sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 163

 

 

Terhadap sisa pekerjaan dari kontrak tertentu yang tidak terselesaikan sampai dengan akhir tahun anggaran, berlaku ketentuan sebagai berikut:

 

 

a.

sisa nilai pekerjaan dari kontrak tahunan yang dibiayai dari rupiah murni tidak dapat diluncurkan ke tahun anggaran berikutnya;

 

 

b.

sisa nilai pekerjaan dari kontrak tahun jamak yang dibiayai dari rupiah murni dapat diluncurkan ke tahun anggaran berikutnya, tetapi tidak menambah pagu anggaran tahun berikutnya; atau

 

 

c.

sisa pekerjaan dari kontrak tahunan atau kontrak tahun jamak yang dibiayai dari PHLN dan/atau PHDN dapat diluncurkan ke tahun anggaran berikutnya sepanjang sumber pendanaannya masih tersedia.

 

Pasal 164

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penerimaan dan Pengeluaran Negara pada akhir tahun anggaran diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

BAB VIII
PELAKSANAAN ANGGARAN DALAM PENANGGULANGAN BENCANA


Pasal 165

 

 

Ketentuan mengenai pelaksanaan anggaran dalam penanggulangan  bencana  berlaku  mutatis mutandis ketentuan Bab II, Bab III, dan Bab V.

 

Pasal 166

 

 

Dalam pelaksanaan anggaran penanggulangan bencana yang memerlukan penanganan bencana yang cepat, tepat, prioritas, koordinasi, dan terpadu dapat diberlakukan ketentuan sebagai berikut:

 

 

1.

Menteri Keuangan selaku BUN dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya untuk pelaksanaan penanggulangan bencana pada tahap tanggap darurat bencana;

 

 

2.

PA yang membidangi tugas koordinasi penanggulangan bencana dapat menunjuk pejabat/pegawai pada Kementerian Negara/Lembaga lainnya atau pejabat/pegawai Pemerintah Daerah selaku KPA/PPK/PPSPM/Bendahara Pengeluaran/BPP untuk melaksanakan tugas pelaksanaan anggaran penanggulangan bencana.

 

 

3.

Pertanggungjawaban penggunaan dana penanggulangan bencana pada tahap tanggap darurat bencana, diperlakukan secara khusus sesuai dengan kondisi kedaruratan dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi.

 

Pasal 167

 

 

Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 angka 1 selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

 

Pasal 168

 

 

(1)

Dalam hal terdapat sisa pagu DIPA atas Kegiatan penanggulangan bencana dan yang tidak dapat diselesaikan sampai berakhirnya tahun anggaran, sisa pagu DIPA dapat ditampung dalam satu rekening penampung.

 

 

(2)

Kegiatan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Kegiatan prioritas nasional dengan status bencana nasional.

 

 

(3)

Pembukaan rekening penampung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh PA kepada Menteri Keuangan selaku BUN untuk mendapat persetujuan.

 

 

(4)

Usulan PA untuk membuka rekening penampung paling sedikit memuat:

 

 

 

a.

alasan perlunya pembukaan rekening penampung;

 

 

 

b.

pernyataan jumlah sisa pagu DIPA yang diusulkan untuk ditampung dalam rekening berkenaan beserta peruntukan penggunaannya;

 

 

 

c.

pernyataan tanggung jawab atas penggunaan dana dimaksud;

 

 

 

d.

mekanisme pengelolaan, penyaluran, dan pencairan dananya; dan

 

 

 

e.

kejelasan batas waktu pengelolaan dan penyaluran dananya.

 

 

(5)

Persetujuan Menteri Keuangan selaku BUN atas pembukaan rekening penampung yang diusulkan oleh PA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan setelah melakukan penilaian atas kewajaran permohonan dimaksud.

 

 

(6)

Persetujuan Menteri Keuangan selaku BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat:

 

 

 

a.

jumlah sisa pagu DIPA dan peruntukan penggunaannya;

 

 

 

b.

batas waktu pengelolaan, penyaluran, dan pencairan dananya; dan

 

 

 

c.

identitas bank tempat rekening penampung tersebut dibuka.

 

 

(7)

Rekening penampung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan oleh PA kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

 

Pasal 169

 

 

Ketentuan mengenai tata cara pencairan dan pembayaran dana rekening penampung diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 170

 

 

PA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 dan/atau kuasanya bertanggung jawab atas pengelolaan, penyaluran, dan Pencairan dana rekening penampung.

 

Pasal 171

 

 

(1)

Menteri Keuangan selaku BUN berwenang menutup rekening penampung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) apabila hingga berakhirnya batas waktu yang ditentukan masih terdapat sisa dana dan/atau Kegiatan berkenaan tidak dapat diselesaikan.

 

 

(2)

Jumlah sisa dana dalam rekening penampung yang masih tersisa selanjutnya disetorkan ke Rekening Kas Umum Negara sebagai penerimaan pengembalian anggaran tahun yang lalu.

 

 

(3)

Penutupan rekening penampung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN kepada PA dan Badan Pemeriksa Keuangan.

 

Pasal 172

 

 

Ketentuan mengenai pelaksanaan anggaran penanggulangan bencana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

BAB IX
PENATAUSAHAAN PELAKSANAAN ANGGARAN
Bagian Kesatu
Penatausahaan Transaksi Keuangan


Pasal 173

 

 

Pejabat perbendaharaan bertanggung jawab atas penatausahaan setiap transaksi keuangan Pemerintah yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 174

 

 

(1)

Penatausahaan transaksi keuangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 dilakukan untuk menyelenggarakan pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran.

 

 

(2)

Dalam penatausahaan transaksi keuangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat perbendaharaan mencatat setiap transaksi keuangan dimaksud sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

Pasal 175

 

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai penatausahaan transaksi keuangan Pemerintah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Bagian Kedua
Penatausahaan Dokumen


Pasal 176

 

 

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA dan Menteri Keuangan selaku BUN menyelenggarakan sistem penatausahaan APBN yang terintegrasi untuk mewujudkan pelaksanaan APBN secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Pasal 177

 

 

(1)

Pejabat perbendaharaan bertanggung jawab atas penyelenggaraan penatausahaan dokumen transaksi keuangan Pemerintah yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 

 

(2)

Menteri Keuangan selaku BUN menetapkan standar dokumen transaksi keuangan Pemerintah.

 

Pasal 178

 

 

(1)

Untuk keperluan tertib administrasi dokumen transaksi keuangan Pemerintah, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA dan Menteri Keuangan selaku BUN berwenang mengatur penyelenggaraan penatausahaan dokumen transaksi keuangan Pemerintah yang berada dalam lingkup pengelolaan dan tanggung jawabnya.

 

 

(2)

Pengaturan penyelenggaraan penatausahaan dokumen transaksi keuangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan standar dokumen transaksi keuangan Pemerintah.

 

BAB X
SISTEM INFORMASI KEUANGAN NEGARA


Pasal 179

 

 

(1)

Menteri Keuangan selaku BUN menyelenggarakan sistem informasi data mengenai pihak yang melakukan perjanjian dengan Pemerintah atau yang akan memperoleh pembayaran dari Kuasa BUN.

 

 

(2)

Sistem informasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup informasi mengenai:

 

 

 

a.

nama;

 

 

 

b.

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

 

 

 

c.

nomor rekening bank; dan

 

 

 

d.

alamat,

 

 

 

dari pihak yang melakukan perjanjian dengan Pemerintah atau yang akan memperoleh pembayaran dari Kuasa BUN.

 

 

(3)

Data yang tersimpan dalam sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipergunakan untuk keperluan pelaksanaan Belanja Negara.

 

 

(4)

Dalam hal tertentu data yang tersimpan dalam sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan untuk selain keperluan pelaksanaan Belanja Negara.

 

 

(5)

Ketentuan mengenai penggunaan data selain untuk keperluan pelaksanaan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan tata cara penatausahaan data pihak yang melakukan perjanjian dengan Pemerintah atau yang akan memperoleh pembayaran dari Kuasa BUN diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 180

 

 

(1)

Dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban APBN, Menteri Keuangan menyelenggarakan sistem informasi keuangan Negara yang terintegrasi.

 

 

(2)

Sistem informasi keuangan negara yang terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sistem informasi pada Kementerian Negara/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

 

 

(3)

Sistem informasi pada Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sistem informasi yang berkaitan dengan keuangan negara.

 

 

(4)

Sistem informasi pada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sistem informasi keuangan daerah.

 

 

(5)

Ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem informasi keuangan negara yang terintegrasi diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP


Pasal 181

 

 

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

 

 

1.

Semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan yang berkenaan dengan pelaksanaan APBN, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini; dan

   

2.

Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 182

 

 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ditetapkan di Jakarta

 

 

 

 

 

 

Pada tanggal 7 Juni 2013

 

 

 

 

 

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                         ttd.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 7 Juni 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
                   REPUBLIK INDONESIA,

 

                               ttd.

 

                     AMIR SYAMSUDIN

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 103


 

PENJELASAN


ATAS


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 45 TAHUN 2013


TENTANG


TATA CARA PELAKSANAAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

 

I.

UMUM

 

Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan perwujudan dari pengelolaan keuangan negara harus dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk menjamin pelaksanaan UU-APBN sesuai dengan yang dicita-citakannya, Pemerintah selaku penyelenggara Negara dan DPR sebagai jelmaan dari wakil rakyat telah bersepakat melahirkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur bagaimana pola interaksi antarotoritas dalam lingkup internal Pemerintah dalam melaksanakan dan mempertanggungjawabkan APBN.

 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan tatanan hukum administrasi keuangan negara yang telah secara jelas memberikan panduan dalam pengelolaan tata laksana dan organisasi penyelenggaraan pelaksanaan anggaran negara. Kendati demikian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tersebut tidak dapat secara langsung dioperasionalisasikan di lingkungan Pemerintah karena memerlukan petunjuk teknis lebih lanjut yang diatur oleh Pemerintah.

 

Untuk itu, dalam rangka good governance diperlukan Peraturan Pemerintah yang akan menjadi pedoman yang lebih rinci tentang bagaimana APBN tersebut dilaksanakan yang merupakan wujud konkret dari sistem pelaksanaan APBN di Indonesia.

 

Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan juga untuk menggantikan posisi pedoman pelaksanaan APBN yang selama ini menjadi acuan dalam pelaksanaan APBN beserta ketentuan teknisnya. Ketentuan tersebut saat ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2002.

   
 

1.

Kejelasan Peran dan Tanggung Jawab.

   

Hal terdepan yang menjadi pengaturan Peraturan Pemerintah ini adalah penegasan tentang kejelasan peran dan tanggung jawab para pelaku utama (PA dan BUN) dalam pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN. Tiap-tiap Menteri/Pimpinan Lembaga adalah PA. Oleh karenanya, ia diberi tanggung jawab untuk mengelola bagian anggaran yang disediakan untuk menampung alokasi anggaran untuk membiayai kegiatannya dalam mewujudkan fungsi pemerintahan sesuai bidang tugas Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai PA, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat menunjuk bawahannya sebagai KPA (KPA). KPA diberi tugas dan kewenangan untuk mengelola bidang tugas tertentu secara bertanggung jawab melalui penciptaan mekanisme check and balance. Oleh karenanya, KPA dapat menunjuk bawahannya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan dalam pelaksanaan anggaran yang dapat mengakibatkan terjadinya pengeluaran uang atas beban anggaran negara. Untuk mengimbangi pejabat dimaksud, ia juga perlu menunjuk bawahan lainnya yang setara dalam tingkat jabatannya untuk diberi tugas melaksanakan pembayaran atas beban anggaran negara yang diakibatkan oleh keputusan dan/atau tindakan PPK dimaksud. Sebagai pelaksana pembayaran, pejabat dimaksud adalah Pejabat Penguji dan Penandatangan Perintah Pembayaran. Kedua pejabat dimaksud melaksanakan tugas dalam mekanisme interaksi check and balance di bawah tanggung jawab KPA dimaksud. Di sisi lain, Menteri Keuangan merupakan Bendahara Umum Negara (BUN). Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, Menteri Keuangan dapat menunjuk Kuasa Bendahara Umum Negara (Kuasa BUN). Kuasa BUN diberi tugas dan kewenangan untuk melaksanakan tugas tertentu BUN secara bertanggung jawab melalui penciptaan mekanisme check and balance juga.

   

Dalam Peraturan Pemerintah ini juga ditegaskan keberadaan para bendahara khusus, seperti bendahara pengeluaran dan bendahara penerimaan. Hal ini dimungkinkan oleh Undang-Undang mengingat dalam situasi tertentu keberadaan mereka masih diperlukan guna membantu kelancaran proses pelaksanaan penerimaan dan/atau pengeluaran dalam pelaksanaan APBN, kendati secara umum Pemerintah menghendaki agar transaksi pelaksanaan anggaran sedapat mungkin dilaksanakan secara langsung melalui prosedur perbankan. Hal ini relevan dengan prinsip Treasury Single Account (TSA) yang diadopsi Pemerintah dalam pelaksanaan pengelolaan Kas Negara.

     
 

2.

Dokumen Pelaksanaan Anggaran

   

Asas universalitas mengharuskan agar setiap transaksi keuangan dalam pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran. Mengingat hal tersebut, untuk keperluan pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, setiap Pengguna Anggaran (PA) wajib menyusun Dokumen pelaksanaan anggaran. Sebagai dokumen yang disusun oleh PA, Dokumen pelaksanaan anggaran merupakan pernyataan PA mengenai apa yang akan dilakukan dan dihasilkan, berapa anggaran yang disediakan, dan kapan uang tersebut akan dibayarkan oleh PA dalam suatu tahun anggaran tertentu. Pernyataan tersebut sekaligus menginformasikan bahwa PA akan melakukan pencairan dananya sesuai dengan jadwal yang tercantum dalam Dokumen pelaksanaan anggaran. Dengan demikian, Dokumen pelaksanaan anggaran selanjutnya menjadi acuan PA dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.

   

Mengingat kewenangan dan tanggung jawabnya untuk mengelola dan menyediakan uang dalam jumlah cukup pada saat diperlukan, Menteri Keuangan selaku BUN meminta kepada para Menteri/Pimpinan lembaga untuk menyampaikan Dokumen pelaksanaan anggaran guna diketahui dan disahkan (disetujui jadwal penarikan dananya). Pengesahan BUN atas Dokumen pelaksanaan anggaran PA pada hakikatnya adalah pernyataan kesediaan BUN untuk menyediakan uang dalam jumlah dan pada waktu sesuai dengan rencana penarikan dana yang telah disetujuinya. Hal tersebut juga merupakan pernyataan BUN kepada para Kuasa BUN agar mereka menyediakan uang para Kuasa BUN. Dengan demikian, DIPA pada hakikatnya merupakan media komunikasi antara BUN dengan para kuasa BUN yang telah ditunjuknya sekaligus dengan para PA.

     
 

3.

Optimalisasi Penerimaan Negara

   

Substansi pelaksanaan anggaran pada hakikatnya bertumpu pada bagaimana Pemerintah memperoleh pendapatan yang sifatnya expected (diperkirakan dapat diterima) untuk membiayai belanja yang sifatnya contracted (mengandung nilai kepastian). Selanjutnya, Pemerintah harus dapat mengelola uang yang telah diterima dan berada dalam penguasaannya untuk mencukupi belanja dalam rangka membiayai kegiatan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan Undang-Undang. Prinsip umum pengelolaan keuangan publik adalah asas universalitas. Dalam hal ini semua Penerimaan Negara harus disetor langsung dan segera ke Kas Negara. Dalam pelaksanaan APBN, penerimaan diupayakan untuk disetor langsung dan segera, terkait dengan sifat belanja yang bersifat pasti (definitif), sedangkan Penerimaan Negara untuk membiayai pengeluaran tersebut lebih bersifat perkiraan (indikatif). Dalam rangka pengamanan program Pemerintah yang dilakukan melalui penggunaan anggaran, dalam PP ini dimuat pengaturan untuk memperluas dan mempercepat akses setoran penerimaan negara. Perluasan dan percepatan tersebut salah satunya dilakukan melalui unit pelayanan pendapatan negara. Unit pelayanan pendapatan negara dapat berupa lembaga keuangan bank dan bukan bank. Selanjutnya untuk menjamin unit pelayanan pendapatan negara dapat optimal melakukan tugasnya, negara dapat memberikan imbalan jasa dari pelayanan yang dilakukannya.

     
 

4.

Pelaksanaan Anggaran Belanja menuju Pengelolaan APBN yang Berdisiplin, Efektif, dan Efisien.

   

Pelaksanaan anggaran belanja merupakan bagian utama dari siklus pelaksanaan APBN. Setelah UU-APBN disahkan, sejak saat itu pengeluaran negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan implementasi program-program pembangunan dilakukan. Pengaturan tentang pelaksanaan belanja APBN diharapkan dapat mendorong pelaksanaan program, penyerapan dana pencapaian program dengan lebih efektif dan efisien. Namun, seluruh proses tersebut seharusnya tetap dilakukan berdasarkan asas disiplin anggaran dan mengutamakan keamanan keuangan negara.

   

Pada tahap pelaksanaan, APBN harus dituangkan dalam Dokumen allotment, yaitu dokumen pelaksanaan anggaran. Dokumen pelaksanaan anggaran menjadi dasar penggunaan anggaran yang memenuhi prinsip akuntabilitas yang berorientasi kepada hasil. Dokumen pelaksanaan anggaran memberikan keleluasaan kepada KPA untuk melakukan penyesuaian atas pengeluaran. Dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran dinyatakan bahwa Dokumen Pelaksanaan Anggaran adalah daftar bagi KPA untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran dan penerimaan serta dasar bagi KPPN untuk melakukan pembayaran. Dengan terbitnya Dokumen Pelaksanaan Anggaran, KPA dapat segera melakukan perikatan dan dengan adanya tagihan, Kuasa BUN harus mencairkan dananya. Peran PA dalam pelaksanaan anggaran belanja adalah melaksanakan kegiatan sesuai dengan rincian pada Dokumen pelaksanaan anggaran. Pelaksanaan kegiatan tersebut meliputi pembuatan komitmen, yaitu tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran negara dan melakukan pengujian serta memerintahkan pembayaran.

     
 

5.

Penatausahaan Pelaksanaan Anggaran

   

Selain pengaturan mengenai substansi pelaksanaan anggaran, Peraturan Pemerintah ini juga memuat ketentuan mengenai pola administrasi keseluruhan transaksi pelaksanaan anggaran, baik menyangkut Dokumen transaksi, substansi transaksi, akibat-akibat yang timbul dari transaksi, maupun perekaman kejadian (event) transaksi dalam berbagai sudut pandang. Pola penatausahaan semacam ini dimaksudkan untuk memudahkan akses terhadap database transaksi pelaksanaan anggaran. Ketersediaan informasi mengenai hal-ihwal dari transaksi pelaksanaan anggaran merupakan bagian penting dari prinsip good governance. Dengan jalan ini pelaporan akan dapat dilakukan setiap waktu, bukan hanya laporan periodik (periodical reports).

   

Adapun menyangkut penatausahaan dokumen transaksi pelaksanaan anggaran, Peraturan Pemerintah ini juga mengatur pola penyimpanan dan pelaporannya dengan memperhatikan prinsip umum yang diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai kearsipan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan data dan fakta yang dibutuhkan dalam pengungkapan kejadian-kejadian dimaksud di kemudian hari. Hal ini lazim dilakukan pada proses peradilan yang menuntut autentisitas dan legalitas bukti.

     

II.

PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

   

Cukup jelas.

 

Pasal 2

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Termasuk di dalamnya anggaran untuk lembaga non struktural yang belum atau tidak dapat dimasukkan sebagai bagian anggaran Kementerian Negara/Lembaga tertentu.

 

Pasal 3

   

Yang dimaksud dengan “ketentuan di bidang keuangan negara” adalah Undang-Undang di bidang keuangan negara dan peraturan petunjuk pelaksanaannya.

 

Pasal 4

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Yang dimaksud dengan “tanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya” adalah tanggung jawab yang melekat pada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas. 

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 5

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Pelimpahan kewenangan dimaksud ditetapkan sekaligus dalam penunjukan KPA.

   

Ayat (3)

     

Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah penunjukan KPA selain kepala satker oleh PA dapat dilakukan dengan mempertimbangkan efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

 

Pasal 6

   

Ayat (1)

     

Yang dimaksud “bersifat ex-officio” adalah melekat pada jabatan.

     

Jadi jabatan KPA melekat pada jabatan Kepala Satuan Kerja atau melekat pada jabatan pejabat selain Kepala Satuan Kerja yang ditunjuk oleh PA untuk menjadi KPA.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.  

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 7

   

Cukup jelas.

 

Pasal 8

   

Huruf a

     

Cukup jelas.

   

Huruf b

     

Cukup jelas.

   

Huruf c

     

Khusus untuk penetapan panitia pengadaan barang dan jasa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang dan Jasa.

   

Huruf d

     

Cukup jelas.

   

Huruf e

     

Cukup jelas.

   

Huruf f

     

Cukup jelas.

   

Huruf g

     

Cukup jelas.

   

Huruf h

     

Cukup jelas.

   

Huruf i

     

Cukup jelas.

 

Pasal 9

   

Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” adalah kondisi yang mengharuskan terjadinya perangkapan jabatan KPA dengan jabatan PPK atau PPSPM, dimana jika tidak dilakukan perangkapan akan mengganggu kelancaran pelaksanaan anggaran belanja dari satuan kerja bersangkutan, misalnya keterbatasan jumlah dan/atau kualitas sumber daya manusia, PPK atau PPSPM berhalangan tetap.

 

Pasal 10

   

Cukup jelas.

 

Pasal 11

   

Cukup jelas.

 

Pasal 12

   

Ayat (1)

     

Huruf a

       

Cukup jelas.

     

Huruf b

       

Cukup jelas.

     

Huruf c

       

Cukup jelas.

     

Huruf d

       

Cukup jelas.

     

Huruf e

       

Yang dimaksud dengan “pemberitahuan oleh PPK kepada Kuasa BUN” adalah dalam rangka pelaksanaan manajemen komitmen yang diterapkan dalam Sistem Anggaran dan Perbendaharaan Negara.    

     

Huruf f

       

Cukup jelas.

     

Huruf g

       

Cukup jelas.

     

Huruf h

       

Yang dimaksud dengan “dokumen yang dipersamakan dengan SPP” adalah dokumen yang menggunakan istilah lain sebagai dasar permintaan/pengesahan pembayaran.

     

Huruf i

       

Cukup jelas.

     

Huruf j

       

Cukup jelas.

     

Huruf k

       

Cukup jelas.

     

Huruf l

       

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 13

   

Cukup jelas.

 

Pasal 14

   

Cukup jelas.

 

Pasal 15

   

Huruf a

     

Cukup jelas.

   

Huruf b

     

Cukup jelas.

   

Huruf c

     

Cukup jelas.

   

Huruf d

     

Yang dimaksud dengan “dokumen yang dipersamakan dengan SPM” adalah Dokumen yang menggunakan istilah lain sebagai dasar perintah pembayaran.

   

Huruf e

     

Cukup jelas.

   

Huruf f

     

Cukup jelas. 

   

Huruf g

     

Cukup jelas.

 

Pasal 16

   

Cukup jelas.

 

Pasal 17

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Tugas kebendaharaan meliputi kegiatan menerima, menyimpan, membayar atau menyerahkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang dan surat berharga yang berada dalam pengelolaannya.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 18

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Pemenuhan kriteria dalam hal pemenuhan persyaratan pengangkatan Bendahara ditetapkan oleh BUN selaku Pembina Nasional Jabatan Fungsional Bendahara.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas. 

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (6)

     

Diperkenankan untuk merangkap adalah KPA merangkap Kuasa BUN.

 

Pasal 19

   

Cukup jelas.

 

Pasal 20

   

Cukup jelas.

 

Pasal 21 

   

Cukup jelas.

 

Pasal 22

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Pemenuhan kriteria dalam hal pemenuhan persyaratan pengangkatan Bendahara ditetapkan oleh BUN selaku Pembina Nasional Jabatan Fungsional Bendahara.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (6)

     

Diperkenankan untuk merangkap adalah KPA merangkap Kuasa BUN.

 

Pasal 23

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Huruf a

       

Cukup jelas.

     

Huruf b

       

Cukup jelas.

     

Huruf c

       

Cukup jelas.

     

Huruf d

       

Cukup jelas.

     

Huruf e

       

Cukup jelas.

     

Huruf f

       

Cukup jelas.

     

Huruf g

       

Cukup jelas.

     

Huruf h

       

Cukup jelas.

     

Huruf i

       

Cukup jelas.

     

Huruf j

       

Cukup jelas.

     

Huruf k

       

Yang dimaksud dengan “tugas kebendaharaan lainnya” adalah tugas Bendahara Pengeluaran diluar tugas pokoknya, antara lain kewajiban menyampaikan pelaporan perpajakan, menyampaikan rincian penghasilan pegawai guna pengisian SPT tahunan kepada pegawai.

 

Pasal 24

   

Cukup jelas.

 

Pasal 25

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 26

   

Ketentuan yang diatur termasuk tata cara memperoleh sertifikasi bendahara

 

Pasal 27

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Yang dimaksud dengan tugas kebendaharaan adalah pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu antara lain karena kegiatan yang lokasinya berjauhan dengan tempat kedudukan Bendahara Pengeluaran, adanya kendala waktu tempuh, adanya penunjukkan PPK yang lebih dari satu dan/atau beban kerja Bendahara Pengeluaran sangat berat.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (6)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 28

   

Cukup jelas.

 

Pasal 29

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

“DIPA yang dimaksudkan” adalah DIPA K/L dan DIPA anggaran yang menurut sifatnya tidak bisa dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian Negara/Lembaga tertentu.

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.    

 

Pasal 30

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Klasifikasi fungsi meliputi fungsi, program, dan kegiatan.

     

Klasifikasi organisasi meliputi bagian anggaran hingga Satuan Kerja.

 

Pasal 31

   

Cukup jelas.

 

Pasal 32

   

Cukup jelas.

 

Pasal 33

   

Cukup jelas.

 

Pasal 34

   

Ketentuan yang diatur termasuk rencana penarikan dana dan rencana penerimaan dana, baik sendiri-sendiri ataupun digabung.

 

Pasal 35

   

Cukup jelas

 

Pasal 36

   

Cukup jelas.

 

Pasal 37

   

Cukup jelas.

 

Pasal 38

   

Cukup jelas.

 

Pasal 39

   

Cukup jelas.

 

Pasal 40

   

Cukup jelas.

 

Pasal 41

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Sistem penerimaan negara diberlakukan oleh Menteri Keuangan untuk menatausahakan seluruh transaksi penerimaan negara.

 

Pasal 42

   

Cukup jelas.

 

Pasal 43

   

Huruf a

     

Cukup jelas.

   

Huruf b

     

Yang dimaksud dengan “badan lainnya” antara lain Perusahaan Perseroan (Persero) PT POS Indonesia.

 

Pasal 44

   

Ayat (1)

     

Yang dimaksud dengan “Pendapatan Negara tertentu” adalah seluruh PNBP yang wajib disetor langsung secepatnya ke Rekening Kas Umum Negara (Bank Indonsia selaku bank Sentral), dan dikelola dalam sistem APBN antara lain, pendapatan dari kegiatan usaha panas bumi, kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, PNBP dari deviden, dan PNBP sisa surplus Bank Indonesia bagian Pemerintah.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 45

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Tata cara penunjukan Bank Umum dan badan lainnya yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan antara lain meliputi:

     

a.

perjanjian kerjasama.

     

b.

syarat untuk ditunjuk Bank sebagai tempat penyetoran Pendapatan Negara.

 

Pasal 46

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya serta diketahui secara luas sehingga terjadi kelambatan pembayaran. Keadaan tersebut antara lain berupa bencana alam, bencana non alam, bencana sosial, pemogokan, kebakaran, dan/atau gangguan industri lainnya sebagaimana dinyatakan melalui keputusan bersama Menteri Keuangan dan menteri teknis terkait.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 47

   

Cukup jelas.

 

Pasal 48 

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Huruf a

       

Kegiatan pengintensifan penerimaan Negara termasuk melakukan pemungutan Sewa atas pemanfaatan BMN.

     

Huruf b

       

Cukup jelas.

     

Huruf c

       

Cukup jelas.

     

Huruf d

       

Cukup jelas.

     

Huruf e

       

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup Jelas.

 

Pasal 49

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah suatu keadaan dimana berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Wajib Bayar lebih praktis menyetor PNBP melalui Bendahara Penerimaan (tidak langsung ke Kas Negara). Keadaan tertentu yang menyebabkan Wajib Bayar dapat menyetor PNBP melalui Bendahara Penerimaan antara lain:

     

a.

Sulitnya kondisi geografis (daerah terpencil) yang menyebabkan tidak terdapat Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi di kota/wilayah tempat pemenuhan kewajiban pembayaran/penyetoran PNBP

     

b.

Jumlah PNBP yang disetor tidak sebanding dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk melakukan penyetoran.

     

c.

Jarak tempat Wajib Bayar dengan Bank persepsi relatif jauh.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 50

   

Cukup jelas.

 

Pasal 51

   

Cukup jelas.

 

Pasal 52

   

Cukup jelas.

 

Pasal 53

   

Cukup jelas.

 

Pasal 54

   

Cukup jelas.

 

Pasal 55

   

Cukup jelas.

 

Pasal 56

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Pendapatan hibah yang disetorkan adalah pendapatan hibah dalam bentuk uang.

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 57

   

Cukup jelas.

 

Pasal 58

   

Cukup jelas.

 

Pasal 59

   

Cukup jelas.

 

Pasal 60

   

Cukup jelas.

 

Pasal 61

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah Menteri Keuangan atau Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan sesuai batas-batas kewenangan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 62

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

       

Huruf a

         

Cukup jelas.

       

Huruf b

         

Cukup jelas.

       

Huruf c

         

Cukup jelas.

       

Huruf d

         

Yang dimaksud dengan “rupiah murni” adalah rupiah murni pendamping Yang dimaksud “rupiah murni pendamping” adalah dana rupiah murni yang harus disediakan Pemerintah untuk mendampingi pinjaman luar negeri.

       

Huruf e

         

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (6)

     

Cukup jelas.     

   

Ayat (7)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 63

   

Cukup jelas.

 

Pasal 64

   

Cukup jelas.

 

Pasal 65

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Yang dimaksud “dalam hal pembayaran secara langsung kepada yang berhak belum dapat dilaksanakan” adalah kondisi dimana tidak dimungkinkan dilakukan pembayaran langsung kepada yang berhak, antara lain karena ketiadaan bank pada suatu daerah sesuai kondisi geografis, atau karena berdasarkan pertimbangan efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan anggaran.

 

Pasal 66

   

Ayat (1)

     

Yang dimaksud dengan “pembayaran yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung” adalah pembayaran yang menurut sifatnya tidak dapat direncanakan dan jumlah pengeluarannya relatif kecil, misalnya pembelian BBM premium, solar, dan belanja-belanja lainnya untuk keperluan sehari-hari perkantoran, atau pembayaran lainnya yang berdasarkan pertimbangan efektifitas dan efisiensi harus dilakukan melalui Uang Persediaan.

   

 Ayat (2) 

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 67

   

Cukup jelas.

 

Pasal 68

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah kegiatan yang karena sifatnya harus dilakukan pembayaran terlebih dahulu, antara lain pemberian uang muka kerja, sewa menyewa, jasa asuransi, dan/atau pengambil alih risiko, dan kontrak penyelenggaraan beasiswa.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 69

   

Kewajiban penerima hak tagihan kepada Negara tidak termasuk kewajiban kepada Pemerintah Daerah.

 

Pasal 70

   

Ketentuan yang diatur termasuk dalam hal tertentu KPA tidak perlu memperhitungkan kewajiban penerima tagihan.

 

Pasal 71

   

Cukup jelas.

 

 Pasal 72

   

Cukup jelas.

 

Pasal 73

   

Cukup jelas.

 

Pasal 74

   

Cukup jelas.

 

Pasal 75

   

Cukup jelas.

 

Pasal 76

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya serta diketahui secara luas sehingga terjadi kelambatan pembayaran. Keadaan tersebut antara lain berupa bencana alam, bencana non alam, bencana sosial, pemogokan, kebakaran, dan/atau gangguan industri lainnya sebagaimana dinyatakan melalui keputusan bersama Menteri Keuangan dan menteri teknis terkait.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 77

   

Ayat (1)

     

Yang dimaksud dengan “pejabat/pegawai yang bertugas di dalam atau di luar negeri” adalah pejabat negara, pegawai negeri, pegawai tidak tetap, dan pejabat lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

   

Ayat (2)

     

Yang dimaksud dengan “pembentukan modal” adalah pekerjaan yang berkaitan langsung dengan belanja modal.

   

Ayat (3)

     

Yang dimaksud dengan “kontribusi sosial lainnya” adalah belanja dalam rangka peningkatan jaminan sosial bagi pegawai.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 78

   

Cukup jelas.

 

Pasal 79

   

Cukup jelas.

 

Pasal 80

   

Ayat (1)

     

Gaji dan/atau tunjangan termasuk gaji dan/atau tunjangan yang diberikan kepada pegawai negeri, pejabat negara dan/atau pejabat lainnya yang ditempatkan pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Gaji yang diberikan kepada pejabat negara atau pejabat lainnya termasuk penghasilan tetap teratur setiap bulan dengan nama dan bentuk apapun, seperti: uang kehormatan, honorarium tetap, uang representasi, dan penghasilan tetap teratur setiap bulan lainnya.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” adalah suatu kondisi yang menyebabkan pembayaran gaji dan/atau tunjangan tidak dapat dilakukan pada hari kerja pertama suatu bulan tertentu, misalnya hari kerja pertama suatu bulan tertentu jatuh setelah minggu pertama karena adanya penetapan Pemerintah mengenai serangkaian hari libur dan/atau cuti bersama dan/atau hari libur nasional dan/atau hari kerja yang diliburkan. Jika pembayaran gaji dan/atau tunjangan tetap dilaksanakan sesuai ketentuan, maka akan memberatkan para pegawai negeri, oleh karena itu tanggal pembayarannya perlu dimajukan.

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 81

     

Cukup jelas.

 

Pasal 82

   

Cukup jelas.

 

Pasal 83

   

Cukup jelas.

 

Pasal 84

   

Cukup jelas.

 

Pasal 85

   

Ketentuan yang diatur antara lain mengenai tata cara pembayaran tunjangan pangan dan beras, format daftar gaji.

 

Pasal 86

   

Cukup jelas.

 

Pasal 87

   

Cukup jelas.

 

Pasal 88

   

Cukup jelas.

 

Pasal 89

   

Cukup jelas.

 

Pasal 90

   

Cukup jelas.

 

Pasal 91

   

Cukup jelas.

 

Pasal 92

   

Cukup jelas.

 

Pasal 93

   

Cukup jelas.

 

Pasal 94

   

Cukup jelas.

 

Pasal 95

   

Cukup jelas.

 

Pasal 96

   

Cukup jelas.

 

Pasal 97

   

Cukup jelas.

 

Pasal 98

   

Cukup jelas.

 

 Pasal 99

   

Ayat (1)

     

Yang dimaksud dengan “risiko sosial” adalah kejadian atau peristiwa yang dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 100

   

Ayat (1)

     

Yang dimaksud dengan “mekanisme bergulir” adalah mekanisme dana bergulir yang dilaksanakan suatu kelompok masyarakat untuk kebutuhan produktif suatu masyarakat.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 101 

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Yang dimaksud “pihak lain” adalah bank/pos penyalur yang ditunjuk oleh KPA.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 102

   

Cukup jelas.

 

Pasal 103

   

Cukup jelas.

 

Pasal 104

   

Cukup jelas.

 

Pasal 105

   

Cukup jelas.

 

Pasal 106

   

Cukup jelas.

 

Pasal 107

   

Cukup jelas.

 

Pasal 108

   

Cukup jelas.

 

Pasal 109

   

Cukup jelas.

 

Pasal 110

   

Cukup jelas.

 

Pasal 111

   

Ayat (1)

     

Keadaan yang tidak terduga antara lain adalah bencana alam, resesi, perubahan harga komoditas, pergerakan indikator keuangan seperti tingkat bunga atau kurs mata uang, dan kerusuhan sosial.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 112

   

Cukup jelas.

 

Pasal 113

   

Cukup jelas.

 

Pasal 114

   

Peraturan Presiden disusun untuk alokasi Dana Alokasi Umum, sementara untuk alokasi selain Dana Alokasi Umum disusun berdasar Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pasal 115

   

Ayat (1)

     

Surat keputusan mengenai rincian alokasi anggaran transfer ke daerah merupakan komitmen atas belanja transfer ke daerah.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Yang dimaksud dengan “transfer ke daerah” adalah Dana Bagi Hasil.

 

Pasal 116

   

Cukup jelas.

 

Pasal 117

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Huruf a.

       

Pemberian nomor register bertujuan untuk mendaftarkan hibah agar dapat dimasukan dalam mekanisme APBN.    

     

Huruf b.

       

Pembukaan rekening hibah bertujuan untuk menampung penerimaan hibah dalam rangka membiayai belanja yang bersumber dari hibah.

     

Huruf c.

       

Penyesuaian pagu hibah dalam DIPA bertujuan untuk mengalokasikan pagu belanja yang bersumber dari hibah dalam DIPA.

     

Huruf d. 

       

Pengesahan belanja bertujuan untuk mencatat realisasi pendapatan dan belanja yang bersumber dari hibah.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 118

   

Cukup jelas.

 

Pasal 119

   

Cukup jelas.

 

Pasal 120

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Dalam pelaksanaan pencairan dana PNBP yang telah dihitung melalui Formula Maksimum Pencairan (MP) dimungkinkan terjadi sisa/saldo dana PNBP yang belum sempat dicairkan karena tahun anggaran bersangkutan telah berakhir dan sudah memasuki tahun anggaran berikutnya. Sisa/saldo tersebut tetap dapat dicairkan namun menunggu diterimanya DIPA tahun anggaran berikutnya. Pencairan tersebut dicatat sebagai bagian realisasi belanja yang bersumber dari PNBP pada tahun anggaran berikutnya.

 

Pasal 121

   

Ketentuan yang diatur termasuk pengaturan mengenai pencairan dan penggunaan setoran PNBP yang belum digunakan sampai akhir tahun anggaran.

 

Pasal 122

   

Cukup jelas.

 

Pasal 123

   

Cukup jelas.

 

Pasal 124

   

Cukup jelas.

     

Ayat (1)

       

Pengembalian atas kelebihan PNBP tidak termasuk pengembalian atas kelebihan PNBP yang dihitung sendiri oleh wajib bayar (self assessment) yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.

     

Ayat (2)

       

Yang dimaksud dengan “membebani Saldo Anggaran Lebih” adalah mengoreksi jumlah/nilai Saldo Anggaran Lebih.

 

Pasal 125

   

Cukup jelas.

 

Pasal 126

   

Cukup jelas.

 

Pasal 127

   

Cukup jelas.

 

Pasal 128

   

Ayat (1)

     

Yang dimaksud dengan “mata uang asing” adalah satuan hitung selain mata uang Rupiah yang digunakan dalam pelaksanaan APBN, misalnya pengadaan barang/jasa dengan perusahaan asing yang dilakukan oleh satuan kerja/atase Perwakilan Republik Indonesia yang mengharuskan menggunakan mata uang negara setempat.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 129

   

Cukup jelas.

 

Pasal 130

   

Cukup jelas.

 

Pasal 131

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

dimaksud dengan “hasil monitoring dan evaluasi” adalah termasuk pelaksanaan anggaran belanja Kementerian Negara/Lembaga yang bersifat:

     

a.

multiyears yang pelaksanaan anggaran belanjanya dilakukan berdasarkan perjanjian pengadaan barang/jasa yang membebani anggaran lebih dari 1 (satu) tahun anggaran;

     

b.

berskala besar yang antara lain terkait dengan pelaksanaan anggaran belanjanya dilakukan berdasarkan prioritas Nasional atau prioritas Kementerian/Lembaga dan bersifat multinasional atau multi regional; dan/atau

     

c.

berisiko tinggi yang antara lain terkait dengan pelaksanaan anggaran belanjanya memiliki dampak terhadap pencapaian tujuan dan kemungkinan terjadinya risiko tinggi.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 132

   

Cukup jelas.

 

Pasal 133

   

Cukup jelas.

 

Pasal 134

   

Ayat (1)

     

Huruf a

       

Cukup jelas.

     

Huruf b

       

Cukup jelas.

     

Huruf c

       

Cukup jelas.

     

Huruf d

       

Cukup jelas.

     

Huruf e

       

Cukup jelas.

     

Huruf f

       

Yang dimaksud dengan pembiayaan lain antara lain pembiayaan proyek infrastruktur melalui SBSN, Pinjaman kegiatan atau instrumen lainnya.

   

Ayat (2)

     

Huruf a

       

Cukup jelas.

     

Huruf b

       

Pembiayaan utang dapat berasal dari dalam negeri dan luar negeri.

     

Huruf c

       

Yang dimaksud dengan “perbankan dalam negeri” adalah penerimaan pembiayaan non-utang yang bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), pengembalian penerusan pinjaman, dll.

     

Huruf d

       

Dalam hal kebijakan APBN ditetapkan surplus, maka surplus tersebut dapat digunakan sebagai bagian dari sumber pembiayaan untuk pengelolaan portofolio utang, investasi dan penyertaan modal negara, serta pemberian pinjaman dan/atau penjaminan.

   

Ayat (3)

     

Yang dimaksud dengan “risiko yang terkendali” meliputi risiko nilai tukar, risiko tingkat bunga, dan risiko refinancing.

 

Pasal 135

   

Cukup jelas.

 

Pasal 136

   

Cukup jelas.

 

Pasal 137

   

Ayat (1)

     

Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah penyedia barang/jasa untuk mendukung pelaksanaan penerbitan dan pengelolaan utang antara lain agen penjual, lead managers, dan konsultan hukum.

   

 Ayat (2)

     

Yang dimaksud dengan “sebelum tahun anggaran dimulai” adalah bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun berjalan.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 138  

   

Cukup jelas.

 

Pasal 139

   

Cukup jelas.

 

Pasal 140

   

Ayat (1)

     

Huruf a

       

Yang dimaksud dengan “restrukturisasi utang (debt reprofiling)” adalah upaya untuk melakukan restrukturisasi profil portofolio utang negara sehingga menjadi lebih optimal, yaitu profil portofolio utang negara yang memiliki tingkat bunga lebih efisien dan tingkat risiko yang terkendali. Restrukturisasi profil portofolio utang negara dilakukan melalui berbagai cara antara lain:

       

(i)

melakukan renegosiasi terms and conditions utang dengan kreditor/investor;

       

(ii)

melakukan penukaran/debt switching;

       

(iii)

melakukan pembelian kembali utang (cash buyback/early prepayment);

       

(iv)

melakukan penerbitan utang baru; dan

       

(v)

melakukan debt swap.

     

Huruf b

       

Yang dimaksud dengan “transaksi lindung nilai” adalah transaksi yang dilakukan oleh Pemerintah dengan Counterparty baik institusi atau lembaga keuangan berupa bank atau non bank yang menyediakan jasa transaksi lindung nilai dalam rangka mengendalikan risiko fluktuasi beban pembayaran bunga dan kewajiban pokok utang, dan/atau melindungi posisi nilai Utang, dari risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya volatilitas faktor-faktor pasar keuangan. Transaksi Lindung Nilai dapat dilakukan terhadap instrument Utang, baik untuk setiap seri Surat Berharga Negara atau setiap Pinjaman, maupun untuk suatu portofolio utang. Transaksi Lindung Nilai dilakukan dengan menggunakan instrument derivatif yang tersedia di pasar keuangan. Risiko yang dikelola atau dikendalikan melalui Transaksi Lindung Nilai mencakup risiko tingkat bunga, dan/atau risiko nilai mata uang.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 141

   

Cukup jelas.

 

Pasal 142

   

Cukup jelas.

 

 Pasal 143

   

Ayat (1)

     

Dalam hal kekurangan alokasi pagu DIPA utang Pemerintah di akhir tahun anggaran yang tidak dimungkinkan untuk dilakukan revisi DIPA maka perlu dijelaskan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) pada Laporan Keuangan Bagian Anggaran (BA) Pengelolaan Utang.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

   

 Ayat (3)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 144

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Huruf a

       

Yang dimaksud dengan “pihak terjamin” adalah menteri/kepala lembaga/kepala daerah, atau BUMN/BUMD yang bekerja sama dengan penerima jaminan berdasarkan perjanjian pinjaman/kerja sama.

       

Yang dimaksud dengan “penerima jaminan” adalah badan usaha yang menjadi pihak dalam perjanjian pinjaman/kerja sama dengan pihak terjamin atau yang melakukan investasi di Indonesia.

     

Huruf b

       

Risiko penerima jaminan merupakan peristiwa yang mungkin terjadi pada proyek kerja sama selama berlakunya perjanjian pinjaman/kerja sama yang dapat memengaruhi secara negatif pinjaman/investasi dari penerima jaminan, antara lain risiko gagal bayar dan/atau risiko politik.

   

Ayat (3)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (4)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (5)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (6)

     

Cukup jelas.

 

Pasal 145

   

Yang dimaksud dengan “kewajiban kontinjensi” adalah potensi kewajiban yang timbul karena penjaminan dimana potensi tersebut akan menjadi kewajiban apabila telah memenuhi persyaratan sesuai dengan perjanjian penjaminan.

 

Pasal 146

   

Cukup jelas.

 

Pasal 147

   

Cukup jelas.

 

Pasal 148

   

Cukup jelas.

 

Pasal 149

   

Cukup jelas.

 

Pasal 150

   

Cukup jelas.

 

Pasal 151

   

Cukup jelas.

 

Pasal 152

   

Cukup jelas.

 

Pasal 153

   

Cukup jelas.

 

Pasal 154

   

Cukup jelas.

 

Pasal 155

   

Cukup jelas.

 

Pasal 156

   

Cukup jelas.

 

Pasal 157

   

Cukup jelas.

 

Pasal 158

   

Cukup jelas.

 

Pasal 159

   

Cukup jelas.

 

Pasal 160

   

Cukup jelas.

 

Pasal 161

   

Cukup jelas.

 

Pasal 162

   

Cukup jelas.

 

Pasal 163

   

Huruf a.

     

Cukup jelas.

   

Huruf b.

     

Yang dimaksud dengan “kontrak tahun jamak” adalah perjanjian atas pengadaan barang/jasa yang membebani lebih dari 1 (satu) tahun anggaran.

   

Huruf c.

     

 Cukup jelas.

 

Pasal 164

   

Cukup jelas.

 

Pasal 165

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 166

   

Angka 1.

     

Cukup jelas.

   

Angka 2.

     

Cukup jelas.

   

Angka 3.

     

Yang dimaksud dengan “diperlakukan secara khusus” adalah meskipun bukti pertanggungjawaban yang diberikan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku namun bukti pertanggungjawaban tersebut diperlakukan sebagai dokumen pertanggungjawaban yang sah.

 

Pasal 167

   

Cukup jelas.

 

Pasal 168

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 169

   

Cukup jelas.

 

Pasal 170

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 171

   

Cukup jelas.

 

Pasal 172

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 173

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 174

   

Cukup jelas.

 

Pasal 175

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 176

   

Cukup jelas.

 

Pasal 177

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 178

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 179

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 180

   

Cukup jelas.

 

Pasal 181

   

Cukup Jelas.

 

Pasal 182

   

Cukup Jelas.

     

  TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5423